Pengertian Oksigen
Saturday, July 9, 2022
Edit
Pengertian Oksigen
Oksigen (O2) ialah salah satu komponen gas dan unsur vital dalam proses metabolisme. Oksigen memegang peranan penting dalam semua proses badan secara fungsional serta kebutuhan oksigen merupakan kebutuhan yang paling utama dan sangat vital bagi badan (Imelda, 2009). Oksigen diharapkan sel untuk mengubah glukosa menjadi energi yang dibutuhkan untuk melaksanakan banyak sekali aktivitas, mirip acara fisik, absorpsi makanan, membangun kekebalan tubuh, pemulihan kondisi tubuh, juga penghancuran beberapa racun sisa metabolisme (Nikmawati, 2006).
Pemeliharaan oksigenasi jaringan tergantung pada 3 sistem organ yaitu sistem kardiovaskuler, hematologi, dan respirasi. Jika anutan oksigen ke jaringan berkurang, atau jika penggunaan berlebihan di jaringan maka metabolisme akan berubah dari aerobik ke metabolisme anaerobik untuk menyediakan energi yang cukup untuk metabolisme (Sudoyo et al., 2009). Kekurangan oksigen sanggup mengakibatkan metabolisme berlangsung tidak sempurna, adanya kekurangan O2 ditandai dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut sanggup mengakibatkan janjkematian jaringan bahkan sanggup mengancam kehidupan (Harahap, 2005).
Hipoksia sanggup menjadikan perubahan pada sistem saraf pusat, khususnya di pusat otak yang lebih tinggi. Hipoksia akut akan menjadikan gangguan judgement, inkoordinasi motorik dan citra klinis yang mirip citra pada alkoholisme akut. Kalau keadaan hipoksia berlangsung lama, tanda-tanda keletihan, pusing, apatis, gangguan daya konsentrasi, kelambatan waktu reaksi dan penurunan kapasitas kerja akan terjadi. Begitu hipoksia bertambah parah, pusat batang otak terkena, dan janjkematian biasanya disebabkan oleh gangguan pernafasan (Isselbacher et al., 2008)
Penyebab yang sanggup menimbulkan kondisi hipoksia ada beberapa jenis, salah satunya ialah kondisi dimana tekanan O2 yang terdapat dalam arteri berkurang. Kondisi ini disebut sebagai hipoksia hipoksik (Ganong, 2003). Sifat hipoksia ada 2 yakni tidak terasa datangnya dan tidak terasa sakit (Danusastro, 1994). Penyebab awal kegawatdaruratan medis pada pasien di rumah sakit st Elisabeth Semarang ialah kondisi hipoksia (Rupii, 2012). Angka insiden asfiksia neonatarum di Indonesia kurang lebih 40 per 1000 kelahiran hidup, secara keseluruhan 110.000 neotanus meninggal setiap tahun lantaran asfiksia (Dewi, 2005 dalam Sunarto, 2010).
Asfiksia neonatorum ialah kegagalan bernafas secara impulsif dan teratur pada ketika lahir atau beberapa ketika sehabis lahir yang ditandai hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis. Asfiksia merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas bayi gres lahir dan akan membawa banyak sekali dampak pada periode neonatal. Menurut National Center for Health Statistics (NCHS) pada tahun 2002, asfiksia neonatorum menjadikan 14 janjkematian per 100.000 kelahiran hidup di Amerika Serikat (IDAI, 2008). Asfiksia akan mengakibatkan hipoksia dan iskemia pada bayi, sebagian besar menjadikan kerusakan pada ginjal (50%), syaraf pusat (28%), sistem kardiovaskular (25%) dan paru (23%) (Mohan, 2000).
Otak merupakan organ yang sangat dipengaruhi oleh kondisi kekurangan oksigen. Sumber tenaga utama untuk neuron otak ialah dari pembakaran glukosa oleh oksigen yang diangkut oleh hemoglobin. Ketika badan kekurangan oksigen maka akan terjadi perubahan metabolisme menjadi anaerob yang menghasilkan asam laktat yang berbahaya jika jumlahnya berlebihan. Otak sama mirip organ lain yang membutuhkan oksigen untuk pembakaran tersebut, tetapi otak tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam metabolisme anaerob selama kurang lebih 30 menit mirip organ lainya. Hal ini dikarenakan tingginya laju metabolisme neuronneuron di otak sehingga membutuhkan pembentukan energi dengan sangat cepat. Terhentinya suplai oksigen 5-10 detik saja sanggup menimbulkan kehilangan kesadaran, lebih lanjut menjadikan kerusakan otak yang irreversibel (Guyton & Hall, 2007).
Beberapa masalah pingsan dan meninggalnya penonton di suatu konser, keramaian, pembagian sembako tidak lepas dari insiden hipoksia akhir kekurangan oksigen. Proses metabolik dan gangguan sirkulasi yang menjadi latar belakang pingsan dan meninggalnya seseorang dalam keramaian ialah kondisi hipoglikemi, hipoksia dengan banyak sekali penyebab, kekurangan nutrisi mirip zat besi dan hiperventilasi (Sudoyo et al., 2009). Suplai zat besi yang adekuat besar lengan berkuasa pada pematangan eritrosit sehingga akan meningkatkan jumlah hemoglobin sebagai pengangkut oksigen dalam darah. Mekanisme ini bertujuan untuk mempertahankan laju metabolism pada organ penting mirip otak (Guyton & Hall, 2007).
Dalam darah sebagian besar O2 bergabung dengan hemoglobin (97%) dan sisanya larut dalam plasma (3%). Hemoglobin ialah protein yang dibuat dari 4 subunit, masing-masing mengandung gugus heme yang menempel pada sebuah rantai polipeptida. Heme ialah kompleks yang dibuat dari suatu porfirin dan 1 atom besi fero. Masing-masing dari ke-4 ataom besi sanggup mengikat satu molekul O2 secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk fero sehingga reaksi pengikatan O2 merupakan suatu reaksi oksigenasi bukan reaksi oksidasi. Reaksi pengikatan hemoglobin dengan O2 lazim ditulis sebagai Hb + O2 ↔ HbO2 (Ward et al., 2008).
Hemoglobin merupakan protein respiratori yang telah diidentifikasi pada tahun 1862 oleh Felix Seyler. Felix seyler mengemukakan spektrum warna hemoglobin dan menunjukan bahwa warna ini ialah yang menawarkan warna pada darah. Protein yang terdapat dalam sel darah merah ini bertanggungjawab menjalankan fungsi utama mengangkut oksigen ke jaringan dan membawa karbondioksida kembali ke paru. Suatu ambilan oksigen maksimum (VO2 max) sangat dipengaruhi oleh kadar hemoglobin dan volume darah (Abidin, 2011).
Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama janjkematian perinatal di Indonesia ialah gangguan pernapasan / respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%). Tidak adanya oksigen akan mengakibatkan badan secara fungsional mengalami kemunduran atau bahkan sanggup menimbulkan janjkematian (Imelda, 2009). Begitupun ketika terjadi perubahan oksigen akan terjadi perubahan hematokrit, angka eritrosit dan hemoglobin lantaran fungsi dari ketiganya ialah mengangkut oksigen (Affonso et al., 2002).
Hipoksia yang berkelanjutan akan menghasilkan semakin banyak produk sisa yaitu asam laktat dan asam piruvat yang akan meningkatkan keasaman badan sehingga terjadi asidosis metabolik. Perubahan sirkulasi oksigen dan metabolisme anaerob yang bersamaan secara terus menerus akan menjadikan kerusakan sel baik sementara ataupun menetap pada banyak sekali organ. Organ-organ penting pembentuk eritrosit sanggup terganggu fungsinya, ginjal yang memproduksi eritropoietin sangat peka terhadap perubahan kadar oksigen yang apabila terjadi hipoksia merespon dengan pengeluaran eritropoetin. Apabila terjadi hipoksia yang usang maka penumpukan asam laktat yang banyak sanggup mengakibatkan kerusakan ginjal yang berakibat pada penurunan pembentukan eritropoietin.
Manifestasinya ialah penurunan produksi eritrosit dan hemoglobin (Guyton & Hall, 2007). Tekanan oksigen (PO2) normal dalam alveoli ialah sekitar 104 mmHg. Keadaan hipoksia yang terjadi pada pendaki gunung maupun penerbang akan menimbulkan penurunan pada oksigen dalam alveoli menjadi kurang dari setengah tekanan dalam keadaan normal. Peranan hemoglobin sebagai pengangkut oksigen sangat penting untuk mempertahankan oksigen yang masuk ke jaringan tetap stabil walaupun terjadi kekurangan oksigen di alveoli. Bila terjadi kondisi kekurangan oksigen atau hipoksia pada ketinggian tanpa disertai kompensasi produksi hemoglobin misalnya, pada kondisi anemia, kekurangan nutrisi (zat besi), kegagalan produksi sel darah merah maka suplai jaringan menjadi tidak adekuat yang akan menimbulkan kondisi berbahaya (Guyton & Hall, 2007).
Penyaluran oksigen dekat kaitanya dengan gangguan sistem pernapasan. Gangguan sistem pernapasan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Infeksi terusan pernapasan jauh lebih sering terjadi dibandingkan dengan abses sistem organ badan lain. Pada tahun 1999, sekitar 158.900 orang meninggal dunia lantaran kanker paru. Pada pertengahan tahun 1950 kanker paru menempati urutan pertama janjkematian akhir kanker pada laki-laki (Price, 2006). Melihat pentingnya Oksigen, eritrosit dan hemoglobin dalam kehidupan sebagai salah satu prosedur pembentukan energi yang diharapkan oleh sel untuk melaksanakan keperluan banyak sekali aktivitas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji keterkaitan antara usang hipoksia, angka eritrosit dan kadar hemoglobin.
SUMBER;