Pengertian Pesona Selebritas Demokrasi
Monday, June 1, 2020
Edit
Pesona Selebritas dalam Panggung Demokrasi
Maraknya para artis mencalonkan diri sebagai calon kepala kawasan merupakan fenomena yang merambah panggung demokrasi di Indonesia. Seolah-olah panggung hiburan bermetamorfosis media yang kurang menarik, sehingga panggung politik mulai menjerat para artis untuk mengekspresikan dirinya. Sebut saja 'si ratu goyang ngebor' Inul Daratista, Ayu Azhari, dan juga Julia Perez. Mereka berlomba menggoyang panggung demokrasi di Indonesia dengan pesonanya masing-masing yang penuh semangat dan ambisi menata pemerintahan kawasan pemilihannya. Fenomena tersebut mulai marak seiring dengan munculnya usaha kebebasan perorangan mengekspresikan diri, sehingga setiap orang merasa layak dan bisa bahkan cenderung menganggap dirinya kapabel dalam memimpin pemerintahan di suatu daerah. Namun, benarkah pemilihan pribadi kepala kawasan (pilkada) merupakan bentuk dari penyelenggaraan demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam konstitusi? Bukankah pemilihan pribadi kepala kawasan tersebut hanya sebatas pada upaya seleksi, bukan eleksi?
Arti demokratis dalam konstitusi
Dalam Pasal 18 ayat (4) Perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa: 'Gubernur, bupati, wali kota sebagai kepala kawasan provinsi, kabupaten/kota, dipilih secara demokratis.' Selanjutnya dalam ayat (7) Perubahan UUD 1945 menegaskan bahwa 'Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan kawasan diatur dalam undang-undang.' Sebagai derivasi ayat tersebut ditetapkanlah UU Nomor 32/2004 yang telah mengalami beberapa kali perubahan.
Dalam konstitusi tidak satu pun norma yang secara tegas menyatakan bahwa kepala kawasan dipilih secara langsung, sehingga pemilihan kepala kawasan diserahkan para pengubah konstitusi dalam bentuk hukum pelaksanaan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat daerah, yaitu dalam bentuk undang-undang. Arti demokratis dalam konstitusi merupakan aliran penyelenggaraan pemilihan kepala kawasan yang harus berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi, baik demokrasi pribadi maupun demokrasi perwakilan. Pemberian arti kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) Perubahan UUD 1945 sama dengan pemilihan pribadi merupakan penafsiran yang tendensius dan emosional, sehingga pengaturan lebih lanjut arti demokratis diserahkan dalam bentuk undang-undang.
Pilkada, seleksi atau eleksi?
UU Nomor 32/2004 sebagai undang-undang organik merupakan derivasi dari norma pemilihan kepala daerah, sehingga arti demokratis sanggup ditemukan dalam undang-undang tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, pemilihan kepala kawasan merupakan suatu proses penyeleksian (bukan eleksi) sehingga pengertian demokratis dalam pemilihan kepala kawasan sebagaimana dimaksud dalam konstitusi merupakan demokrasi perwakilan, bukan demokrasi langsung(BPHN: 2009).
Hal tersebut tampak pada pengaturan Pasal 109 ayat (3) UU Nomor 32/2004 yang menyatakan bahwa 'Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut gosip program penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi untuk mendapat legalisasi pengangkatan.' Untuk calon bupati dan wakil bupati berlaku ketentuan Pasal 109 ayat (4) UU Nomor 32/2004, bahwa, 'Pasangan calon bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur menurut gosip program penetapan pasangan calon terpilih dari KPU kabupaten/kota untuk mendapat legalisasi pengangkatan.
Mengacu pada norma tersebut, penafsiran formal perihal makna 'pemilihan' pada pilkada lebih sempurna dinyatakan sebagai, seleksi bukan eleksi, sehingga pilkada merupakan proses pelibatan masyarakat dalam menyeleksi calon kepala daerah. Dengan demikian, penafsiran pilkada merupakan proses eleksi kepala kawasan harus dikembalikan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konksekuensi demokrasi langsung
Kecenderungan penafsiran bahwa pilkada merupakan proses eleksi kepala kawasan di antaranya dipengaruhi oleh prosedur pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, sedangkan dalam peraturan pelaksana pilkada bukan merupakan eleksi. Namun, proses demokrasi pribadi yang dianggap sebagian pakar merupakan tingkat proses demokrasi terbaik, perlu dikaji kebenarannya dikaitkan dengan pelaksanaannya.
Beberapa hal yang terkait dengan konsekuensi demokrasi pribadi antara lain:
- Demokrasi pribadi menuntut adanya hubungan yang bersahabat antara pemilih dan kontestan penerima pemilihan sebagai bentuk kepercayaan antara pemilih dan kontestan.
- Demokrasi pribadi cenderung ditujukan bagi pengumpulan bunyi (kuantitas) tanpa selalu diikuti dengan kualitas kontestan. Kecenderungan ini ditambah dengan fenomena metode penghitungan cepat (quick count) oleh beberapa forum survei melalui metode polling.
- Kecenderungan kuantitatif tersebut merupakan bentuk bergesernya kualitas makna demokrasi dalam kala digital (digital democracy).
- Kualitas kontestan bukan merupakan faktor signifikan bagi demokrasi langsung. Pemilih hanya memilih kontestan menurut popularitas secara finansial (money politics) ataupun secara visual (image building).
- Demokrasi langsung--dalam bentuk ideal--menuntut adanya keterlibatan pribadi pemilihan, penyelenggaraan tugas, pengawasan, pelaporan, dan pertanggungjawaban pejabat publik yang dipilih.
Lima konsekuensi demokrasi pribadi itulah yang memengaruhi para perumus UU Nomor 32/2004 mencantumkan Pasal 109 ayat (3) dan ayat (4) sebagai bentuk pengawasan forum perwakilan kawasan bagi penetapan calon kepala kawasan terpilih. Berdasarkan batasan peraturan perundang-undangan tersebut, lebih sempurna jika istilah 'pemilihan' dalam pilkada dibaca dengan 'penyeleksian' sehingga demokrasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 merupakan demokrasi perwakilan dan bukan demokrasi langsung. Hal ini sesuai dengan sila keempat Pancasila, bahwa 'ke-(daulatan) rakyatan dipimpin oleh hikmat budi dalam permusyawaratan/perwakilan.' Demokrasi perwakilan merupakan bentuk demokrasi yang dipilih oleh para perumus UUD 1945, sebaliknya demokrasi pribadi dipilih oleh para pengubah UUD 1945.
Bahan introspeksi
Mengacu pada ketentuan Pasal 109 UU Nomor 32/2004 bahwa adanya keterlibatan DPRD provinsi dan kabupaten/kota dalam memilih legalisasi pemenang pilkada perlu kiranya dipertimbangkan para selebiritas yang kelak berlaga di panggung demokrasi, mengingat ketenaran dan modal (secara finansial dan visual) yang dimiliki selebritas yang digadang-gadang bukan jaminan selebriti tersebut mulus melenggang sebagai pemenang dalam pilkada.
Kecenderungan partai politik menjaring calon kepala kawasan dari kalangan selebritas merupakan salah satu taktik penjaringan bunyi (bahkan penggalangan dana) bagi kepentingan partai politik tersebut, bukan untuk kepentingan rakyat, bahkan bukan pula untuk kepentingan selebiritas yang digadang-gadang.
Panggung demokrasi merupakan panggung yang sempurna bagi selebritas sepanjang mereka bisa menguasai pemangku kepentingan yang tidak hanya terdiri dari para sutradara, pemain lain, penonton, tapi juga para 'penumpang-penumpang gelap' yang tidak bisa dibendung dengan peraturan perundang-undangan.
Sepanjang selebritas yang dimaksud hanya terpesona dengan sorotan lampu demokrasi tanpa dibekali dengan kemampuan penataan kelembagaan dan penyelenggaraan pemerintahan secara mapan, pasti selebritas itu hanya diposisikan sebagai 'golek politik' yang dikendalikan oleh sutradara dan aneka macam kepentingan. Semoga goresan pena ini sanggup bermanfaaat sebagai materi instrospeksi bagi para selebritas yang digadang-gadang sebagai calon kepala daerah. Selamat menggoyang panggung demokrasi.
Dr Mochamad Isnaeni Ramdhan SH MH, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pancasila