Pengertian Implementasi Berdasarkan Ahli
Saturday, June 20, 2020
Edit
Pengertian Implementasi
Grindle (1980: 7) menyatakan, implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang sanggup diteliti pada tingkat jadwal tertentu. Sedangkan Van Meter dan Horn (Wibawa, dkk., 1994: 15) menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Grindle (1980: 7) menambahkan bahwa proses implementasi gres akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, jadwal kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran. Menurut Lane, implementasi sebagai konsep sanggup dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, implementation = F (Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi tersebut, implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari akibat. Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi dari implementation = F (Policy, Formator, Implementor, Initiator, Time). Penekanan utama kedua fungsi ini yaitu kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu (Sabatier, 1986: 21-48). Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan Horn (Grindle, 1980: 6) bahwa kiprah implementasi yaitu membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui kegiatan instansi pemerintah yang melibatkan banyak sekali pihak yang berkepentingan (policy stakeholders).
Perspektif Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan publik sanggup dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach yang diperkenalkan oleh Edwards III (1984: 9-10). Edwards III mengajukan pendekatan duduk kasus implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni:
- Faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan?
- Faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan?
Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan.Komunikasi suatu jadwal hanya sanggup dilaksanakan dengan baik apabila terperinci bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan. Sumber daya, meliputi empat komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan kiprah atau tanggung jawab dan kemudahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan. Disposisi atau sikap pelaksana merupakan komitmen pelaksana terhadap program. Struktur birokrasi didasarkan pada standard operating prosedure yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan.
Untuk memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan diseminasi dengan baik. Syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yakni:
- Adanya respek anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah untuk menjelaskan perlunya secara sopan santun mematuhi undang-undang yang dibentuk oleh pihak berwenang;
- Adanya kesadaran untuk mendapatkan kebijakan. Kesadaran dan kemauan mendapatkan dan melaksanakan kebijakan terwujud manakala kebijakan dianggap logis;
- Keyakinan bahwa kebijakan dibentuk secara sah;
- Awalnya suatu kebijakan dianggap kontroversial, namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua perspektif dalam analisis implementasi, yaitu perspektif manajemen publik dan perspektif ilmu politik. Menurut perspektif manajemen publik, implementasi pada awalnya dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara sempurna dan efisien. Namun, pada tamat Perang Dunia II banyak sekali penelitian manajemen negara memperlihatkan bahwa ternyata biro manajemen publik tidak hanya dipengaruhi oleh mandat resmi, tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota forum legislatif dan banyak sekali faktor dalam lingkungan politis.
Perspektif ilmu politik menerima proteksi dari pendekatan sistem terhadap kehidupan politik. Pendekatan ini seperti mematahkan perspektif organisasi dalam manajemen publik dan mulai menawarkan perhatian terhadap pentingnya input dari luar arena administrasi, menyerupai ketentuan administratif, perubahan preferensi publik, teknologi gres dan preferensi masyarakat. Perspektif ini terfokus pada pertanyaan dalam analisis implementasi, yaitu seberapa jauh konsistensi antara output kebijakan dengan tujuannya.
Ripley memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kabijakan (Ripley & Franklin, 1986: 11). Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur manajemen publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan biro atau individu bawahan terhadap biro atau individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis huruf dan kualitas sikap organisasi. Menurut Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni:
- Banyak faktor non-birokratis yang besar lengan berkuasa tetapi justru kurang diperhatikan,
- Adanya jadwal yang tidak didesain dengan baik.
Perspektif kedua yaitu perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan implementor biar lebih leluasa mengadakan penyesuaian.Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja biro administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang juga memfokuskan perhatian pada banyak sekali faktor non-organisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan (Grindle, 1980: 7).
Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual sanggup dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu:
- Kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan
- Kemampuan implementor melaksanakan apa yang dianggap sempurna sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi efek eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual.
Keberhasilan kebijakan atau jadwal juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, jadwal pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibentuk oleh pembuat jadwal yang meliputi antara lain cara pelaksanaan, biro pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, jadwal sanggup dinilai berhasil manakala jadwal membawa dampak menyerupai yang diinginkan. Suatu jadwal mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.
Model Implementasi Kebijakan
Menurut Sabatier (1986: 21-48), terdapat dua model yang berpacu dalam tahap implementasi kebijakan, yakni model top down dan model bottom up. Kedua model ini terdapat pada setiap proses pembuatan kebijakan. Model elit, model proses dan model inkremental dianggap sebagai citra pembuatan kebijakan berdasarkan model top down. Sedangkan citra model bottom up sanggup dilihat pada model kelompok dan model kelembagaan.
Grindle (1980: 6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh bermacam-macam aktor, dimana keluaran hasilnya ditentukan oleh baik materi jadwal yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik sanggup terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan banyak sekali pemeran kebijakan, sedangkan proses manajemen terlihat melalui proses umum mengenai agresi administratif yang sanggup diteliti pada tingkat jadwal tertentu.
T.B. Smith mengakui, saat kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan (Nakamura dan Smallwood, 1980: 2). Pada gambar 01 terlihat bahwa suatu kebijakan mempunyai tujuan yang terperinci sebagai wujud orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi kebijakan diformulasi ke dalam jadwal agresi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai. Program dilaksanakan sesuai dengan rencana. Implementasi kebijakan atau jadwal – secara garis besar – dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran jadwal berdasarkan tujuan kebijakan. Luaran jadwal dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu dan kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan yaitu perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran.
Model Linier Implementasi Kebijakan
Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implementasi kebijakan publik yang efektif, yaitu model linier dan model interaktif (lihat Baedhowi, 2004: 47). Pada model linier, fase pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting, sedangkan fase pelaksanaan kebijakan kurang menerima perhatian atau dianggap sebagai tanggung jawab kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tergantung pada kemampuan instansi pelaksana. Jika implementasi kebijakan gagal maka yang disalahkan biasanya yaitu pihak manajemen yang dianggap kurang mempunyai komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih baik untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.
Model Interaktif Implementasi Kebijakan
(Thomas R. Dye. 1981. Understanding Public Policy, Prentice-Hall Internati
Berbeda dengan model linier, model interaktif menganggap pelaksanaan kebijakan sebagai proses yang dinamis, alasannya setiap pihak yang terlibat sanggup mengusulkan perubahan dalam banyak sekali tahap pelaksanaan. Hal itu dilakukan saat kebijakan publik dianggap kurang memenuhi cita-cita stakeholders. Ini berarti bahwa banyak sekali tahap implementasi kebijakan publik akan dianalisis dan dievaluasi oleh setiap pihak sehingga potensi, kekuatan dan kelemahan setiap fase pelaksanaannya diketahui dan segera diperbaiki untuk mencapai tujuan.meskipun persyaratan input sumberdaya merupakan keharusan dalam proses implementasi kebijakan, tetapi hal itu tidak menjamin suatu kebijakan akan dilaksanakan dengan baik. Input sumberdaya sanggup dipakai secara optimum jika dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan terjadi interaksi positif dan dinamis antara pengambil kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan pengguna kebijakan (masyarakat) dalam suasana dan lingkungan yang kondusif.
Jika model interaktif implementasi kebijakan di atas disandingkan dengan model implementasi kebijakan yang lain, khususnya model proses politik dan manajemen dari Grindle, terlihat adanya kesamaan dan representasi elemen yang mencirikannya. Tujuan kebijakan, jadwal agresi dan proyek tertentu yang dirancang dan didanai berdasarkan Grindle memperlihatkan urgensi fase pengambilan keputusan sebagai fase terpenting dalam model linier implementasi kebijakan. Sementara itu, enam elemen isi kebijakan ditambah dengan tiga elemen konteks implementasi sebagai faktor yang mempengaruhi kegiatan implementasi berdasarkan Grindle mencirikan adanya interaksi antara pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan dalam model interaktif. Begitu pula istilah model proses politik dan proses manajemen berdasarkan Grindle, selain memperlihatkan dominasi cirinya yang cenderung lebih akrab kepada ciri model interaktif implementasi kebijakan, juga memperlihatkan kelebihan model tersebut dalam cara yang dipakai untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan, beserta output dan outcomesnya.
Selain model implementasi kebijakan di atas Van Meter dan Van Horn membuatkan Model Proses Implementasi Kebijakan. (Tarigan, 2000: 20). Keduanya meneguhkan pendirian bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam mekanisme implementasi. Keduanya membuatkan tipologi kebijakan menurut:
- Jumlah perubahan yang akan dihasilkan,
- Jangkauan atau ruang lingkup komitmen mengenai tujuan oleh banyak sekali pihak yang terlibat dalam proses implementasi.
Tanpa mengurangi dapat dipercaya model proses implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn terlihat bahwa elemen yang memilih keberhasilan penerapannya termasuk ke dalam elemen model proses politik dan manajemen berdasarkan Grindle. Kata kunci yakni perubahan, kontrol dan kepatuhan termasuk dalam dimensi isi kebijakan dan konteks implementasi kebijakan. Demikian pula dengan tipologi kebijakan yang dibentuk oleh keduanya termasuk dalam elemen isi kebijakan dan konteks implementasi berdasarkan Grindle. Tipologi jumlah perubahan yang dihasilkan termasuk dalam elemen isi kebijakan dan tipologi ruang lingkup komitmen termasuk dalam konteks implementasi.
Sejalan dengan pendapat di atas, Korten (baca dalam Tarigan, 2000: 19) menciptakan Model Kesesuaian implementasi kebijakan atau jadwal dengan menggunakan pendekatan proses pembelajaran. Model ini berintikan kesesuaian antara tiga elemen yang ada dalam pelaksanaan program, yaitu jadwal itu sendiri, pelaksanaan jadwal dan kelompok sasaran program.
Model Kesesuaian
(Dikutip dari David C. Korten (1988) dalam Tarigan, h. 1
Korten menyatakan bahwa suatu jadwal akan berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian antara jadwal dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh jadwal dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara jadwal dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara kiprah yang disyaratkan oleh jadwal dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk sanggup memperoleh output jadwal dengan apa yang sanggup dilakukan oleh kelompok sasaran program.
Berdasarkan contoh yang dikembangkan Korten, sanggup dipahami bahwa jika tidak terdapat kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan, kinerja jadwal tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika output jadwal tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran terperinci outputnya tidak sanggup dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana jadwal tidak mempunyai kemampuan melaksanakan kiprah yang disyaratkan oleh jadwal maka organisasinya tidak sanggup memberikan output jadwal dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana jadwal tidak sanggup dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh alasannya itu, kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan mutlak diharapkan biar jadwal berjalan sesuai dengan planning yang telah dibuat.
Model kesesuaian implementasi kebijakan yang diperkenalkan oleh Korten memperkaya model implementasi kebijakan yang lain. Hal ini sanggup dipahami dari kata kunci kesesuaian yang digunakan. Meskipun demikian, elemen yang diadaptasi satu sama lain – program, pemanfaat dan organisasi – juga sudah termasuk baik dalam dimensi isi kebijakan (program) dan dimensi konteks implementasi (organisasi) maupun dalam outcomes (pemanfaat) pada model proses politik dan manajemen dari Grindle.
Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan
Menurut Grindle (1980: 10) dan Quade (1984: 310), untuk mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan alasannya melalui pemilihan kebijakan yang sempurna maka masyarakat sanggup berpartisipasi menawarkan bantuan yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, saat sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diharapkan organisasi pelaksana, alasannya di dalam organisasi ada kewenangan dan banyak sekali sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan proteksi positif sehingga lingkungan akan besar lengan berkuasa terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada tiga aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil pribadi dari implementasi kebijakan yang memilih efeknya terhadap masyarakat.Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi berdasarkan Ripley dan Franklin (1986: 12) didasarkan pada tiga aspek, yaitu:
- Tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana diatur dalam undang-undang,
- Adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya masalah; serta
- Pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang dikehendaki dari semua jadwal yang ada terarah.
Sedangkan berdasarkan Goggin et al. (1990: 20-21, 31-40), proses implementasi kebijakan sebagai upaya transfer informasi atau pesan dari institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih rendah diukur keberhasilan kinerjanya berdasarkan variabel:
- Dorongan dan paksaan pada tingkat federal,
- Kapasitas pusat/negara,
- Dorongan dan paksaan pada tingkat sentra dan daerah.
Variabel dorongan dan paksaan pada tingkat sentra ditentukan oleh legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sentra di mata kawasan maka semakin besar kredibilitasnya, begitu pula sebaliknya. Untuk mengukur kekuatan isi dan pesan kebijakan sanggup dilihat melalui:
- Besarnya dana yang dialokasikan, dengan perkiraan bahwa semakin besar dana yang dialokasikan maka semakin serius kebijakan tersebut dilaksanakan dan
- Bentuk kebijakan yang memuat antara lain, kejelasan kebijakan, konsistensi pelaksanaan, frekuensi pelaksanaan dan diterimanya pesan secara benar. Sementara itu, untuk mengetahui variabel kapasitas sentra atau kapasitas organisasi sanggup dilihat melalui seberapa jauh organisasi pelaksana kebijakan bisa memanfaatkan wewenang yang dimiliki, bagaimana hubungannya dengan struktur birokrasi yang ada dan bagaimana mengkoordinasikan banyak sekali sumberdaya yang tersedia dalam organisasi dan dalam masyarakat.
Model kesesuaian implementasi kebijakan atau jadwal dari Korten juga relevan dipakai (lihat kembali Gambar 3 dan penjelasannya) sebagai kriteria pengukuran implementasi kebijakan. Dengan kata lain, keefektifan kebijakan atau jadwal berdasarkan Korten tergantung pada tingkat kesesuaian antara jadwal dengan pemanfaat, kesesuaian jadwal dengan organisasi pelaksana dan kesesuaian jadwal kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana.Selain kriteria pengukuran implementasi kebijakan di atas, perlu pula dipahami adanya hubungan efek antara implementasi kebijakan dengan faktor lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Meter dan Van Horn (lihat Grindle, 1980: 6) bahwa terdapat variabel bebas yang saling berkaitan sekaligus menghubungkan antara kebijakan dengan prestasi kerja. Variabel yang dimaksud oleh keduanya meliputi:
- Ukuran dan tujuan kebijakan,
- Sumber kebijakan,
- Ciri atau sifat badan/instansi pelaksana,
- Komunikasi antar organisasi terkait dan komunikasi kegiatan yang dilaksanakan,
- Sikap para pelaksana, dan
- Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Menurut Quade (1984: 310), dalam proses implementasi kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi, kelompok sasaran dan faktor lingkungan yang mengakibatkan munculnya tekanan dan diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi. Dari transaksi tersebut diperoleh umpan balik yang oleh pengambil kebijakan sanggup dipakai sebagai materi masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya. Quade menawarkan citra bahwa terdapat empat variabel yang harus diteliti dalam analisis implementasi kebijakan publik, yaitu:
- Kebijakan yang diimpikan, yaitu contoh interaksi yang diimpikan biar orang yang memutuskan kebijakan berusaha untuk mewujudkan;
- Kelompok target, yaitu subyek yang diharapkan sanggup mengadopsi contoh interaksi gres melalui kebijakan dan subyek yang harus berubah untuk memenuhi kebutuhannya;
- Organisasi yang melaksanakan, yaitu biasanya berupa unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan; dan
- Faktor lingkungan, yaitu elemen dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Sebagai komparasi sanggup dipahami pemikiran Mazmanian dan Sabatier yang membuatkan “kerangka kerja analisis implementasi” (lihat Wahab, 1991: 117). Menurutnya, kiprah penting analisis implementasi kebijakan negara ialah mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang dimaksud oleh Mazmanian dan Sabatier diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum, yaitu:
- Mudah atau sulitnya dikendalikan duduk kasus yang digarap;
- Kemampuan kebijakan untuk mensistematisasi proses implementasinya; dan
- pengaruh pribadi variabel politik terhadap keseimbangan proteksi bagi tujuan yang termuat dalam kebijakan. Ketiga variabel ini disebut variabel bebas yang dibedakan dengan tahap implementasi yang harus dilalui sebagai variabel terikat.
Variabel gampang atau sulitnya suatu duduk kasus dikendalikan mencakup:
- Kesukaran teknis,
- Keragaman sikap kelompok sasaran,
- Persentase kelompok sasaran dibandingkan dengan jumlah penduduk, dan
- Ruang lingkup perubahan sikap yang diinginkan.
Variabel kemampuan kebijakan untuk mensistematisasi proses implementasi mencakup:
- Kejelasan dan konsistensi tujuan,
- Ketepatan alokasi sumber daya,
- Keterpaduan hirarki dalam dan di antara forum pelaksana,
- Aturan keputusan dari tubuh pelaksana,
- Rekruitmen pejabat pelaksana, dan
- Akses formal pihak luar.
Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi mencakup:
- Kondisi sosial ekonomi dan teknologi,
- Dukungan publik,
- Sikap dan sumber daya yang dimiliki kelompok,
- Dukungan dari pejabat atasan, dan
- Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana (Keban, 2007: 16). sedangkan variabel terikat yang ditunjukkan melalui tahapan dalam proses implementasi mencakup:
- Output kebijakan tubuh pelaksana,
- Kesediaan kelompok sasaran mematuhi output kebijakan,
- Dampak nyata output kebijakan,
- Dampak output kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan
- Perbaikan.