Heidegger Dan Hermeneutika Faktisitas
Friday, June 12, 2020
Edit
HEIDEGGER DAN HERMENEUTIKA FAKTISITAS
Martin Heidegger dilahirkan di kota kecil Meβkirch bersahabat Freiburg i.Br. pada 26 September 1889 dari keluarga Kristen Roma yang saleh dan sederhana. Ayahnya ialah seorang koster gereja St. Martin. Pastor paroki dan guru Latinnya memperantarainya untuk mencar ilmu di Gymnasium di kota Konstanz. Tanpa derma finansial gereja Kristen Heidegger tidak mungkin beliau menempuh pendidikan tinggi. Dia sempat mencar ilmu teologi di Universitas Freiburg, dan di sana beliau mengenal hermeneutika. Menurut pengakuannya, di awal studi teologinya Heidegger banyak menyibukkan diri dengan Schleiermacher dan Dilthey serta hubungannya dengan teologi.[3] Pada 1907 pastor paroki Kontanz yang beliau kenal baik, Conrad Gröber, menghadiahinya karya Franz Brentano Von der mannigfachen Bedeutung des Seienden nach Aristoteles (Tentang Berbagai Makna Ada berdasarkan Aristoteles), sebuah buku yang membongkar pemikirannya. Heidegger meninggalkan teologi sehabis empat semester, masuk ke fakultas ilmu-ilmu alam dan matematika, dan menuntaskan studi tanpa bea siswa gereja. Pada 1913 beliau mencar ilmu filsafat dan lagi mendapat derma beasiswa dari gereja Katolik. Heidegger direncanakan untuk mengajar filsafat Kristiani, maka disertasinya, Die Lehre vom Urteil im Psychologismus. Ein kritisch-positiver Beitrag zur Logik (Teori Putusan dalam Psikologisme. Sebuah Kontribusi Kritis-Positif untuk Logika, 1914), ditulisnya di bawah bimbingan Arthur Schneider, seorang profesor filsafat Kristiani. Alih-alih memenuhi impian itu, beliau malah memusatkan diri pada fenomenologi Husserl. Habilitationsschrift-nya yang berjudul Die Kategorien-und Bedeutungslehre des Duns Scotus (Teori Kategori dan Makna dari Duns Scotus, 1916) memang mengenai filsuf Kristiani Abad Pertengahan, namun metode yang dipakainya ialah fenomenologi.
Bila Schleiermacher hidup dalam era Romantik, dan Dilthey dalam era industralisasi Jerman, Heidegger hidup dalam era totalitarianisme Nazi. Jerman yang sebelumnya mengalami krisis politis, ekonomi, militer yang parah mengkonsolidasi diri dalam bentuk rezim fasistis yang—seperti dicatat Hannah Arendt, mahasiswa dan kekasih gelap Heidegger—memobilisasi massa dengan ideologi dan teror dan melaksanakan pembunuhan massal secara sistematis. Karya utama Heidegger, Sein und Zeit (Ada dan Waktu, 1927) memuat konsep dasar yang mencerminkan pengalaman dasar insan di dalam era ini, yaitu: Angst (kecemasan), Sorge (kekhawatiran-kepedulian), Unheimlichkeit (kengerian). Boleh dikatakan turbulensi politis dikala itu telah menggiring orang, termasuk Heidegger, pada pengalaman “Gott ist tot” (Allah sudah mati) sebagaimana dimaklumkan Nietzsche di ujung kurun ke-19. Heidegger sendiri terlibat dalam partai Nazi, sebuah skandal besar dalam dunia intelektual Jerman yang hingga hari ini masih dibahas dengan pahit.[4] Para lawannya menghubungkan keterlibatan Heidegger itu dengan karya-karyanya, khususnya isi pidato pengukuhannya sebagai rektor Universitas Freiburg persis sehabis naiknya Hitler, Die Selbsbehauptung der deutschen Universität (Penegasan Diri Universitas Jerman, 1933). Namun tidak sanggup diabaikan bahwa beberapa aspek pemikirannya juga kritis terhadap Nazi. Tidak diragukan bahwa dampak intelektualnya menjejak di kepala pemikir-pemikir berkaliber, ibarat Hannah Arendt, Leo Strauss, Karl Löwith, Gerhard Krűger, Hans Jonas dan Hans-Georg Gadamer.[5]
Heidegger tidak eksplisit menggunakan kata hermeneutika, kecuali di dalam rangkaian kuliahnya pada 1920-an yang berjudul “Ontologie: Hermeneutik der Faktizität” (Ontologi: Hermeneutika Faktisitas). Salah seorang mahasiswanya dikala itu ialah Hans-Georg Gadamer, tokoh yang nanti masih akan kita bahas.[6] Kata hermeneutika juga tetap implisit dalam Sein und Zeit (Ada dan Waktu, 1927), meskipun pokok-pokok pemikiran terpenting Heidegger wacana hermeneutika sanggup dibaca di dalam buku itu. Konsep hermeneutika juga muncul eksplisit dalam kuliahnya pada 1927 yang kemudian diterbitkan dengan judul Grundprobleme der Phänomenologie (Masalah-masalah Dasar Fenomenologi). Pengertian hermeneutika dalam karya-karya itu tidak lazim lantaran tidak secara khusus dikaitkan dengan interpretasi ibarat sudah kita ikuti dalam hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey, melainkan dikaitkan dengan keberadaan kita. Komentator ibarat Palmer dan Zaborowski meneliti hermeneutika juga karya-karya Heidegger sehabis die Kehre (pembalikan) yang dikenal dengan Heidegger II. Dalam karya-karya itu hermeneutika terhubung dengan sejarah ada.
