Makalah Angkutan Umum

KAJIAN MANAJEMEN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UMUM PENUMPANG
Abstrak 
Sistem administrasi dalam penyelenggaraan angkutan umum penumpang di perkotaan pada umumnya masih lemah, sehingga mengakibatkan kualitas pelayanan angkutan umum penumpang kepada masyarakat rata-rata sangat buruk. Perilaku negatif pengemudi angkutan umum penumpang secara umum memberi konstribusi yang signifikan terhadap pergerakan kendaraan, yang juga mengakibatkan dampak negatif terhadap pengguna jalan lainnya, dan bermuara pada menurunnya kinerja pelayanan lalulintas pada sistem jaringan jalan perkotaan. Langkah strategis untuk memperbaiki administrasi penyelenggaraan angkutan umum penumpang yaitu berupa kebijakan, dengan berdasar pada perkiraan dan konsep dasar yang relevan dan konstruktif. Sehingga pihak-pihak yang terkait penyelenggaraan angkutan umum penumpang tidak ada yang dirugikan, dan sanggup berinteraksi/ bekerja secara proporsional dan profesional. Kinerja angkutan umum penumpang yang baik, signifikan dengan kualitas sikap pengemudinya. Maka administrasi penyelenggaraan angkutan umum penumpang yang baik akan bermuara pada kinerja lalulintas yang lebih baik pula, dan bermuara pada tingkat kualitas performance kota. 
Kata kunci : angkutan umum penumpang

PENDAHULUAN
Di sebagian besar kota-kota di Indonesia, penyelenggaraan angkutan umum penumpang didominasi oleh moda dengan kualifikasi para transit – jenis kendaraan station wagon atau sejenisnya (kapasitas 12 - 15 penumpang), dan sering dikenal dengan istilah mikrolet atau lainnya. Di samping permasalahan kualitas pelayanan, penyelenggaraan angkutan jenis ini sering kali mengakibatkan permasalahan yang rumit ketika pemerintah akan melaksanakan peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum, menyerupai peremajaan ataupun penggantian armada menjadi jenis bus. Hal ini terjadi alasannya yaitu paradigma penyelenggaraan angkutan umum masih lebih sebagai akomodasi sosial-ekonomi bagi masyarakat. Ujung dari kondisi yang demikian yaitu masyarakat penggunanya yang harus menanggung banyak sekali risikonya, termasuk transport cost yang mahal. 

Pada tahun-tahun terakhir ini, pemerintah sentra bersemangat memperbaiki angkutan umum penumpang dari moda para transit menjadi semi transit atau transit (busway, kereta komuter, dan sejenisnya). Namun perubahan tersebut dipastikan tidak dilakukan secara frontal, oleh alasannya yaitu itu untuk beberapa waktu ke depan penyelenggaraan angkutan umum penumpang - para transit – ini masih merupakan salah satu simpul duduk masalah transportasi di perkotaan.

Permasalahan
Fenomena yang sering dijumpai di sebagian besar kota-kota di Indonesia dalam terjadi penyelenggaraan angkutan umum penumpang di perkotaan ketika ini yaitu kualitas pelayanan yang sangat jelek kepada penggunanya, disamping aspek sikap pengemudinya dalam berlalulintas yang cenderung mengakibatkan dampak negatif terhadap pengguna jalan lainnya, dan bermuara pada menurunkan kinerja lalulintas kota. Kondisi tersebut, sanggup diduga juga sebagai akhir dari lemahnya sistem administrasi penyelenggaraan, dimana secara kelembagaan menerapkan model deregulasi, yaitu model dimana dalam implementasi penyelenggaraan angkutan kota posisi Pemerintah (Kota) sebagai pihak pembuat kebijakan (perencana sistem) dan sekaligus sebagai pihak pemberi ijin penyelenggaraannya, tidak melaksanakan regulasi/pemantauan terhadap operasional secara proporsional. 

Buruknya kinerja angkutan umum penumpang dalam pelayanan kepada penggunanya ataupun dalam berlalulintas, diantaranya yang gampang dijumpai adalah:
  1. Rendahnya faktor kenyamanan ataupun keamanan bagi pemakai, dimana terjadi sikap pemaksaan jumlah penumpang yang melebihi kapasitas (normal)-nya. 
  2. Rendahnya konsistensi operasi pada rute/jalur yang telah ditetapkan, dimana dalam operasinya, sebagian angkutan umum penumpang akan kembali lagi ke terminal/APK (area parkir kendaraan) semula sebelum mencapai terminal/APK (tujuan) akhirnya, baik terjadi sebagai akhir dari minimumnya jumlah penumpang maupun sikap pengemudinya.
  3. Adanya diskriminasi penumpang, khususnya pada jam puncak (peak hour) baik pagi hari maupun siang hari, dimana banyak pelajar (berseragam sekolah) yang tidak diangkut, yang diasumsikan mereka tidak membayar tarif secara penuh, meskipun tarif bagi pelajar (berseragam) telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
  4. Perilaku sebagian pengemudi angkutan umum penumpang yang arogan, dengan berdalih mengejar uang setoran, sering mengabaikan aspek kenyamanan, keamanan dan kelancaran mobilitas, baik penggunanya maupun pemakai jalan lainnya. Perikalu ini muncul diduga sebagai akhir dari beberapa hal, diantaranya yang cukup secara umum dikuasai sebagai alasan, adalah:
¨ Tingginya uang setoran yang ditetapkan oleh pemilik/pengusaha angkutan umum penumpang, dimana kondisi ini merupakan dampak dari tingginya biaya awal (capital cost) ataupun biaya operasionalnya, khususnya yang relevan dengan standing cost (misal: biaya ijin trayek, biaya ijin usaha) disamping ketatnya persaingan akhir jumlah armada yang berlenih atau pendeknya headway antar angkutan umum penumpang pada satu rute/jalur.

¨ Pada beberapa rute/jalur tertentu, pada ketika non peak hour terjadi fenomena kapasitas jalur lebih kecil daripada kapasitas operasi. Hal ini terjadi sebagai dampak dari besarnya jumlah armada yang tersedia, sedangkan jumlah penumpangnya relatif lebih kecil (frekuensi sarana tinggi, sedangkan okupansi penumpang rendah). 

¨ Pada setiap pembukaan rute/jalur baru, (tampak) tidak dilakukan pembiasaan terhadap terjadinya perpindahan penumpang angkutan kota dari rute usang ke rute baru, yang selanjutnya mengakibatkan terjadi penurunan jumlah penumpang pada angkutan umum penumpang rute lama, sementara armada yang beroperasi tidak berkurang.

Sedangkan aspek sikap pengemudi angkutan umum penumpang cukup banyak menawarkan konstribusi menurunnya aspek keamanan, kenyamanan dan kelancaran lalulintas secara umum. Pelanggaran lalulintas yang ditimbulkan secara kuantitas relatif cukup tinggi, seperti: gerakan menepi/memberhentikan kendaraan secara mendadak (bahkan tanpa menawarkan tanda lebih dahulu), memberhentikan kendaraan untuk pemuatan ataupun penurunan penumpang tidak pada pundak jalan dan atau tidak pada tempat berhenti yang telah ditetapkan (stop/halte), penggunaan lajur belok kiri (lajur LTOR – left turn on red) untuk berhenti pada simpang bersinyal; dan lain-lainnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Angkutan umum di Indonesia terang belum bertujuan “melayani masyarakat” dalam arti sebenarnya. Hal ini terbukti dengan rendahnya janji pemerintah, baik dalam hal kebijakan yang meliputi peraturan-kebijaksanaan, maupun terlebih dalam besaran anggaran belanja baik di sentra maupun daerah. Tiadanya riset dan pengembangan juga merupakan indikasi rendahnya prioritas bidang ini. Selama tiga puluh tahun semenjak bus kota diperkenalkan di Indonesia (Jakarta) belum pernah ada suatu inisiatif yang memihak atau mengutamakan angkutan umum. Akibatnya sudah jelas: kualitas rendah jikalau dilarang dibilang membahayakan, armada yang tak teremajakan, iklim perjuangan yang tak menarik, kompetisi tidak sehat. Muaranya, semuanya merugikan: pengguna merasa dirugikan kesudahannya angkutan umum makin ditinggalkan, masyarakat luas merasa cara operasi cenderung mengganggu kelancaran lalulintas dan kemacetan yang makin akut akhir berpindahnya pengguna ke kendaraan pribadi terutama sepeda motor. (Sutomo: 2005)

Sutomo (2005) menguraikan, bulat setan angkutan umum: akhir makin macet – kecepatan menurun – jumlah rit berkurang – pendapatan terancam – kualitas layanan menurun – ditinggalkan penumpang – berpindah ke kendaraan pribadi – jalan makin macet.

Mengacu isyarat GBHN 1993, Tamin (2000) menguraikan bahwa kebijakan pengembangan sistem transportasi perkotaan sebaiknya diarahkan sebagai berikut:
  1. Memadukan angkutan jalan, kereta api, angkutan udara dan angkutan laut.
  2. Mengembangkan sistem angkutan umum massa yang tertib, lancar, aman, nyaman dan efisien serta (tarif) terjangkau oleh segenap lapisan masyaraka
  3. Mengatasi kemacetan dan gangguan kemudian lintas, mempertahankan kualitas lingkungan serta meningkatkan mobilitas dan aksesibilitas. 
  4. Peningkatan sistem jaringan jalan antar kota, semoga angkutan perkotaan sanggup berfungsi secara optimal dalam melayani aktifitas (perjalanan) lokal dan sekitarnya.
  5. Mengembangkan keterpaduan antarmoda dan intermoda sesuai dengan tata ruang, serta memanfaatkan ruang jalur koridor sistem angkutan umum massa sebagai kawasan/kegiatan baru. 
  6. Memperluas kebebasan pemilihan angkutan umum yang digunakan, sesuai dengan kualifikasi jasa yang diberikan dan tingkat kemampuan masyarakat.
  7. Mendorong penggunaan angkutan umum - mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
  8. Memperkecil penambahan jaringan jalan gres yang akan berdampak terhadap pertumbuhan kota yang tidak sesuai/sinergis dengan kebijakan pengembangan wilayah.
  9. Mempersempit arah pergerakan/perjalanan, dengan membuatkan akomodasi umum (infra-struktur) secara seimbang dan merata.
  10. Mengembangkan akomodasi angkutan bahari dan angkutan udara sebagai alternatif untuk memenuhi pergerakan jarak jauh/antar pulau.
  11. Mengembangkan administrasi angkutan perkotaan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan. 
Kualitas administrasi penyelenggaraan sistem angkutan kota, pada umumnya tergantung dari model kelembagaan yang diterapkannya. Model kelembagaan penyelenggaraan sistem angkutan kota berkaitan dekat terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap aspek-aspek yang relevan dalam prosedur kerja angkutan umum (Kelompok Bidang Kehlian Transportasi Jurusan Teknik Sipil, ITB: 1997) 

Agar bisa dicapai kebijakan transportasi yang efektif, sebaiknya keberlanjutan transportasi memenuhi tiga kebutuhan utama (World Bank dalam Sutomo, 1998), yaitu:
  1. Kebijakan harus bisa menjamin terwujudnya suatu kemampuan pelayanan yang kontinyu dalam rangka perbaikan standar kehidupan.
  2. Kebijakan harus bisa membangkitkan segala bentuk perbaikan dalam kualitas hidup secara keseluruhan, tidak lagi sebatas peningkatan volume perdagangan.
  3. Kebijakan harus menjamin bahwa manfaat yang muncul dari transportasi bisa dinikmati secara merata oleh semua elemen dalam masyarakat.
ASUMSI UNTUK PERBAIKAN
Dalam upaya memenuhi mobilitas masyarakat yang dinamis dan cenderung berkembang, seiring dengan perwujudan sistem transportasi kota yang nyaman, aman, lancar serta manusiawi, khususnya dalam penyelenggaraan angkutan umum penumpang, maka diharapkan langkah-langkah yang sempurna dan relevan serta sinergis untuk meningkatkan kinerjanya, baik pada sisi pelayanan maupun sikap pengemudinya dalam berlalulintas, yaitu berupa perbaikan pada sektor manajerial penyelenggaraan angkutan umum penumpang. Untuk mempermudah intepretasi langkah-langkah tersebut, maka di dalam prosesnya harus diberlakukan asumsi-asumsi yang terkait. Beberapa perkiraan yang relevan, sebagai patokan dalam bahasan ini, diantaranya adalah:
  • Bahwa penyelenggaraan angkutan umum penumpang, berangkat dalam konteks “ideal” dalam rangka memenuhi kebutuhan mobilitas segenap masyarakat, khususnya masyarakat kelompok captive dengan berorientasi terhadap pelayanan publik yang nyaman, kondusif dan lancar, serta manusiawi.
  • Manajemen penyelenggaraan angkutan umum penumpang yang dimodifikasi, secara “ideal” juga berpedoman bahwa di dalam implementasinya tidak ada satupun pihak yang akan dirugikan baik secara moral maupun material, dari pihak operator (pemilik/pengusaha dan pengemudi) maupun pemerintah dalam skala makro pembangunan kota.
  • Adanya kesadaran yang luhur (good will) akan kwajiban dan hak dari setiap pihak yang terkait baik secara pribadi maupun tidak pribadi dalam administrasi penyelenggaraan angkutan umum penumpang, sehingga terbangun mata rantai kehidupan yang saling membutuhkan sanggup dipenuhi secara proporsional disamping pengembangan aspek profesionalisme dalam tugas-tugas kemasyarakatan, adapun pihak-pihak terkait yang dimaksud, antara lain :
  1. pengguna jasa/penumpang.
  2. operator (pemilik/pengusaha angkutan & pengemudi).
  3. Pemerintah Kota sebagai perencana, pengelola (pembina) dan regulator sistem. 
  4. Lembaga yang terkait dengan penegakan hukum/peraturan yang diberlakukan (Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman), untuk mengendalikan/mengatasi adanya penyimpangan oleh pengemudi angkutan kota
KONSEP DASAR
Sebagai aspek yang fundamental di dalam pengelolaan penyelenggaraan angkutan umum penumpang, maka diharapkan konsep-konsep yang relevan, diantaranya:
  • Bahwa setiap anggota masyarakat merupakan mahluk individu dan sekaligus sebagai mahluk sosial, dimana dalam kehidupannya senantiasa saling memerlukan/berinteraksi (asas simbiosis antar sesama). 
  • Sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, mobilisassi merupakan kebutuhan yang harus dilakukan oleh hampir setiap manusia. Pada umumnya, semakin tinggi peradaban manusia, maka ada kecenderungan meningkat pula mobilisasinya.
  • Masyarakat tingkat ekonomi menengah ke bawah/low class, untuk melaksanakan mobilisasi dengan biaya murah memerlukan sarana transportasi umum yang bisa digunakan secara bersama.
  • Bagi masyarakat yang mempunyai modal dan atau ketrampilan mengemudi kendaraan/mobil, kebutuhan masyarakat untuk mobilisasi merupakan peluang usaha, untuk meningkatkan derajad ekonomi (peluang kesempatan investasi/ kerja).
  • Potensi masyarakat tersebut, merupakan aset pembangunan bagi suatu wilayah/ kota, oleh alasannya yaitu itu potensi tersebut perlu diberdayakan guna meningkatkan performance kota, dimana pihak yang berkompeten dalam hal tersebut yaitu Pemerintahan Kota.
  • Tingkat performance kota, akan tergantung dari sistem transportasinya, termasuk penyelenggaraan angkutan kota. Ketergantungan tersebut diantaranya yaitu proporsional dan profesionalisme dari pihak yang terkait, termasuk upaya law inforcement-nya.
PEMBAHASAN
Mensikapi potensi masyarakat beserta mobilitasnya dan kondisi/potensi wilayah beserta pertumbuhan pembangunan kota, serta potensi permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan angkutan umum penumpang khususnya dan sistem transportasi kota pada umumnya, maka perbaikan pada aspek administrasi dan peraturan/perundangan yang relevan harus didasarkan pada suatu hasil studi yang relevan pula dan berkesinambungan. Dengan berorientasi atas fenomena yang cenderung dan berpotensi berkembang di masyarakat, sementara ini ada beberapa hal yang perlu segera (urgen) diperbaiki dalam penyelenggaraan angkutan umum penumpang, antara lain:
  1. Pembenahan rute/jalur dengan mengacu pada konsep supply and demand, untuk menyeimbangkan antara jumlah permintaan/kebutuhan sarana angkutan umum (termasuk pengaturan frekuensinya) dengan jumlah pengguna/penumpangnya. Upaya ini dilakukan untuk menyeimbangkan antara jumlah armada yang tersedia dengan jumlah penumpangnya, dan selanjutnya manakala jumlah calon penumpangnya meningkat maka armadanya bisa ditambah. Selain dari itu, langkah ini juga sebagai upaya menghindari tidak tercapainya sasaran uang setoran oleh pengemudi, sebagai akhir dari minimnya jumlah penumpang.
  2. Pembenahan rute/jalur yang mengacu pada konsep origin and destination, untuk menyesuaikan kecenderungan tujuan perjalanan dari kelompok masyarakat pengguna angkutan kota, serta menghindari atau memperkecil kemungkinan terjadinya rute/jalur yang tumpang tindih (overlap). Langkah ini sekaligus sebagai upaya menghindari/mengurangi terjadinya penumpukan angkutan kota dari beberapa rute/jalur, baik pada ruas-ruas jalan tertentu maupun pada simpang. Lebih dari itu, sekaligus optimalisasi terminal yang sudah ada, tanpa harus mengembangkan terminal atau APK gres lagi. 
  3. Pembenahan dan penetapan prasarana yang relevan untuk menunjang operasi angkutan umum penumpang, misal: tempat berhenti untuk pemuatan - penurunan penumpang, tempat penyeberangan bagi pejalan kaki, dan lain-lainnya.
  4. Perbaikan tarif angkutan yang didasari dengan studi ekonomi (bukan hanya sekedar studi finansial) transportasi, yang didalam implementasinya dimungkinkan dilakukan pembiasaan tarif bagi penumpang umum dan tarif khusus pelajar ataupun mahasiswa (misal: sistem kupon atau sejenisnya). Hal ini bisa dilakukan sebagai upaya menghapus diskriminasi pengguna/ penumpang dan merupakan langkah pemenuhan kebutuhan angkutan umum bagi kelompok pelajar/mahasiswa. 
  5. Penetapan dan pemberlakuan peraturan khusus bagi penyelenggaraan angkutan umum penumpang yang antara lain mencakup: 
  • ketentuan jumlah penumpang yang sanggup ditoleransi dengan tanpa mengurangi kenyamanan dan keamanan serta aspek kemanusiawian.
  • ketentuan tarif niscaya angkutan kota baik bagi penumpang umum maupun pelajar/ mahasiswa.
  • peninjauan kembali atau mungkin pembatalan atas biaya ijin trayek dan biaya ijin usaha.
  • pengendalian atas masa berlakunya ijin trayek.
  • pemberlakuan sistem rotasi atas ijin trayek pada seluruh rute/jalur.
  • penerbitan surat ijin mengemudi khusus angkutan umum penumpang
  • penetapan biaya-biaya niscaya atas retribusi yang harus dibayar dalam setiap operasional angkutan umum penumpang.
  • perangkat hukuman yang relevan terhadap penyimpangan yang dilakukan baik oleh pemilik/ pengusaha angkutan maupun oleh pengemudinya. 
6. Adanya jaminan keamanan dari forum terkait sehubungan dengan operasional angkutan umum penumpang atas segala tindakan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (preman, oknum petugas, dan lain-lainnya). 
7. Penyediaan akomodasi pemeliharaan armada yang memadai (kualitas baik - biaya murah), termasuk ketersediaan suku cadang. Langkah ini juga perlu dilakukan untuk mengurangi tingkatan/panjangnya rangkaian distribusi sparepart dan sekaligus sebagai upaya memperkecil harganya.
8. Penyediaan akomodasi dengan sistem administrasi yang rasional dan transparan sehubungan dengan subsidi materi bakar minyak (BBM).
9. Penerapan hukuman secara tegas dari pihak yang berwenang atas setiap terjadinya pelanggaran/ penyimpangan oleh pemilik/pengemudi angkutan umum penumpang, baik terhadap peraturan/ perundangan lokal (PERDA atau SK Walikota, dan sejenisnya) perundangan lalulintas dan angkutan jalan yang berlaku secara Nasional. Adapun hukuman atas pelanggaran terhadap peraturan/perundangan khusus tersebut hendaknya tidak bersifat materialistik (seperti denda) secara langsung, sebaiknya dilakukan secara edukatif-preventif, mulai dari peringatan (disertai bukti pelanggaran), lebih lanjut berupa penangguhan (skorsing) operasi sampai (paling berat) pencabutan ijin trayek, ijin perjuangan ataupun surat ijin mengemudi khusus angkutan umum penumpang. Sedangkan bagi pelanggaran terhadap perundangan lalulintas dan angkutan (pada umumnya), tentunya hukuman tetap sesuai dengan perundangan yang berlaku.

KESIMPULAN
Performance suatu kota sangat tergantung dari kualitas kinerja sistem transportasinya, termasuk diantaranya kinerja angkutan umum penumpangnya. Upaya peningkatan kinerja angkutan umum penumpang, selain memperbaiki/meningkatkan pelayanan kepada penggunanya, juga berpotensi mereduksi permasalahan lalulintas kota. Oleh alasannya yaitu itu, untuk mendapat kinerja angkutan umum penumpang yang ‘baik’ maka diharapkan suatu (konsep/rencana) pengelolaan/manajemen yang baik pula (proporsional dan profesional). 

Manajemen penyelenggaraan angkutan umum penumpang, sangat tergantung dari kesadaran dan itikat baik dari semua pihak yang terkait, serta didukung dengan sarana - prasarana yang relevan dan memadai beserta kelengkapannya, berupa kebijakan yang berdasar pada hasil studi yang proporsional serta penegakan peraturan/perundangan yang tegas.

DAFTAR PUSTAKA
  • Sutomo, Heru (1998), Transportasi Berkelanjutan Sebuah Tinjauan Awal, Makalah Simposium I Forum Studi Transportasi Perguruan Tinggi, Institut Teknologi Bandung 3 Desember 1998.
  • Sutomo, Heru (2005) Prioritas Angkutan Umum: Suatu Justifikasi, Makalah Seminar State Of The Art Angkutan Umum Perkotaan Di Indonesia, Unversitas Brawijaya, Malang 30 April 2005.
  • Tamin, Ofyar Z. (2000), Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Edisi Kedua, Penerbit ITB, Bandung.
  • Kelompok Bidang Kehlian Transportasi (1997), Perencanaan Sistem Angkutan Umum, Jurusan Teknik Sipil, ITB.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel