Pengertian Dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik Berdasarkan Ahli
Wednesday, June 17, 2020
Edit
Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik
Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy) ialah “Pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak yang dibentuk oleh tubuh atau kantor pemerintah” (N. Dunn, 2000:132). Kebijakan publik merupakan semacam tanggapan terhadap suatu kasus lantaran merupakan upaya memecahkan, mengurangi dan mencegah suatu keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur penemuan dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah. Dapat dirumuskan pula bahwa pengetahuan wacana kebijakan publik ialah pengetahuan wacana sebab-sebab, konsekuensi, dan kinerja kebijakan dan acara publik (Kencana, 1999:106).
Menelusuri pengertian kebijakan, pertama kebijakan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bijaksana yang artinya:
- selalu memakai nalar budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, tajam pikirannya; (2) pintar dan ingat-ingat dalam menghadapi kesulitan (cermat; teliti). Pengertian kebijakan sendiri adalah; (1) kepandaian, kemahiran;
- rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar planning dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan dan organisasi); penyertaan cita-cita, tujuan, prinsip dan maksud. Sementara itu pengertian publik yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti negara atau pemerintah. Serangkaian pengertian tersebut diambil makna bahwa pengertian kebijakan publik berdasarkan Santosa ialah :
“Serangkaian keputusan yang dibentuk oleh suatu pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang diharapkan untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah” (Santosa, 1988:5).
Ahli-ahli ini selanjutnya memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap kebijakan publik mempunyai akibat-akibat yang bisa diramalkan. Mewakili kelompok tersebut Nakamura dan Smallwood dalam bukunya yang berjudul The Politics of Policy Implementation, melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungannya yaitu :
- Yaitu lingkungan perumusan kebijakan (Formulation),
- Lingkungan penerapan (Implementation), dan
- Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.
Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti kebijakan publik ialah :
“Serangkaian isyarat dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (A set of instruction from policy makers to policy implementers that spell out both goals and the mean for achieving those goals). Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri dari lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan evaluasi” (Nakamura, 1980:31).
Para pakar dalam memberi definisi kebijakan publik sering berbeda sesuai dengan pendekatan masing-masing, bahkan cenderung berselisih pendapat satu sama lain. Dye dalam bukunya yang berjudul Understanding Public Policy menyampaikan definisi kebijakan publik sebagai What ever government choose to do or not to do (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan/mendiamkan) (Dye, 1978:12). Selanjutnya Dye menyampaikan bahwa apabila pemerintah menentukan untuk melaksanakan sesuatu maka harus ada tujuannya. Dan kebijakan publik harus meliputi semua tindakan pemerintah jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Hal yang tidak dilakukan pemerintah juga merupakan kebijakan publik lantaran mempunyai dampak yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan. Baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan niscaya terkait dengan satu tujuan sebagai komponen penting dari kebijakan.
Kaitannya dengan hal tersebut, kebijakan publik tentunya mempunyai suatu kepentingan yang bersifat publik dimana berdasarkan Schubert Jr. mengungkapkan bahwa kepentingan publik itu ternyata paling tidak sedikitnya ada tiga pandangan yaitu :
- Pandangan rasionalis yang menyampaikan kepentingan publik ialah kepentingan terbanyak dari total penduduk yang ada.
- Pandangan idealis menyampaikan kepentingan publik itu ialah hal yang luhur, sehingga dihentikan direka-reka oleh manusia.
- Pandangan realis memandang bahwa kepentingan publik ialah hasil kompromi dari pertarungan banyak sekali kelompok kepentingan.
(Dalam Fadillah, 2001:20-21).
Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, nampaknya kita harus merefleksikan pada kenyataan riil kehidupan politik masyarakat modern, maksudnya masyarakat masyarakat modern yang ideal ialah masyarakat yang bisa mengorganisir diri mereka sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
2.1.1. Pengertian dan Tahap Formulasi Kebijakan
Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik dihentikan dilepaskan dari fokus kajiannya. Sebab bila kita melepaskan kenyataan politik dari proses pembuatan kebijakan publik, maka terperinci kebijakan publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya. Sebuah produk kebijakan publik yang miskin aspek lapangannya itu terperinci akan menemui banyak duduk masalah pada tahap penerapan berikutnya. Dan yang dihentikan dilupakan ialah penerapannya dilapangan dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah steril dari unsur politik. