Pengertian Aturan Pidana Berdasarkan Para Ahli

Pengertian Hukum Pidana berdasarkan Para Ahli
Merumuskan aturan pidana ke dalam rangakaian kata untuk sanggup menawarkan sebuah pengertian yang komprehensif wacana apa yang dimaksud dengan aturan pidana ialah sangat sukar. Namun setidaknya dengan merumuskan aturan pidana menjadi sebuah pengertian sanggup membantu menawarkan gambaran/deskripsi awal wacana aturan pidana. Banyak pengertian dari aturan pidana yang diberikan oleh para andal aturan pidana diantaranya ialah sebagai berikut:

W.L.G. Lemaire 
Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusankeharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu hukuman berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian sanggup juga dikatakan, bahwa aturan pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang memilih terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melaksanakan sesuatu atau tidak melaksanakan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melaksanakan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana aturan itu sanggup dijatuhkan, serta eksekusi yang bagaimana yang sanggup dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.

Simons 
Menurut Simons aturan pidana itu sanggup dibagi menjadi aturan pidana dalam arti objek tif atau strafrecht in objectieve zin dan aturan pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin. Hukum pidana dalam arti objek tif ialah aturan pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai aturan positif atau ius poenale. 2 Simons merumuskan aturan pidana dalam arti objek tif sebagai:
  • Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati; 
  • Keseluruhan peraturan yang tetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan; 
  • Keseluruhan ketentuan yang menawarkan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.

W.F.C. van Hattum 
Hukum pidana ialah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturanperaturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat aturan umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban aturan umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar aturan dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturanperaturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.

Moeljatno 
Hukum pidana ialah bab daripada keseluruhan aturan yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai bahaya atau hukuman yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut; 
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu sanggup dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan; 
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu sanggup dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Van Kan 
Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma gres dan tidak menjadikan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan bahaya pidana dan pemidanaan. Hukum pidana menawarkan hukuman yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma aturan yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya ialah aturan hukuman (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht).

Pompe 
Hukum pidana ialah semua aturan-aturan aturan yang memilih terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.

Hazewinkel-Suringa 
Hukum pidana ialah sejumlah peraturan aturan yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.

Adami Chazawi Hukum pidana itu ialah bab dari aturan publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang: 
  • Aturan umum aturan pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melaksanakan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan bahaya hukuman berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu; 
  • Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk sanggup dijatuhkannya hukuman pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya;
  • Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar aturan pidana dalam rangka perjuangan negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar aturan tersebut dalam perjuangan melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan aturan pidana tersebut.
Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,11 bahwa aturan pidana adab pun yang tidak dibentuk oleh negara atau political authority masih menerima daerah dalam pengertian aturan pidana. Hukum adab tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya aturan adab di Indonesia hingga ketika ini tidak sanggup dipungkiri, dengan demikian maka perumusan aturan pidana ialah bab dari aturan positif yang berlaku di suatu negara dengan memperhatikan waktu, daerah dan bab penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan keharusan dan kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menentukan pula bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertanggungjawabkan, serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyidikan, penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya aturan yang bertitik berat kepada keadilan. Perumusan ini meliputi juga aturan (pidana) adat, serta bertujuan mengadakan keseimbangan di antara pelbagai kepentingan atau keadilan.

Sejauhmana aturan (pidana) adab tercakup atau berperan menghipnotis aturan pidana yang telah diatur dalam perundang-undangan, banyak tergantung kepada penghargaan nilai-nilai luhur yang merupakan kesadaran aturan masyarakat (setempat), masih/tidaknya aturan adab diakui oleh undang-undang negara, maupun kepada sejauh mana aturan (pidana) adab masih dianggap sejalan atau ditolerir oleh falsafah Pancasila dan undang-undang yang berlaku. Ketergantungan yang disebut terakhir ialah merupakan pembatasan mutlak terhadap penerapan aturan (pidana) adat. Dengan demikian gotong royong asas legalitas masih tetap dianut atau dipertahankan, hanya dalam beberapa hal ada pengecualian. Dalam hal terdapat kontradiksi antara aturan (pidana) adab dengan undang-undang yang berlaku, maka hakim sebagai figur utama untuk menuntaskan suatu pertikaian/perkara banyak memegang peranan. Hakim dianggap mengenal hukum. Hakim wajib mencari dan menemukan hukum. Hakim memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, alasannya itu hakim sebagai insan yang pandai dan bijaksana, yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh menolak memberi keadilan.

Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut sanggup diambil citra wacana aturan pidana, bahwa aturan pidana setidaknya merupakan aturan yang mengatur tentang: 
  1. Larangan untuk melaksanakan suatu perbuatan; 
  2. Syarat-syarat semoga seseorang sanggup dikenakan hukuman pidana; 
  3. Sanksi pidana apa yang sanggup dijatuhkan kepada seseorang yang melaksanakan suatu perbuatan yang dihentikan (delik); 
  4. Cara mempertahankan/memberlakukan aturan pidana. 

SUMBER ARTIKEL;
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990),  P.A.F. Lamintang, Op.Cit.
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), h. 1-2. 

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002)

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM- PTHM, 1982), h. 15-16.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel