Pengertian Motivasi Berprestasi Berdasarkan Para Ahli
Monday, April 18, 2022
Edit
PENGERTIAN MOTIVASI BERPRESTASI
PENGERTIAN MOTIVASI
Motif berasal dari bahasa latin yaitu movere yang artinya bergerak. Motif yang diistilahkan needs yakni dorongan yang sudah terikat pada suatu tujuan (Ahmadi, 1999).Perilaku insan senantiasa dilatarbelakangi motif dan motivasi. Beragamnya motif dan motivasi mewarnai kehidupan manusia, contohnya makan lantaran lapar, ingin menerima kasih sayang, ingin diterima lingkungan dan sebagainya (Ahmadi, 1998). Pendapat para andal dalam literatur yang dibaca oleh penulis, bahwa pengertian motif dan motivasi hampir sama dan tidak ditemukan perbedaan arti yang mendasar.
Maksud dan pengertiannya sama, hanya berbeda dalam memformulasikan kalimat pada motif dan kalimat pada motivasi saja. Sedangkan arti yang terkandung dalam motif dan motivasi bekerjsama mempunyai persamaan. Oleh lantaran itu dalam klarifikasi berikutnya pada goresan pena ini tidak dibedakan antara motif dan motivasi. Ahmadi (1998)menjelaskan lebih lanjut, bahwa motivasi yakni suatu kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang mengakibatkan organisme itu bertindak atau berbuat. Motivasi berdasarkan Winkel (1997) yakni sebagai daya aktivis dari dalam diri individu dengan maksud mencapai kegiatan tertentu dan untuk mencapai tujuan tertentu. Chaplin (1999) mendefinisikan motivasi sebagai variabel penyelang yang dipakai untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laris menuju suatu sasaran.
Murray (dalam Chaplin, 1999) juga mengemukakan pendapatnya sendiri mengenai motivasi. Ia menyebutkan motivasi sebagai motif untuk mengatasi rintangan-rintangan atau berusaha melaksanakan sebaik dan secepat mungkin pekerjaan-pekerjaan yang sulit Walgito (2002) menyatakan motivasi merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang mengakibatkan organisme itu bertindak atau berbuat dan dorongan ini biasanya tertuju pada suatu tujuan tertentu. Sejalan dengan pendapat diatas, Suryabrata (2000) menyatakan motivasi suatu keadaan dalam diri individu yang mendorong individu untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan. McClelland (1987) mendefinisikan motivasi sebagai suatu kebutuhan yang bersifat sosial, kebutuhan yang muncul jawaban imbas eksternal. Ia kemudian membagi kebutuhan tersebut menjadi tiga, yaitu :Kebutuhan Berkuasa (Need for Power), Kebutuhan Berprestasi (Need for Achievement), Kebutuhan Berteman (Need for Affiliation).
Berdasarkan teori-teori diatas sanggup disimpulkan pengertian dari motivasi yaitu suatu dorongan dalam diri individu lantaran adanya suatu rangsangan baik dari dalam maupun dari luar untuk memenuhi kebutuhan individu dan tercapainya tujuan individu. Makara individu akan bertingkah laris tertentu dikarenakan adanya motif dan adanya rangsangan untuk memenuhi kebutuhan serta mendapatkan tujuan yang diinginkan. Berarti motivasi berkaitan dengan dorongan-dorongan dan kebutuhan-kebutuhan, sehingga sanggup disimpulkan bahwa motivasi yakni dorongan untuk berbuat sesuatu lantaran ada rangsang atau stimulus yang tujuannya yakni untuk memenuhi kebutuhan individu.
MOTIVASI BERPRESTASI
Motivasi berprestasi pertama kali diperkenalkan oleh Murray (dalam Martaniah, 1998) yang diistilahkan dengan need for achievement dan dipopulerkan oleh Mc Clelland (1961) dengan sebutan “n-ach”, yang beranggapan bahwa motif berprestasi merupakan virus mental lantaran merupakan pikiran yang bekerjasama dengan cara melaksanakan kegiatan dengan lebih baik daripada cara yang pernah dilakukan sebelumnya.
Jika sudah terserang virus ini mengakibatkan sikap individu menjadi lebih aktif dan individu menjadi lebih ulet dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai prestasi yang lebih baik dari sebelumnya. Individu yang memperlihatkan motivasi berprestasi berdasarkan Mc.Clelland yakni mereka yang task oriented dan siap mendapatkan tugas-tugas yang menantang dan kerap mengevaluasi tugas-tugasnya dengan beberapa cara, yaitu membandingkan dengan hasil kerja orang lain atau dengan standard tertentu (McClelland, dalam Morgan 1986). Selain itu mcClelland juga mengartikan motivasi berprestasi sebagai standard of exellence yaitu kecenderungan individu untuk mencapai prestasi secara optimal (McClelland,1987). Selanjutnya berdasarkan Haditono (Kumalasari, 2006), motivasi berprestasi yakni kecenderungan untuk meraih prestasi dalam relasi dengan nilai standar keunggulan.
Motivasi berprestasi ini membuat prestasi sebagai target itu sendiri. Individu yang dimotivasi untuk prestasi tidak menolak penghargaan itu, tidak sungguh-sungguh merasa bahagia jika dalam persaingan yang berat ia berhasil memenangkannya dengan jerih payah setelah mencapai standar yang ditentukan. Individu yang mempunyai dorongan berprestasi tinggi umumnya suka membuat risiko yang lunak yang bisa memerlukan cukup banyak kekaguman dan keinginan akan hasil yang berharga, keterampilan dan ketetapan hatinya yang memperlihatkan suatu kemungkinan yang masuk nalar daripada hasil yang dicapai dari laba semata. Jika memulai suatu pekerjaan, individu yang mempunyai dorongan prestasi tinggi ingin mengetahui bagaimana pekerjaannya, ia lebih menyukai acara yang menawarkan umpan balik yang cepat dan tepat.
Menurut Herman (Linda, 2004) motivasi berprestasi ini sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, lantaran motif berprestasi akan mendorong seseorang untuk mengatasi tantangan atau rintangan dan memecahkan kasus seseorang, bersaing secara sehat, serta akan besar lengan berkuasa pada prestasi kerja seseorang. Atkinson (Martaniah, 1998) menyampaikan bahwa motivasi berprestasi dalam sikap individu mengandung dua kecenderungan perilaku, yaitu : a. Individu yang cenderung mengejar atau mendekati kesuksesan b. Individu yang berusaha untuk menghindari kegagalan.
CIRI-CIRI INDIVIDU YANG MEMILIKI MOTIVASI BERPRESTASI
Menurut McClelland (dalam Morgan, 1986) ciri-ciri individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi yakni :
Menurut Herman dalam Martaniah (1998) ciri-ciri yang menonjol untuk menentukan motivasi berprestasi berprestasi tinggi antara lain :
Berdasarkan uraian diatas sanggup dismpulkan bahwa individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi mempunyai ciri-ciri antara lain, mempunyai rasa percaya diri yang besar, berorientasi kemasa depan, suka pada kiprah yang mempunyai tingkat kesulitan sedang, tidak membuang-buang waktu, menentukan sahabat yang berkemampuan baik dan tangguh dalam mengerjakan tugas-tugasnya.Heckhausen (Monks dan Haditono,1999) menyampaikan bahwa individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah mempunyai perbedaan.
Adapun ciri-ciri individu yang motivasi berprestasi rendah yakni :
Atkinson (Linda,2004) menyampaikan bahwa ciri-ciri individu yang tidak mempunyai motivasi berprestasi antara lain :
Secara keseluruhan sanggup disimpulkan bahwa individu yang mempunyai motivasi berprestasi rendah mempunyai ciri-ciri antara lain, bersikap pesimis, orientasi pada masa lampau, menganggap keberhasilan sebagai nasib mujur, menghindari kegagalan, suka menggunakan cara yang lama, tidak menyenangi pekerjaan pekerjaan yang menuntut tanggung jawab serta tidak berusaha untuk mencari umpan balik dari pekerjaannya. II.C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi pada seseorang. Faktor-faktor tersebut antara lain yakni :
Selain itu hal-hal yang sanggup mempengaruhi motivasi berprestasi yakni :
Motivasi berprestasi yang terjadi pada masa belum dewasa tidak hanya ditentukan oleh orang renta saja, tetapi juga sanggup berubah lantaran proses pendidikan, latihan-latihan dan adanya faktor kematangan dan proses berguru pada masa selanjutnya (Mc Clelland dalam Martaniah, 1984). Motivasi berprestasi merupakan suatu hal yang dipelajari, oleh lantaran itu pembentukannya sangat ditentukan oleh faktor lingkungan terutama keluarga sebagai lingkungan terdekat. Selain itu lantaran terbentuk dari lingkungan maka kebutuhan berprestasi bisa berubah sejalan dengan perkembangan yang dialami individu yaitu melalui latihan, pendidikan, kematangan dan proses belajar.
Locke (Kumalasari, 2006) menjelaskan bahwa pengalaman atau kematangan, wawasan diri dan usia individu besar lengan berkuasa terhadap motivasi berprestasi individu. Kemudian Mc Clelland (1961) yang mengemukakan bahwa ada enam aspek motivasi berprestasi pada diri individu, yaitu :
Dari uraian diatas sanggup diketahui bahwa motif berprestasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pendidikan, masa kerja, lingkungan dan keluarga, disamping faktor yang berasal dari dalam diri individu yaitu kemampuan diri, adanya kemampuan besar untuk madiri serta bersedia berkorban untuk mencapai tujuannya. Kemudian ada beberapa aspek kebutuhan berprestasi dalam diri individu yaitu bertanggung jawab dan kurang suka menerima santunan dari orang lain, mencapai prestasi dengan sebaik-baiknya, memperhitungkan kemampuan diri dengan risiko yang sedang, ingin hasil yang konkrit dari usahanya, tidak bahagia membuang-buang waktu serta memilikiantisipasi yang berorientasi kedepan.
KARYAWAN ETNIS BATAK DAN ETNIS TIONGHOA
1. Pengertian Etnis
Etnis atau suku merupakan suatu kesatuan sosial yang sanggup dibedakan dari kesatuan yang lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Dengan kata lain etnis yakni kelompok insan yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2007). Dari pendapat diatas sanggup dilihat bahwa etnis ditentukan oleh adanya kesadaran kelompok, ratifikasi akan kesatuan kebudayaan dan juga persamaan asal-usul. Wilbinson (Koentjaraningrat, 2007) menyampaikan bahwa pengertian etnis mungkin meliputi dari warna kulit hingga asal ususl pola kepercayaan, status kelompok minoritas, kelas stratafikasi, keanggotaan politik bahkan acara belajar.
Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) juga menjelaskan bahwa etnis sanggup ditentukan berdasarkan persamaan asal-usul yang merupakan salah satu faktor yang sanggup menimbulkan suatu ikatan. Berdasarkan teori-teori diatas sanggup disimpulkan bahwa etnis atau suku merupakan suatu kesatuan sosial yang sanggup membedakan kesatuan berdasarkan persamaan asal-usul seseorang sehingga sanggup dikategorikan dalam status kelompok mana ia dimasukkan. Istilah etnis ini dipakai untuk mengacu pada satu kelompok, atau ketegori sosial yang perbedaannya terletak pada kriteria kebudayaan.
2. Etnis Batak
a. Pandangan Hidup Serta Filsafat Etnis Batak
Tanah Batak yakni tempat pedalaman di Sumatera Utara dengan Danau Toba sebagai pusatnya. Daerah pedalaman ini merupakan dataran tinggi yang diapit oleh gunung-gunung. Etnis Batak khususnya terdiri dari sub-sub suku bangsa yaitu :
Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, Angkola dan Mandailing. Dimana dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari mereka menggunakan beberapa logat (Payung dalam Koentjaraningrat, 2007). Payung (Koentjaraningrat, 2007) menyampaikan bahwa berdasarkan cerita-cerita suci (Tarombo) orang Batak semua sub-sub suku bangsa itu mempunyai nenek moyang yang satu yaitu Siraja Batak yang tinggalnya dikaki gunung pusuk bukit, letaknya disebelah barat Danau Toba. Dimana orang Batak mempunyai konsep bahwa alam ini beserta isinya diciptakan Debata (Ompung). Selanjutnya Payung (Koentjaraningrat, 2007) menjelaskan bahwa setiap insan mempunyai tondi, dimana tondi tersebut diterima oleh seseorang ketika masih didalam rahim ibunya, dan tondi merupakan suatu kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan insan dalam kehidupannya.
Konsep yang sangat fundamental dalam organisasi relasi yakni marga. Marga yakni kelompok-kelompok orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal (Verbouwen dalam Ihromi, 1986). Semua anggota dari satu marga menggunakan nama identitas yang dibubuhkan setelah nama kecilnya, dan nama marga itu merupakan suatu menerangkan bahwa orang-orang yang menggunakannya masih mempunyai kakek yang sama, dan ada satu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga sama terjalin oleh relasi darah, dan salah satu konsekuensinya yakni larangan menikah bagi perempuan dan laki-laki yang mempunyai nama marga yang sama.
Dalam beberapa konsep berfikir ini, kemudian tumbuhlah suatu ketetapan pandangan hidup dan kemudian berkembanglah menjadi suatu ajang filsafat hidup yang menjadi dasar praktek sistem kepercayaan orang Batak. Suku bangsa Batak yakni penduduk yang menghuni kabupaten Tapanuli, propinsi Sumatera Timur maupun yang berdiam diluarnya, yaitu orang-orang perantauan yang berasal dari tempat tersebut. Suku bangsa Batak terdiri dari beberapa suku, antara lain suku Toba yang mendiami belahan tengah tempat Batak yang meliputi Habinsaran, Silindung, Dataran Tinggi Toba, Barus, Sorkam dan Sibolga. Di sebelah utara berdiam suku Karo, belahan Barat suku Pakpak, belahan timur suku Simalungun dan dibagian selatan suku Angkola dan Mandailing, dan suku Gayo dan Alas berdiam dibagian selatan Aceh. Selain daripada itu penduduk yang berdiam di tempat Rokan, Bila, Pane dan Kotapinang termasuk juga dalam suku Batak (L.S.Diapari, 1987)
b. Struktur Sosial Orang Batak
Keluarga merupakan struktur masyarakat kelompok terkecil yang terpadu dan meliputi keluarga pendukung. Arti yang luas dari ini yakni keluarga masih unit terkecil bahwa keluarga sanggup meliputi kebutuhan sendiri, bahwa keluarga tidak membaur kemasyarakat luas secara alami, bahwa keluarga mempunyai semangat bersaing dan anggotanya termotivasi oleh hal-hal mudah untuk melindungi dan meningkatkan kekayaan keluarga merupakan tiang penyangga (Ihromi, 1986). Dalam keluarga ini yang memegang peranan penting dan berkuasa yakni ayah dan anak laki-lakinya. Karena pada praktiknya dominasi laki-laki bagi etnis Batak yakni normal. Peraturan sering terlihat ketat dan berat untuk dilaksanakan. Anak laki-laki sebagai penerus marga ayahnya ini disebabkan lantaran orang Batak memegang prinsip keturunan secara patrilineal yaitu setiap anak baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya mempunyai marga ayahnya (Payung dalam Koentjaraningrat, 2007).
Prinsip kehidupan orang Batak bahwa belum dewasa harus patuh kepada orang tua. Dimana kewajiban belum dewasa terhadap orang renta baik sebelum maupun setelah menikah harus tetap berbakti kepada orang tua., begitu juga dengan relasi sosial yang penting dalam keluarga sesuai dengan etika relasi sosial saudara laki-laki terhadap saudara perempuan dan relasi suami istri. Kalau ketiga dasar fondasi relasi dalam keluarga inti dan keluarga besar baik dan harmonis, maka relasi sosial dalam masyarakat sekelilingnya akan lebih baik dan serasi juga. Dimana etika relasi sosial dalam keluarga ini terutama kewajiban-kewajiban belum dewasa dalam dedikasi kepada orang renta dan anak laki-laki dihentikan membuat susah orang renta (Payung dalam Koentjaraningrat, 2007).
KARYAWAN ETNIS BATAK
Suku Batak hidup di lereng gunung Bukit Barisan, terisolir dari kemudian lintas peradaban luar. Hutan yang sangat lebat belum pernah terjamah oleh insan turut menyempurnakan isolasi itu. Gunung Pusuk Bukit dipinggir Danau Toba itulah tempat etnis Batak berasal. Suku Batak hidup dalam pola asuh keluarga yang menuntut belum dewasa mereka sekolah setinggi-tingginya dan tak jarang orangtua yang petani didesa rela melepaskan anakanak mereka merantau biar sanggup menuntut ilmu setinggi-tingginya dan tak jarang orang renta yang petani di desa rela melepaskan belum dewasa mereka merantau biar sanggup menuntut ilmu setinggi-tingginya (Tambunan dalam Kartika,2004).
Adanya kemauan yang keras dalam diri mereka memacu mereka untuk berorientasi kedepan sehingga kalau ditelusuri bahwa disetiap ibukota diseluruh Indonesia sanggup dijumpai etnis Batak. Ada falsafah etnis Batak yang menyampaikan bahwa ada tiga yang menjadi tujuan mereka hidup yang lebih dikenal dengan 3H yaitu Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (Menikah dan Keturunan) dan Hasangapon (Nama Baik). Selama mereka tumbuh dan berkembang orangtua selalu menekankan falsafah ini kepada anak-anaknya sehingga etnis Batak cenderung mempunyai aksara atau sifat yang pekerja keras, gigih dan selalu berorientasi kedepan. Adanya sifat pejuang membuat mereka menjadi pemberani, selalu berusaha untuk sukses (Togatorop dalam Kartika, 2004).
Salah satu aksara etnis Batak yang menonjol yakni tahan dalam segala situasi dalam lingkungan yang menghimpit dan mau berjuang, hal ini sesuai dengan pendapat Mc Clelland (Martaniah,1998) yang menyampaikan bahwa orang yang mempunyai motif berprestasi tinggi cenderung mempunyai kemauan untuk maju dan mengambil resiko yang sedang. Tambunan (Kartika, 2004) menyampaikan bahwa etnis Batak yakni etnis yang sangat memandang tinggi derajat manusia, lantaran pada mereka ada sistem marga yang mengatur kedudukan dan sosial dimasyarakat yang membuat mereka saling menghargai satu sama lain.
Unsur motif berprestasi inilah yang didistribusikan oleh Weiner (Martaniah,1998) sebagai suatu perjuangan sukses dalam mencapai tujuan yang sudah diorientasikan sebelumnya lantaran dalam motif berprestasi tersebut mengandung unsur usaha. Berdasarkan uraian diatas sanggup dilihat bahwa etnis Batak mempunyai aksara yang memperlihatkan bahwa mereka mempunyai motif berprestasi. Hal ini didasari oleh pola asuh orang renta yang mendidik mereka untuk berusaha menjadi lebih baik melalui pendidikan yang tinggi. II.E. 3. Etnis Tionghoa
a. Pandangan Hidup Serta Filsafat Etnis Tionghoa
Kebanyakan orang Indonesia orisinil telah banyak bergaul dengan orang Tionghoa Indonesia, tetapi sebagian besar belum mengenal golongan penduduk ini dengan sewajarnya. Orang Tionghoa yang ada di Indonesia bekerjsama tidak merupakan satu kelompok yang asal dari satu tempat di negeri Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu Puksen dan Kwanglung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa kebudayaan suku bangsa sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan bahasanya. Ada empat bahasa yang dipakai oleh orang Tionghoa di Indonesia, yaitu bahasa Hokkian, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton yang demikian besar perbedaannya, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak sanggup mengerti pembicaraan dari yang lain (Vasanty dalam Hariyono, 2006). Selanjutnya Vasanty (Hariyono, 2006) menyampaikan para imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia mulai kala ke-16 hingga kira-kira pertengahan kala ke-19, berasal dari suku bangsa Hokkian. Mereka berasal dari propinsi Fukien belahan selatan.
Daerah itu merupakan tempat yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perdagangan orang Tionghoa ke seberang lautan. Kepandaian berdagang ini yang ada didalam kebudayaan suku bangsa Hokkian telah terendap berabad-abad lamanya dan masih tampak terang pada orang Tionghoa di Indonesia. Diantara pedagang pedagang Tionghoa di Indonesia merekalah yang paling berhasil. Hal ini juga disebabkan lantaran sebagian dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin. Orang Hokkian dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagai keseluruhan paling banyak terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pantai Barat Sumatera.
b. Stereotip Etnis Tionghoa
Stereotip etnis Tionghoa biasanya disebutkan sebagai mempunyai sikap tertutup, angkuh, egoistis, superior dan materialistis. Tapi kadang kala memperlihatkan sikap ramah, murah hati, rajin, ulet, mempunyai spekulasi tinggi, namun dengan gampang menghamburhamburkan materi, suka berpesta pora. Sifatnya muncul secara bergantian, tidak menentu, seakan-akan berdiri sendiri-sendiri, sehingga orang yang belum mengenalnya akan sulit menangkap sifat insan Tionghoa dan akan dengan gampang dilihat sisi negatifnya.
Bahkan sementara orang menganggapnya sebagai suatu eksploitasi terhadap lingkungan (sosial) disekitarnya. Padahal sifat itu muncul secara spontan dari alam tidak sadarnya yang secara kultural berasal dari akar budayanya yang tunggal yang mempunyai makna tertentu yang akan sanggup dipahami. Justru keanekaragaman sifat dan sikap ini yang membedakan cirri khas insan Tionghoa dengan yang lain (Vasanty dalam Hariyono,2006). Selanjutnya Vasanty (Hariyono, 2006) menyampaikan bila ditelusuri stereotip-stereotip diatas ternyata saling berkaitan, mempunyai akar budayanya yang tunggal pada sistem kepercayaannya.
Pada etnis Tionghoa sisitem kepercayaan dan tradisi yang dianut secara cukup luas terdapat pada agama Konfusius, disamping terdapat juga agama Tao dan Budha. Ajaran Konfusius selama berabad-abad sempat menjadi anutan wajib disekolah-sekolah negeri Cina pada zaman dahulu. Internalisasi yang cukup usang ini membekas pada insan Tionghoa hingga generasi-generasi berikutnya. Meskipun anutan ini sudah tidak begitu banyak dianut oleh orang Tionghoa di Indonesi namun sisa-sisa nilai yang terbentuk masih tampak pada insan Tionghoa dalam aneka macam gradasi internalisasi yang berbeda-beda. Selain itu secara internal anutan Konfusius mempunyai kekuatan akan pewarisan nilai-nilai, lantaran salah satu nilai yang cukup menonjol, yaitu nilai patuh kepada orang renta dan dedikasi kepada keluarga memungkinkan segala sesuatu, merupakan media internalisasi yang ampuh bagi penamaan nilai secara kuat kepada generasi berikut (Vasanty dalam Hariyono, 2006).
KARYAWAN ETNIS TIONGHOA
Orang turunan Tionghoa atau yang lebih dikenal dengan etnis Cina merupakan orang pendatang ke Indonesia pada kala ke -16. pada waktu itu etnis Tionghoa yang tiba kebanyakan pria, lantaran transportasi masih sukar dan alhasil banyak etnis Tionghoa yang menikah dengan perempuan Indonesia yang lebih dikenal dengan pribumi. Pada zaman dahulu golongan etnis Tionghoa peranakan lebih berintegrasi dengan orang Jawa. Pada umumnya mereka tidak menggunakan bahasa Cina lagi dan mereka mengambil adapt dan kebudayaan Jawa. Akan tetapi pada kala 20 terjadilah gerakan nasionalisme di Negara Cina yang mempengaruhi kaun Tionghoa di perantauan.
Banayak orang Cina yang dikirim ke Jawa untuk memberi rangsangan pada orang Tionghoa di Jawa untuk berorientasi kepada Negara leluhurnya (Vasanty dalam Martaniah, 1998). Allers (Martaniah, 1998) menyampaikan bahwa orang-orang Tionghoa ini suka bekerja, berani berspekulasi, penuh inisiatif dan materialistik. Golongan keturunan etnis Tionghoa ini dikagumi akan keuletan maupun kerajinannya. Selanjutnya dia juga menyampaikan bahwa sifat orang Tionghoa yang kaya dan orang Tionghoa yang miskin berbeda.
Orang Tionghoa yang miskin cenderung mempunyai sifat submisif, hati-hati, rasional, hemat, realistis, rajin dan bersungguh-sungguh. Sedangkan yang kaya lebih cenderung mempunyai sifat yang suka dipuji, tidak simpatik, terlalu bebas, impulsif, boros dan tidak hati-hati. Seiring dengan perkembangan zman bahwa di tanah air masih tetap terlihat banyak. Sekolah-sekolah yang mayoritas pelajarnya keturunan Tionghoa dan juga beberapa perusahaan didominasi etnis Tionghoa dan tentunya kebudayaan yang mereka anut serta nilai-nilainya masih kuat. Pada umumnya etnis Tionghoa berpegang teguh pada kebudayaan negri leluhurnya, sangat sukar berhenti sebagai orang Tionghoa (Mitchison dalam Martaniah, 1998).
Hubungan kekeluargaan orang Tionghoa begitu erat sehingga sukar bagi mereka untuk melepaskan diri dari kebudayaan dan nilai-nilai keluarganya. Disisi lain, Amy Chua (Hariyono, 2006) menyebutkan bila dalam suatu Negara demokrasi kelompok etnis minoritas menguasai pasar, bukan mustahil suatu ketika mempunyai potensi melahirkan percikan api kerusuhan rasial. Dalam problem etnis Tionghoa di Indonesia, problem sosio-kultural dan problem ekonomi muncul ibarat sekeping mata uang dengan dua sisinya. Secara sederhana sanggup dikatakan, sikap insan Tionghoa perantauan umumnya berorientasi pada acara ekonomi.
Tetapi acara ekonomi etnis Tionghoa dilakukan dalam rujukan sosil-kultural (dan politik)nya. Dan ketika Deng Xiaoping membuat slogan “reformasi dan membuka diri” membuat masyarakat Tionghoa bersemangat dan memasuki era globalisasi dengan cepat (Suryadinata dalam Wibowo, 2000). Atas dasar uraian-uraian dan pendapat-pendapat tersebut bahwa karyawan orangorang etnis Tionghoa atau Cina yang tinggal di Negara Indonesia masih tetap memegang teguh kebudayaan maupun nilai-nilai Negara asalnya yang menawarkan mereka cara hidup dalam kesehariannya untuk menuju sukses dan pada umumnya berorientasi pada acara ekonomi.
PERBEDAAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA KARYAWAN ETNIS BATAK DAN ETNIS TIONGHOA
Dalam masyarakat Indonesia etnis Tionghoa dikenal sebagai pedagang dan wiraswasta yang berhasil. Menurut McClelland (Martaniah, 1984) kewiraswastaan ini merupakan ciri motif berprestasi yang tinggi. Motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis Tionghoa ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu :
Akibat mereka mencoba menonjolkan identitas dirinya dengan memperlihatkan dan mengerahkan segala kemampuannya, sehingga muncullah motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis minoritas yang pada akhirnya memperlihatkan menunjukkan tingkat ekonomi yang berbeda (Hariyono, 2006). Crawford (Martaniah, 1998) orang-orang turunan Tionghoa ini suka bekerja, berspekulasi, penuh inisiatif dan maternalistik. Selain itu mereka juga dikagumi oleh keuletan dan kegigihan mereka dalam bekerja. Hidayat (Martaniah, 1998) beropini bahwa anutan Kong Hu Cu yang banyak dianut oleh etnis Tionghoa, menyatakan bahwa tiap-tiap individu harus menyebarkan kecakapan dan keterampilan semaksimal mungkin sesuai dengan status sosialnya.
Selanjutnya Hidayat menyampaikan bahwa etnis Tionghoa semenjak dulu menawarkan keyakinan bahwa mereka yakni sentra pemerintahan dunia, maka dimanapun mereka harus melebihi tingkat hidup kaum pribumi, alhasil mereka bekerja keras dan bertekun, sabar serta hemat supaya tingkat kehidupannya menonjol. Selanjutnya etnis Batak yang menempuh kebudayaan berdasarkan kepribadiannya sendiri dan adanya perubahan zaman tidak mempengaruhi kepribadian itu lantaran orang-orang Batak dikota pun tetap berpegang teguh kepada filsafat leluhur (Napitupulu dalam Kartika, 2004).
Secara kepribadian orang Batak mempunyai sikap dan pembawaan yang agak menonjol dan terkadang mayoritas dalam berargumentasi dan cenderung memaksakan kehendak dan ingin menang sendiri dalam tingkah laris seakan-akan memperlihatkan sifat dan ciri khas. Terdorong oleh keadaan itu menimbulkan sifat yang superioritas selalu tampak, apalagi bekerjasama dengan orang lain. Sejajar dengan imbas Katolik pada pertengahan kala ke-19 yang kemudian masuklah sistem pendidikan sekolah yang membuka kebudayaan Batak untuk imbas dari luar dengan kecepatan yang amat besar. Salah satu kekuatan dari orang Batak sebagai suatu sub suku bangsa yakni bahwa mereka itu mempunyai suatu organisasi berdasarkan agama yang kuat ialah HKBP (Huria Katolik Batak Protestan).
Organisasi ini mempersatukan semua orang Batak yang beragama Kristen, sanggup melaksanakan penyebarluasan terhadap adat istiadat Batak, sanggup menghilangkan unsur-unsur didalamnya yang terbelakang dan menghambat kemajuan serta sanggup mendorong timbulnya suatu sikap mental yang cocok untuk pembangunan (Koentjaraningrat, 2007). Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) menyampaikan bahwa konsep dasar kebudayaan Batak yakni Dalihan Na Tolu yang dihayati sebagai sistem kognitif yang menawarkan pedoman bagi orientasi setiap orang Batak yang menentukan persepsi dan definisi terhadap realitas.
Dari sudut pendekatan kebudayaan, Dalihan Na Tolu sanggup menjadi potensi yang didayagunakan untuk mengetahui, memahami dan juga mengambil sikap terhadap apa yang dipahami dan diketahuinya. Kajian mendalam membuktikan bahwa Dalihan Na Tolu tidak terlepas dari konsep religi Batak tua, yang didasarkan pada prinsip tritunggal atau sitolu sada ihot (konsep tiga dalam satu) yang meliputi kehidupan spiritual, sosial, moral dan material. Dalihan Nan Tolu tidak hanya dijumpai ditengah masyarakat Batak Toba, tetapi juga ditengah masyarakat Batak lainnya (P.L. Situmeang, 2007) Dari paparan diatas, intinya terlihat kesamaan antara etnis Tionghoa dan Etnis Batak.
Namun terdapat faktor –faktor ibarat dilema minoritas pada masyarakat Tionghoa (Suryadinata, 1984) yang memungkinkan terjadinya perbedaan kesenjangan motif berprestasi dengan etnis Tionghoa. Menurut Wilmoth (Martaniah, 1998) etnis Tionghoa dibandingkan dengan warga pribumi lebih kompetitif, mempunyai perjuangan yang besar dan sangat mengusahakan prestasi dan mempunyai tingkat aspirasi yang tinggi. Selanjutnya hal ini terjadi lantaran adanya perbedaan dalam pengasuhan anak. Pada kedua perbedaan tersebut, orangtua turunan Tionghoa lebih banyak meminta kepada anaknya untuk berusaha mencapai prestasi dan sukses, sedangkan orangtua pribumi lebih longgar, mereka tidak menekankan permintaan-permintaan kepada anaknya. Atas dasar inovasi itu Wilmoth (Martaniah,1998) beropini bahwa etnis Tionghoa mempunyai need achievement yang tinggi.
Didalam kenyataannya dari hasil wawancara dengan para karyawan Citi Financial terdapat kesenjangan motivasi berprestasi antara karyawan etnis Batak dan karyawan etnis Tionghoa, sedangkan dari paparan diatas berdasarkan pendapat para andal dan temuan-temuan dalam penelitian sanggup dikatakan bahwa need of achievement antara etnis Batak dan etnis Tionghoa seharusnya tidak mempunyai perbedaan. Berkaitan dengan konteks ini maka peneliti tertarik untuk membuktikan wacana sejauh mana derajat perbedaan achievement karyawan di Citi Fianancial tersebut dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perbedaannya.
Murray (dalam Chaplin, 1999) juga mengemukakan pendapatnya sendiri mengenai motivasi. Ia menyebutkan motivasi sebagai motif untuk mengatasi rintangan-rintangan atau berusaha melaksanakan sebaik dan secepat mungkin pekerjaan-pekerjaan yang sulit Walgito (2002) menyatakan motivasi merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang mengakibatkan organisme itu bertindak atau berbuat dan dorongan ini biasanya tertuju pada suatu tujuan tertentu. Sejalan dengan pendapat diatas, Suryabrata (2000) menyatakan motivasi suatu keadaan dalam diri individu yang mendorong individu untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan. McClelland (1987) mendefinisikan motivasi sebagai suatu kebutuhan yang bersifat sosial, kebutuhan yang muncul jawaban imbas eksternal. Ia kemudian membagi kebutuhan tersebut menjadi tiga, yaitu :Kebutuhan Berkuasa (Need for Power), Kebutuhan Berprestasi (Need for Achievement), Kebutuhan Berteman (Need for Affiliation).
Berdasarkan teori-teori diatas sanggup disimpulkan pengertian dari motivasi yaitu suatu dorongan dalam diri individu lantaran adanya suatu rangsangan baik dari dalam maupun dari luar untuk memenuhi kebutuhan individu dan tercapainya tujuan individu. Makara individu akan bertingkah laris tertentu dikarenakan adanya motif dan adanya rangsangan untuk memenuhi kebutuhan serta mendapatkan tujuan yang diinginkan. Berarti motivasi berkaitan dengan dorongan-dorongan dan kebutuhan-kebutuhan, sehingga sanggup disimpulkan bahwa motivasi yakni dorongan untuk berbuat sesuatu lantaran ada rangsang atau stimulus yang tujuannya yakni untuk memenuhi kebutuhan individu.
MOTIVASI BERPRESTASI
Motivasi berprestasi pertama kali diperkenalkan oleh Murray (dalam Martaniah, 1998) yang diistilahkan dengan need for achievement dan dipopulerkan oleh Mc Clelland (1961) dengan sebutan “n-ach”, yang beranggapan bahwa motif berprestasi merupakan virus mental lantaran merupakan pikiran yang bekerjasama dengan cara melaksanakan kegiatan dengan lebih baik daripada cara yang pernah dilakukan sebelumnya.
Jika sudah terserang virus ini mengakibatkan sikap individu menjadi lebih aktif dan individu menjadi lebih ulet dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai prestasi yang lebih baik dari sebelumnya. Individu yang memperlihatkan motivasi berprestasi berdasarkan Mc.Clelland yakni mereka yang task oriented dan siap mendapatkan tugas-tugas yang menantang dan kerap mengevaluasi tugas-tugasnya dengan beberapa cara, yaitu membandingkan dengan hasil kerja orang lain atau dengan standard tertentu (McClelland, dalam Morgan 1986). Selain itu mcClelland juga mengartikan motivasi berprestasi sebagai standard of exellence yaitu kecenderungan individu untuk mencapai prestasi secara optimal (McClelland,1987). Selanjutnya berdasarkan Haditono (Kumalasari, 2006), motivasi berprestasi yakni kecenderungan untuk meraih prestasi dalam relasi dengan nilai standar keunggulan.
Motivasi berprestasi ini membuat prestasi sebagai target itu sendiri. Individu yang dimotivasi untuk prestasi tidak menolak penghargaan itu, tidak sungguh-sungguh merasa bahagia jika dalam persaingan yang berat ia berhasil memenangkannya dengan jerih payah setelah mencapai standar yang ditentukan. Individu yang mempunyai dorongan berprestasi tinggi umumnya suka membuat risiko yang lunak yang bisa memerlukan cukup banyak kekaguman dan keinginan akan hasil yang berharga, keterampilan dan ketetapan hatinya yang memperlihatkan suatu kemungkinan yang masuk nalar daripada hasil yang dicapai dari laba semata. Jika memulai suatu pekerjaan, individu yang mempunyai dorongan prestasi tinggi ingin mengetahui bagaimana pekerjaannya, ia lebih menyukai acara yang menawarkan umpan balik yang cepat dan tepat.
Menurut Herman (Linda, 2004) motivasi berprestasi ini sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, lantaran motif berprestasi akan mendorong seseorang untuk mengatasi tantangan atau rintangan dan memecahkan kasus seseorang, bersaing secara sehat, serta akan besar lengan berkuasa pada prestasi kerja seseorang. Atkinson (Martaniah, 1998) menyampaikan bahwa motivasi berprestasi dalam sikap individu mengandung dua kecenderungan perilaku, yaitu : a. Individu yang cenderung mengejar atau mendekati kesuksesan b. Individu yang berusaha untuk menghindari kegagalan.
CIRI-CIRI INDIVIDU YANG MEMILIKI MOTIVASI BERPRESTASI
Menurut McClelland (dalam Morgan, 1986) ciri-ciri individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi yakni :
- Menyukai kiprah yang mempunyai taraf kesulitan sedang/menengah. Individu yang memilikimotivasi berprestasi tinggi lebih menyukai kiprah yang mempunyai taraf kesukaran sedang namun menjanjikan kesuksesan. Rohwer (dalam Robbins,2001) menyampaikan bahwa seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan berusaha mencoba setiap kiprah yang menantang dan sulit tetapi bisa untuk diselesaikan, sedangkan orang yang tidak mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan enggan melakukannya. Robbins (2001) menambahkan bahwa orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas-tugas yang menantang serta berani mengambil resiko yang diperhitungkan (calculated risk) untuk mencapai suatu target yang telah ditentukan. Spence (dalam Morgan, 1986) menambahkan, mereka yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi mempunyai task oriented dan selalu mempersiapkan diri terhadap tugas-tugas yang menantang.
- Suka mendapatkan umpan balik (suka membandingkan kinerja dengan orang lain). Individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi mengharapkan umpan balik dengan cara membandingkan performansinya dengan orang lain atau suatu standarisasi tertentu (Spence dalam Morgan, 1986). Penetapan standard keberhasilan merupakan motif ekstrinsik yang bukan dari dalam dirinya, namun ditetapkan dari orang lain. Seseorang terdorong untuk berusaha mencapai standard yang ditetapkan oleh orang lain lantaran takut kalah dari orang lain (Rohwer dalam Robbins, 2001). Individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi kerap mengharapkan umpan balik dan membandingkan hasil kerjanya dengan hasil kerja orang lain dengan suatu ukuran keunggulan yaitu perbandingan dengan prestasi orang lain atau standard tertentu (McClelland dalam Morgan 1986).
- Tekun dan gigih terhadap kiprah yang berkaitan dengan kemajuannya. Individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan mempunyai kinerja yang baik, aktif berproduktivitas, serta tekun dalam bekerja. Dengan adanya motivasi berprestasi karyawan akan mempunyai sifat-sifat ibarat selalu berusaha mencapai prestasi sebaikbaiknya dengan selalu tekun dalam menjalankan kiprah (Martaniah, 1998). Atkinson (Linda,2004) menyampaikan bahwa seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi yakni sebagai berikut :
- Free Choise, yakni bahwa individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi menyukai aktivitas-aktivitas atas keberhasilannya sehingga selalu berusaha untuk meningkatkan segala kemungkinan untuk berprestasi oleh lantaran kemampuan pengalaman keberhasilannya yang lebih banyak sehingga kendati mengalami kagagalan masih tetap tersirat untuk berhasil.
- Persistence Behaviour, yakni suatu anggapan individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi menganggap bahwa kegagalan yakni sebagai jawaban kurangnya usaha, oleh lantaran itu keinginan dan perjuangan untuk berhasil selalu tinggi.
- Intensity of performance,adalah suatu intensitas dalam penampilan kerja, artinya individu yang motivasi berprestasinya tinggi selalu berpenampilan suka kerja keras dibandingkan seseorang yang motivasi berprestasinya rendah.
- Risk preference, yakni suatu pertimbangan menentukan risiko yang sedang artinya tidak gampang dan tidak juga sukar.
Menurut Herman dalam Martaniah (1998) ciri-ciri yang menonjol untuk menentukan motivasi berprestasi berprestasi tinggi antara lain :
- Mempunyai ide yang tingkatannya sedang, hal ini terjadi lantaran individu tersebut mempunyai keinginan untuk berprestasi tinggi sehingga individu tersebut tidak ingin melaksanakan sesuatu yang berbeda diluar jangkauannya atau tidak ingin membuang waktu yang banyak untuk mengerjakan sesuatu diluar kemampuan dirinya.
- Memiliki kiprah yang mempunyai risiko yang sedang daripada yang tinggi.
- Persperktif waktunya berorientasi kedepan.
- Mempunyai keuletan dalam melaksanakan kiprah yang belum selesai.
- Mempunyai dorongan untuk melaksanakan kiprah yang belum selesai.
- Memiliki pasangan kerja atas dasar kemampuannya.
- Usaha yang dilakukannya sangat menonjol.
Berdasarkan uraian diatas sanggup dismpulkan bahwa individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi mempunyai ciri-ciri antara lain, mempunyai rasa percaya diri yang besar, berorientasi kemasa depan, suka pada kiprah yang mempunyai tingkat kesulitan sedang, tidak membuang-buang waktu, menentukan sahabat yang berkemampuan baik dan tangguh dalam mengerjakan tugas-tugasnya.Heckhausen (Monks dan Haditono,1999) menyampaikan bahwa individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah mempunyai perbedaan.
Adapun ciri-ciri individu yang motivasi berprestasi rendah yakni :
- Orientasi pada masa lampau.
- Memiliki kiprah yang sukar dan tidak sesuai dengan kemampuannya.
- Tidak mempunyai kepercayaan dalam meghadapi tugas, adanya rasa pesimis yang dimiliki.
- Menganggap keberhasilan suatu nasib mujur.
- Cenderung mengambil pekerjaan tingkat resiko lemah, sehingga keberhasilan akan gampang dicapai.
- Suka bermalas-malasan serta melaksanakan dengan cara yang baru. 7. Tidak menyenangi pekerjaan yang menuntut tanggung jawab dan merasa puas sebatas prestasi yang dicapai.
- Tidak mencari umpan balik dari perbuatannyajika melaksanakan pekerjaan yang tidak diinginkan.
Atkinson (Linda,2004) menyampaikan bahwa ciri-ciri individu yang tidak mempunyai motivasi berprestasi antara lain :
- Individu termotivasi oleh ketakutan akan kegagalan.
- Lebih bahagia menghindari kegagalan.
- Senang melaksanakan tugas-tugas yang mempunyai taraf-taraf kesulitan yang rendah.
- Individu bahagia menghindari kegagalan dan akan memperlihatkan performance terbaik pada tugas-tugas dengan kesulitan yang rendah.
Secara keseluruhan sanggup disimpulkan bahwa individu yang mempunyai motivasi berprestasi rendah mempunyai ciri-ciri antara lain, bersikap pesimis, orientasi pada masa lampau, menganggap keberhasilan sebagai nasib mujur, menghindari kegagalan, suka menggunakan cara yang lama, tidak menyenangi pekerjaan pekerjaan yang menuntut tanggung jawab serta tidak berusaha untuk mencari umpan balik dari pekerjaannya. II.C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi pada seseorang. Faktor-faktor tersebut antara lain yakni :
- Kemampuan Intelektual Menurut Gebhart dan Hoyt (Linda, 2004) dengan kelompok kemampuan intelektual yang tinggi ternyata menonjol dalam achievement, exhibition, autonomy dan dominance, sedangkan dengan kelompok kemampuan intelektual rendah ternyata menonjol dalam order, abasement, dan nurturance.
- Tingkat Pendidikan Orang renta Sadli (Linda,2004) menyatakan cara ibu mengasuh anak sanggup menimbulkan motivasi berprestasi yang tinggi dan juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan lantaran ibu yang berpendidikan tinggi akan mempunyai aspirasi dan motivasi untuk mendorong anak biar berprestasi setinggi-tingginya.
- Jenis Kelamin Adi Subroto, Watson, Lingren, Martaniah (Linda, 2004) menemukan adanya perbedaan motivasi berprestasi antara laki-laki dan wanita, laki-laki mempunyai motivasi berprestasi yang lebih tinggi daripada wanita.
- Pola Asuh Dari penelitian didapat bahwa motivasi berprestasi terbentuk semenjak masa kanak-kanak dan dipengaruhi oleh cara ibu mengasuh anaknya (Suroso dalam Linda, 2004).
Selain itu hal-hal yang sanggup mempengaruhi motivasi berprestasi yakni :
- Pendidikan Soemanto dan Setianingsih (Hurlock,1981) menyampaikan bahwa pendidikan yakni pengalaman yang menawarkan pengertian perubahan terhadap suatu objek yang mengakibatkan berkembangnya kecakapan seseorang dalam membentuk sikap tingkah lakunya. Soemanto (1984) dan Setianingsih (1986) menggambarkan pendidikan formal ibarat TK,SD sederajat,SLTA sederajat dan perguruan tinggi tinggi. Sedangkan pendidikan informal diperoleh dalam keluarga dan kehidupan berkelompok. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai maka akan semakin besar juga untuk mendapatkan pandangan dan wawasan baru.
- Lama Kerja Menurut Ranupandojo (Linda,2004), usang kerja yakni banyaknya waktu yang menyatakan bahwa seseorang telah menjadi karyawam pada suatu perusahaan dan faktor penting yang sanggup meningkatkan kemampuan dan keterampilan sehingga sanggup menguasai pekerjaan dengan lebih baik.
- Lingkungan Tantangan yang ada dalam suatu lingkungan akan menetukan tinggi rendahnya dorongan berprestasi individu. Seandainya tantangan yang ada dalam lingkungan itu sedang-sedang saja maka motivasi berprestasi individu tersebut akan tinggi. Namun jika tantangan itu terlalu besar atau terlalu kecil maka motivasi berprestasinya akan berkurang (Mc Clelland dalm Linda, 2004).
- Keluarga Cara mengasuh anak dan training yang diberikan kepada belum dewasa untuk sanggup berdiri diatas kaki mereka sendiri (mandiri) serta biar sanggup menguasai keterampilan atau keahlian tertentu dalam usia dini dan tidak ada penolakan dalam diri anak. Orang renta yang mempunyai standar kualitas tinggi menganjurkan anak-anaknya akan meningkatkan motivasi berprestasi yang tinggi pada anak (Mc Clelland, 2004).
- Pengaruh yang Berasal dari Dalam Diri Individu Menurut Harisson (Linda, 2004), yaitu ada kemampuan dalam mempersiapkan diri secara bersungguh-seungguh untuk bekerja juga bersedia mendapatkan dan mencoba pekerjaan untuk memperoleh pengalaman kerja. Menghindari dari pola pemuasan kesukaran untuk mencapai keberhasilan dalam mencapai tujuan yang mengandung arti bersedia berkorban untuk mencapai tujuan.
Motivasi berprestasi yang terjadi pada masa belum dewasa tidak hanya ditentukan oleh orang renta saja, tetapi juga sanggup berubah lantaran proses pendidikan, latihan-latihan dan adanya faktor kematangan dan proses berguru pada masa selanjutnya (Mc Clelland dalam Martaniah, 1984). Motivasi berprestasi merupakan suatu hal yang dipelajari, oleh lantaran itu pembentukannya sangat ditentukan oleh faktor lingkungan terutama keluarga sebagai lingkungan terdekat. Selain itu lantaran terbentuk dari lingkungan maka kebutuhan berprestasi bisa berubah sejalan dengan perkembangan yang dialami individu yaitu melalui latihan, pendidikan, kematangan dan proses belajar.
Locke (Kumalasari, 2006) menjelaskan bahwa pengalaman atau kematangan, wawasan diri dan usia individu besar lengan berkuasa terhadap motivasi berprestasi individu. Kemudian Mc Clelland (1961) yang mengemukakan bahwa ada enam aspek motivasi berprestasi pada diri individu, yaitu :
- Bertanggungjawab dan kurang suka menerima santunan orang lain.
- Mencapai prestasi dengan sebaik-baiknya.
- Ingin hasil yang konkrit dari usahanya.
- Memperhitungkan kemampuan diri dengan resiko sedang.
- Tidak bahagia membuang-buang waktu serta gigih.
- Memiliki antisipasi yang berorientasi kedepan.
Dari uraian diatas sanggup diketahui bahwa motif berprestasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pendidikan, masa kerja, lingkungan dan keluarga, disamping faktor yang berasal dari dalam diri individu yaitu kemampuan diri, adanya kemampuan besar untuk madiri serta bersedia berkorban untuk mencapai tujuannya. Kemudian ada beberapa aspek kebutuhan berprestasi dalam diri individu yaitu bertanggung jawab dan kurang suka menerima santunan dari orang lain, mencapai prestasi dengan sebaik-baiknya, memperhitungkan kemampuan diri dengan risiko yang sedang, ingin hasil yang konkrit dari usahanya, tidak bahagia membuang-buang waktu serta memilikiantisipasi yang berorientasi kedepan.
KARYAWAN ETNIS BATAK DAN ETNIS TIONGHOA
1. Pengertian Etnis
Etnis atau suku merupakan suatu kesatuan sosial yang sanggup dibedakan dari kesatuan yang lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Dengan kata lain etnis yakni kelompok insan yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2007). Dari pendapat diatas sanggup dilihat bahwa etnis ditentukan oleh adanya kesadaran kelompok, ratifikasi akan kesatuan kebudayaan dan juga persamaan asal-usul. Wilbinson (Koentjaraningrat, 2007) menyampaikan bahwa pengertian etnis mungkin meliputi dari warna kulit hingga asal ususl pola kepercayaan, status kelompok minoritas, kelas stratafikasi, keanggotaan politik bahkan acara belajar.
Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) juga menjelaskan bahwa etnis sanggup ditentukan berdasarkan persamaan asal-usul yang merupakan salah satu faktor yang sanggup menimbulkan suatu ikatan. Berdasarkan teori-teori diatas sanggup disimpulkan bahwa etnis atau suku merupakan suatu kesatuan sosial yang sanggup membedakan kesatuan berdasarkan persamaan asal-usul seseorang sehingga sanggup dikategorikan dalam status kelompok mana ia dimasukkan. Istilah etnis ini dipakai untuk mengacu pada satu kelompok, atau ketegori sosial yang perbedaannya terletak pada kriteria kebudayaan.
2. Etnis Batak
a. Pandangan Hidup Serta Filsafat Etnis Batak
Tanah Batak yakni tempat pedalaman di Sumatera Utara dengan Danau Toba sebagai pusatnya. Daerah pedalaman ini merupakan dataran tinggi yang diapit oleh gunung-gunung. Etnis Batak khususnya terdiri dari sub-sub suku bangsa yaitu :
Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, Angkola dan Mandailing. Dimana dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari mereka menggunakan beberapa logat (Payung dalam Koentjaraningrat, 2007). Payung (Koentjaraningrat, 2007) menyampaikan bahwa berdasarkan cerita-cerita suci (Tarombo) orang Batak semua sub-sub suku bangsa itu mempunyai nenek moyang yang satu yaitu Siraja Batak yang tinggalnya dikaki gunung pusuk bukit, letaknya disebelah barat Danau Toba. Dimana orang Batak mempunyai konsep bahwa alam ini beserta isinya diciptakan Debata (Ompung). Selanjutnya Payung (Koentjaraningrat, 2007) menjelaskan bahwa setiap insan mempunyai tondi, dimana tondi tersebut diterima oleh seseorang ketika masih didalam rahim ibunya, dan tondi merupakan suatu kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan insan dalam kehidupannya.
Konsep yang sangat fundamental dalam organisasi relasi yakni marga. Marga yakni kelompok-kelompok orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal (Verbouwen dalam Ihromi, 1986). Semua anggota dari satu marga menggunakan nama identitas yang dibubuhkan setelah nama kecilnya, dan nama marga itu merupakan suatu menerangkan bahwa orang-orang yang menggunakannya masih mempunyai kakek yang sama, dan ada satu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga sama terjalin oleh relasi darah, dan salah satu konsekuensinya yakni larangan menikah bagi perempuan dan laki-laki yang mempunyai nama marga yang sama.
Dalam beberapa konsep berfikir ini, kemudian tumbuhlah suatu ketetapan pandangan hidup dan kemudian berkembanglah menjadi suatu ajang filsafat hidup yang menjadi dasar praktek sistem kepercayaan orang Batak. Suku bangsa Batak yakni penduduk yang menghuni kabupaten Tapanuli, propinsi Sumatera Timur maupun yang berdiam diluarnya, yaitu orang-orang perantauan yang berasal dari tempat tersebut. Suku bangsa Batak terdiri dari beberapa suku, antara lain suku Toba yang mendiami belahan tengah tempat Batak yang meliputi Habinsaran, Silindung, Dataran Tinggi Toba, Barus, Sorkam dan Sibolga. Di sebelah utara berdiam suku Karo, belahan Barat suku Pakpak, belahan timur suku Simalungun dan dibagian selatan suku Angkola dan Mandailing, dan suku Gayo dan Alas berdiam dibagian selatan Aceh. Selain daripada itu penduduk yang berdiam di tempat Rokan, Bila, Pane dan Kotapinang termasuk juga dalam suku Batak (L.S.Diapari, 1987)
b. Struktur Sosial Orang Batak
Keluarga merupakan struktur masyarakat kelompok terkecil yang terpadu dan meliputi keluarga pendukung. Arti yang luas dari ini yakni keluarga masih unit terkecil bahwa keluarga sanggup meliputi kebutuhan sendiri, bahwa keluarga tidak membaur kemasyarakat luas secara alami, bahwa keluarga mempunyai semangat bersaing dan anggotanya termotivasi oleh hal-hal mudah untuk melindungi dan meningkatkan kekayaan keluarga merupakan tiang penyangga (Ihromi, 1986). Dalam keluarga ini yang memegang peranan penting dan berkuasa yakni ayah dan anak laki-lakinya. Karena pada praktiknya dominasi laki-laki bagi etnis Batak yakni normal. Peraturan sering terlihat ketat dan berat untuk dilaksanakan. Anak laki-laki sebagai penerus marga ayahnya ini disebabkan lantaran orang Batak memegang prinsip keturunan secara patrilineal yaitu setiap anak baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya mempunyai marga ayahnya (Payung dalam Koentjaraningrat, 2007).
Prinsip kehidupan orang Batak bahwa belum dewasa harus patuh kepada orang tua. Dimana kewajiban belum dewasa terhadap orang renta baik sebelum maupun setelah menikah harus tetap berbakti kepada orang tua., begitu juga dengan relasi sosial yang penting dalam keluarga sesuai dengan etika relasi sosial saudara laki-laki terhadap saudara perempuan dan relasi suami istri. Kalau ketiga dasar fondasi relasi dalam keluarga inti dan keluarga besar baik dan harmonis, maka relasi sosial dalam masyarakat sekelilingnya akan lebih baik dan serasi juga. Dimana etika relasi sosial dalam keluarga ini terutama kewajiban-kewajiban belum dewasa dalam dedikasi kepada orang renta dan anak laki-laki dihentikan membuat susah orang renta (Payung dalam Koentjaraningrat, 2007).
KARYAWAN ETNIS BATAK
Suku Batak hidup di lereng gunung Bukit Barisan, terisolir dari kemudian lintas peradaban luar. Hutan yang sangat lebat belum pernah terjamah oleh insan turut menyempurnakan isolasi itu. Gunung Pusuk Bukit dipinggir Danau Toba itulah tempat etnis Batak berasal. Suku Batak hidup dalam pola asuh keluarga yang menuntut belum dewasa mereka sekolah setinggi-tingginya dan tak jarang orangtua yang petani didesa rela melepaskan anakanak mereka merantau biar sanggup menuntut ilmu setinggi-tingginya dan tak jarang orang renta yang petani di desa rela melepaskan belum dewasa mereka merantau biar sanggup menuntut ilmu setinggi-tingginya (Tambunan dalam Kartika,2004).
Adanya kemauan yang keras dalam diri mereka memacu mereka untuk berorientasi kedepan sehingga kalau ditelusuri bahwa disetiap ibukota diseluruh Indonesia sanggup dijumpai etnis Batak. Ada falsafah etnis Batak yang menyampaikan bahwa ada tiga yang menjadi tujuan mereka hidup yang lebih dikenal dengan 3H yaitu Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (Menikah dan Keturunan) dan Hasangapon (Nama Baik). Selama mereka tumbuh dan berkembang orangtua selalu menekankan falsafah ini kepada anak-anaknya sehingga etnis Batak cenderung mempunyai aksara atau sifat yang pekerja keras, gigih dan selalu berorientasi kedepan. Adanya sifat pejuang membuat mereka menjadi pemberani, selalu berusaha untuk sukses (Togatorop dalam Kartika, 2004).
Salah satu aksara etnis Batak yang menonjol yakni tahan dalam segala situasi dalam lingkungan yang menghimpit dan mau berjuang, hal ini sesuai dengan pendapat Mc Clelland (Martaniah,1998) yang menyampaikan bahwa orang yang mempunyai motif berprestasi tinggi cenderung mempunyai kemauan untuk maju dan mengambil resiko yang sedang. Tambunan (Kartika, 2004) menyampaikan bahwa etnis Batak yakni etnis yang sangat memandang tinggi derajat manusia, lantaran pada mereka ada sistem marga yang mengatur kedudukan dan sosial dimasyarakat yang membuat mereka saling menghargai satu sama lain.
Unsur motif berprestasi inilah yang didistribusikan oleh Weiner (Martaniah,1998) sebagai suatu perjuangan sukses dalam mencapai tujuan yang sudah diorientasikan sebelumnya lantaran dalam motif berprestasi tersebut mengandung unsur usaha. Berdasarkan uraian diatas sanggup dilihat bahwa etnis Batak mempunyai aksara yang memperlihatkan bahwa mereka mempunyai motif berprestasi. Hal ini didasari oleh pola asuh orang renta yang mendidik mereka untuk berusaha menjadi lebih baik melalui pendidikan yang tinggi. II.E. 3. Etnis Tionghoa
a. Pandangan Hidup Serta Filsafat Etnis Tionghoa
Kebanyakan orang Indonesia orisinil telah banyak bergaul dengan orang Tionghoa Indonesia, tetapi sebagian besar belum mengenal golongan penduduk ini dengan sewajarnya. Orang Tionghoa yang ada di Indonesia bekerjsama tidak merupakan satu kelompok yang asal dari satu tempat di negeri Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu Puksen dan Kwanglung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa kebudayaan suku bangsa sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan bahasanya. Ada empat bahasa yang dipakai oleh orang Tionghoa di Indonesia, yaitu bahasa Hokkian, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton yang demikian besar perbedaannya, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak sanggup mengerti pembicaraan dari yang lain (Vasanty dalam Hariyono, 2006). Selanjutnya Vasanty (Hariyono, 2006) menyampaikan para imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia mulai kala ke-16 hingga kira-kira pertengahan kala ke-19, berasal dari suku bangsa Hokkian. Mereka berasal dari propinsi Fukien belahan selatan.
Daerah itu merupakan tempat yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perdagangan orang Tionghoa ke seberang lautan. Kepandaian berdagang ini yang ada didalam kebudayaan suku bangsa Hokkian telah terendap berabad-abad lamanya dan masih tampak terang pada orang Tionghoa di Indonesia. Diantara pedagang pedagang Tionghoa di Indonesia merekalah yang paling berhasil. Hal ini juga disebabkan lantaran sebagian dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin. Orang Hokkian dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagai keseluruhan paling banyak terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pantai Barat Sumatera.
b. Stereotip Etnis Tionghoa
Stereotip etnis Tionghoa biasanya disebutkan sebagai mempunyai sikap tertutup, angkuh, egoistis, superior dan materialistis. Tapi kadang kala memperlihatkan sikap ramah, murah hati, rajin, ulet, mempunyai spekulasi tinggi, namun dengan gampang menghamburhamburkan materi, suka berpesta pora. Sifatnya muncul secara bergantian, tidak menentu, seakan-akan berdiri sendiri-sendiri, sehingga orang yang belum mengenalnya akan sulit menangkap sifat insan Tionghoa dan akan dengan gampang dilihat sisi negatifnya.
Bahkan sementara orang menganggapnya sebagai suatu eksploitasi terhadap lingkungan (sosial) disekitarnya. Padahal sifat itu muncul secara spontan dari alam tidak sadarnya yang secara kultural berasal dari akar budayanya yang tunggal yang mempunyai makna tertentu yang akan sanggup dipahami. Justru keanekaragaman sifat dan sikap ini yang membedakan cirri khas insan Tionghoa dengan yang lain (Vasanty dalam Hariyono,2006). Selanjutnya Vasanty (Hariyono, 2006) menyampaikan bila ditelusuri stereotip-stereotip diatas ternyata saling berkaitan, mempunyai akar budayanya yang tunggal pada sistem kepercayaannya.
Pada etnis Tionghoa sisitem kepercayaan dan tradisi yang dianut secara cukup luas terdapat pada agama Konfusius, disamping terdapat juga agama Tao dan Budha. Ajaran Konfusius selama berabad-abad sempat menjadi anutan wajib disekolah-sekolah negeri Cina pada zaman dahulu. Internalisasi yang cukup usang ini membekas pada insan Tionghoa hingga generasi-generasi berikutnya. Meskipun anutan ini sudah tidak begitu banyak dianut oleh orang Tionghoa di Indonesi namun sisa-sisa nilai yang terbentuk masih tampak pada insan Tionghoa dalam aneka macam gradasi internalisasi yang berbeda-beda. Selain itu secara internal anutan Konfusius mempunyai kekuatan akan pewarisan nilai-nilai, lantaran salah satu nilai yang cukup menonjol, yaitu nilai patuh kepada orang renta dan dedikasi kepada keluarga memungkinkan segala sesuatu, merupakan media internalisasi yang ampuh bagi penamaan nilai secara kuat kepada generasi berikut (Vasanty dalam Hariyono, 2006).
KARYAWAN ETNIS TIONGHOA
Orang turunan Tionghoa atau yang lebih dikenal dengan etnis Cina merupakan orang pendatang ke Indonesia pada kala ke -16. pada waktu itu etnis Tionghoa yang tiba kebanyakan pria, lantaran transportasi masih sukar dan alhasil banyak etnis Tionghoa yang menikah dengan perempuan Indonesia yang lebih dikenal dengan pribumi. Pada zaman dahulu golongan etnis Tionghoa peranakan lebih berintegrasi dengan orang Jawa. Pada umumnya mereka tidak menggunakan bahasa Cina lagi dan mereka mengambil adapt dan kebudayaan Jawa. Akan tetapi pada kala 20 terjadilah gerakan nasionalisme di Negara Cina yang mempengaruhi kaun Tionghoa di perantauan.
Banayak orang Cina yang dikirim ke Jawa untuk memberi rangsangan pada orang Tionghoa di Jawa untuk berorientasi kepada Negara leluhurnya (Vasanty dalam Martaniah, 1998). Allers (Martaniah, 1998) menyampaikan bahwa orang-orang Tionghoa ini suka bekerja, berani berspekulasi, penuh inisiatif dan materialistik. Golongan keturunan etnis Tionghoa ini dikagumi akan keuletan maupun kerajinannya. Selanjutnya dia juga menyampaikan bahwa sifat orang Tionghoa yang kaya dan orang Tionghoa yang miskin berbeda.
Orang Tionghoa yang miskin cenderung mempunyai sifat submisif, hati-hati, rasional, hemat, realistis, rajin dan bersungguh-sungguh. Sedangkan yang kaya lebih cenderung mempunyai sifat yang suka dipuji, tidak simpatik, terlalu bebas, impulsif, boros dan tidak hati-hati. Seiring dengan perkembangan zman bahwa di tanah air masih tetap terlihat banyak. Sekolah-sekolah yang mayoritas pelajarnya keturunan Tionghoa dan juga beberapa perusahaan didominasi etnis Tionghoa dan tentunya kebudayaan yang mereka anut serta nilai-nilainya masih kuat. Pada umumnya etnis Tionghoa berpegang teguh pada kebudayaan negri leluhurnya, sangat sukar berhenti sebagai orang Tionghoa (Mitchison dalam Martaniah, 1998).
Hubungan kekeluargaan orang Tionghoa begitu erat sehingga sukar bagi mereka untuk melepaskan diri dari kebudayaan dan nilai-nilai keluarganya. Disisi lain, Amy Chua (Hariyono, 2006) menyebutkan bila dalam suatu Negara demokrasi kelompok etnis minoritas menguasai pasar, bukan mustahil suatu ketika mempunyai potensi melahirkan percikan api kerusuhan rasial. Dalam problem etnis Tionghoa di Indonesia, problem sosio-kultural dan problem ekonomi muncul ibarat sekeping mata uang dengan dua sisinya. Secara sederhana sanggup dikatakan, sikap insan Tionghoa perantauan umumnya berorientasi pada acara ekonomi.
Tetapi acara ekonomi etnis Tionghoa dilakukan dalam rujukan sosil-kultural (dan politik)nya. Dan ketika Deng Xiaoping membuat slogan “reformasi dan membuka diri” membuat masyarakat Tionghoa bersemangat dan memasuki era globalisasi dengan cepat (Suryadinata dalam Wibowo, 2000). Atas dasar uraian-uraian dan pendapat-pendapat tersebut bahwa karyawan orangorang etnis Tionghoa atau Cina yang tinggal di Negara Indonesia masih tetap memegang teguh kebudayaan maupun nilai-nilai Negara asalnya yang menawarkan mereka cara hidup dalam kesehariannya untuk menuju sukses dan pada umumnya berorientasi pada acara ekonomi.
PERBEDAAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA KARYAWAN ETNIS BATAK DAN ETNIS TIONGHOA
Dalam masyarakat Indonesia etnis Tionghoa dikenal sebagai pedagang dan wiraswasta yang berhasil. Menurut McClelland (Martaniah, 1984) kewiraswastaan ini merupakan ciri motif berprestasi yang tinggi. Motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis Tionghoa ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu :
- Pertama, akar budaya Tionghoa yang mempunyai orientasi pada materi dan kehormatan (keluarga).
- Kedua, predikat negatif yang sempat terpatri pada orang Tionghoa yang sempat menjadi stereotip pada masa orde baru, hal ini oleh sebagian orang Tionghoa merupakan cambuk untuk memperlihatkan prestasi (kerja) yang lebih baik sebagai bukti bahwa etnis Tionghoa tidak seburuk yang dikatakan orang.
- Ketiga, posisinya sebagai kelompok minoritas ikut mempengaruhi munculnya motif berprestasi.
Akibat mereka mencoba menonjolkan identitas dirinya dengan memperlihatkan dan mengerahkan segala kemampuannya, sehingga muncullah motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis minoritas yang pada akhirnya memperlihatkan menunjukkan tingkat ekonomi yang berbeda (Hariyono, 2006). Crawford (Martaniah, 1998) orang-orang turunan Tionghoa ini suka bekerja, berspekulasi, penuh inisiatif dan maternalistik. Selain itu mereka juga dikagumi oleh keuletan dan kegigihan mereka dalam bekerja. Hidayat (Martaniah, 1998) beropini bahwa anutan Kong Hu Cu yang banyak dianut oleh etnis Tionghoa, menyatakan bahwa tiap-tiap individu harus menyebarkan kecakapan dan keterampilan semaksimal mungkin sesuai dengan status sosialnya.
Selanjutnya Hidayat menyampaikan bahwa etnis Tionghoa semenjak dulu menawarkan keyakinan bahwa mereka yakni sentra pemerintahan dunia, maka dimanapun mereka harus melebihi tingkat hidup kaum pribumi, alhasil mereka bekerja keras dan bertekun, sabar serta hemat supaya tingkat kehidupannya menonjol. Selanjutnya etnis Batak yang menempuh kebudayaan berdasarkan kepribadiannya sendiri dan adanya perubahan zaman tidak mempengaruhi kepribadian itu lantaran orang-orang Batak dikota pun tetap berpegang teguh kepada filsafat leluhur (Napitupulu dalam Kartika, 2004).
Secara kepribadian orang Batak mempunyai sikap dan pembawaan yang agak menonjol dan terkadang mayoritas dalam berargumentasi dan cenderung memaksakan kehendak dan ingin menang sendiri dalam tingkah laris seakan-akan memperlihatkan sifat dan ciri khas. Terdorong oleh keadaan itu menimbulkan sifat yang superioritas selalu tampak, apalagi bekerjasama dengan orang lain. Sejajar dengan imbas Katolik pada pertengahan kala ke-19 yang kemudian masuklah sistem pendidikan sekolah yang membuka kebudayaan Batak untuk imbas dari luar dengan kecepatan yang amat besar. Salah satu kekuatan dari orang Batak sebagai suatu sub suku bangsa yakni bahwa mereka itu mempunyai suatu organisasi berdasarkan agama yang kuat ialah HKBP (Huria Katolik Batak Protestan).
Organisasi ini mempersatukan semua orang Batak yang beragama Kristen, sanggup melaksanakan penyebarluasan terhadap adat istiadat Batak, sanggup menghilangkan unsur-unsur didalamnya yang terbelakang dan menghambat kemajuan serta sanggup mendorong timbulnya suatu sikap mental yang cocok untuk pembangunan (Koentjaraningrat, 2007). Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) menyampaikan bahwa konsep dasar kebudayaan Batak yakni Dalihan Na Tolu yang dihayati sebagai sistem kognitif yang menawarkan pedoman bagi orientasi setiap orang Batak yang menentukan persepsi dan definisi terhadap realitas.
Dari sudut pendekatan kebudayaan, Dalihan Na Tolu sanggup menjadi potensi yang didayagunakan untuk mengetahui, memahami dan juga mengambil sikap terhadap apa yang dipahami dan diketahuinya. Kajian mendalam membuktikan bahwa Dalihan Na Tolu tidak terlepas dari konsep religi Batak tua, yang didasarkan pada prinsip tritunggal atau sitolu sada ihot (konsep tiga dalam satu) yang meliputi kehidupan spiritual, sosial, moral dan material. Dalihan Nan Tolu tidak hanya dijumpai ditengah masyarakat Batak Toba, tetapi juga ditengah masyarakat Batak lainnya (P.L. Situmeang, 2007) Dari paparan diatas, intinya terlihat kesamaan antara etnis Tionghoa dan Etnis Batak.
Namun terdapat faktor –faktor ibarat dilema minoritas pada masyarakat Tionghoa (Suryadinata, 1984) yang memungkinkan terjadinya perbedaan kesenjangan motif berprestasi dengan etnis Tionghoa. Menurut Wilmoth (Martaniah, 1998) etnis Tionghoa dibandingkan dengan warga pribumi lebih kompetitif, mempunyai perjuangan yang besar dan sangat mengusahakan prestasi dan mempunyai tingkat aspirasi yang tinggi. Selanjutnya hal ini terjadi lantaran adanya perbedaan dalam pengasuhan anak. Pada kedua perbedaan tersebut, orangtua turunan Tionghoa lebih banyak meminta kepada anaknya untuk berusaha mencapai prestasi dan sukses, sedangkan orangtua pribumi lebih longgar, mereka tidak menekankan permintaan-permintaan kepada anaknya. Atas dasar inovasi itu Wilmoth (Martaniah,1998) beropini bahwa etnis Tionghoa mempunyai need achievement yang tinggi.
Didalam kenyataannya dari hasil wawancara dengan para karyawan Citi Financial terdapat kesenjangan motivasi berprestasi antara karyawan etnis Batak dan karyawan etnis Tionghoa, sedangkan dari paparan diatas berdasarkan pendapat para andal dan temuan-temuan dalam penelitian sanggup dikatakan bahwa need of achievement antara etnis Batak dan etnis Tionghoa seharusnya tidak mempunyai perbedaan. Berkaitan dengan konteks ini maka peneliti tertarik untuk membuktikan wacana sejauh mana derajat perbedaan achievement karyawan di Citi Fianancial tersebut dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perbedaannya.