Heidegger menjadi emeritus dari sekolah tinggi tinggi mulai 1952, tetapi masih aktif memberi kuliah-kuliah hingga 1967. Dia tinggal di pondoknya di kawasan pegunungan Schwartwald dan meninggal di Freiburg i.Br. pada 26 Mei 1976.
Hermeneutika dan Fenomenologi
Jika hermeneutika Dilthey kita mengerti dengan titik tolak Lebensphilosophie, untuk memahami hermeneutika Heidegger, kita harus lebih dahulu memahami fenomenologi yang menjadi metodenya. Dilihat dari satu segi, Dilthey telah membuka ruang untuk fenomenologi lantaran konsep sentralnya, Erlebnis atau penghayatan diperdalam oleh pendiri fenomenologi, Edmund Husserl. Apa itu fenomenologi? Fenomenologi ialah sebuah pendekatan untuk mendeskripsikan hal-hal sebagaimana kita mengalami atau menghayatinya, jauh sebelum hal-hal itu kita rumuskan dalam pikiran kita. Semboyan Husserl, Zurűck zu den Sachen Selbst (Kembalilah kepada hal-hal itu sendiri), sanggup menjelaskan maksudnya. Yang dimaksud dengan “hal-hal itu sendiri” bukanlah kenyataan sebagaimana dirumuskan oleh filsafat atau ilmu pengetahuan, melainkan kenyataan yang dihayati sebelum filsafat dan ilmu pengetahuan merumuskannya. Ambillah teladan kubus. Sebelum dirumuskan oleh geometri sebagai kubus “ideal”, kubus ada dalam bentuk yang hanya sanggup kita ketahui sisi demi sisi. Kita berjalan mengelilingi sisi demi sisi dan mengalaminya hanya dari perspektif tertentu. Kita tidak pernah melihat seluruh kubus itu, tetapi kemudian kesadaran kita menghubung-hubungkan sisi-sisi yang telah kita amati itu menjadi seluruh kubus yang dijelaskan dalam geometri. Dalam teladan ini, “hal-hal itu sendiri” bukanlah kubus geometris atau seluruh kubus, melainkan kubus itu sendiri, yaitu sisi demi sisi kubus sebagaimana kita inspeksi dengan menggerakkan badan kita.
Ada banyak hal lain yang sudah terlanjur diabstraksi atau dipikirkan oleh filsafat atau ilmu pengetahuan dan oleh fenomenologi dikembalikan kepada hal-hal itu sendiri, seperti: masyarakat, agama, hukum, emosi, persepsi dan tubuh. Tubuh, misalnya, diabstraksi oleh ilmu kedokteran sebagai semacam prosedur jasmaniah yang obyektif. Fenomenologi menangguhkan—atau istilah Husserl Einklammern (menempatkan dalam tanda kurung)—abstraksi macam itu, sehingga badan kini menampakkan diri sebagai badan itu sendiri sebagaimana kita hayati sebagai makhluk bertubuh. Tubuh yang kita hayati itu, ibarat ditemukan oleh pengikut Husserl, Maurice Merleau-Ponty, ambigu, yaitu sebagai obyek sekaligus subyek: di satu sisi kita itu mempunyai tubuh, di sisi lain kita ialah tubuh. Heidegger masuk ke dalam fenomenologi dengan membawa sebuah konsep sentral dalam ontologi biar sanggup dikembalikan kepada hal-hal itu sendiri. Yang dikembalikannya itu ialah konsep “Ada”.
Cara lain untuk menjelaskan fenomenologi diberi oleh Heidegger. Di dalam Sein und Zeit, beliau mengembalikan fenomenologi pada kombinasi kata Yunani logos yang artinya “diskursus” dan phainesthai yang artinya “menampakkan diri”.[7] Jadi, fenomenologi ialah sebuah diskursus wacana menampakkan diri. Artinya, fenomenologi juga sebuah hermeneutika atau interpretasi dengan “membiarkan apa yang menunjukkan diri itu dilihat dari dirinya sendiri dengan cara beliau menunjukkan diri dari dirinya sendiri” (Being and Time, 58). Kita memahami hal-hal sebagaimana ada mereka tanpa kita memaksakan konsep-konsep kita kepada mereka. Jika yang menampakkan diri itu “Ada”, diskursus wacana itu disebut ontologi, maka “ontologi dan fenomenologi bukanlah dua disiplin filosofis yang saling berjauhan” atau filsafat ialah “ontologi fenomenologis universal” (Being and Time, 62). Karena pokok permenungan seluruh Sein und Zeit ialah wacana makna Ada (der Sinn des Seins), fenomenologi ontologis atau ontologi fenomenologis yang dipraktikkan di situ ialah sebuah seni memahami makna juga, yaitu sebuah hermeneutika.
Karena merupakan sebuah fenomenologi, yakni membiarkan hal-hal menunjukkan diri, hermeneutika Heidegger melaksanakan interpretasi tidak dengan memasukkan kerangka berpikir penafsir ke dalam hal yang dipahami, melainkan dengan membiarkan hal yang diinterpretasi itu tampak dan kita sebagai penafsir menjumpai sendiri kenyataan itu.[8] Kesulitan kita dalam menghadapi “Ada” sebagai fenomena ialah bahwa “Ada” itu bukan sebuah fenomena, melainkan sesuatu yang meliputi segalanya. Akibatnya, pandangan tradisional wacana dualitas subyek dan obyek dalam mengetahui—seperti masih diandaikan oleh Husserl—tidak sanggup digunakan di sini. Itulah sebabnya mengapa Heidegger menggunakan kata-kata yang tidak lazim, ibarat Dasein (ada di sana), es weltet (mendunia), in-der-Welt-sein (berada di dalam dunia), dan seterusnya. Tentu ada alasan mengapa insan disebut Dasein. Dalam pemakaian kata insan terdapat abstraksi yang menciptakan dualitas subyek-obyek, tetapi dalam kata Dasein abstraksi dan dualitas itu tidak berfungsi lagi. Dasein berarti secara harafiah “ada-di-sana”. Pertama, tempatnya tak tergantikan oleh yang lain, maka beliau unik. Kedua, yang berada di sana itu juga terlempar, yakni berada begitu saja. Pengalaman akan “berada begitu saja” itulah yang diacu oleh Heidegger dengan istilah “faktisitas”.
Bila kata hermeneutika disambungkan dengan faktisitas, kata itu tidak lagi sanggup diterangkan sebagai memahami faktisitas, lantaran faktisitas bukan dokumen historis, artefak atau teks, melainkan kenyataan eksistensial kita sebagai Dasein. Memahami (Verstehen) itu sendiri ialah kenyataan eksistensial yang sanggup diinterpretasi. Jadi, yang dilakukan oleh Heidegger dengan hermeneutikanya itu bukanlah memahami ini atau itu, melainkan membiarkan memahami sebagai tindakan primordial menampakkan diri, dan memahami tidak lain daripada cara Dasein bereksistensi. Jika begitu, hermeneutika faktisitas lebih sempurna dijelaskan sebagai “membiarkan cara ada-nya (Sein) dan cara ke-di-sana-an (da) Dasein, termasuk memahami, tersingkap lewat interpretasi” (Holger Zaborowski, 23). Interpretasi dalam bahasa Jerman ialah Auslegung yang diartikan oleh Heidegger sebagai “membiarkan terbuka”. Jika demikian, makna bukan lagi sesuatu yang ada dalam kesadaran penafsir, melainkan berada di sana, di dalam hal itu sendiri yang menyingkapkan diri kepada penafsir.
