Makalah Paradigma Revolusi Sains

PARADIGMA REVOLUSI SAINS
Abstract
Kuhn beropini bahwa kemajuan ilmu itu pertama-tama bersifat revolusioner dan tidak bersifat evolusioner atau komulatif. Kesemuanya itu dimulai dengan adanya “paradigma”. Menurutnya ilmu yang sudah matang, dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma ini berfungsi sebagai pembimbing kegiatan ilmiah dalam masa Normal Sains yang mana ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan membuatkan paradigma secara rinci dan mendalam lantaran tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Paradigma diterima oleh suatu kelompok masyarakat ilmiah jika paradigma itu mewakili karya yang telah dilakukannya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejarah, jika dipandang lebih sebagai khasanah daripada sebagai kronologi, sanggup menghasilkan transformasi yang menentukan dalam gambaran sains yang merasuki kita sekarang. Citra itu telah dibentuk sebelumnya , bahkan oleh para ilmuwan sendiri, terutama dari studi wacana pencapaian ilmiah yang tuntas menyerupai yang direkam dalam karya-karya klasik dan, yang lebih baru, dalam buku-buku teks yang dipelajari oleh setiap generasi ilmuwan yang gres untuk mempraktekkan kejujurannya.
Namun, dari sejarah pun konsep yang gres itu tidak akan tiba jika data-data historis masih terus dicari dan diteliti dengan cermat terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh stereotip yang tidak historis dan diambil dari buku-buku teks sains. Jika sains itu kontelasi fakta, teori dan metode yang dihimpun dalam buku-buku tesk yang ada sekarang, maka para ilmuwan yakni orang-orang yang berhasil atau tidak, berusaha untuk menyumbangkan suatu unsur kedalam konstelasi tertentu itu. Perkembang sains menjadi suatu proses timbunan yang semakin membesar yang membentuk tekhnik dan pengetahuan sains.

Tetapi dalam tahun-tahun belakangan ini beberapa sejarahwan sains beropini bahwa memenuhi fungsi yang diberikan kepada mereka oleh konsep perkembangan dengan akumulasi itu semakin bertambah sulit. Sebagai pencatat rangkain proses pertambahan mereka menemukan bahwa riset komplemen itu mengakibatkan lebih sukar, bukan lebih mudah, untuk menjawab pertanyaan seperti: kapan oksigen ditemukan ? siapa yang pertama kali menemukan konsep wacana penghematan energi?

Penemuan gres dalam teori juga bukan satu-satunya insiden ilmiah yang mempunyai dampak revolusioner terhadap para spesialisasi yang daerahnya menjadi tempat terjadinya insiden itu. Komitmen –komitmen yang menguasai sains yang normal juga tidak hanya memutuskan jenis-jenis maujud (entity) apa yang dikandung oleh alam semesta, tetapi juga, dengan implikasi, maujud-maujud yang tidak dikandungnya

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Paradigma Revolusi Sains
2.1.1 Pengertian Paradigma
Paradigma Revolusi Sains berasal dari tiga kata yaitu Paradigma, Revolusi dan Sains atau Ilmu pengetahuan. Paradigma itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “Para” yang berarti isamping, di sebelah dan dikenal, sedangkan diegma berarti berarti suatu model, teladan, arketif dan ideal. Kaprikornus secara etimologi arti paradigma yakni satu model dalam teori ilmu pengetahuan atau kerangka pikir. Sedangkan secara terminologis arti paradigma yakni konstruk berpikir berdasarkan pandangan yang menyeluruh dan konseptual terhadap suatu permasalahan dengan memakai teori formal, eksperimentasi dan metode keilmuan yang terpecaya.

2.1.2 Pengertian Revolusi
Revolusi yakni proses menjebol tatanan usang hingga ke akar-akarnya, kemudian menggantinya dengan tatanan yang gres sama sekali. 

Pada ketika masyarakat terbagi kedalam dua kelompok, yang satu berusaha mempertahankan konstelasi kelembagaan yang usang dan yang lain berupaya mendirikan yang baru. Dan jika polarisasi itu terjadi, maka penyelesaian secara politis gagal. Karena mereka berselisih wacana matrik kelembagaan tempat mencapai dan menilai perubahan politik, lantaran tidak ada supraintitusional yang diakui oleh mereka untuk mengadili perselisihan revolusioner ini memakai proteksi tehnik-tehnik persuasi massa, seringkali dengan melibatkan kekuatan. Meskipun revolusi mempunyai tugas yang vital dalam evolusi lembaga-lembaga politik, tugas ini bergantung pada apakah revolusi itu merupakan insiden yang sebagian ekstrapolitis dan ekstraintitusional. 

dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi daripada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga tehnik-tehnik argumentasi persuasif dan efektif didalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains itu. Sesuatu yang bahkan lebih mendasar daripada standar-standar dan nilai-nilai, bagaimanapun juga dipertaruhkan. 

2.1.3 Pengertian Sains atau Ilmu Pengetahuan
Pengertian ilmu berdasarkan beberapa hebat yakni sebagai berikut :
Ashley Montagu menyebutkan bahwa “Science is a systemized knowledge services form observation, study, and experiment carried on under determine the nature of principles of what being studied.” (ilmu pengetahuan yakni pengetahuan yang disusun dalam suatu system yang berasal dari pengamatan, studi dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan prinsip hal yang sedang dipelajari). 

Harold H. Titus mendefinisikan “Ilmu (Science) diartikan sebagai common sense yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan memakai metode-metode observasi yang teliti dan kritis). 

Kaprikornus Paradigma Revolusi Sains yakni Perubahan mendasar yang merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma usang diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma gres yang ber-tentangan, lantaran adanya fakta-fakta ilmiah yang tidak sesuai dengan kenyataan.

2.2 Siklus Paradigma Revolusi Sains 
Istilah paradigma menjadi begitu popular sehabis diintroduksikan oleh ThomasKuhn melalui bukunya The Structure of Scientific Revolution yang membicarakan wacana Filsafat Sains. Khun menjelaskan bahwa Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode,prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh suatu masyarakatilmiah pada suatu tertentu. Apabila suatu cara pandang tertentu menerima tantangan dari luar atau mengalami krisis (“anomalies”), kepercayaan terhadap cara pandang tersebut menjadi luntur, dan cara pandang yang demikian menjadi kurang berwibawa,pada ketika itulah menjadi membuktikan telah terjadi pergeseran paradigma. Untuk lebih jelasnya berikut diuraikan siklus revolusi sains berdasarkan Kuhn adalah: Paradigma awal, Normal Sains, Anomali, Krisis, Revolusi Sains, Paradigma Baru

2.2.1 Paradigma Awal
Paradigma pada ketika pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya lantaran lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah yang mulai diakui oleh kelompok ilmuwan bahwa masalah-masalah itu rawan, maka ilmuwan dalam hal ini bersaing mengumpulkan fakta tanpa menghiraukan kaidah-kaidah teoritisnya. Pada tahap ini terdapat sejumlah aliran yang saling bersaing, tetapi tidak ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara umum. Namun perlahan-lahan salah satu sistem yang teoritikal mulai memperoleh penerimaan secara umum dan dengan itu paradigma pertama sebuah disiplin terbentuk, dan dengan terbentuknya paradigma itu kegiatan ilmiah sebuah disiplin memasuki periode Normal Sains.

Konsep sentral Kuhn yakni apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam banyak sekali keterangannya sering berubah konteks dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan sains normal, yang oleh Kuhn di maksudkan untuk mengemukakan bahwa beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima (yaitu contoh-contoh yang bahu-membahu meliputi dalil, teori, penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah. Atau ia dimaksudkan sebagai kerangka rujukan yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.

Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan berkesempatan membuatkan secara rinci dan mendalam, lantaran tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai banyak sekali fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang usang sambil memperluas cara-cara itu atau membuatkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah. 

Keberhasilan sebuah paradigma semisal analisis Aristoteles mengenai gerak, atau perhitungan Ptolemaeus wacana kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada mulanya sebagian besar yakni janji akan keberhasilan yang sanggup ditemukan contoh-contoh pilihan dan yang belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan. Dalam perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidak berhasilan teori Ptolemaeus betul-betul terungkap ketika muncul paradigma gres dari Copernicus. Ptolemeus menyampaikan bahwa bumi tidak bergerak, matahari dan bintang-bintanglah yang bergerak mengelilingi bumi. Saat itu para tokoh agama dan dosen-dosen universitas di seluruh Italia mengganggap fatwa Aristoteles dan Ptolemeus yakni fatwa yang paling benar. Karena, mereka salah menafsirkan sepenggal ayat yang tedapat dalam Kitab Suci. Sementara itu, Galileo tetap mempertahankan teorinya dan mendukung teori Copernicus yang menyampaikan bahwa matahari yakni pusat tata surya. Akibatnya, ia ditangkap para tokoh agama, diadili, dan dijatuhi eksekusi sebagai tahanan rumah. Galileo meninggal pada usia 78 tahun di Arcetri pada tanggal 8 Januari 1642 lantaran demam. Namun, meskipun demikian teori-teorinya tetap digunakan seluruh orang di dunia hingga kini.

Contoh Kasus Paradigma Awal
Contoh lain wacana hal ini yakni teori abiogenesis yang diungkapkan oleh Aristoteles dianggap sebagai paradigma lantaran ketika itu ada sebagian ilmuan yang memang mendukung Teori Abiosgebesis. Tokoh teori Abiogenesis yakni Aristoteles (384-322 SM). Dia yakni seorang filosof dan tokoh ilmu pengetahuan Yunani Kuno. Teori Abiogenesis ini menyatakan bahwa makhluk hidup yang pertama kali menghuni bumi ini berasal dari benda mati. Sebenarnya Aristoteles mengetahui bahwa telur-telur ikan apabila menetas akan menjadi ikan yang sifatnya sama menyerupai induknya. Telur-telur tersebut merupakan hasil perkawinan dari induk-induk ikan. Walau demikian, Aristoteles berkeyakinan bahwa ada ikan yang berasal dari Lumpur.

Bagaimana cara terbentuknya makhluk tersebut ? Menurut pengzanut paham abiogenesis, makhluk hidup tersebut terjadi begitu saja atau secara spontan. Oleh lantaran itu, paham atau teori abiogenesis ini disebut juga paham generation spontaneae. Jadi, kalau pengertian abiogenesis dan generation spontanea kita gabungkan, mak pendapat paham tersebut yakni makhluk hidup yang pertama kali di bumi tersebut dari benda mati / tak hidup yang terkjadinya secara spontan, contohnya :

  1. ikan dan katak berasal dari Lumpur.
  2. Cacing berasal dari tanah
  3. Belatung berasal dari daging yang membusuk.
Paham abiogenesis bertahan cukup lama, yaitu sejak zaman Yunani Kuno (Ratusan Tahun Sebelum Masehi) hingga pertengahan kurun ke-17. Pada pertengahan kurun ke-17, Antonie Van Leeuwenhoek menemukan mikroskop sederhana yang sanggup digunakan untuk mengamati benda-benda asing yang amat kecil yang terdapat pada setetes air rendaman jerami. Oleh para pendukung paham abiogenesis, hasil pengamatan Antonie Van Leeuwenhoek ini seperti memperkuat pendapat mereka wacana kevalaidan teori Abiogenesis. Pendukung lainnya yaitu Jhon Needham (kehidupan berasal dari kaldu), Van Helment (tikus berasal dari biji dan karung)

Transformasi-transformasi paradigma semacam ini yakni revolusi sains, dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, yakni pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.

2.2.2 Normal Sains
Kuhn menyebut Normal Sains sebagai suatu kegiatan penelitian yang secara teguh berdasarkan satu atau lebih pencapaian ilmiah di masa kemudian yakni pencapaian-pencapaian yang oleh komunitas ilmiah pada suatu masa dinyatakan sebagai pemberi landasan untuk praktek selanjutnya. Normal Sains mempunyai dua esensi yakni: 

  1. Pencapaian ilmiah itu cukup gres sehingga menarik para praktisi ilmu dari banyak sekali aliran, menjalankan kegiatan ilmiah, maksudnya dihadapkan pada banyak sekali alternatif cara menjalankan kegiatan ilmiah. Sebagian besar praktisi ilmu cenderung untuk menentukan dan mengacu pada pencapaian itu dalam menjalankan kegiatan ilmiah mereka.
  2. Pencapaian itu cukup terbuka sehingga masih terdapat banyak sekali masalah yang memeprlukan penyelesaian oleh praktisi ilmu dengan mengacu pada pencapaian-pencapaian itu. Kuhn beropini bahwa kemajuan ilmu itu pertama-tama bersifat revolusioner dan tidak bersifat evolusioner atau komulatif. 
Normal Sains bekerja berdasarkan paradigma yang dianut atau yang berlaku, oleh lantaran itu intinya penelitian normal tidak dimaksudkan untuk pembaharuan besar melainkan hanya untuk mengartikulasi paradigma itu. Kegiatan ilmiah Normal Sains hanya bertujuan untuk menambah lingkup dan presisi pada bidang-bidang yang terhadapnya oaradigma tersebut sanggup diaplikasikan. Oleh lantaran itu, sebagai “an attempt to force nature into the performed and relatively inflexible box that the paradigm supplies”.Jadi Normal Sains yakni jenis kegiatan ilmiah yang sangat restriktif dan manfaatnya yakni bahwa kegiatan ilmiah yang demikian

itu akan semakin memperlihatkan hasil yang mendalam. Para ilmuwan dalam Normal Sains biasanya bekerja dalam kerangka seperangkat hukum yang sudah dirumuskan secara terperinci berdasarkan paradigm dalam bidang tertentu, sehingga intinya solusinya sudah sanggup diantisipasi terlebih dahulu. Dengan demikian, kegiatan ilmiah dalam kerangka ilmu noprmal yakni menyerupai kegiatan “puzzle solving”. Implikasinya yakni bahwa kegagalan menghasilkan suatu solusi terhadap masalah tertentu lebih mencerminkan tingkat kemampuan ilmuwannya ketimbang sifat dari masalah yang bersangkutan atau metode yang digunakan.

Contoh Kasus Normal Sains “ Teori Abiogenesis”
Perkembangan sains yang terus berlangsung para ilmuan berusaha untuk memperoleh Normal Sains dari teori Abiogenesis tersebut yang sempat bertahan berabad-abad.

2.2.3 Anomali dan Munculnya Penemuan Baru
Walaupun Normal Sains itu yakni kegiatan komulatif (menambah pengetahuan) dalam bidang yang batas-batasnya ditentukan oleh paradigm tertentu, namun dalam perjalanan kegiatan sanggup menimbulkan hasil yang tidak diharapkan. Maksudnya dalam kegiatan ilmiah itu sanggup timbul penyimpangan, yang oleh Kuhn disebut anomali. Terbawa oleh sifatnya sendiri yakni oleh batasbatas yang ditetapkan oleh paradigma, Normal Sains akan mendorong para ilmuwan pemprakteknya menyadari adanya anomali, yakni hal gres atau pertanyaan yang tidak tercover atau terliputi oleh kerangka paradigma yang bersangkutan yang tidak terantisipasi berdasarkan paradigma yang menjadi pola kegiatan ilmiah. Adanya anomali ini merupakan prasyarat bagi inovasi gres yang kesannya sanggup mengakibatkan perubahan paradigma. Mengenali dan mengakui adanya anomali memerlukan waktu yang lama, dan biasanya terjadi resistensi terhadap anomali itu. Jika inovasi gres sanggup menangani anomali tertentu, maka akan terjadi adaptasi kecil pada paradigma. Penyesuaian yang demikian itu biasanya hanya mempengaruhi sekelompok seorang hebat yang bekerja dalam bidang khusus tertentu tempat pertama kali ditemukannya anomali itu. 

Tetapi dari waktu ke waktu sejumlah anomaly terjadi dalam lingkungan Normal Sains tertentu yang membuat semacam krisis sedemikian rupa sehingga kegiatan “puzzle solving” biasa tidak sanggup dijalankan, hal ini sanggup membawa akhir yang besar terhadap komunitas ilmiah yang bersangkutan. Adanya anomali yang krisis itu kemudian mengakibatkan perilaku para ilmuwan terhadap paradigma yang berlaku, berubah dan sesuai dengan itu sifat penelitian mereka juga berubah. Kesemuanya itu yakni “symptoms of a transitions from normal to extradinary research”. Extradinary research ini membuat pentas bagi kemungkinan berlangsungnya revolusi ilmiah yang menumbuhkan suatu paradigma gres berkenaan dengan akseptalibitasnya. Jika paradigma gres itu diterima oleh komunitas ilmiah, maka hal itu berarti bahwa paradigma terdahulu ditolak atau ditinggalkan. Paradigma yang gres akan diterima sebagai pengganti yang lama, jika paradigma gres itu bisa memperlihatkan penyelesaian terhadap anomali yang ditemukan dan tidak terselesaikan dalam kerangka paradigma lama, mempunyai lebih banyak prefisi kuantitatif dan sanggup meramalkan fenomena baru, mempunyai kualitas estetika tertentu atau didukung oleh sejumlah anggota komunitas yang berpengaruh. Diterimanya paradigma gres berarti terbentuk Normal Sains gres yang akan berkembang hingga terjadi lagi revolusi ilmiah. Demikianlah bahwa dalam dinamika kegiatan ilmiah, para ilmuwan sanggup menyadari adanya peningkatan anomali yang penyelesaiannya menyimpang dari paradigma yang berlaku.

Anomali dan penyelesaiannya mulai dipandang sebagai eksemplar baru. Telaah terhadap lembaran gres ini mempunyai dampak umpan balik terhadap kerangka interpretasi paradigmatik. Asimilasi teori gres yang ditimbulkannya memerlukan rekonstruksi teori sebelumnya dan penilaian ulang terhadap fakta sebelumnya dan dengan itu terjadilah “paradigm shifts” (pergantian paradigma). Perubahan paradigma itu menimbulkan banyak sekali perubahan dalam kegiatan ilmiah. Hal itu akan menimbulkan redefinisi ilmu yang bersangkutan. Beberapa masalah dinyatakan sebagai masalah yang termasuk dalam disiplin lain atau dinyatakan bukan masalah ilmiah lagi. Dengan demikian, yang sebelumnya dianggap bukan masalah atau hanya masalah kecil, kini menjadi masalah pokok. Standar dan kriteria untuk menentukan keabsahan masalah dan keabsahan solusi masalah dengan sendirinya juga berubah. Secara umum sanggup dikatakan bahwa perubahan paradigma itu membawa transformasi dalam “ the scientific imagination” dan dengan itu juga terjadi “transformation of the world.

Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang bertujuan untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari pembenaran. Bila paradigmanya tidak sanggup digunakan untuk memecahkan problem penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma gres harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada inovasi paradigma baru, dan jika inovasi gres ini berhasil, maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.

Penemuan gres bukanlah peristiwa-peristiwa yang tersaing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan legalisasi bahwa alam dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir bila teori atau paradigma itu telah diubahsuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi sesuai dengan yang diharapkan. Kaprikornus yang jelas, dalam inovasi gres harus ada adaptasi antara fakta dengan teori yang baru.

Contoh Kasus Anomali Sains yakni Tentang “Teori Abiogenesis”

Dalam perkembangannya sebagian Ilmuan tidak merasa puas dan meragagukan kevalidan teori abiogenesis dan untuk menghilangkan keraguan tersebut sebagian ilmuan membuat percoban sendiri menyerupai Francesco Redi (Italia, 1626-1799) . Berikut percobaan yang dilakukan Francesco Redi.

Percobaan Francesco Redi ( 1626-1697)
Untuk menjawab keragu-raguannya terhadap paham abiogenesis, Francesco Redi mengadakan percobaan. Pada percobaannya Redi memakai materi tiga kerat daging dan tiga toples. Percobaan Redi selengkapnya yakni sebagai berikut :
  • Stoples I : diisi dengan sekerat daging, kemudian ditutup rapat-rapat.
  • Stoples II :diisi dengan sekerat daging, kemudian ditutup dengan kain kasa
  • Stoples III : disi dengan sekerat daging,kemudian dibiarkan tetap terbuka.
Selanjutnya ketiga stoples tersebut diletakkan pada tempat yang aman. Setelah beberapa hari, keadaan daging dalam ketiga stoples tersebut diamati. Dan hasilnya sebagai berikut:

  • Stoples I : daging tidak busuk dan pada daging ini tidak ditemukan jentik / larva atau belatung lalat.
  • Stoples II : Daging tampak membusuk tetapi belatungnya relative sedikit dari pada diatas kain kasa penutup
  • Stoples III : daging tampak membusuk dan didalamnya ditemukan banyak larva atau belatung lalat.
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, Francesco redi menyimpulkan bahwa larva atau belatung yang terdapat dalam daging busuk di stoples II dan III bukan terbentuk dari daging yang membusuk, tetapi berasal dari telur lalat yang ditinggal pada daging ini ketika lalat tersebut hinggap disitu. Hal ini akan lebih terperinci lagi, apabila melihat keadaan pada stoples II, yang tertutup kain kasa. Pada kain kasa penutupnya ditemukan lebih banyak belatung, tetapi pada dagingnya yang membusuk belatung relative sedikit.

2.2.4 Krisis Sains
Perubahan yang melibatkan penemuan-penemuan ini semuannya destruktif dan sekaligus konstruktif. Namun inovasi atau bukan, satu-satunya sumber paradigma destruktif – kostruktif ini berubah. Kita akan mulai meninjau perubahan yang serupa, tetapi biasanya lebih luas, yang disebabkan oleh penciptaan teori-teori baru. Kita asumsikan bahwa krisis merupakan prakondisi yang diharapkan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Meskipun mereka mungkin kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan alternatif-alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis. Artinya mereka tidak melaksanakan anomali-anomali sebagai masalah pengganti meskipun dalam perbendaharaan kata filsafat sains demikian adanya.

Akan tetapi, ini memang berarti-apa yang kesannya akan menjadi masalah pokok – bahwa tindakan mempertimbangkan yang mengakibatkan para ilmuwan menolak teori yang semula diterima itu selalu didasarkan atas lebih daripada perbandingan teori itu dengan dunia. Putusan untuk menolak sebuah paradigma selalu sekaligus merupakan putusan untuk mendapatkan yang lain, dan pertimbangan yang mengakibatkan putusan itu melibatkan perbandingan paradigma-paradigma dengan alam maupun satu sama lain. Sains yang normal berupaya dan harus secara berkesinambungan berupaya membawa teori dan fakta kepada kesesuaian yang lebih dekat, dan kegiatan itu sanggup dengan gampang dilihat sebagai penguji atau pencari pengukuhan dan falsifikasi. Ini berarti bahwa jika suatu anomali akan menimbulkan krisis, biasanya harus lebih daripada sekadar sebuah anomali. Selalu ada kesulitan dalam kecocokan paradigma alam; kebanyakan diantara cepat atau lambat diluruskan, seringkali dengan proses-proses yang mungkin tidak diramalkan. Kadang-kadang sains yang normal kesannya ternyata bisa menangani masalah yang membangkitkan krisis meskipun ada keputusan pada mereka yang melihatnya sebagai final dari suatu paradigma yang ada. 

Transisi dari paradigma dalam krisis kepada paradigma gres yang daripadanya sanggup muncul dari tradisi gres sains yang normal itu jauh dari proses kumulatif yang dicapai dengan artikulasi atau ekspansi paradigma yang lama. antisipasi sebelumnya bisa membantu kita mengenal krisis sebagai pendahuluan yang sempurna bagi munculnya teori-teori baru, terutama lantaran kita telah meneliti versi kecil-kecilan dari proses yang sama dalam membahas munculnya sebuah penemuan. Paradigma gres sering muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio, sebelum krisis berkembang jauh atau telah diakui dengan tegas. Bertambah banyaknya artikulasi yang bersaingan, kesediaan untuk mencoba apapun, pengungkapan ketidakpuasan yang nyata, semuannya merupakan tanda-tanda transisi dari riset yang normal kepada riset istimewa. Gagasan sains yang normal lebih bergantung eksistensi semua ini ketimbang pada revolusi-revolusi.

2.2.5 Revolusi Sains
Kemudian revolusi sains muncul lantaran adanya anomali dalam riset ilmiah yang makin parah dan munculnya krisis yang tidak sanggup diselesaikan oleh paradigma usang yang menjadi rujukan riset. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang usang sambil memperluas cara-cara itu atau membuatkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi sains. 

Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma usang diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma gres yang ber-tentangan. Transformasi-transformasi paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, yakni pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Jalan revolusi sains menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan 

Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang gres dan berbeda ketika memakai instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke tempat lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda, berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal. Ilmuwan yang tidak mau mendapatkan paradigma gres sebagai landasan risetnya, dan tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak menerima dukungan dari lebih banyak didominasi masyarakat sains, maka acara risetnya tidak berkhasiat sama sekali.

Revolusi sains di sini dianggap sebagai episode perkembangan non-kumulatif yang di dalamnya paradigma yang usang diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma gres yang bertentangan. Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau mendapatkan paradigma baru. Dan ini menimbulkan masalah sendiri yang memerlukan pemilihan dan legitimasi paradigma yang lebih definitif.

Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh lantaran itu permasalahan paradigma sebagai akhir dari revolusi sains, hanyalah sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan akademisi dan atau masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma gres itu diterima oleh lebih banyak didominasi masyarakat sains, maka revolusi sains kian sanggup terwujud.

Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang gres dan berbeda dengan ketika memakai instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke tempat lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal

Kalaupun ada ilmuwan yang tidak mau mendapatkan paradigma gres sebagai landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak menerima dukungan lagi dari lebih banyak didominasi masyarakat sains, maka aktivitas-aktivitas risetnya hanya merupakan tautologi, yang tidak berkhasiat sama sekali.

Contoh Kasus Revolusi wacana “Teori Abiogenesis”

Untuk mengatasi dari krisis yang berkepanjangan tersebut, para ilmuan kembali mencari kevalidan. Ilmuwan yang tidak menerima kepuasan wacana pemahaman kehidupan dari berasal benda mati ataupun dari mahluk hidup. Ilmuan mencari kevalidan tersebut dengan memakai cara-cara usang dan membuatkan paradigma yang menjadi tandingannya. Dan berupaya memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Dengan hasil temuannya sanggup suatu kesimpulan bahwa Kehidupan berasal dari benda hidup (makhluk hidup) bersel satu yang berubah menjadi makhluk hidup yang lebih kompleks (evolusi biologi), dan mahluk bersel satu tersebut terbentuk oleh evolusi kimia. Unsure-unsur yang terkandung dalam makhluk hidup (bahan organic; asam amino, lipid, dll) persis sama dengan apa yang terdapat dialam yang telah mengalami evolusi kimia. Pendapat evolusi kimia ini banyak pendukungnya lantaran lebih logis dan dpat diuji secara eksperimental. Pada masa ini terjadi revolusi, paham yang menyatakan bahwa kehidupan berasal dari benda mati (kaldu, jerami, dll) kevalidan sudah berkurang dan banyak ilmuan lebih menyetujui bahwa kehidupan berasal dari benda hidup.

2.2.6 Paradigma Baru
Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau mendapatkan paradigma gres dan ini menimbulkan masalah sendiri. Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkap bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita harus meneliti dampak sifat dan dampak logika juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh lantaran itu per-masalahan paradigma sebagai akhir dari revolusi sains, hanya sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma gres itu diterima oleh lebih banyak didominasi masyarakat sains, maka revolusi sains kian sanggup terwujud. 

Kesemuanya itu dimulai dengan adanya “paradigma”. Menurutnya ilmu yang sudah matang, dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma ini berfungsi sebagai pembimbing kegiatan ilmiah dalam masa Normal Sains yang mana ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan membuatkan paradigma secara rinci dan mendalam lantaran tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Paradigma diterima oleh suatu kelompok masyarakat ilmiah jika paradigma itu mewakili karya yang telah dilakukannya. Paradigma Baru memperoleh status karena:

  1. Berhasil memecahkan masalah-masalah dalam praktek
  2. Memperluas pengetahuan wacana fakta-fakta yang oleh paradigma diperlihatkan sebagai pembuka pikiran
Kaprikornus dengan memakai istilah paradigma itu, Kuhn hendak menunjuk sejumlah contoh praktek ilmiah kasatmata yang diterima atau diakui di lingkungan komunitas ilmiah, menyajikan model-model yang mendasarkan lahirnya tradisi ilmiah yang terpadu. Contoh praktek ini meliputi dalil-dalil, teori penerapan dan instrumentasi. Dengan demikian para ilmuwan yang penelitiannya didasarkan pada paradigma yang sama yang intinya terikat pada hukum dan standar yang sama pula dalam mengemban ilmunya. Keterikatan pada hukum dan standar ini yakni prasyarat bagi adanya Normal Sains. Kaprikornus secara umum sanggup dikatakan bahwa paradigma itu yakni tanda-tanda atau cara pandang atau kerangka berpikir yang mendasarkan fakta atau tanda-tanda disinterpretasi dan dipahami. Hanya masalah yang memenuhi kriteria yang diderifiasi dari paradigma saja yang sanggup disebut masalah ilmiah yang layak digarap oleh ilmuwan. Dengan demikian maka paradigma menjadi sumber keterpaduan bagi tradisi penelitian yang normal. Aturan penelitian diderivasi dari paradigma namun berdasarkan Kuhn, tanpa adanya hukum ini paradigma saja sudah cukup untuk membimbing penelitian. Kaprikornus ilmuwan normal sebenarnya,tidak terlalu memerlukan hukum atau metode yang standar (yang disepakati oleh komunitas ilmiah

BAB III 
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Thomas Kuhn mengingatkan kita bahwa ada soal penelitian dalam rasionalitas ilmiah itu yang sebetulnya sangat ambigu. Rasionalitas ilmiah itu kesannya bukanlah semata-mata kasus induksi atau deduksi atau juga rasionalitas demonstratif yang berkulminasi pada representasi teoritis kenyataan obyektif, melainkan intinya lebih dari kasus interpretasi dan persuasi yang cenderung bersifat subyektif.

Oleh lantaran itu segala yang dikatakan oleh ilmu wacana dunia dan kenyataan sebetulnya erat terkait pada paradigma dan model atau sketsa interpretasi tertentu yang digunakan oleh ilmuwannya. Cara ilmuwan memandang dunia sesuai dengan apa yang dilihatnya. Paradigma yang mendasari konstruksi itu diterima oleh komunitas para ilmuwan, bukan lantaran ilmuwan itu tahu bahwa itu benar, melainkan lantaran mereka percaya bahwa itu yang terbaik, yang paling menjanjikan bila digunakan dalam riset-riset selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA;

  • Henry D. Aiken, Abab Ideologi.Bentang, Jakarta 2002.
  • Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat. Pustaka pelajar, 2002
  • Prof. DR. K. Berten S. Sejarah Filsafat Yunani; dari Thales ke Aristoteles. Kanisius 2001
  • Peterl. Berger, Langit Suci (Agama sebagai kreatifitas Sosial). LP3S Jakarta 1991
  • Prof. DR. K. Berten S. Sejarah Filsafat Yunani; dari Thales ke Aristoteles. Kanisius 2001
  • Thomas S. Kuhn The structure of Scientific Revolution, Rosda, Bandung 2000
  • Tiga Narasi Agung, Bentang 2003
  • AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society,Pustaka Pelajar 2001
  • Muslih Muhammad, Filsafat Ilmu (kajian atas perkiraan dasar paradigma dan kerangka teori ilmu pengetahuan);Belukar Yogyakarta 2004

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel