Teori Dan Indikator Pembangunan
Saturday, January 29, 2022
Edit
TEORI DAN INDIKATOR PEMBANGUNAN
Konsepsi pembangunan bahwasanya tidak perlu dihubungkan dengan aspek-aspek spasial. Pembangunan yang sering dirumuskan melalui kebijakan ekonomi dalam banyak hal menandakan keberhasilan. Hal ini antara lain sanggup dilukiskan di negara-negara Singapura, Hongkong, Australia, dan negara-negara maju lain. Kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut umumnya dirumuskan secara konsepsional dengan melibatkan pertimbangan dari aspek sosial lingkungan serta didukung prosedur politik yang bertanggung jawab sehingga setiap kebijakan ekonomi sanggup diuraikan kembali secara transparan, adil dan memenuhi kaidah-kaidah perencanaan. Dalam aspek sosial, bukan saja aspirasi masyarakat ikut dipertimbangkan tetapi juga keberadaan lembaga-lembaga sosial (social capital) juga ikut dipelihara bahkan fungsinya ditingkatkan. Sementara dalam aspek lingkungan, aspek fungsi kelestarian natural capital juga sangat diperhatikan demi kepentingan umat manusia. Dari semua itu, yang terpenting pengambilan keputusan juga berjalan sangat higienis dari bermacam-macam sikap lobi yang bernuansa kekurangan (moral hazard)yang dipenuhi kepentingan tertentu (vested interest) dari laba semata (rent seeking). Demikianlah, hasil-hasil pembangunan sanggup dinikmati oleh seluruh masyarakat secara adil melintasi (menembus) batas ruang (inter-region) dan waktu(inter-generation). Implikasinya kajian aspek spasial menjadi kurang relevan dalam keadaan empirik yang telah dilukiskan di atas (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).
Namun demikian, konsepsi pembangunan yang dikemukakan di atas sejalan dengan kajian terhadapnya maupun implementasi diberbagai negara dan wilayah lain, dikemukakan aneka macam kelemahan. Kelemahan tersebut muncul seiring ditemukannya fenomena yang khas, antara lain kesenjangan, kemiskinan, pengelolaan public goodyang tidak tepat, lemahnya prosedur kelembagaan dan sistem politik yang kurang berkeadilan. kelemahan-kelemahan itulah yang menjadi penyebab kendala terhadap gerakan maupun fatwa penduduk, barang dan jasa, prestasi, dan laba (benefit)dan kerugian (cost) di dalamnya. Seluruh sumberdaya ekonomi dan non-ekonomi menjadi terdistorsi alirannya sehingga divergence menjadi makin parah. Akibatnya, hasil pembangunan menjadi gampang diketemukan antar wilayah, sektor, kelompok masyarakat, maupun pelaku ekonomi. implisit, juga terjadi dichotomy antar waktu dicerminkan oleh ketidakpercayaan terhadap sumberdaya ketika ini alasannya yakni penuh dengan aneka macam resiko (high inter temporal opportunity cost). Keadaan ini bukan saja jauh dari nilai-nilai moral tapi juga cerminan dari kehancuran (in sustainability). Ikut main di dalam permasalahan di atas yakni prosedur pasar yang beroperasi tanpa batas. Perilaku ini tidak bisa dihambat alasannya yakni beroperasi sangat massif, terus-menerus, dan sanggup diterima oleh logika ekonomi disamping didukung oleh kebanyakan kebijakan ekonomi secara sistematis.
Kecendrungan globalisasi dan regionalisasi membawa sekaligus tantangan dan peluang gres bagi proses pembangunan di Indonesia. Dalam kurun ibarat ini, kondisi persaingan antar pelaku ekonomi (badan perjuangan dan/atau negara) akan semakin tajam. Dalam kondisi persaingan yang sangat tajam ini, tiap pelaku ekonomi (tanpa kecuali) dituntut menerapkan dan mengimplementasikan secara efisien dan efektif taktik bersaing yang sempurna (Kuncoro, 2004). Dalam konteksi inilah dibutuhkan ”strategi berperang” modern untuk memenangkan persaingan dalam lingkungan hiperkompetitif dibutuhkan tiga hal (D’Aveni, 1995), pertama, visi terhadap perubahan dan gangguan. Kedua, kapabilitas, dengan mempertahankan dan menyebarkan kapasitas yang fleksibel dan cepat merespon setiap perubahan. Ketiga, taktik yang menghipnotis arah dan gerakan pesaing.
A. Pengertian Pembangunan
Teori pembangunan dalam ilmu sosial sanggup dibagi ke dalam dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi meliputi teori-teori makro wacana pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro wacana nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan meliputi teori-teori keterbelakangan (under-development) ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan. Dari aneka macam paradigma tersebut itulah kemudian muncul aneka macam versi wacana pengertian pembangunan.
Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling sempurna mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran wacana pembangunan telah berkembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pendahuluan pembangunan sosial, sampai pembangunan berkelanjutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan sanggup diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk membuat alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004). Tema pertama yakni koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan ibarat yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua yakni terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini sanggup diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan. Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan aturan yang terpercaya yang bisa berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan problem dan training nilai-nilai moral dan watak umat.
Mengenai pengertian pembangunan, para mahir menyampaikan definisi yang bermacam-macam ibarat halnya perencanaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, tempat yang satu dengan tempat lainnya, Negara satu dengan Negara lain. Namun secara umum ada suatu janji bahwa pembangunan merupakan proses untuk melaksanakan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994) menyampaikan pengertian wacana pembangunan sebagai “Suatu perjuangan atau rangkaian perjuangan pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka training bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) menyampaikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Pada awal pemikiran wacana pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran tersebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara keseluruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, alasannya yakni masing-masing mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Pembangunan (development) yakni proses perubahan yang meliputi seluruh system sosial, ibarat politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan yakni proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki aneka macam aspek kehidupan masyarakat.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional sanggup pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan taktik menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, sanggup dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, bantuan sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial sanggup dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh jalan masuk terhadap sumber daya sosial-ekonomi, ibarat pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, ibarat perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari evaluasi yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan yakni adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para mahir di atas, pembangunan yakni sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan yakni proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pembangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat yang menyangkut aneka macam aspek, pemikiran wacana modernisasi pun tidak lagi hanya meliputi bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang sanggup menghipnotis kehidupan masyarakat. Oleh alasannya yakni itu, modernisasi diartikan sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masyarakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh alasannya yakni dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang mengarah pada perbaikan, para mahir administrasi pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat yang tradisional.
Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, para Ahli administrasi pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep pembangunan secara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan sebagai suatu upaya untuk melaksanakan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud yakni menuju arah peningkatan dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsikan bahwa pembangunan yakni juga pertumbuhan. Seiring dengan perkembangannya sampai ketika ini belum ditemukan adanya suatu janji yang sanggup menolak perkiraan tersebut. Akan tetapi untuk sanggup membedakan keduanya tanpa harus memisahkan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Administrasi Pembangunan mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan memperlihatkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan.”
Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak sanggup dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan sanggup mengakibatkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akhir adanya pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan sanggup berupa pengembangan/perluasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari acara yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat.
B. Evolusi dan Pergeseran Makna Pembangunan
Secara tradisional pembangunan mempunyai arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatanProduk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu provinsi, kabupaten, atau kota (Kuncoro, 2004).
Namun, muncul kemudian sebuah alternatif definisi pembangunan ekonomi menekankan pada peningkatan income per capita (pendapatan per kapita). Definisi ini menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang sanggup melebihi pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan sebuah taktik mengubah struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi. Kontribusi mulai digantikan dengan bantuan industri. Definisi yang cenderung melihat segi kuantitatif pembangunan ini dipandang perlu menengok indikator-indikator sosial yang ada (Kuncoro, 2004).
Paradigma pembangunan modern memandang suatu contoh yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Pertanyaan beranjak dari benarkah semua indikator ekonomi menyampaikan citra kemakmuran. Beberapa ekonom modern mulai mengedepankan dethronement of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi), pengentasan garis kemiskinan, pengangguran, distribusi pendapatan yang semakin timpang, dan penurunan tingkat pengangguran yang ada. Teriakan para ekonom ini membawa perubahan dalam paradigma pembangunan menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang multidimensional (Kuncoro, 2003). Beberapa mahir menganjurkan bahwa pembangunan suatu tempat haruslah meliputi tiga inti nilai (Kuncoro, 2000; Todaro, 2000):
- Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan, papan, kesehatan, dan proteksi) untuk mempertahankan hidup.
- Harga diri (Self Esteem): pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam arti luas pembangunan suatu tempat haruslah meningkatkan pujian sebagai insan yang berada di tempat itu
- Freedom from servitude: kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk berpikir, berkembang, berperilaku, dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Selanjutnya, dari evolusi makna pembangunan tersebut menimbulkan terjadinya pergeseran makna pembangunan. Menurut Kuncoro (2004), pada selesai dasawarsa 1960-an, banyak negara berkembang mulai menyadari bahwa “pertumbuhan ekonomi” (economic growth) tidak identik dengan “pembangunan ekonomi” (economic development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang sanggup dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah ibarat pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural (Sjahrir, 1986). Ini pula agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang dibutuhkan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara, 1986, Meier, 1989 dalam Kuncoro, 2004). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedang pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang wacana arti pembangunan. Myrdal (1968 dalam Kuncoro, 2004), contohnya mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai target pembangunan, namun lebih memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.
Dalam praktik pembangunan di banyak negara, setidaknya pada tahap awal pembangunan umumnya berfokus pada peningkatan produksi. Meskipun banyak varian pemikiran, pada dasarnya kata kunci dalam pembangunan yakni pembentukan modal. Oleh alasannya yakni itu, taktik pembangunan yang dianggap paling sesuai yakni akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal absurd dan melaksanakan industrialisasi. Peranan sumber daya insan (SDM) dalam taktik semacam ini hanyalah sebagai “instrumen” atau salah satu “faktor produksi” saja.Manusia ditempatkan sebagai posisi instrumen dan bukan merupakan subyek dari pembangunan. Titik berat pada nilai produksi dan produktivitas telah mereduksi insan sebagai penghambat maksimisasi kepuasan maupun maksimisasi keuntungan.
Konsekuensinya, peningkatan kualitas SDM diarahkan dalam rangka peningkatan produksi. Inilah yang disebut sebagai pengembangan SDM dalam kerangka production centered development (Tjokrowinoto, 1996). Bisa dipahami apabila topik pembicaraan dalam perspektif paradigma pembangunan yang semacam itu terbatas pada problem pendidikan, peningkatan ketrampilan, kesehatan, link and match, dan sebagainya. Kualitas insan yang meningkat merupakan prasyarat utama dalam proses produksi dan memenuhi tuntutan masyarakat industrial.Alternatif lain dalam taktik pembangunan insan yakni apa yang disebut sebagaipeople-centered development atau panting people first (Korten, 1981 dalam Kuncoro, 2004). Artinya, insan (rakyat) merupakan tujuan utama dari pembangunan, dan kehendak serta kapasitas insan merupakan sumber daya yang paling penting Dimensi pembangunan yang semacam ini terang lebih luas daripada sekedar membentuk insan profesional dan trampil sehingga bermanfaat dalam proses produksi. Penempatan insan sebagai subyek pembangunan menekankan pada pentingnya pemberdayaan (empowerment) manusia, yaitu kemampuan insan untuk mengaktualisasikan segala potensinya.
Sejarah mencatat munculnya paradigma gres dalam pembangunan ibarat pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs) pembangunan berdikari (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelomment) (Kuncoro, 2003). paradigma ini secara ringkas sanggup dirangkum sebagai berikut:
- Para proponen taktik “pertumbuhan dengan distribusi”, atau “redistribusi dari pertumbuhan”, pada hakekatnya menganjurkan supaya tidak hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi (memperbesar “kue” pembangunan) namun juga mempertimbangkan bagaimana distribusi “kue” pembangunan tersebut. lni bisa diwujudkan dengan kombinasi taktik ibarat peningkatan kesempatan kerja, investasi modal manusia, perhatian pada petani kecil, sektor informal dan pengusaha ekonomi lemah.
- Strategi pemenuhan kebutuhan pokok dengan demikian telah mencoba memasukkan semacam “jaminan” supaya setiap kelompok sosial yang paling lemah menerima manfaat dari setiap jadwal pembangunan.
- Pembangunan “mandiri” telah muncul sebagai kunsep strategis dalam lembaga internasional sebelum kunsep “Tata Ekonomi Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menyampaikan anjuran kolaborasi yang menarik dibanding menarik diri dari percaturan global.
- Pentingnya taktik ecodevelopment, yang pada dasarnya menyampaikan bahwa masyarakat dan ekosistem di suatu tempat harus berkembang gotong royong menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi; namun yang paling utama adalah, taktik pembangunan ini harus berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial.
- Sejauh ini gres Malaysia yang secara terbuka memasukkan konsepecodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP dirancang dan dipakai untuk menjamin supaya buah pembangunan sanggup dirasakan kepada semua warga negara secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, Parkinson, & Saniman, 1990 dalam Kuncoro, 2004).
C. Indikator Pengukuran Keberhasilan Pembangunan
Penggunaan indicator dan variable pembangunan bisa berbeda untuk setiap Negara. Di Negara-negara yang masih miskin, ukuran kemajuan dan pembangunan mungkin masih sekitar kebutuhan-kebutuhan dasar ibarat listrik masuk desa, layanan kesehatan pedesaan, dan harga masakan pokok yang rendah. Sebaliknya, di Negara-negsara yang telah sanggup memenuhi kebutuhan tersebut, indicator pembangunan akan bergeser kepada factor-faktor sekunder dan tersier (Tikson, 2005).
Sejumlah indicator ekonomi yang sanggup dipakai oleh lembaga-lembaga internasional antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB), struktur perekonomin, urbanisasi, dan jumlah tabungan. Disamping itu terdapat pula dua indicator lainnya yang memperlihatkan kemajuan pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa atau tempat yaitu Indeks Kualitas Hidup (IKH atau PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Berikut ini, akan disajikan ringkasan Deddy T. Tikson (2005) terhadap kelima indicator tersebut :
1. Pendapatan perkapita
Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah satu indikaor makro-ekonomi yang telah usang dipakai untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif makroekonomi, indikator ini merupakan penggalan kesejahteraan insan yang sanggup diukur, sehingga sanggup menggambarkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita telah menjadi indikator makroekonomi yang tidak bisa diabaikan, walaupun mempunyai beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan pendapatan nasional, selama ini, telah dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Seolah-olah ada perkiraan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi). Walaupun demikian, beberapa mahir menganggap penggunaan indikator ini mengabaikan contoh distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur distribusi pendapatan dan pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan jalan masuk terhadap sumber daya ekonomi.
2. Struktur ekonomi
Telah menjadi perkiraan bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan mencerminkan transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan kelas-kelas sosial. Dengan adanya perkembangan ekonomi dan peningkatan per kapita, konstribusi sektor manupaktur/industri dan jasa terhadap pendapatan nasional akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri dan perbaikan tingkat upah akan meningkatkan undangan atas barang-barang industri, yang akan diikuti oleh perkembangan investasi dan ekspansi tenaga kerja. Di lain pihak , bantuan sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin menurun.
3. Urbanisasi
Urbanisasi sanggup diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi dikatakan tidak terjadi apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama dengan nol. Sesuai dengan pengalaman industrialisasi di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi penduduk di wilayah urban berbanding lurus dengn proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya proses industrialisasi. Di Negara-negara industri, sebagain besar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di Negara-negara yang sedang berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah pedesaan. Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi dipakai sebagai salah satu indicator pembangunan.
4. Angka Tabungan
Perkembangan sector manufaktur/industri selama tahap industrialisasi memerlukan investasi dan modal. Finansial capital merupakan factor utama dalam proses industrialisasi dalam sebuah masyarakat, sebagaimana terjadi di Inggeris pada umumnya Eropa pada awal pertumbuhan kapitalisme yang disusul oleh revolusi industri. Dalam masyarakat yang mempunyai produktivitas tinggi, modal perjuangan ini sanggup dihimpun melalui tabungan, baik swasta maupun pemerintah.
5. Indeks Kualitas Hidup
IKH atau Physical Qualty of life Index (PQLI) dipakai untuk mengukur kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Indeks ini dibentuk indicator makroekonomi tidak sanggup menyampaikan citra wacana kesejahteraan masyarakat dalam mengukur keberhasilan ekonomi. Misalnya, pendapatan nasional sebuah bangsa sanggup tumbuh terus, tetapi tanpa diikuti oleh peningkatan kesejahteraan sosial. Indeks ini dihitung berdasarkan kepada (1) angka rata-rata keinginan hidup pada umur satu tahun, (2) angka janjkematian bayi, dan (3) angka melek huruf. Dalam indeks ini, angka rata-rata keinginan hidup dan janjkematian b yi akan sanggup menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan lingkungan keluarga yang eksklusif beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga. Pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf, sanggup menggambarkan jumlah orang yang memperoleh jalan masuk pendidikan sebagai hasil pembangunan. Variabel ini menggambarkan kesejahteraan masyarakat, alasannya yakni tingginya status ekonomi keluarga akan menghipnotis status pendidikan para anggotanya. Oleh para pembuatnya, indeks ini dianggap sebagai yang paling baik untuk mengukur kualitas insan sebagai hasil dari pembangunan, disamping pendapatan per kapita sebagai ukuran kuantitas manusia.
6. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
The United Nations Development Program (UNDP) telah membuat indicator pembangunan yang lain, sebagai embel-embel untuk beberapa indicator yang telah ada. Ide dasar yang melandasi dibuatnya indeks ini yakni pentingnya memperhatikan kualitas sumber daya manusia. Menurut UNDP, pembangunan hendaknya ditujukan kepada pengembangan sumberdaya manusia. Dalam pemahaman ini, pembangunan sanggup diartikan sebagai sebuah proses yang bertujuan m ngembangkan pilihan-pilihan yang sanggup dilakukan oleh manusia. Hal ini didasari oleh perkiraan bahwa peningkatan kualitas sumberdaya insan akan diikuti oleh terbukanya aneka macam pilihan dan peluang memilih jalan hidup insan secara bebas.
Pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai factor penting dalam kehidupan manusia, tetapi tidak secara otomatis akan menghipnotis peningkatan martabat dan harkat manusia. Dalam relasi ini, ada tiga komponen yang dianggap paling memilih dalam pembangunan, umur panjang dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan, dan peningkatan terhadap jalan masuk untuk kehidupan yang lebih baik. Indeks ini dibentuk dengagn mengkombinasikan tiga komponen,;
- rata-rata keinginan hidup pada ketika lahir,
- rata-rata pencapaian pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMU,
- pendapatan per kapita yang dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity. Pengembangan insan berkaitan bersahabat dengan peningkatan kapabilitas insan yang sanggup dirangkum dalam peningkatan knowledge, attitude danskills, disamping derajat kesehatan seluruh anggota keluarga dan lingkungannya.