Pra-Struktur Memahami
Heidegger mempunyai pemikiran tersendiri wacana Verstehen, “memahami”. Bagi Schleiermacher dan Dilthey memahami ialah sebuah acara kognitif, pada Schleiermacher untuk menangkap maksud pengarang dan pada Dilthey untuk menangkap ungkapan penghayatan. Pada Dilthey memahami berada pada ranah lebih dalam daripada Schleiermacher. Baginya memahami sebuah karya, artefak atau fakta, bukan sekadar soal menangkap maksud penciptanya, melainkan kehidupannya, sesuatu yang lebih luas dan dalam yang meliputi banyak segi, ibarat cara hidup, sikap, cita rasa, wawasan dunia, dan seterusnya. Namun kedua pendahulu Heidegger ini meletakkan memahami pada ranah epistemologis, yaitu sebagai soal mendapat informasi wacana sesuatu. Pembaca dan peneliti ialah subyek-subyek pengetahuan yang menghadapi obyek-obyeknya, entah teks atau ungkapan penghayatan orang lain. Sangat berbeda dari kedua pendahulunya dalam hermeneutika, Heidegger meletakkan memahami jauh lebih dalam dan menyeluruh lagi pada ranah ontologis. Saya kutip rumusannya dalam Sein und Zeit:
Dengan istilah memahami (Verstehen) kita maksudkan sebuah eksistensial yang fundamental; bukan suatu cara mengenal tertentu, yang berbeda contohnya dari menjelaskan (Erklären) dan mengkonsepsi (Begreifen), juga bukan sebuah pengenalan dalam arti pengertian tematis.[9]
Memahami bukan lagi soal menangkap informasi wacana sesuatu, melainkan soal eksistensial, yaitu—saya pakai rumusan Palmer—“kemampuan seseorang untuk menangkap kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk berada”( Hermeneutics, 131). Memahami kemudian bukan lagi sebuah metode, melainkan cara kita bereksistensi di dalam dunia ini (bandingkan Einführung zu Gadamer, 119).
Memahami sebagai cara bereksistensi? Rumusan ini harus saya jelaskan dengan lebih mudah. Di dalam pengertian Schleiermacher dan Dilthey memahami ialah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang, entah pembaca atau peneliti. Kita, misalnya, mempunyai pemahaman wacana surat-surat Kartini atau wacana simbol-simbol dalam candi Borobudur. Dalam pengertian Heidegger memahami bukanlah sesuatu yang dimiliki. Kita berada di dalam dunia ini dengan memahami. Dalam Sein und Zeit kita baca drama berikut: Dasein terlempar ke dunia ini, maka ia tak lain daripada In-der-Welt-sein (Berada-di-dalam-dunia). Kenyataan bahwa beliau ada begitu saja di dunia ini menghasilkan kecemasan eksistensial (Angst). Memahami ialah momen yang sama primordialnya dengan kecemasan itu. Sekurangnya dua hal diandaikan di sini. Pertama, keterlemparan (Geworfenheit) itu telah ada sebelum ada perbedaan subyek dan obyek pengetahuan, maka di sini memahami bukanlah acara cogito atau kesadaran Cartesian yang mendasari konsep modern wacana subjectum, melainkan merupakan tindakan primordial pra-reflektif (bandingkan Einführung zu Gadamer, 118). Kedua, sebagai konsekuensinya memahami juga bukanlah alat untuk mengetahui dunia, melainkan keterbukaan Dasein sendiri terhadap dunia dan kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk berada dalam dunia. Kita tidak berlebihan menyampaikan bahwa bagi Heidegger memahami tidak lain daripada Dasein itu sendiri.[10] Berada di dalam dunia tidak bisa lain kecuali memahami. Kita boleh menyebut konsep Heidegger wacana memahami ini sebagai konsep ontologis.
Apakah perbedaannya dengan konsep-konsep memahami yang dikembangkan oleh Schleiermacher dan Dilthey? Memahami pada ranah ontologis ini berciri primordial, yaitu mendahului dan juga memungkinkan segala bentuk empiris memahami, entah itu memahami tulisan-tulisan, ibarat pada Schleiermacher atau memahami ungkapan-ungkapan kehidupan, ibarat pada Dilthey. Jadi, konsep Heidegger wacana memahami berciri primer, sedangkan kedua pendahulunya mengajukan hal sekunder saja (Einführung, 122). “Semua pengenalan,” demikian Heidegger, “berakar sebagai penyingkapan dengan memahami atas hal yang tidak dipahami di dalam pemahaman primer Dasein” (Sein und Zeit, 336). Pemahaman primer Dasein inilah memahami para ranah ontologis, sesuatu yang tidak terartikulasi secara kognitif dan verbal, namun mendasar. Seandainya berada di dalam dunia tidak sebagai memahami, insan tidak sanggup mengakses obyek-obyek pemahaman, ibarat teks dan ungkapan kehidupan. Pada ranah ontologis ini memahami bukan sekadar sebuah acara kognitif, melainkan cara insan berada di dalam dunia ini. Dalam tinjauan ontologis ini memahami ialah ciri eksistensial kita sebagai Dasein.
Marilah kita diskusikan lebih jauh pembedaan antara ranah ontologis dan ranah empiris pemahaman itu. Jika kita ingin memahami makna, entah sebuah teks atau sebuah ungkapan kehidupan, pemahaman kita tidak beroperasi hanya pada ranah empiris. Keseluruhan relasi-relasi kita yang telah ada, yaitu cara kita bereksistensi di dalam dunia, akan ikut memilih pemahaman kita, dan hal itu terjadi begitu saja tanpa kita sadari lebih dahulu.[11]
Di sini Heidegger menyumbang sebuah tilikan yang termasyhur wacana Vorstruktur des Verstehens (pra-struktur memahami) (Sein un Zeit, 150). Memahami suatu makna tidak pernah tanpa presuposisi (voraussetzungslos); ia mengandaikan pra-pemahaman (Vormeinung) tertentu.[12] Kata-kata presuposisi atau pra-pemahaman di sini tidak diartikan secara kognitif belaka, melainkan secara eksistensial, yaitu sebagai cara bereksistensi. Pra-pemahaman itu terbentuk dari apa yang disebut Heidegger Bewandtnisganzheit, yaitu totalitas keterlibatan kita dalam praktik-praktik hidup yang kita jalani, dan hal itu “bungkam”, yaitu non-tematis, pra-predikatif, non-verbal. Kita terlibat begitu saja dalam praktik-praktik, dan dari keterlibatan itu tumbuhlah pemahaman kita. Seorang pematung di Bali, misalnya, memahami seni rupa, dan hal itu tidak berarti sekadar “pengetahuan” wacana seni rupa, melainkan kemampuan atau kepiawaian orang itu dalam mengerjakan seni rupa. Sebagai cara bereksistensi, berkesenian mendahului dan memungkinkan pemahaman orang Bali itu wacana hal-hal empiris, misalnya, wacana bagaimana menggunakan pahat, mengukir atau menghaluskan kayu. Jadi, presuposisi atau pra-struktur pemahaman itu menjadi titik tolak interpretasi. Dalam arti ini pula berdasarkan Heidegger sebuah pemahaman tanpa prasangka ialah mustahil.
Di sini kita harus berhati-hati biar tidak menyalahpahami Heidegger. Dengan wangsit wacana pra-struktur memahami beliau tidak ingin menyampaikan bahwa semua pemahaman pada balasannya tergantung pada pra-pemahaman subyektif penafsir. Ada sesuatu yang mendasar yang dipikirkan Heidegger: Agar sebuah teks atau ungkapan abnormal sanggup kita pahami, lebih dahulu harus ada kejelasan wacana cara bereksistensi atau—dalam istilah teknis—“situasi hermeneutis” pihak penafsir (Einführung, 126). Kita kemudian teringat pada bulat hermeneutis yang sudah ditemukan oleh Schleiermacher.[13] Namun berbeda dari Schleiermacher dan Dilthey, bulat hermeneutis pada Heidegger beroperasi pada ranah ontologis: Memahami bergerak dalam sebuah bulat dari cara berada kita sebagai pra-struktur ke pemahaman kita akan sesuatu. Dengan demikian bulat hermeneutis dalam interpretasi teks berdasarkan Heidegger hanyalah perkara khusus dari fenomena umum bahwa semua pemahaman berciri melingkar (Christina Lafont, 278).
Coba kita beri ilustrasi berikut untuk bulat hermeneutis itu. Contoh seniman Bali itu bisa kita tukar dengan cara hidup umat beragama. Cara hidup seseorang atau suatu komunitas merupakan pra-struktur yang bungkam, yaitu non-tematis, yang menjadi titik tolak orang atau komunitas itu memahami hal-hal secara artikulatif. Beriman bukan sekadar tahu wacana keyakinan suatu agama, melainkan juga bereksistensi sebagai anggota sebuah komunitas religius. Cara berada sebagai umat beriman itu—sesuatu yang non-verbal dan pra-predikatif—mendahului segala cara berpikir, cara bertindak, dan cara merasa yang terartikulasi. Praktik-praktik kehidupan yang mereka jalani secara impulsif tanpa dipikir-pikir ialah pra-struktur yang memungkinkan mereka untuk memahami diri, orang lain, masyarakat, dunia dan Tuhan.
Dalam arti ini, sebuah teologi, yaitu refleksi rasional atas iman, juga ialah sebuah bentuk empiris pemahaman yang dimungkinkan oleh cara bereksistensi suatu komunitas religius. Interpretasi-interpretasi yang dilakukan di dalam komunitas itu, entah dalam bentuk khotbah-khotbah, ritual, penyebaran iman atau pelayanan, bertolak dari situasi hermeneutis mereka atau cara mereka bereksistensi. Rekan Heidegger, seorang teolog Protestan terkenal, Rudolf Bultmann, telah mengintegrasikan konsep Heidegger wacana pra-struktur pemahaman itu ke dalam eksegesis Kitab Suci (Einführung, 121).
Memahami sebagai Mengantisipasi
Selain pra-struktur memahami, kita juga perlu membahas donasi lain yang diberikan Heidegger untuk hermeneutika, yaitu kemewaktuan memahami (Zeitlichkeit des Verstehens). Baik bagi Schleiermacher maupun Dilthey memahami ialah sebuah upaya untuk menangkap makna di masa silam. Heidegger mempunyai pendirian yang sama sekali berbeda dalam hal ini. Baginya memahami selalu terarah ke masa depan. Pendirian ini terkait dengan pandangannya wacana waktu. Di tempat lain saya pernah mengulas topik ini, dan di sini saya tidak ingin mengulang.[14] Yang penting untuk diketahui di sini ialah bahwa manusia, yaitu Dasein, tidak berada di dalam waktu, seakan-akan waktu disematkan pada hidupnya, melainkan insan itu sendiri mewaktu. Mewaktu berarti bahwa Dasein mengorientasikan diri kepada kemungkinan-kemungkinannya sendiri, maka Heidegger menyebut Dasein dengan kata Seinkönnen, kemungkinan (untuk berada). Dalam arti ini masa depan (Zukunft) mempunyai prioritas atas masa silam dan masa kini.
Demikian juga bagi Heidegger, ibarat dikatakan oleh Palmer, memahami selalu berkaitan dengan masa depan (Hermeneutics, 131). Apa maksudnya? Bukankah biasanya hermeneutika berkaitan dengan teks-teks dari masa silam? Tentu kita sanggup memahami teks atau ungkapan dari masa lalu, tetapi pemahaman kita wacana hal-hal dari masa kemudian itupun berdasarkan Heidegger terarah ke masa depan. Begitu pula pemahaman kita akan sesuatu di masa kini. Jika seseorang menemukan surat dari orangtua yang telah meninggal beberapa puluh tahun yang lalu, misalnya, makna surat itu akan dipahaminya dalam kerangka kemungkinan-kemungkinan eksistensinya sendiri, yaitu masa depannya. Apa makna isi surat itu untuk kehidupannya nanti? Perubahan apa yang kiranya akan terjadi lewat pesan yang terkandung di dalamnya? Begitu juga, orang memahami perbuatan orang lain dengan memproyeksikan makna perbuatan itu ke kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Implikasi apa yang akan terjadi lewat perbuatan itu? Bisa menjadi apakah kiranya orang itu dengan perbuatan itu?
Prioritas pada masa depan itu ialah konsekuensi logis dari konsep Verstehen sebagai kemampuan Dasein untuk menangkap kemungkinan-kemungkinannya untuk bereksistensi. Jika demikian, memahami sudah selalu mengantisipasi sesuatu yang belum ada. Kita memahami dalam pengertian Heidegger ini, ketika kita mengambil keputusan eksistensial atas kehidupan kita, misalnya, untuk menikahi seseorang atau tidak, untuk mengambil sebuah jabatan atau tidak, dan seterusnya. Jadi, memahami selalu terkait dengan Entwurf (proyeksi) kita. “Sebagai proyeksi,” demikian tulis Heidegger, “memahami ialah cara berada Dasein di mana ia ialah kemungkinan-kemungkinan sebagai kemungkinan-kemungkinan”(Sein und Zeit, paragraf 31, 145). Mengatakan bahwa memahami mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan sebagai kemungkinan-kemungkinan sama dengan menyampaikan bahwa memahami pada ranah ontologis, yaitu sesuatu yang menjadi pra-struktur pemahaman pada ranah empiris, ditandai dengan kemampuan eksistensial kita untuk mendahului apa yang ada. Dalam arti ini memahami selalu visioner.
Di dalam Sein und Zeit sanggup kita temukan sebuah tilikan menarik. Tarikan ke masa depan sudah dimulai dalam pra-struktur pemahaman. Hal itu terjadi dalam kegiatan interpretasi. Seperti sudah disinggung kata Jerman untuk interpretasi ialah Auslegung, yang sanggup diartikan dengan kata-kata pembentuknya, yaitu legen (meletakkan) aus (terbuka), menguak hal yang sebelumnya tersembunyi. Interpretasi dan memahami gotong royong ialah satu dan sama, tetapi kerap dibedakan. Di dalam pengertian lazim, interpretasi tiba lebih dahulu, dan gres kemudian muncul pemahaman. Kita, misalnya, menafsir makna sebuah surat wasiat, kemudian kita memahaminya. Heidegger membalikkan korelasi itu: Pemahaman tiba lebih dahulu, dan gres kemudian berkembang interpretasi. Mengapa demikian? Tak lain lantaran memahami ialah cara berada kita, dan interpretasi bagi Heidegger ialah artikulasi tindakan primordial itu, bukan kegiatan langsung seorang ekseget. Juga di sini kita menemukan bulat hermeneutis dalam bentuk korelasi antara memahami (Verstehen) dan artikulasinya dalam interpretasi (Auslegung).
Artikulasi itu menjadi mungkin lantaran seorang penafsir semenjak awal, yaitu semenjak cara beradanya, sudah terarah ke masa depan. “Tiga besar” dalam interpretasi yang dipaparkan dalam Sein und Zeit, yaitu: Vorhabe, Vorsicht, dan Vorgriff, menunjukkan bagaimana pra-struktur pemahaman yang telah kita bahas di atas semenjak awal sudah mengarahkan seorang penafsir pada makna sesuatu untuk masa depan (Sein und Zeit, 150). Awalan vor- dalam bahasa Jerman berarti “sebelum”, tetapi juga bisa berarti “mendahului”, maka awalan ini lebih mengacu pada proyeksi masa depan (Entwurf) daripada mengacu pada pengetahuan a priori. Apa perbedaan antara pengetahuan a priori dan proyeksi? Pengetahuan a priori mencetak kenyataan yang telah ada, sedangkan proyeksi menyingkap kenyataan di masa depan. Yang satu mereproduksi, sedangkan yang lain mengantisipasi. Dengan perbedaan ini Heidegger mempersoalkan tradisi Kantian wacana pengetahuan a priori itu (bandingkan Sein und Zeit, 150; baca juga Christina Lafont, 279). Tiga besar dalam interpretasi harus kita pahami dalam konteks proyeksi (Entwurf) yang dalam pandangan Heidegger mempunyai kiprah yang sangat sentral.
Mari kita lihat satu per satu. Vorhabe, kata Jerman yang berarti “rencana”, diartikan sebagai “memiliki lebih dahulu”. Sebagai penafsir kita telah mempunyai lebih dahulu pemahaman umum wacana kenyataan yang akan kita interpretasi. Tanpa pemahaman umum itu, contohnya wacana apa itu bencana dalam seni teater Yunani kuna, sulit kita mulai interpretasi. Pemahaman umum ini mendahului pemahaman kita, misalnya, wacana Odipus Rex, bukan semata-mata sebagai pengetahuan a priori, melainkan sebagai pandangan yang memproyeksikan makna bencana itu bagi masa depan. Kata Vorsicht yang arti leksikalnya “kewaspadaan” diartikan sebagai “melihat lebih dahulu”. Kita sebagai penafsir menginterpretasi karya sastra itu dengan memproyeksikan maknanya bagi masa depan. Akhirnya, kata Vorgriff yang berarti “antisipasi” diartikan sebagai “menangkap lebih dahulu”, yaitu dengan konsep, Begriff. Interpretasi beroperasi dengan konsep-konsep, misalnya, wacana aliran-aliran sastra, untuk menangkap maknanya bagi masa depan. Ketiganya serentak “beroperasi” dalam kegiatan interpretasi, maka dengan sempurna Lafont menamai pendirian Heidegger ini “pandangan proyektif wacana interpretasi”, yaitu pandangan bahwa kiprah interpretasi bukanlah mencari obyektivitas, melainkan menyingkap makna bagi masa depan (bandingkan Christina Lafont, 281).
Makalah untuk kuliah ketiga Kelas Filsafat Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleiermacher hingga Gadamer, Serambi Salihara, 18 Februari 2014, 19:00 WIB. Makalah ini telah disunting.
F. Budi Hardiman ialah pengajar di STF Driyarkara, Jakarta. Ia mendapat gelar doktor filsafat dari Hochschule für Philosophie, München. Ia menulis sejumlah buku wacana pemikiran Jürgen Habermas, di antaranya Menuju Masyarakat Komunikatif (2009) dan Kritik Ideologi (2004); di samping Humanisme dan Sesudahnya (2012) dan Demokrasi Deliberatif (2009).
Jean Grondin, Einführung in die philosophische Hermeneutik (Darmstadt: Wissenschaftliche Buchgesellschaft, 1991), 119. Selanjutnya ditulis Einführung.
Dalam Der Spiegel kita masih sanggup menemukan penilaian-penilaian nyata atas keterlibatan itu.
ditulis Einführung zu Gadamer.
Baca Lawrence K. Schmidt, Understanding Hermeneutics (Durham: Acumen, 2006), 51. Selanjutnya ditulis Understanding Hermeneutics.
Baca Martin Heidegger, Being and Time (Oxford: Blackwell, 2001), 51-55.
Baca Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 128. Selanjutnya ditulis Hermeneutics.
Baca Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max Niemeyer Verlag, 1953), 336.
Bagian yang membahas hal ini diberi judul “Das Da-sein als Verstehen” (Dasein sebagai Memahami). Baca Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max Niemeyer Verlag, 1967), 142 dan seterusnya.
Tentang keseluruhan relasi-relasi (Bewandtnisganzheit) yang darinya makna dipahami, kita bisa menumukan di dalam analisis atas alat (Zuhandenes) di dalam Sein und Zeit. Baca Sein und Zeit, paragraf 18.
Dalam kalimat Heidegger sendiri, “Auslegung ist nie ein voraussetzungsloses Erfassen eines Vorgegebenen” (Interpretasi tidak pernah merupakan sebuah pemahaman tanpa pra-andaian wacana apa yang ada). Baca Sein und Zeit, 150.
Baca Michael Inwood, A Heidegger Dictionary (Oxford: Blackwell, 2000), 89.
Baca Francisco Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: KPG, 2004).
F. Budi Hardiman ialah pengajar di STF Driyarkara, Jakarta. Ia mendapat gelar doktor filsafat dari Hochschule für Philosophie, München. Ia menulis sejumlah buku wacana pemikiran Jürgen Habermas, di antaranya Menuju Masyarakat Komunikatif (2009) dan Kritik Ideologi (2004); di samping Humanisme dan Sesudahnya (2012) dan Demokrasi Deliberatif (2009).
Jean Grondin, Einführung in die philosophische Hermeneutik (Darmstadt: Wissenschaftliche Buchgesellschaft, 1991), 119. Selanjutnya ditulis Einführung.
Dalam Der Spiegel kita masih sanggup menemukan penilaian-penilaian nyata atas keterlibatan itu.
ditulis Einführung zu Gadamer.
Baca Lawrence K. Schmidt, Understanding Hermeneutics (Durham: Acumen, 2006), 51. Selanjutnya ditulis Understanding Hermeneutics.
Baca Martin Heidegger, Being and Time (Oxford: Blackwell, 2001), 51-55.
Baca Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 128. Selanjutnya ditulis Hermeneutics.
Baca Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max Niemeyer Verlag, 1953), 336.
Bagian yang membahas hal ini diberi judul “Das Da-sein als Verstehen” (Dasein sebagai Memahami). Baca Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max Niemeyer Verlag, 1967), 142 dan seterusnya.
Tentang keseluruhan relasi-relasi (Bewandtnisganzheit) yang darinya makna dipahami, kita bisa menumukan di dalam analisis atas alat (Zuhandenes) di dalam Sein und Zeit. Baca Sein und Zeit, paragraf 18.
Dalam kalimat Heidegger sendiri, “Auslegung ist nie ein voraussetzungsloses Erfassen eines Vorgegebenen” (Interpretasi tidak pernah merupakan sebuah pemahaman tanpa pra-andaian wacana apa yang ada). Baca Sein und Zeit, 150.
Baca Michael Inwood, A Heidegger Dictionary (Oxford: Blackwell, 2000), 89.
Baca Francisco Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: KPG, 2004).