Pembentukan Aturan Berdasarkan Ahli
Wednesday, June 22, 2022
Edit
Politik pembentukan hukum
Politik pembentukan aturan secara umum dalam melaksanakan pengkajian dipengaruhi olehcara pandang wacana aturan dan politik, yang dalam prakteknya memunculkan pertanyaan apakah aturan yang tunduk kepada politik atau sebaliknya politik yang tunduk pada hukum. Pertanyaan ini melahirkan tiga opsi tanggapan yaitu : aturan Determinan atas politik, politik determinan terhadap aturan dan aturan sebagai sub sistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya antaran satu dengan lain. Perbedaan tanggapan atas pertanyaan wacana mana yang lebih determinan diantara keduanya, terutama perbedaan antara alternatif tanggapan pertama dan kedua disebabkan oleh perbedaan cara pandang kedua subsistem kemasyarakatan tersebut. Pandangan yang hanya memandang aturan dari sudut das sollen atau para idealis berpegang teguh pada pandangan bahwa aturan harus merupakan aliran dalam segala tingkat korelasi antara anggota masyarakat termasuk dalam segala acara politik. Sebaliknya pandangan yang memandang dari sudut das sein, para penganut paham empiris melihat secara realistis bahwa produk aturan sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam perbuatannya tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya (Moh. Mahfud MD, 2006: 9)
Hukum dan politik sebenarnya sebagai subsistem kemasyarakatan yakni bersifat terbuka, lantaran itu keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh subsistem lainnya maupun oleh sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Walaupun aturan dan politik mempunyai fungsi dan dasar pembenaran yang berbeda, namun keduanya tidak saling bertentangan. Hukum dan politik menunjukkan donasi sesuai dengan fungsinya untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam masyarakat yang terbuka dan relatif stabil sistem aturan dan politiknya selalu dijaga keseimbangannya, di samping sistem-sistem lainnya yang ada dalam suatu masyarakat. Hukum dan politik mempunyai kedudukan yang sejajar.
Hukum tidak sanggup ditafsirkan sebagai potongan dari sistem politik, demikian pula sebaliknya. Realitas korelasi aturan dan politik tidak sepenuhnya ditentukan oleh prinsp-prinsip yang diatur dalam suatu sistem konstitusi, tetapi lebih dtentukan oleh komitmen rakyat dan elit politik untuk bersungguh-sungguh melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan semangat dan jiwanya. Olehnya itu perlu upaya untuk mengetahui pemahaman terhadap semangat dan jiwanya konstitusi. diantaranya dalam hal politik pembentukan hukum.
Pembetukan aturan merupakan sub sistem dari Politik hukum. Politik aturan berdasarkan Soerjono Soekanto, merupakan disiplin ilmu aturan yang mengkhususkan perjuangan merencanakan aturan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Sedangkan berdasarkan (Moh. Mahfud MD, 2006: 9) politik aturan yakni kebijakan aturan yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah dengan meliputi: Pembentukan Hukum yang berisi bahan aturan yang direncanakan, pelaksanaan aturan yang telah ada, fungsi forum pembina pegawapemerintah hukum, termasuk penegakkan hukum. Dengan demikian, mengkaji politik pembentukan aturan yaitu mengkaji proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang meliputi: perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,pembahasan,pengesahan,pengundangan, dan penyebarluasan, hukum. (UU No 10 tahun 2004) Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan aturan nasional yang hanya sanggup terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua forum yang berwenang menciptakan peraturan perundang-undangan.
Bahkan berdasarkan Hans Kelsen menyampaikan Pembentukan aturan yakni rangkaian awal dari penegakkan aturan yang sangat penting untuk diperhatikan. (Hans Kelsen, 2007: 163) Pembahasanpolitik pembentukan hukum, perlu diawali dengan penyamaan persepsi terhadap pertanyaan apakah aturan sama dengan undang-undang atau tidak. Perbedaan pendapat terjadi diantara para ilmuan aturan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pendapat pertama, aturan itu yakni peraturan tertulis, pandangan ini dikemukan oleh kaum dogmatik, aturan yakni peraturan tertulis yaitu undang-undang, kedua Kaum non Dogmatik aturan bukan hanya peraturan tertulis yaitu undang-undang saja (Achmad Ali, 2002: 130).
Dalam pembahasan ini penulis memakai pandangan kaum dogmatik bahwa aturan itu yakni peraturan tertulis yaitu perundang-undangan, dengan tidak menafikan pemahaman yang kedua yaitu aturan bukan saja yang tertulis. Konsep pembentukan aturan banyak teori yang dikemukan oleh para pakar aturan wacana teori pembentukan hukum, diantaranya yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, 2007: 167). yang menyampaikan bahwa pembentukan aturan sanggup ditentukan berdasarkan dua cara yang berbeda : Norma yang lebih tinggi sanggup memilih (1) organ dan mekanisme pembuatan norma yang lebih rendah, (2) isi norma yang lebih rendah Meskipun norma yang lebih tinggi hanya memilih organ dan itu pun berarti individu yang harus menciptakan norma yang lebih rendah dan itu pun berarti pula memberi memberi wewenang kepada organ ini untuk memilih mekanisme pembentukan serta isi norma aturan yang lebih rendah tersebut atas kebijaksanaannya sendiri, maka norma lebih tinggi diterapkan pada pembentukan norma yang lebih rendah. Teori yang dikemukan oleh Hans Kelsen ini sanggup menunjukkan klarifikasi wacana siapa pembentuk hukum.
Menurut Montesqui (Jimly Asshiddiqie, 2010: 283) Pembentukan aturan dilakukan oleh kekuasaan legislatif. Montesqui membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang yaitu : kekuasaan legislatif, direktur dan kekuasaan Yudikatif. Dimana kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang, kekuasaan direktur yang melaksanakan undang-undang dan kekuasaan yudikatif yakni kekuasaan menghakimi atau menuntaskan sengketa/konflik. Pembatasan kekuasaan pada tiga cabang kekuasaan diatas berkaitan dekat dengan teori pemisahan kekuasaan. Dimana konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan negara ini yakni kekuasaan untuk menetapkan aturan aturan dihentikan dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. Teori yang dikemukan oleh Hans Kelsen maupun Montesqui sanggup menunjukkan klarifikasi wacana siapa pembentuk aturan yaitu norma yang lebih tinggi dan legislatif.
Dengan demikian, teori pembentukan aturan merupakan perintah dari aturan yang lebih tinggi kepada forum pembentuk hukum. Lembaga tersebut mewakii rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Pembentukan aturan di Indonesia pengaturannya terdapat dalam UndangUndang No. 10 Tahun 2004 wacana Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Memahami pembentukan aturan di Indonesia sebelumnya harus dipahami tata urutan /hierakhie peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal inidapatdilihatpadapasal 7 UU No 10 tahun 2004: Pertama, Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, UU/PERPU. Ketiga, Peraturan Pemerntah. Keempat, Peraturan Presiden. Kelima, PERDA (Perda Provinsi , Perda Kabupaten/Kota Perdes). (Pasal 7 UU No 10 tahun 2004 kini sudah diganti dengan UU No 12 tahun 2011) Pada hierarkie diatas tampak Undang-Undang Dasar 1945 menempati posisi tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dan kemudian disusul dibawahnya secara berurutan UU atau Peraturan Penganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan terakhir Peraturan Daerah.
Posisi tertinggi Undang-Undang Dasar 1945 dalam tata urutan perundang-undangan sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari fungsinya sebagai konstitusi negara. Menurut UU No 10 tahun 2004 Pasal 3 ayat (1)Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan aturan dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 3 ayat ( 1) UU No 10 tahun 2004). Tentang hal Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi sebagaimana pandangan Hans Kelsen wacana pembuat aturan (norma aturan yang tertinggi) mengindikasikan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 yakni pembentuk aturan tertinggi. Selanjutnya menunjukkan delegasi kepada forum negara untuk menciptakan aturan perundang-undangan, yakni forum direktur dalam hal ini pemerintah dan forum legislatif sebagai refresentatif forum mewakili rakyat. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 1 bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Memperhatikan pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 ini pembentuk aturan di Indonesia dipegang oleh DPR. Konsep ini sejalan dengan teori yang dikemukan oleh Montesqui dalam teori trias politika bahwa kekuasaan legislatif (DPR) yakni membentuk hukum.
Hanya saja, kekuasaan dewan perwakilan rakyat dalam membentuk aturan tidak sanggup dikerjakan secara berdikari melainkan harus gotong royong dengan Presiden. Dimana setiap rancangan undang-undang harus dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Apabila rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang, itu dihentikan diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Disamping itu, presiden berhak mengajukan rancangan undang kepada dewan perwakilan rakyat sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 5 (1) “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan”. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sanggup ditafsirkan bahwa Presiden hanya berhak untuk mengajukan rancangan undang-undang usul inisiatif kepada DPR. Hanya saja, pasal 5 (1) ini, dihubungkan dengan pasal 20 ayat (2) “setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama’, sanggup berarti dewan perwakilan rakyat dalam membentuk undang-undang harus ada persetujuan atau gotong royong dengan Presiden.
Undang-undang itu sanggup terbentuk apabila kedua kewenangan dewan perwakilan rakyat dan Presiden tersebut dilaksanakan bersama-sama. Dalam praktek pembentukan aturan di kenal beberapa aksara diantaranya karakter-karakter yang dikemukan oleh Moh.Mahfud MD (2006: 25) yaitu: Pertama, Proses pembentukan aturan partisifatit/responsif yakni pembentukan aturan yang menunjukkan peranan besar dan partisispasi penuh kelompok sosial atau individu didalam masyarakat Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan keolmpok sosial atau individu dalam masyarakat. Pembentukan aturan dengan partisipasi masyarakat akan mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.Pembentukan aturan ibarat ini dilakukan pada produk aturan yang responsif/populistik. Kedua,
Pembentukan Hukum non partisipatif atau berlawanan dengan aturan responsif, yakni produk aturan ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan–tuntutan kelompok maupun individu-individu didalam masyarakat. Dalam pembuatan hukumnya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Produk aturan konservatif/ortodoks/elitis yakni produk aturan yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah bersifat positivisinstrumentalis yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan jadwal negara. Sedangkan berdasarkan Gebriel A. Almond (1982L 49) bahwa dalam pembentukan aturan diawali dengan persiapan draf (naskah akdemis) aturan perundang-undangan aturan yang hendak dirumuskan. Penyiapan draf (naskah akademis) sanggup melibatkan aneka macam pihak diantaranya Tokoh Masyarakat Cedekiwan,
Akademisi, Staf Ahli selanjutnya akan diproses secara bersama dua forum Negara yaitu Eksekutif dan Legislatif. Rancangan dari forum legislatif akan melahirkan produk aturan yang demokrasi sedangkan Rancangan dari direktur akan melahirkan produk aturan yang adikara dan pacisme. Sehngga perlu adanya proaktif dari forum legislatif dalam mengagas rancangan peraturan perundang-undanga. Lembaga legislatif yang sanggup rancangan produk aturan yang baik jika mempunyai kemampuan pendidikan, kemampuan ekonomi dan politik.
Hukum dalam pembentukannya dipengaruhi beberapa faktor diantaranya, pertama Pilihan bagi suatu pandangan dinamikal atau aturan bertumpu diatas keyakinan bahwa aturan timbul sebagai suatu rancangan (ontwerp) dari suatu situasi tertentu untuk mencapai tujuan Kedua dalam semua kejadian pada asal mula pembentukan aturan terdapat suatu rancangan dari suatu situasi kehidupan faktual menuju kesuatu tujuan non yuridikal ini yakni sautu kepentingan atau suatu nilai yang ingin dipenuhi atau dijamin dimasa depan dengan suatu perikatan atau suatu struktur organisasi singkatnya dengan aturan antara situasi kehidupan faktual dan tujuan yag diproyesikan (Hans Kelsen, 2007: 167).
Uraian teori pembentukan aturan oleh para mahir menandahkan cukup terperinci dalam memahami konsep awal pembentukan hukum. Dimana forum yang mewakili rakyat harus melaksanakan tugasnya dalam pembentukan hukum, dengan senantiasa mengedepankan perilaku pembentukan aturan responsif, Pembentukan aturan ibarat ini akan melahirkan aturan yang sesuai dengan keinginan rakyatnya dan sesuai amanah konstitusi tertinggi atau norma tertinggi.
Hal yang terpenting juga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia, forum pembentukan UU (pemerintah dan DPR) diharus membuka partisipasi masyarakat baik verbal maupun tulisan. UU N0 10 tahun 2004 pasal 53 menunjukkan hak kepada masyarakat untu menunjukkan masukan secara verbal atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pernbahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan kawasan (Pasal 53 UU No 10 tahun 2004). Konsepsi ini merupakan upaya pembentukan aturan di Indonesia sanggup mempunyai aksara partisipatif. Proses pembentukan aturan partisifatit/responsif yakni pembentukan aturan yang menunjukkan peranan besar dan partisispasi penuh kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan keolmpok sosial atau individu dalam masyarakat. Pembentukan aturan dengan partisipasi masyarakat akan mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.Pembentukan aturan ibarat ini dilakukan pada produk aturan yang responsif/populistik. Pembentukan Hukum di Indonesia tidak membuka jalan pembentukan aturan yang non partisipatif atau berlawanan dengan aturan responsif, yakni produk aturan ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan–tuntutan kelompok maupun individu-individu didalam masyarakat.
Dimana dalam pembuatan hukumnya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Produk aturan konservatif/ortodoks/elitis yakni produk aturan yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah bersifat positivis-instrumentalis yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan jadwal negara. Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat dan Presiden dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung semenjak tanggal persetujuan bersama sebagaimana yang termaktub dalam pasal 37 UU No. 10 Th. 2004. berkewajiban mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. Apabila rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut dietujui, rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Dengan demikian, terjadi pergeseran titik berat dari pemerintah kepada dewan perwakilan rakyat sehabis amandamen Undang-Undang Dasar 1945 sedangkan sebelumnya titik berat pembentukan UU yakni pemerintah. Titik berat pembentukan UU dari Pemerintah ke DPR, hal ini sanggup di ketahui dalam pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen.
Hal yang terpenting juga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia, forum pembentukan UU (pemerintah dan DPR) diharus membuka partisipasi masyarakat baik verbal maupun tulisan. UU N0 10 tahun 2004 pasal 53 menunjukkan hak kepada masyarakat untu menunjukkan masukan secara verbal atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pernbahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan kawasan (Pasal 53 UU No 10 tahun 2004). Konsepsi ini merupakan upaya pembentukan aturan di Indonesia sanggup mempunyai aksara partisipatif. Proses pembentukan aturan partisifatit/responsif yakni pembentukan aturan yang menunjukkan peranan besar dan partisispasi penuh kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan keolmpok sosial atau individu dalam masyarakat. Pembentukan aturan dengan partisipasi masyarakat akan mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.Pembentukan aturan ibarat ini dilakukan pada produk aturan yang responsif/populistik.
SUMBER;
Daftar Pustaka
- A. Almond, Gebriel ”Kelompok Kepentingan dan Partai Politik ” dalam Colin Mac Andrews dan Mochtar Mas’oed (ed), 1982, Perbandingan Sistem Politk, Gajah Mada Universty Press Jogyakarta,
- Ahmad Ali, 2002 Menguak Takbir Hukum Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta
- A. Hamid S. Attamimi Undang-Undang Dasar 1945-TAP MPR-Undand-undang “ dalam Padmo Wahyono Masalah Kenegaraan Indonesia Dewasa ini ( Jakarta Ghalia Indonesia 1984
- Irawn Sujito, 1969, Teknik Membuat Undang-Undang. Pradnya Paramita, Jakarta.
- Iman Syaukani, 2004 Dasar-dasar Politik Hukum Rajagrafindo Persada, Jakarta.
- Jimly Asshiddiqie,2010, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
- . Maria Farida,2007, Ilmu Perundang-undangan (Proses dan Teknik Pembentukannya), Kanisius, Yogyakarta.
- Ilmu Perundang-undangan (Jenis dan Materi) Kanisius, Yogyakarta.
- Kaelan, MS,2004 Pendidikan Pancasila Paradigma Yogyakarta
- Kelsen, Hans. 2007 Teori Umum Hukum dan Negara BEE Media Indoneisa Jakarta Moh. Mahfud MD 2006 Politik Hukum Dindonesia LP3ES Jakarta
- Soenobo Wirjosoegito, 2003, Proses & Perencanaan Peraturan Perundangan,Ghali Indonesia, Jakarta . Peraturan Perundang-undangan
- Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan RI