Teori-Teori Sosiologi
Friday, December 3, 2021
Edit
Teori-teori Sosiologi
Dalam kebanyakan ilmu pengetahuan yang lebih tua, menyerupai ilmu-ilmu phisik dan kimia, kebanyakan dari bidang ilmu pengetahuan tersebut diterangkan oleh sejumlah Grand Theory yang sangat komplementer dan saling berafiliasi yang diterima oleh semua seorang hebat dalam disiplin itu. Grand Theory yaitu seluruh ajaib dan termasuk teori yang menjelaskan kebanyakan dari fakta dalam suatu disiplin dan menempatkan kebanyakan dari prinsip dan peraturan umum ke dalam suatu sistem terpadu. Contoh grand theory yang terkenal yaitu teori tindakan sosial dan teori sistem sosial.
1. Teori Tindakan Sosial dan Sistem Sosial dari Parsons
Teori ‘tindakan sosial’ Parsons, sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sosiolog sebelumnya seperti; Alfred Marshall, Vilfredo Pareto, Emile Durkheim, dan Max Weber, yang dituangkan dalam karyanya “The Stucture of Social Action”.(1937). Inti argumennya yaitu bahwa: “keempat tokoh teoretisi tersebut akhirnya hingga pada suatu titik temu dengan elemen-elemen dasar untuk suatu teori tindakan sosial yang bersifat voluntaristik, walaupun mereka berbeda dalam titik tolaknya”. Kemudian dalam analisisnya Parsons memakai kerangka alat-tujuan (means-ends framework), yang intinya:
- tindakan itu diarahkan pada tujuannya atau mempunyai suatu tujuan;
- tindakan terjadi dalam suatu situasi, di mana beberapa elemennya sudah pasti, sedangan elemen-elemen 50 lainnya dipakai oleh yang bertindak sebagai alat untuk menmcapai tujuan tersebut;
- secara normative tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan.
Dalam arti bahwa tindakan itu dilihat sebagai satuan kenyataan sosial yang paling kecil dan paling fundamental. Elemen-elemen dasar dari suatu tindakan adalah; tujuan, alat, kondisi dan norma (Johnson, 1986, 106). Antara alat dan kondisi itu berbeda dalam hal di mana orang yang bertindak itu bisa memakai alat dalam usahanya mencapai tujuan; sedangkan kondisi merupakan aspek situasi yang sanggup dikontrol oleh yang bertindak tersebut. Sedangkan untuk teori sistem sosial, Parsons melihatnya bahwa kenyataan sosial dari suatu perspektif yang sangat luas, yang tidak terbatas pada tingkat struktur sosial saja. Berulang kali ia menunjuk pendekatannya sebagai suatu teori mengenai tindakan yang bersifat umum sebagaimana ia ungkapkan ide-idenya tersebut dalam karyanya Toward A General Theory of Action (1951a) bersama Edward A. Shils, dan The Social System (1951b) .
Sistem sosial hanyalah sasalh satu dari sistem-sistem yang termasuk dalam perspektif keseluruhan; sistem kepribadian dan sistem budaya merupakan sistem-sistem yang secara analitis sanggup dibedakan, juga termasuk di dalamnya. Seperti hanlnya dengan organisme perilaku. Dalam analisisnya lebih lanjut, sistem-sistem sosial terbentuk dari tindakantindakan sosial individu. Dalam teori sistem sosial tersebut Parsons dan rekan-rekanya membuatkan kerangka A-G-I-L (Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latent Pattern Maintenance) (Johnson, 1986: 129-131), sebagai empat persayarat-persyaratan fungsional dalam semua sistem soail dikembangkan.
Adaptation, memunjuk kepada keharusan bagi sistem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya baik itu yang bersifat ‘transformasi aktif dari situasi’ yang pada umumnya segi-segi situasi yang sanggup dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai tujuan, dan ‘inflexible’ suatu kondisi yang tidak sanggup ataupun sukar diubah. Goal Attainment, merupakan persyaratan fungsional yang berasumsi bahwa tindakan itu selalu diarahkan pada tujuannya terutama pada tujuan bersama para anggota dalam sustu sistem sosial. Integration, merupakan persyaratan yang berafiliasi dengan interelasi antara para anggota dalam suatu sistem sosial.
Sedangkan Latent Pattern Maintenance, menawarkan pada berhentinya interaksi, baik itu lantaran letih ataupun jenuh, serta tunduk pada sistem sosial di mana ia berada. Keempat persyaratan fungsional tersebut dipandang Parsons sebagai suatu keseluruhan yang juga terlibat dalam saling tukar lingkungannya. Lingkungan sistem sosial itu terdiri atas; lingkungan fisik, sistem kepribadian, sistem budaya, dan organisme perilaku. Pendekatan fungsionalisme structural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, sanggup kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut:
- Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berafiliasi satu sama lain.
- Dengan demikian korelasi imbas mempengaruhi di antara bgianbagian tersebut yaitu bersifat ganda dan timbal-balik.
- Sekalipun integrasi sosial tidak pernah sanggup dicapai dengan sempurna, namun secara mendasar sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis: menanggapi perubahanperubahan yang dating dari luar dengan kecenderungan memelihara biar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai alhasil hanya akan mencapai derajat yang minimal.
- Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpanganpenyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang tepat tidak akan pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu.
- Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian, dsn yidsk secara revolusioner. Perubahan-perubahan yang terjadi secara secara drastic 51 pada umumnya hanya mengenai bentuknya luarnya saja, sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan.
Namun untuk sosiologi, tidak sepenuhnya berlaku grand theory menyerupai itu, alasannya belakangan ini juga banyak terjadi perubahan-perubahan. Walaupun mulanya ketika bidang sosiologi muncul, suatu pencarian untuk klarifikasi tingkah laris insan yang tunggal dan sesuatu teori penekanannya yang non-empirik mendominasi bidang tersebut. Awal kehadiran para hebat sosiologi, menyerupai Auguste Comte dan para pengikutnya, pada umumnya mereka yaitu orang-orang di belakang meja (“sarjana salon”) di mana mereka sebagai sosiolog tidak melalakukan riset empiris. Sebaliknya, dalam sejarah ringkas sosiologi di samping mempunyai hebat grand theory, juga mempunyai peneliti-peneliti yang bersifat empiris ternama khusunya pada generasi kedua.. Seperti sarjana sosiologi George Homans, Paul F. Lazarsfeld, dan Robert K. Merton yaitu kedua-duanya hebat teori dan penganut fatwa empirisme. Pada dikala kini ini semakin banyak hebat teori sosiologi yang melaksanakan penelitian empiris. Begitu juga tidak menutup kemungkinan para hebat sosiologi akan mungkin bisa merumuskan perpaduan grand theory dan empirisme sekali waktu di masa mendatang.
3. Teori Evolusi Sosial Spencer
Dalam bukunya yang berjudul Principles of Sociology (1876-1896) Spencer, seorang sosiolog Inggeris yang banyak memakai materi etnogafi secara luas dan sistematis mengemukakan teorinya sebagai berikut:
- Masyarakat yang merupakan suatu organisme, berevolusi berdasarkan pertumbuhan manusia, menyerupai badan yang hidup, masyarakat bermula menyerupai kuman, berasal dari massa yang dalam segala hal sanggup dibandingkan dengan massa itu sebagian di antaranya akhirnya sanggup didekati. (Spencer dalam Lauer, 2003: 80).
- Suku primitif berkembang melalui peningkatan jumlah anggotanya, perkembangan itu mencapai suatu titik di mana suatu suku terpisah menjadi beberapa suku yang secara sedikit demi sedikit timbul beberapa perbedaan satu sama lain. Perkembangan ini bisa terjadi menyerupai pengulangan maupun terbentuk dalam proses yang lebih luas dalam penyatuan beberapa suku. Penyatuan ini terjadi tanpa melenyapkan pembagian yang sebelumnya disebabkan oleh pemisahan
- Pertmbuhan masyarakat tidak sekedar menjadikan perbanyakan dan penyatuan kelompok, tetapi juga meningkatkan kepadatan penduduk atau meningkatkan solidaritas, bahkan memejukan massa yang lebih akrab.
- Dalam tahapan masyarakat yang belum beradab (un-civilised) itu bersifat homogen, lantaran mereka terdiri dari kumpulan insan yang mempunyai kewenangan, kekuasaan, dan fungsi yang relatif sama, terkecuali dilema jenis kelamin.
- Suku nomaden mempunyai ikatan, lantaran dipersatukan oleh oleh ketundukan kepada pemimpin suku. Ikatan ini mengikat hingga mencapai masyarakat beradab yang cukup diintegrasikan bersama ”selama 1000 tahun lebih”.
- Jenis kelamin pria, diidentikkan dengan simbol-simbol yang menuntut kekuatan fisik seperti; keprajuritan, pemburu, nelayan, dan lain-lain.
- Kepemimpinan muncul sebagai konsekuensi munculnya keluarga yang sifatnya tidak tetap atau nomaden.
4. Teori Teknologi dan Ketinggalan Budaya (Cultural Lag) dari Ogburn
William F. Ogburn yang menerima pendidikan di Universitas Columbia dan menghabiskan sebagian besar hidup akademisnya di Iniversitas Chicago, sumbangannya yang apaling terkenal terhadap bidang sosiologi yaitu konsepnya perihal ketinggalan budaya (cultural lag). Konsep ini mengacu kepada kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola=pola organisasi sosial yang tertinggal di belakang (lag behing) perubahanperubahan dalam kebudayaan materiil. Akibatnya yaitu bahwa perubahan sosial selalu ditand