Berguru Keterampilan Berbasis Keterampilan Belajar
Sunday, June 14, 2020
Edit
BELAJAR KETERAMPILAN BERBASIS KETERAMPILAN BELAJAR
(Learning Skill Based Skill Learning)
Abstrak. Untuk mengantisipasi tantangan global, Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun konsep bertajuk Pendidikan Berbasis Kecakapan Hidup (Life-Skill Based Education). Di satu sisi, konsep ini diharapkan untuk menyongsong kecenderungan global dan membekali siswa dengan banyak sekali keterampilan sesuai aktivitas pengembangan di daerah-daerah kabupaten, maupun untuk memperluas kompetensi siswa yang diharapkan dalam kehidupan sehari-hari; tetapi di sisi lain konsep ini merupakan wacana yang masih sanggup diperdebatkan, sebab sebagian pakar masih mempertahankan perkiraan bahwa keterampilan berguru itu lebih penting dari pada berguru keterampilan. Belajar keterampilan merupakan serpihan dari keterampilan belajar. Dalam keterampil berguru terakomodasi banyak sekali kemampuan, termasuk berguru keterampilan yang searah dengan proteksi multi-life skilled. Pembelajaran berbasis keterampilan hidup (life-skilled based education) merupakan salah satu wacana yang sanggup diangkat menjadi kebijakan pemerintah untuk menghasilkan tenaga terampil dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, dalam implementasinya harus dalam kerangka pendidikan semesta yang menghasilkan keterampilan berguru (learning to learn) terus menerus.
Kata-kata kunci: belajar, terampil, berguru keterampilan, keterampilan belajar
*) Dr. Dwi Nugroho Hidayanto yakni Konsultan ADB untuk JSEP-2 dan dosen FKIP Universitas Mulawarman Samarinda.
1. Pendahuluan
Beberapa dekade yang kemudian para mahir telah meramalkan bahwa dunia akan dikuasai oleh orang yang menguasai informasi. Kenyataan remaja ini telah membuktikan bahwa negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat telah menguasai dan mengendalikan dunia berkat informasi yang telah berada dalam genggamannya. Apalagi dengan teknologi internet yang merupakan ciri paling menonjol pada millenium ketiga ini, susukan informasi dari dan ke banyak sekali penjuru dunia sanggup dilakukan dengan sangat efisien.Gelombang dan arus informasi yang terus meningkat mustahil sanggup dibendung. Fenomena ini terang menunjukkan implikasi terhadap dunia pembelajaran, baik dari segi penyediaan sumber berguru maupun cara membelajarkan siswa. Kecakapan atau keterampilan hidup (life-skill) yang diharapkan tidak lagi cukup hanya dalam bentuk keterampilan tradisional atau kecakapan menghasilkan teknologi sempurna guna, tetapi juga kecakapan memanfaatkan informasi seoptimal mungkin yang berkhasiat bagi pembentukan jati dirinya. Oleh sebab itu, banyak sekali keterampilan yang diberikan dalam rangka pemerolehan multi life skilled harus dilandasi oleh keterampilan berguru (learning skill).
Keterampilan berguru diyakini lebih universal, yang meliputi mengingat fakta, mengingat konsep, mengingat prosedur, mengingat prinsip, memakai konsep, memakai prosedur, memakai prinsip, berbagi konsep, berbagi prosedur, dan berbagi prinsip. Dengan mempunyai banyak sekali aspek keterampilan berguru universal tersebut, dengan sendirinya kemampuan lain yang lebih subtil dalam bentuk keterampilan atau kecakapan untuk hidup akan terikut. Oleh sebab itu, proses pemerolehan life-skilled tidak sanggup terpisah dari proses keterampilan belajar. Pembelajaran life-skilled harus tetap berada dalam kerangka learning skill (keterampilan belajar). Pembelajaran bagi munculnya keterampilan berguru akan lebih akomodatif terhadap perkembangan dan tuntutan zaman serta gencarnya arus informasi global, sebab esensinya ialah membekali siswa dengan kecakapan adaptabilitas dan fleksibilitas dalam memecahkan dilema hidup. Kecakapan memecahkan dilema hidup yang kompleks terkait dengan penguasaan sejumlah informasi serta dimilikinya aspek-aspek kepribadian yang mantap, yang kemudian lebih popular dengan istilah kecerdasan emosional. Oleh sebab itu, pembelajaran yang mendorong siswa biar sanggup mencari, menangkap, mengelola serta memanfaatkan informasi seefektif dan seefisien mungkin perlu segera dirintis. Informasi perlu dicari dan ditangkap sebab di dalamnya begitu banyak tawaran peluang untuk peningkatan kualitas hidup manusia. Informasi juga perlu dikelola sebab informasi yang diterima biasanya belum terstruktur sehingga perlu ditata biar gampang dipahami dan dimanfaatkan. Oleh sebab informasi itu sendiri yakni pengetahuan, maka pemanfaatan informasi sama artinya dengan proses absorpsi dan pengayaan pengetahuan. Semakin banyak informasi yang dikuasi siswa berarti semakin banyak pengetahuan, dan semakin banyak pengetahuan yang dimiliki siswa berarti ia semakin potensial untuk memecahkan dilema hidup.
Pembelajaran yang bertujuan untuk memecahkan dilema hidup sanggup direkayasa. Persoalannya ialah apakah yang perlu dibekalkan kepada siswa? Apakah berguru keterampilan yang mengarah kepada keterampilan khusus untuk mencari nafkah, ataukah keterampilan yang mengarah kepada keterampilan universal yang merupakan keterampilan bagi pengembangan potensi dan kreativitas siswa dalam totalitasnya? Jika penekanannya pada berguru keterampilan yakni bentuk-bentuk kemampuan untuk mencari nafkah, berarti banyak aspek lain yang terlewatkan, sementara aspek yang terlewatkan tersebut diharapkan oleh siswa dalam proses pembentukan jati dirinya.
2. Kajian Teoritik
2.1. Empat Pilar Pembelajaran
Dalam proses menjadi (on becoming process), paling tidak siswa memerlukan empat pilar yakni pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan kemampuan untuk beradaptasi dan bekerjasama. Hal ini sejalan dengan penegasan UNESCO dalam konverensi tahunannya di Melbourne (Diptoadi, 1999: 165) yang menekankan perlunya Masyarakat Belajar yang berbasis pada empat kemampuan yakni:
- Belajar untuk mengetahui,
- Belajar untuk sanggup melakukan,
- Belajar untuk sanggup mandiri, dan
- Belajar untuk sanggup bekerjasama.
Empat kemampuan tersebut di atas merupakan pilar-pilar berguru yang akan menjadi teladan bagi sekolah dalam menyelenggarakan kegiatan belajar-membelajarkan yang akan bermuara pada hasil berguru nyata yang diharapkan dalam kehidupan manusia. Hasil berguru nyata merupakan akumulasi kemampuan konkrit dan aneh untuk memecahkan dilema hidup. Oleh sebab itu, empat pilar berguru tersebut tidak bisa dilihat sebagai kwartetomis, empat kemampuan yang terpisah satu dari yang lain. Di satu sisi, ia merupakan garis kontinum dalam proses pencapaiannya, tetapi di sisi lain sanggup berbentuk hierarki sebab kemampuan di bawahnya merupakan prasyarat bagi kemampuan yang lebih tinggi. Kemampuan tertinggi dan terakhir merupakan akumulasi dari kemampuan-kemampuan di bawahnya.
Belajar untuk tahu menjadi basis bagi berguru untuk sanggup melakukan; berguru untuk sanggup melaksanakan merupakan basis bagi berguru untuk mandiri; berguru untuk sanggup berdiri diatas kaki sendiri merupakan basis bagi berguru untuk bekerjasama. Tahu, dapat, mandiri, dan kemampuan berafiliasi merupakan kesatuan dan prasyarat bagi individu untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Hubungan antar pilar tersebut sanggup dijelaskan. Bahwa tidak semua siswa yang tahu sanggup melaksanakan dalam arti mempunyai keterampilan; tetapi yang sanggup melaksanakan niscaya mempunyai pengetahuan sebagai dasar teoretik. Tidak semua yang sanggup melakukan, sanggup mempunyai kemandirian, sebab untuk menjadi sanggup berdiri diatas kaki sendiri memerlukan syarat-syarat lain; tetapi yang mempunyai kemandirian niscaya mempunyai keterampilan khusus sebagai basisnnya.
Tidak semua yang sanggup berdiri diatas kaki sendiri bisa berafiliasi dengan orang lain, sebab kemampuan berafiliasi menuntut syarat-syarat lain yang lebih terkait dengan aspek psikologis; dan yang bisa berafiliasi niscaya telah mempunyai basis kemandiran, keterampilan, dan pengetahuan yang cukup memadai. Oleh sebab itu, pengetahuan menjadi basis dan awal dari proses pemilikan keterampilan; pengetahuan dan keterampilan menjadi basis dan awal dari kemandirian; dan pengetahuan, keterampilan dan kemandirian menjadi basis dan awal dari kemampuan melaksanakan kerjasama dengan orang lain. Akumulasi dari pengetahuan, keterampilan, kemandirian dan kemampuan berafiliasi tersebut merupakan modalitas bagi kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving).
Searah dengan empat pilar pembelajaran, muncul satu pertanyaan wacana mana yang lebih penting antara berguru untuk hidup dan hidup untuk belajar. Pertanyaan ini diajukan untuk menguji paradigma pembelajaran yang lebih menekankan kepada pemerolehan keterampilan, sebab di sisi lain masih bertahan satu pandangan yang menyatakan bahwa belajar, yang menghasilkan keterampilan berguru (bukan berguru keterampilan), merupakan kewajiban dasar insan sebagai serpihan dalam proses menjadi. Berbagai teori secara konsisten juga masih menempatkan keterampilan (dalam arti skill to earning a living) sebagai salah satu aspek tujuan belajar.
Pembelajaran berbasis keterampilan hidup (Life-skilled Based Education), yang dikala ini sedang menjadi tema yang menarik diperbincangkan, diyakini dilatari oleh rasional yang cukup kokoh, yang sanggup dilihat dari tiga dimensi, baik dimensi makro (skala luas), mezzo (skala menengah), maupun mikro (skala kecil). Dilihat dari dimensi makro yakni upaya proteksi keterampilan kompleks bagi sumber daya insan Indonesia untuk memasuki persaingan global. Dilihat dari dimensi mezzo, yakni upaya proteksi keterampilan bagi putra-putra kawasan untuk membangun kawasan sejalan dengan tuntutan otonomi, sebagaimana ditegaskan oleh Subandriyo dan Hidayanto (2000), bahwa pemerintah kawasan baik di tingkat propinsi maupun kabupaten perlu mempersiapkan sumber daya insan yang bisa mengekplorasi dan memanfaatkan potensi alam kawasan masing-masing. Dari sisi mikro, tetapi berjangka panjang, ialah upaya membekali siswa dengan banyak sekali keterampilan yang berkhasiat untuk mengatasi dilema kehidupan sehari-hari.
Konsep di atas sangat sempurna sebagai terobosan bagi dilema nasional yang cukup mendesak, tetapi di sisi lain merupakan indikasi bahwa aktivitas pembelajaran pada hampir semua lini pendidikan belum mengasilkan lulusan dengan keterampilan yang memadai, yang berdasarkan istilah Fishman (2001) lulusan yang tidak global-market likes, lulusan yang tidak disukai pasar global. Akan tetapi, jika konsep itu dikembangkan sebagai kebijakan pendidikan umum akan muncul satu kekhawatiran, sebab begitu banyak aspek hasil berguru di luar keterampilan hidup (skill to earning a living) yang bernilai infinit untuk mengatasi dilema yang lebih kompleks akan hilang begitu saja.
2.1 Makna Keterampilan Belajar
Belajar yakni berubah merupakan definisi klasik yang masih sanggup dipertahankan, sebab paling relevan dengan keberadaan sekolah sebagai biro perubahan. Definisi yang inklusive ini mengakomodasi semua tujuan belajar, dari tujuan terendah yakni mengetahui fakta hingga ke tujuan tertinggi yakni kemampuan memecahkan masalah. Sekolah sebagai biro perubahan dan tempat berkembagnya aspek intelektual (head-on), budpekerti (heart-on) dan keterampilan (hand-on) tidak sanggup direduksi hanya untuk salah satu tujuan berguru saja. Sekolah akan kehilangan makna jika menekankan pada salah satunya dengan mengabaikan yang lain, sebab tujuan awal diadakannya sekolah ialah untuk membekali siswa dengan banyak sekali aspek intelektual dan emosional yang mendasar sehingga ia cerdas, bermoral dan terampil. (Harefa, 2000)
Learning to learn, berguru untuk belajar, tumbuh dari sinergi antara intelektual dan budpekerti yang terekspresi dari hasil berguru otentik (actual outcomes) dalam bentuk karya dan perilaku. Dimilikinya keterampilan berguru untuk berguru oleh siswa, dengan sendirinya akan dikuasi sejumlah aspek lain, termasuk keterampilan untuk hidup. Keterampilan berguru bukan keterampilan tunggal tetapi merupakan garis kontinum yang bermula dari titik awal kehidupan dan berakhir pada ajal insan itu sendiri. Keterampilan berguru merupakan salah satu potensi dan kiprah asasi insan yang kuantitas dan kualitasnya dipengaruhi faktor eksternal. Pendidikan yakni faktor eksternal dalam bentuk rekayasa sistematis untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas keterampilan belajar. Berbagai cara telah dilakukan para pakar untuk menumbuhkan keterampilan belajar, diantaranya model pembelajaran berpikir yang dikembangkan Purwadhi (2000) yang telah teruji sanggup meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan kritis yang pada hasilnya sanggup menumbuhkan keterampilan berguru (skill to learn).
Pembelajaran bagi tumbuhnya keterampilan berguru juga dirasa sebagai salah satu kebutuhan mendasar bagi negara maju dalam menyongsong era global sebagaimana penegasan Goh Chok Tong, P.M. Singapore, pada The Singapore Expo (2001), bahwa kurikulum harus lebih menekankan pada kemampuan berpikir kreatif dan kritis serta pemecahan masalah. Kemampuan ini sanggup tumbuh jika siswa menghargai keterkaitan antar disiplin ilmu, memakai mekanisme pemecahan masalah dan keterampilan berkomunikasi serta mau bekerja dalam kelompok kerja. Dorongan terhadap siswa untuk menghargai banyak sekali disiplin, tertib prosedur, serta banyak sekali aspek lain yang diharapkan dalam kehidupan dan interaksi dengan sesamanya membuktikan bahwa siswa perlu mempunyai banyak sekali keterampilan yang kompleks. Keterampilan-keterampilan itu sanggup diperoleh dari proses keterampilan belajar.
Keterampilan berguru yang pertumbuhannya memerlukan banyak sekali prasyarat tersebut se arah dengan konsep “Menjadi Manusia Pembelajar” yang ditulis oleh Harefa (2000). Harefa (2000: 53) menulis apa yang diingatkan Jakob Sumardjo bahwa insan hidup untuk berguru (learning how to be), bukan berguru untuk hidup (learning how to do). Hidup untuk berguru searah dengan perlunya keterampilan belajar, dan berguru untuk hidup searah dengan berguru terampil. Hidup untuk berguru berarti mengeluarkan segenap potensi dirinya untuk membuat dirinya nyata bagi sesamanya. Belajar untuk hidup berarti upaya mendapat pekerjaan. Hidup untuk berguru lebih esensial, sebab berguru bukan hanya training tetapi proses untuk menjadi diri sendiri.
Seorang yang terampil berguru ia akan menjadi pembelajar bagi dirinya yang berbasis pada kesadaran bahwa we created by the Creator to be creature with creativity (Harefa, 2000: 119). Bahwa kita yakni ciptaan yang dicipta oleh Sang Pencipta dan dianugerahi daya cipta untuk mencipta. Bila seseorang telah menjadi insan pembelajar, ia akan sanggup membuat organisasi pembelajar, yakni organisasi yang terus menerus memperluas kapasitas membuat masa depan. Seorang pembelajar akan lebih mempunyai tanggung jawab baik kepada Tuhan, kepada diri sendiri, dan kepada sesama manusia. Seorang pembelajar akan memperoleh keterampilan berguru dan hasilnya akan lebih manusiawi, sebagaimana penegasan Senge (dalam Harefa, 2000: 139), bahwa dari berguru individu akan:
- Menciptakan kembali kepribadiannya,
- Melakukan sesuatu yang baru,
- Merasakan hubungan yang lebih dalam dengan dunia,
- Dapat memperluas kapasitas proses pembentukan kehidupan.
2.3. Tujuan Keterampilan Belajar
Tujuan simpulan dari terampil berguru ialah dimilikinya kemampuan memecahkan masalah secara bertanggung jawab. Tanggung jawab ini mempunyai makna yang sangat dalam, melampaui kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh dari belajar. Untuk mencapai tujuan simpulan tersebut, harus dilampuai dua tujuan antara, yakni:
- Mampu mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dan
- Dapat berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuhnya-seutuhnya dengan cara menjadi diri sendiri. (Harefa, 2000: 136).
Individu mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya sebab dalam proses belajarnya akan berhadapan dengan banyak sekali tantangan, kesulitan, dan banyak sekali kendala, yang semua itu merupakan ujian bagi penemuan diri sendiri; suatu proses pemahaman diri. Melalui proses ini ia mengetahui potensi dirinya secara benar sehingga ia akan konsisten pada satu bidang yang darinya sanggup dimunculkan satu maha karya. Proses ini berbasis pada konsep pendidikan transformatif, yang berdasarkan Darmaningtyas (199: 177), merupakan model pendidikan yang kooperatif dan akomodatif terhadap kemampuan anak menuju proses berpikir yang bebas dan kreatif. Implementasi pendidikan transformatif ialah pada keikutsertaan siswa dalam memahami realitas kehidupan dari yang konkret hingga yang abstrak. Realitas kehidupan ini akan menjadi sumber ide dan kreativitas dalam melaksanakan analisis dan membangun visi kehidupan.
Untuk hingga kepada tujuan puncak, yakni kemampuan memecahkan masalah secara bertanggung jawab, individu perlu mengaktualisasikan segenap potensinya dan mengekspresikannya secara otentik. Dalam istilah Rachman (2000: 150), aktualisasi ini diharapkan biar individu lebih menjadi manusia. Aktualisasi segenap potensi ini yakni bentuk lain dari kebutuhan untuk berprestasi, yang dalam istilah McCleland (dalam Inkeles, 1974) disebut n Ach (need for achievement). N Ach ini merupakan serpihan paling penting dalam membangun bangsa. Dari hasil penelitiannya terhadap siswa-siswa di lebih dari 100 negara, McCleland menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara kemajuan yang dicapai suatu bangsa dengan tingkat n Ach belum dewasa bangsa tersebut, dan tingkat n Ach berkorelasi positif dengan kualitas dan kuantitas bacaan yang diserap sebelumnya.
Oleh sebab itu, frame untuk membangun bangsa seharusnya lebih membuka peluang bagi tumbuhnya kebutuhan berprestasi yang termanifestasi pada keterampilan belajar. Dari keterampilan berguru ini akan tumbuh hasil berguru otentik (actual outcomes) yang berupa sikap mulia maupun karya yang bermanfaat bagi sesamanya. Semakin tinggi dan semakin luas keterampilan berguru yang dimiliki individu, semakin tinggi dan semakin luas pula keterampilan-keterampilan lain yang mengiringinya yang merupakan hasil berguru otentik.
2.4. Belajar Terampil Untuk Siapa?
Pendidikan siap pakai merupakan frame dari berguru terampil. Frame ini dalam jangka waktu tertentu mungkin diharapkan untuk memenuhi kebutuhan sesaat; walaupun kata siap pakai itu sendiri masih selalu menjadi materi perdebatan sebab sanggup diterjemahkan dari banyak sekali sudut pandang. Pertanyaan mendasar sering dilontarkan, yakni: siap pakai untuk siapa; siap pakai untuk apa; dan dimana? Konsep siap pakai dicurigai sebagai pesanan dari dunia industri untuk memenuhi kebutuhan tenaga terampil yang murah, yang oleh karenanya bentuk-bentuk keterampilan yang diberikan harus searah dengan kepentingan dunia industri. Konsep ini, tidak salah jika diacukan pada upaya pemenuhan salah satu aspek kebijakan pembangunan, akan tetapi jika dipakai sebagai platform dari kebijakan pendidikan umum,maka akan merusak substansi pendidikan itu sendiri. Sebagaimana Drost (2000: 128) tegaskan bahwa kiprah forum pendidikan bukan memberi yang dikehendaki masyarakat, melainkan menunjukkan yang dibutuhkannya. Di samping itu, forum pendidikan bukan community service station yang secara pasif melayani tuntutan masyarakat, tetapi lebih sebagai forum yang perlu mengkritisi apa yang sedang terjadi di masyarakat.
Dalam konteks pembangunan sumber daya insan pun akan menjadi keliru jika fungsi sumber daya insan ditempatkan hanya sekedar pekerja atau salah satu faktor produksi. Menurut Suryadi (1999: 277), tenaga kerja dalam kaitannya dengan konsep sumber daya insan berdimensi ganda. Dalam waktu yang bersamaan ia tidak hanya berperan sebagai pekerja atau faktor produksi, tetapi sekaligus sebagai produsen, konsumen, sumber gagasan, serta sumber aktivis untuk pemanfaatan seluruh peluang. Suryadi (1999) menekankan pula bahwa terlalu sederhana jika kekuatan insan hanya dipandang dari segi penguasaan keterampilan atau keahlian semata. Dengan kata lain, lulusan banyak sekali pendidikan perlu dibekali dengan sikap, orientasi nilai, wawasan yang luas, serta pemilikan cara berpikir yang menganggap penting inovasi, perubahan, dan penyempurnaan cara bertindak secara berkelanjutan. Dengan demikian, menjadi terang bahwa terampil berguru merupakan aspek yang lebih substantif, lebih mendasar, sebab diharapkan bagi setiap siswa untuk memecahkan dilema yang lebih kompleks, sedangkan berguru terampil diharapkan untuk memenuhi sebagian dari keseluruhan kebutuhan dasar manusia. Oleh sebab itu, forum pendidikan sebagai tempat disemaikannya belum dewasa bangsa perlu memerankan fungsi secara proporsional, baik sebagai menara api maupun menara air. Lembaga pendidikan berfungsi sebagai menara api dalam arti ia harus sanggup menerangi, mengarahkan, memberi pencerahan, bahkan mengkritisi masyarakat dan pemerintah. Bersamaan dengan itu, ia juga harus rela menjadi menara air, yang bisa memenuhi dahaga masyarakat; tetapi masyarakat tidak sanggup semaunya ikut mengatur pemutaran kran.
2.5. Belajar Keterampilan Sebagai Sub Keterampilan Belajar
Dalam konteks yang lebih luas, yakni pendidikan, berguru keterampilan merupakan sub dari keterampilan belajar. Dalam keterampilan belajar, akan muncul keterampilan-keterampilan lain, baik yang bersifat kognitif, afektif, maupun psikomotor. Sedangkan dalam berguru keterampilan lebih condong dan mayoritas pada aspek psikomotor. Bagaimana posisi berguru keterampilan dan keterampilan berguru dalam konteks pendidikan, sanggup diperiksa pada Gambar 3.Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup insan yang secara teknis-operasional dilakukan melalui pembelajaran. Program pembelajaran yang baik akan menghasilkan imbas berantai pada kemampuan siswa untuk berguru secara terus menerus melalui sumber berguru yang tak terbatas. Dari berguru siswa sanggup membuat kembali dirinya, sanggup melaksanakan sesuatu yang baru, sanggup mencicipi hubungan yang lebih bersahabat dengan alam dan sesamanya, dan sanggup memperluas kapasitas eksklusif dalam rangka kehidupan yang lebih luas. Dari keterampilan berguru akan ditemukan satu bentuk keterampilan khusus, yang sesuai dengan talenta dan minatnya dan mungkin dipakai sebagai basis untuk memperoleh penghasilan.
Keterampilan khusus yang dimaksud ialah life-skilled. Artinya, life-skilled tumbuh dari keterampilan belajar. Sebagaimana penegasan Gredler (1989: 2) wacana kedudukan pembelajaran dalam proses kehidupan manusia: “Individual who have become skilled at self directed learning are able to acquire a variety of new leisure-time and job-skills. They also have developed the capacity to endow their lives with life-long creativity.” Jadi, kedudukan berguru terampil merupakan serpihan dari terampil belajar.Individu yang mempunyai keterampilan belajar, dalam arti sanggup mengarahkan diri, berarti akan sanggup memperoleh banyak sekali keterampilan lain, termasuk keterampilan untuk bekerja yang merupakan serpihan dari kreativitas kehidupan jangka panjang. Individu yang mempunyai keterampilan berguru lebih optimis sebab mempunyai banyak pilihan, sedangkan individu yang hanya mempunyai keterampilan terbatas sebagai jawaban terlalu menfokus pada satu keterampilan yang spesifik potensial menjadi orang yang pesimistik, sebab tidak mempunyai banyak pilihan dan kemampuan transfer ilmu.
3. Simpulan
Belajar keterampilan merupakan serpihan dari keterampilan belajar. Dalam keterampil berguru terakomodasi banyak sekali kemampuan, termasuk berguru keterampilan yang searah dengan proteksi multi-life skilled. Pembelajaran berbasis keterampilan hidup (life-skilled based education) merupakan salah satu wacana yang sanggup diangkat menjadi kebijakan pemerintah untuk menghasilkan tenaga terampil dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, dalam implementasinya harus dalam kerangka pendidikan semesta yang menghasilkan keterampilan berguru (learning to learn) terus menerus. Keterampilan berguru lebih inklusif sebab meliputi banyak sekali aspek perkembangan kepribadian manusia, yang terdiri dari aspek intelektual, moral, dan keterampilan. Belajar keterampilan sebagai salah satu aspek keterampilan berguru akan tumbuh searah dengan perkembangan keterampilan belajar. Sebagai salah satu upaya untuk menyiapkan dan menyediakan sumber daya insan terampil, konsep tersebut perlu disambut dengan baik dan bijak tanpa harus mengalahkan perlunya pendidikan universal yang menghasilkan banyak sekali aspek keterampilan yang lebih esensial berjangka panjang dan kokoh.
Pustaka Acuan
AECT, 1990. Definisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali Press.
Darmaningtyas, 1999. Pendidikan pada dan sehabis Krisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Drost, J.2000. “Mengapa Diperlukan Kebebasan Akademik?”. Dalam Mengagas
Pendidikan Rakyat. Editor: Dadang S. Anshori. Bandung: AlqaprintJatinangor.
Diptoadi, V. L. 1999. “Reformasi Pendidikan di Indonesia Menghadapi Tantangan Abad21”. Jurnal Ilmu Pendidikan, 6 (3): 161-175.
Goh Chok Tong. 2001. Shaping Lives, Molding Nation. PM’s Keynote Address. Speech
By Prime Minister Goh Chok Tong at The Teachers’ Day Rally, at The SingaporeExpo on Friday, 31 August 2001 at 7.30 PM.
Fischman, Gustavo E. 2001. “Globalization, Consumers, Citizens, and the “PrivateSchool Advantage in Argentina (1985-1999)”. Education Policy Analysis
Archives. 9 (31). Arizona State University.
Harefa, Andreas. 2000. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas.