Pengertian Hukuman Atau Pidana Berdasarkan Ahli
Wednesday, June 22, 2022
Edit
Pengertian Sanksi
Pidana ialah suatu hukuman lantaran akibat, lantaran ialah kasusnya dan akhir ialah hukumnya, orang yang terkena akhir akan memperoleh hukuman baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi Pidana merupakan suatu jenis hukuman yang bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang sanggup menggangu atau membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana intinya merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi sikap dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa hukuman pidana diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan insan itu sendiri. Pidana ialah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melaksanakan perbuatan yang memenuhi unsur syarat-syarat tertentu1 , sedangkan Roslan Saleh menegaskan bahwa pidana ialah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik.2
Jenis-jenis Pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Pidana terdiri atas:
A. Pidana Pokok
- pidana mati;
- pidana penjara;
- pidana kurungan;
- pidana denda;
- pidana tutupan.( UU No.20/1946 )
B. Pidana Tambahan
- pencabutan hak-hak tertentu;
- perampasan barang-barang tertentu;
- pengumuman putusan hakim.
Tujuan pemidanaan ialah mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang, tujuan diadakannya pemidanaan diharapkan untuk mengetahui sifat dasar aturan dari pidana. bahwa Dalam konteks dikatakan Hugo De Groot “malim pasisionis propter malum actionis” yaitu penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat. Berdasarkan pendapat tersebut, tampak adanya kontradiksi mengenai tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan atau teori absolute dan mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori tujuan, serta pandangan yang menggabungkan dua tujuan pemidanaan tersebut. Muladi mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theories dan teori adonan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan adonan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang sanggup dibuktikan, keadilan dihentikan melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri, contohnya bahwa penderitaan pidana tersebut dihentikan melebihi ganjaran yang selayaknya diberikan pelaku tindak pidana.3
B. Pengertian Pelaku dan Residivis
Ketentuan Pasal 55 Ayat (1) kitab undang-undang hukum pidana sanggup dirumuskan yang dimaksud dengan pelaku ialah “mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan turut serta melaksanakan perbuatan, dan mereka yang menganjurkan orang lain melaksanakan perbuatan”. Dapat disimpulkan bahwa pelaku ialah setiap orang yang memenuhi semua unsur yang terdapat dalam perumusan tindak pidana. Dalam istilah aturan positif Pengertian pengulangan tindak pidana (residivis) ialah dikerjakannya suatu tindak pidana oleh seseorang sehabis ia melaksanakan tindak pidana lain yang telah mendapat keputusan akhir.4 Artinya, pemberatan pidana terhadap residivis sanggup berlaku apabila ia telah mendapat keputusan aturan yang tetap atas perbuatan yang sama. Adapun sebab-sebab terjadinya pemberatan pidana ialah sebagai berikut:
- Pelakunya ialah orang yang sama.
- Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu keputusan hakim
- Si pelaku sudah pernah menjalani hukuman atau hukuman penjara yang dijatuhkan terhadapnya.
- Pengulangan terjadi dalam waktu tertentu.
Pengertian sehari-hari bahwa seorang residivis ialah seorang yang telah melaksanakan beberapa kali kejahatan lantaran melaksanakan banyak sekali kejahatan. Menurut Satochid Kartanegara residive ialah apabila seseorang melaksanakan beberapa perbuatan, yang merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri, akan tetapi atas salah satu atau lebih perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi hukuman. Ada 2 (dua) arti residivis yaitu berdasarkan masyarakat (sosial), dan dalam arti aturan pidana. Menurut arti yang pertama, masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana, menjalaninya yang kemudian melaksanakan tindak pidana lagi, disini ada pengulangan, tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya. Tetapi residivis dalam arti aturan pidana, yang merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya melaksanakan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan undang-undang. Pada umumnya masyarakat tidak mengetahui bahwa residive tersebut masih sanggup digolongkan dalam beberapa bagian. Oleh karenanya apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana pengulangan. Pada dasarnya residive tersebut digolongkan kedalam 2 bagian, yaitu:
- Residive umum (generale residive); apabila seseorang melaksanakan kejahatan, terhadap kejahatan yang mana telah dijatuhi hukuman, maka apabila ia kemudian melaksanakan kejahatan lagi yang sanggup merupakan bentuk kejahatan apapun, ini sanggup dipergunakan sebagai alasan untuk memperberat hukuman.
- Residive khusus (special residive). apabila seseorang melaksanakan kejahatan, dan terhadap kejahatan itu telah dijatuhi hukuman oleh hakim, kemudian ia melaksanakan kejahatan lagi yang sama (sejenis) dengan kejahatan yang pertama, maka persamaan kejahatan yang dilakukan kemudian merupakan dasar untuk memperberat hukuman.
Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam dukungan atau menjatuhkan pidana dimuat dalam konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di samping itu juga adanya perkembangan pemikiran mengenai teori pemidanaan mengakibatkan tujuan pemidanaan yang ideal. Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana sanggup dibagi menjadi beberapa golongan.
Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana Menurut Ahli;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970&pli=1#editor/target=post;postID=5810647886103171488;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=710;src=link
Dari sudut ilmu pengetahuan aturan pidana, pengulangan tindak pidana dibedakan atas 3 jenis, yaitu:
- Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara lain: Pengertian yang lebih luas yaitu bila mencakup orang-orang yang melaksanakan suatu rangkaian tanpa yang diseiringi suatu penjatuhan pidana/ condemnation. Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melaksanakan kejahatan yang sejenis (homolugus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu contohnya 5 (lima) tahun terhitung semenjak terpidana menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.
- Pengulangan tidak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain:Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang dilakukan merupakan akhir dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya. Habituele recidive yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan lantaran si pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu watak jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya.
- Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana sanggup juga dibedakan atas: Recidive umum, yaitu apabila seseorang melaksanakan kejahatan/ tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian melaksanakan kejahatan/ tindak pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dikenakan pemberatan hukuman.
Recidive khusus, yaitu apabila seseorang melaksanakan perbuatan kejahatan/ tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melaksanakan kejahatan/ tindak pidana yang sama (sejenis) maka kepadanya sanggup dikenakan pemberatan hukuman.
Persolalan perihal pengertian residivis dalam kitab undang-undang hukum pidana Indonesia belum secara terang tertulis tetapi yang ada hanyalah syarat umum yang menyampaikan bahwa seorang itu residivis jikalau terhadap perbuatannya ada ancaman hukuman yang diperberat atau ditambah dengan duapertiganya.
Materi yang diatur dalam Pasal 486. Pasal 487 dan Pasal 488 kitab undang-undang hukum pidana tersebut adalah:
- Pasal 486 kitab undang-undang hukum pidana ialah kejahatan-kejahatan ulangan yang menyangkut harta kekayaan dan penipuan.
- Pasal 487 kitab undang-undang hukum pidana ialah kejahatan-kejahatan ulangan terhadap pribadi.
- Pasal 488 kitab undang-undang hukum pidana ialah kejahatan-kejahatan ulangan yang menyangkut penghinaan.
Dari uraian tersebut sanggup ditegaskan bahwa seorang dikatakan residive, lantaran sudah ada putusan hakim terlebih dahulu. Putusan terlebih dahulu itu akan memilih berat ringannya hukuman yang diberikan dalam putusan gres ini, apakah si penjahat telah menjadi residivis.
C. Ketentuan Tindak Pidana Penyebaran Pornografi Melalui Media Sosial
Istilah tindak pidana gotong royong berasal dari istilah yang terdapat dalam Hukum Belanda yaitu “Straafboar Feit” dan dari bahasa latin delicium atau delik. Para mahir sering memakai istilah-istilah yang berbeda yang dipakai baik dalam perundang-undangan dalam banyak sekali literature aturan sebagai terjemahan dari Straafboar Feit tadi, istilah-istilah yang sering dipakai tersebut ialah :
- Tindak pidana
- Peristiwa hukum
- Delik
- Pelanggaran pidana
- Perbuatan yang boleh dihukum
- Perbuatan yang sanggup dihukum
- Perbuatan pidana5 Secara etimologis pornografi terbentuk dari dua kata yaitu “pornos” yaitu suatu perbuatan asusila (dalam arti yang berafiliasi dengan seksual) atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul, sedangkan “graffiti” atau karya seni lainnya sanggup berupa patung, boneka, gambar, lukisan, puisi, tulisan, dan sebagainya.
Pengertian pornografi ialah penggambaran tingkah laris secara erotis dengan lukisan atau goresan pena untuk membangkitkan nafsu birahi, atau materi bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi.
Ketentuan Pasal 1 ketentuan UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi ialah gambar, ilustrasi, foto, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui banyak sekali bntuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat pencabulan atau eksploitas yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat . Berdasarkan kedua definisi tersebut menyampaikan sebuah pemfokusan pada unsurunsur sebuah pornografi yaitu :
- Penggambaran tingkah laris (melalui gambar, ilustrasi, foto, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan)
- Yang memuat kecabulan atau eksploitasi seks
- Melalui banyak sekali media komunikasi dan/atau disampaikan dimuka umum
- Yang dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Pornografi ini ialah sebagai berikut : Pasal 29 menyatakan :
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, meniru menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjual-belikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling usang 12 (dua belas) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 ( enam miliyar rupiah ).
Media sosial terdiri dari dua kata yaitu media dan sosial, media ialah alat, sarana komunikasi, perantara, atau penghubung sedangkan sosial artinya berkenaan dengan masyarakat atau suka memperhatikan kepentingan umum. Sehingga disimpulkan sebagai alat atau sarana komunikasi masyarakat untuk bergaul.
Media Sosial ialah sebuah media online berbasis internet dengan para penggunannya sanggup dengan gampang berpartisipasi dan berbagi. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ialah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melaksanakan perbuatan aturan sebagaiman diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah aturan Indonesia maupun di luar wilayah aturan Indonesia, yang mempunyai akhir aturan di wilayah aturan Indonesia dan/atau diluar wilayah aturan indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 perihal Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 Ayat (1) menyatakan :
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau menciptakan sanggup diaksesnya informasi Elektronik dan/atau dokumen Eletronik yang mempunyai muatan melanggar kesusilaan. Dilanjutkan dalam Pasal 45 Ayat (1) menyatakan : Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling usang 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur banyak sekali proteksi aturan atas acara yang memanfaatkan teknologi internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur banyak sekali ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di intenet dan masyarakat pada umumnya supaya mendapat kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana
Hakim sebagai pejabat yang diberikan wewenang untuk menyidik serta menetapkan suatu kasus mempunyai kedudukan yang istemewa, lantaran hakim selain sebagai pegawai negeri, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hakim sebagai pegawai negeri digaji oleh pemerintah, akan tetapi ia tidak menjalankan perintah dari pemerintah, bahkan hakim sanggup menghukum pemerintah apabila pemerintah melaksanakan perbuatan yang melanggar hukum. Kekuasaan kehakiman merupakan tubuh yang memilih dan kekuatan kaidahkaidah aturan positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman ialah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 perihal Pokok Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan: Ketentuan Pasal 4 menyebutkan bahwa: 1. Pengadilan mengadili berdasarkan aturan dengan tidak membeda-bedakan orang. 2. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala kendala dari rintangan untuk sanggup tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ketentuan Pasal 6 menjelaskan bahwa:
- Tidak seorang pun sanggup dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undangundang memilih lain.
- Tidak seorang pun sanggup dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan lantaran alat pembuktian yang sah berdasarkan undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap sanggup bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Ketentuan Pasal 7 menjelaskan bahwa: “Tidak seorang pun sanggup dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan berdasarkan cara yang diatur dalam undang-undang.”
Ketentuan Pasal 8 menjelaskan bahwa:
- Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan aturan tetap.
- Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Ada beberapa teori atau pendekatan yang sanggup dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu:
1. Teori keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan ialah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain menyerupai adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.
2. Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang masuk akal bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam kasus pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.
3. Teori pendekatan keilmuan
Titik tolak dari teori ini ialah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim dihentikan semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan aturan dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu kasus yang harus diputuskannya.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang sanggup membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim sanggup mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu kasus pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
5. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok kasus yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok kasus yang disengketakan sebagai dasar aturan dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang terang untuk menegakkan aturan dan menyampaikan keadilan bagi para pihak yang berperkara Pada kenyataannya dalam praktik, walaupun telah bertitik tolak dari sikap-sikap seseorang hakim yang baik, kerangka landasan berfikir atau bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan dalam putusan hakim yaitu : benarkah putusanku ini, jujurkah saya dalam mengambil keputusan, adilkah bagi pihak–pihak yang bersangkutan, bermanfaatkah putusanku ini. Hakim ternyata seorang insan biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekurangan hati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap kurang diperhatikan hakim dalam menciptakan keputusan. Menurut Al. Wisnubroto, ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah:8 1. Faktor Subyektif, yaitu:
- Sikap Perilaku Apriori Hakim sering kali dalam mengadili suatu kasus semenjak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dieksekusi atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini terang bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam kasus pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak (biasanya ialah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini sanggup saja terjadi lantaran hakim terjebak oleh rutinitas penanganan kasus yang menumpuk dan sasaran penyelesaian yang tidak seimbang.
- Sikap Perilaku Emosional Perilaku hakim yang gampang tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan sikap hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu perkara. Hal ini terang sangat besar lengan berkuasa pada hasil putusannya.
- Sikap Arogan (arrogance power) Hakim yang mempunyai sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan bakir melebihi orang lain menyerupai jaksa, penasihat aturan apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali sanggup mempengaruhi keputusannya.
- Moral Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya. 2. Faktor Obyektif, yaitu:
- Latar belakang sosial budaya Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap sikap hakim. Hakim dalam beberapa kajian sosiologis memperlihatkan bahwa hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.
- Profesionalisme Profesionalisme yang mencakup knowledge (pengetahuan, wawasan) dan skills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan duduk kasus profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan isyarat etik di lingkungan peradilan, oleh lantaran itu hakim yang menangani suatu kasus dengan berpegang teguh pada adab profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih sanggup dipertanggungjawabkan.
Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan aturan tetap dan telah dilaksanakan, dijadikan sebagai dokumen yang dinamakan yurisprudensi. Dokumen ini banyak mengandung nilai-nilai aturan yang telah diharapkan dan bahkan tidak sedikit yang berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, agama, adab dan filsafat hukum. Pada hakekatnya dengan adanya pertimbangan–pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi aturan (van rechtswege nietig atau null and void) lantaran kurang pertimbangan hukum. Selanjutnya setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum
SUMBER / CATATAN KAKI :
- 1 Tri Andrisman, Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, BandarLampung, Unila, 2009, hlm.8 2 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 81
- 3 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni, 2008, hlm.25 4 R. Soenarto Suerodibroto, kitab undang-undang hukum pidana dan KUHAP, Jakarta, Raja Grafindo, 2004, hlm.310
- 5 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm.14 6 Neng Djubaedah, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi : Perspektif Negara Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm.3
- 7 Ahmad Rifai. Op. Cit., hlm.102
- 8 Al. Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1997, hlm. 88