Konsep-Konsep Sosiologi
Saturday, December 4, 2021
Edit
Konsep-konsep Sosiologi
Dalam setiap disiplin ilmu, pasti ada kontroversi, termasuk sosiologi. Walaupun para hebat sosiologi sudah berhasil dalam mengidentifikasi sejumlah konsep-konsep dasar sosiologis dan memperoleh konsensus mengenai arti penting wacana itu, konsep-konsep tersebut sering digambarkan dengan cara yang berbeda oleh aneka macam peneliti. Kebanyakan para hebat sosiologi terkemuka sangat memperhatikan permasalahan dalam definisi disiplin ilmu sosiologi itu. Herbert Blumer, spesialis sosiologi yang terpandang, menetapkan bahwa konsep-konsep yang menjadi kunci dalam sosiologis ialah "samar-samar, ambigu, dan tak tentu" dan perjuangan itu untuk menciptakan terminologi yang lebih sempurna telah menjadikan sebagian besar ‘tanpa buah’ (Quated dalam Gitter dan Manheim, 1957; 2).
Zetterberg menuliskan dengan jernih wacana problem ini sebagai berikut:. Socilogists have spent much energy in developing technical definitions, but to date they have not achieved a consensus about them that is commensurate with their effort. At present there are so many different competing definitions for key sociological notions such as “status” and “social role” that these terms are no more valuable than their counterparts…. In everyday speech” (Zetterberg, 1966: 30). (Para hebat sosiologi sudah menghabiskan banyak energi dalam membuatkan definisi teknis, tetapi hingga ketika ini mereka belum mencapai suatu konsensus wacana mereka bahwa hal itu ialah setaraf dengan perjuangan mereka. Pada ketika kini ini terdapat sangat banyak perbedaan persaingan definisi-definisi untuk gagasan kunci sosiologi ibarat "status" dan "peranan sosial" bahwa terminologi ini ialah tidak lagi berharga dibanding rekan imbangan mereka…. Di dalam pembicaraan sehari-hari".
Sebaliknya, Horton dan Hunt (1991: 48-49) mengemukakan pendapat yang jauh berbeda. Mereka beranggapan bahwa studi sosiologi yang menggunakan konsep-konsep tersebut paling tidak ada dua manfaat: Pertama, kita memerlukan konsep yang diutarakan dengan teliti untuk melangsungkan suatu diskusi ilmiah. Bagaimana saudara sanggup akan bisa menunjukan mesin pada seseorang yang tidak mempunyai konsep “roda”… Kedua, perumusan konsep mengakibatkan ilmu pengetahuan bertambah.
Namun ironisnya walaupun perselisihan faham konseptual dalam sosiologi, laju perkembangan dan corak gres disiplin tersebut tidak terpengaruh jelek bahkan mempercepat laju perkembangan bidang tersebut. Walaupun ketika itu sosiologi tidak benarbenar muncul sebagai disiplin tersendiri hingga kurun yang ke sembilan belas. Baru ketika sosiologi berhasil mendewasakan dirinya dan menjadi lebih ilmiah, semula kita mengharapkan konsensus yang lebih konseptual untuk lebih memudahkan perkembangan sosiologi, namun kenyataannya tetap sulit.
Konsep-konsep sosiologi ibarat masyarakat, peran, konflik sosial, forum sosial, kebiasaan (mores), norma, jarang difinisiakn cara serupa atau sama. Di samping itu problem lain yang muncul ketika grand theory yang bukan hasil seorang peneliti, mendefinisikan terminologi dengan cara yang berbeda dibanding dengan hebat sosiologi yang melaksanakan penelitian lapangan. Fakta bahwa terdapat tingkat persetujuan wacana makna dari penguasaan konsep-konsep pokok dalam sosiologi yang menyatakan bahwa secara sosiologis perspektif itu sanggup memperlihatkan suatu bantuan substansial untuk membantu penguasaan dasar para siswa dalam memecahkan permasalahan sosial dan menciptakan keputusan wacana informasi sosial yang penting.
Untaian fakta-fakta, konsep-konsep, generalisasi-generalisasi, dan teori-teori suatu disiplin itu diberi nama struktur ilmu. Hal ini mulai dikenal ketika di Amerika Seriakt khususnya terjadi suatu perubahan besar atau revolusi Studi Sosial yang terjadi pada tahun 1960-an.. Ketika pendidik di sana pertama kali menganut konsep struktur ilmu, mereka mencicipi optimisme pemecahan permasalahan kependidikan. Sebab pada ketika itu mereka mempunyai suatu alternatif untuk mengajar suatu massa yang menciptakan para siswa tidak gampang lupa namun juga tidak terlalu dibebani dengan sederetan fakta-fakta yang memberatkan untuk dihafal. Jerome S. Bruner mungkin orang yang paling kuat di dalam revolusi structuralis (Banks, 1977: 244). Bagaimana tidak, sejumlah riset yang dilakukan oleh para hebat lainnya mendukung gagasan Bruner dalam karya monumentalnya The Process of Education (1960). Penelitian Senes (1964) yang meneliti di bidang pendidikan ekonomi, Crabtree (1967) meneliti pendidikan geografi, dan Burger (1970) meneliti dalam pendidikan sejarah (Hasan: 1996: 90). Ternyata dengan mencar ilmu menguasai struktur ilmu sesuai dengan perkembangan penerima didik (seperti; konsep-konsep, generalisasigeneralisasi, maupun teori-teori) jauh lebih cepat ingat dalam memori daripada dengan menghafal problema-problema yang bersifat “collective memory” dengan gundukan peristiwa-peristiwa hafalan..
Dalam pandangannya, Bruner berasumsi bahwa melalui pembelajaran disiplin ilmu khususnya penguasaan struktur ilmu, maka akan terjadi transfer of lerning yang lebih memberi fasilitas bagi siswa untuk mencar ilmu lebih cepat terutama dengan non-specifik transfer yang sifatnya umum dan ini yang merupakan the hesrt of educational process jantungnya proses pendidikan (Bruner, 1960: 23-26), walaupun dalam realitanya Bruner dan rekan-rekannya mempunyai aneka macam kesulitan bahwa ada beberapa hal yang tidak memadai untuk dibayangkan sebelumnya yang mengakibatkan gagalnya implementasi MACOS (Man A Course of Study) yang ujicobakannya namun saya beropini bahwa itu ialah problem teknis yang terlalu mengharapkan Studi Sosial yang betul-betul terpadu (sintetik), dan kebenaran teori Bruner tersebut tetap menjadi kontributor terpenting taktik penguasaan disiplin ilmu. Oleh lantaran itu di sini kita akan memulai menguraikan konsep-konsep sosiologi yang sering diajarkan menurut kelaziman dalam mata pelajaran tersebut.
Adapun konsep-konsep yang terdapat dalam sosiologi tersebut, mencakup; (1) masyarakat; (2) tugas (3) norma; (4) sanksi; (5) interaksi sosial ; (6) konflik sosial; (7) 39 perubahan sosial; (8) permasalahan sosial; (9) penyimpangan, (10) globalisasi, (11) patronase, (12) kelompok, (13) patriarki, (14) hirarki
1. Masyarakat
“Masyarakat” ialah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa insan yang dengan atau lantaran sendirinya bertalian secara golongan dan merupakan sistem sosial yang pengaruh-mempengaruhi satu sama lain (Shadily, 1980: 31; Soekanto, 1993: 466). Dengan demikian hidup bermasyarakat merupakan bagaian integral karakteristik dalam kehidupan manusia. Kita tidak sanggup membayangkan, bagaimana jika manusiatidak bermasyarakat. Sebab sesungguhnyalah individu-individu tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya, lantaran insan itu ialah mahluk sosial. Manusia membutuhkan satu sama lain untuk bertahan hidup dan untuk hidup sebagai insan (Campbell, 1994: 3). Kesalingtergantungan individu atas lainnya maupun kelompok ini menghasilkan bentuk-bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg, dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu yang merupakan sebuah keniscayaan.. Jadi, sebuah masyarakat intinya ialah sebentuk tatatanan; ia meliputi pola-pola interaksi antar insan yang berulang secara ajeg pula. Tatanan ini bukan berarti tanpa konflik ataupun tanpa kekerasan, semuanya serba mungkin, serta kadarnya terang bervariasi dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Akan tetapi, bagaimanapun rendahnya suatu masyarakat tetap tidak hanya sekedar penjumlahan beberapa manusia, melainkan sebuah pengelompokan yang teratur dengan keajegan-keajegan interaksi yang jelas.
2. Peran
“Peran” ialah satuan keteraturan sikap yang diperlukan dari individu. Tiap-tiap hari, hampir semua orang harus berfungsi dalam banyak tugas yang berbeda. Peran dalam diri seseorang ini sering mengakibatkan konflik. Sebagai contoh, para guru sekolah dasar perempuan, diperlukan untuk mempersiapkan pengajaran IPS di sekolah tiap hari sebagai kewajiban profesinya, namun di sisi lain ia juga bertanggung jawab sebagai istri dalam urusan keluarganya. Pada ketika sore dan malam hari ia mengurus anak-anaknya di rumah serta keperluan rumah tangga lainnya ibarat mempersiapkan masakan untuk bawah umur dan suaminya, mengawasi anak-anaknya belajar, membereskan dan merawat kebersihan ruangan, perabot rumah tangga, dan sebagainya.. Inilah yang sering disebut sebagai tugas ganda, dan tugas semacam ini hampir terjadi pada setiap profesi.
3. Norma
Suatu ‘norma’ ialah suatu standard atau aba-aba yang memandu sikap masyarakat.. Norma-norma tersebut mengajarkan kepada kita biar peri-laku kita itu benar, layak atau pantas.. Dalam kehidupan masyarakat kita, orang-orang sering diperlukan untuk berpakaian dan berbicara yang sesuai dengan tuntutan dan kondisinya. Seseorang yang akan menghadiri pesta pernikahan, terang akan berpakaian lain dibanding ia akan berolahraga. Begitu juga kebiasaan untuk bawah umur sering diperlukan untuk bertindak, berbicara dan berprilaku, sopan sesuai dengan kehendak orang dewasa. Sebaliknya juga pada orang remaja itu sendiri biasanya diperlukan untuk bisa bertindak sopan ataupun hormat jika ia bertamu ke rumah orang lain.
4. Sanksi
‘Sanksi’ ialah suatu rangsangan untuk mlakukan atau tidak melaksanakan sesuatu perbuatan (Soekanto, 1993: 446). Begitu juga hal yang serupa dikemukakan K. Daniel O’Leary dan Susan G. O’Leary dalam Classroom Management: The Successful Use of Behavior Modification mengemukakan bahwa hukuman merupakan upaya dengan suatu konsekensi yang diduga sanggup mengurangi atau menurunkan kemungkinan untuk melaksanakan perbuatan melanggar untuk masa yang akan tiba O’Leary dan O’Leary, 1977: 110).
5. Interaksi Sosial
‘Interaksi sosial’ ialah proses sosial yang menyangkut kekerabatan timbal-balik antar pribadi, kelompok, maupun pribadi dengan kelompok. (Poponoe, 1983: 104; Soekanto: 1993: 247). Interaksi sosial tersebut merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Mengingat dalam interaksi sosial tersebut di samping ruang-lingkupnya sangat luas dan bentuknya yang dinamis (Gillin dan Gillin, 489). Bagi siswa di kelas konsep ‘interaksi so.
6. Konflik Sosial
Konflik sosial ialah merupakan kontradiksi sosial yang bertujuan untuk menguasai atau menghancurkan fihak lain. Konflik sosial juga bisa berupa kegiatan dari suatu kelompok yang menghalangi atau menghancurkan kelompok lain, walaupun hal itu tidak menjadi tujuan utama acara kelompok tersebut (Soekanto, 1993: 101). Dalam wujudnya konflik sosial itu bisa tersembunyi tersebunyi (covert) maupun terbuka. Konflik sosial merupakan salah satu bentuk interaksi sosial di mana ekstrem yang satu mengarah ke integrasi sosial yang sudah menjadi suatu general agreements yang mempunyai daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan, dan yang lain ke konflik sosial. Tercapainya ‘tata tertib’ dan ‘konflik’ ialah dua kenyataan yang menempel bersama dalam setiap sistem sosial. Sebab tumbuhnya tata tertib sosial atau sistem nilai yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakatnya, sama sekali tidak berarti lenyapnya konflik dalam masyarakat. Justru sebaliknya, tumbuhnya tata tertib sosial mencerminkan adanya konflik yang bersifat potensial dalam masyarakat. Dengan demikian jika kita berbicara wacana ‘stabilitas’ dan ‘instabilitas’ dari suatu sistem sosial, maka yang di kita maksudkan ialah tidak lebih dari menyatakan derajat keberhasilan atau kegagalan dari suatu tertib normative dalam mengatur kepentingan yang saling berkonflik (Lockwood, 1965: 285).
7. Perubahan Sosial
‘Perbahan sosial’ mengacu pada variasi kekerabatan antar individu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu (Ritzer, 1987: 560). Kemudian sosiolog lain mengemukakan bahwa perubahan sosial ialah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat (Persel, 1987: 586). Dari dua pernyataan tersebut sanggup disimpulkan bahwa perubahan sosial segala transformasi pada individu, kelompok, masyarakat, dan lembaga-lembaga sosial yang menghipnotis sistem sosialnya termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
8. Permasalahan sosial
Istilah ”permasalahan sosial” merujuk kepada suatu kondsi yang tidak dinginkan, tidak adail, berbahaya, ofensif, dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan masyarakat.. Dalam pendekatannya, studi wacana permasalahan sosial sanggup dibagi menjadi dua kelompok yakni pendekatan; (1) realis dan obyektif, (2) pendekatan pendekatan konstruksionisme sosial. (Pawluch, 2000: 995). Perhatian utama kelompok yang menggunakan pendekatan realis dan obyektif mengidentifikasi aneka macam kondisi dan kekuatan dasar yang menjadi lantaran dari permasalahan tersebut, seringkali dengan sebuah pandangan yang mengutamakan tindakan amelioratif (peningkatan nilai makna dari makna biasa mapun jelek menjadi makin baik). Sedangkan pendekatan konstruksionisme sosial, tidak memusatkan pada perhatian kondisi-kondisi obyektif, tetapi mengarahkan pada suatu definisi proses sosial di mana kondisi tersebut muncul sebagai permasalahan
9. Penyimpangan
Istilah ”penyimpangan” atau deviance bekerjsama dalam sosiologi telah usang ada semenjak awal kelahiran ilmu tersebut. Akan tetapi makna sosiologisnya gres muncul belakangan. Para sosiolog dan kriminolog mengartikan sebagai sikap yang terlarang, perlu dibatasi, disensor, diancam hukuman, atau label lain yang dianggap jelek sehingga istilah tersebut sering dipandankan dengan ”pelanggaran aturan” (Rock, 2000: 227-228). Namun demikian istilah ”penyimpangan” tersebut tetap lebih luas daripada kriminalitas lantaran yang menyimpang itu tidak sepenuhnya melanggar secara kriminal. Dalam sosiologi, istilah ”pemnyimpangan” memang selalu tidak terang bagi para sosiolog. Oleh lantaran itu setiap sosiolog punya punya pemahaman sendiri (bersifat adhoc) atas istilah tersebut. Namun dmikian bagi kaum sosiolog untuk mengkaji beberapa sikap yang dianggap ”aneh” sanggup memenuhi kebutuhan untuk memuaskan rasa ingintahu, memahami hal-hal aneh, merupakan alasan yang sahih bagi sosiologi untuk mengadakan kajaian ilmiah atas istilah tersebut.
10. Globalisasi
Istilah ”globalisasi” merujuk pada implikasi tidak berartinya lagi jarak nasional, regional, maupun teritorial, sehingga apapun yang terjadi dan berlangsung di satu tempat, bukan jaminan bahwa insiden atau insiden tersebut tidak membawa efek di daerah lain (2002: Ohmae, 3-30). Runtuhnya suatu ekonomi, politik, dan sosial budaya suatu negara, bisa jadi negara lain juga ikut mencicipi dampaknya. Suasana chaos di satu negarabangsa, sangat berimbas ke negara lain. Begitu juga budaya ”meyimpang” yang tumbuh subur di satu negara, tidak menutup kemungkinan cepat ”menular” ke negara lain. Ibarat dunia yang semakin tidak terbatas lagi, globalisasi sanggup dimetaforakan sebagai kamar yang 45 tanpa sekat, di mana ratusan negara-bangsa seolah menyatu, seolah-olah berada dalam satu keluarga.
11 Patronase
Istilah ”patronase” dalam istilah ilmu-ilmu sosial lebih banyak dikaitkan dengan birokrasi sehingga dikenal ”birokrasi patrimonial”. Dalam birokrasi patrimonial ini serupa dengan forum ”perkawulaan”, di mana ”patron” ialah ”gusti” atau ”juragan”, dan klien ialah ”kawula”. Hubungan antara gusti dan kawula tersebut bersifat ikatan pribadi, implisit dianggap mengikat seluruh hidup, seumur hidup, dengan loyalitas primordial sebagai dasar tali perhubungan (Kuntjoro-Jakti, 1980: 6).
12. Kelompok
Konsep ”kelompok” atau ”group” secara umum sanggup didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang disatukan oleh suatu prinsip, dengan pola rekrutmen, hak dan kewajiban tertentu. (Holy, 2000: 421). Konsep ini sangat lebih banyak didominasi dalam kajian soiologi lantaran dalam kajian ”kelompok” tersebut difahami aneka macam interaksi yang bersifat kebiasaan (habitual), melembaga, atau bertahan dalam waktu relatif lama, yang biasanya terjalin antar kelompok..
13. Patriarki
Secara harfiah ”patriarki” berarti aturan dari pihak ayah. Istilah ini mempunyai penggunaan yang cukup luas namun umumnya mempunyai kecenderungan untuk mendeskripsikan kondisi superioritas pria atas wanita (Cannel, 2000: 734). Dalam sejarah modern istilah tersebut muncul oleh Henry Maine dengan karyanya Ancient Law (1861). Dalam buku tersebut dikemukakan bahwa keluarga patriarkal merupakan dasar dan unit universal dari masyarakat (Coward, 1983: 18), yang berasumsi bahwa organisasi insan sepenuhnya bersifat sosial semenjak awal. Pendapat tersebut tentu saja menerima kritik keras dari alairan-aliran evolusi keluarga dan masyarakat, ibarat Bachoven (1861, McLennan (1865), dan Morgan (1877), lantaran bagi mereka bahwa terciptanya masyarakat modern melalui aneka macam tahapan budaya.
14. Hirarki
Konsep ”hirarki” merujuk kepada suatu jenjang atau tatanan atau peringkat kekuatan, prestise atau otoritas. Ditinjau dari historisnya secara umum konsep hirarki diserap oleh ilmu-ilmu sosial pada mulanya hanya mengacu kepada gereja, pemerintahan pendeta, dan bisanya Gereja Nasrani Roma. Dalam pengertian yang lebih luas merujuk pada organisasi bertingkat dari para pendeta atau paderi (Halsey, 2000: 433)..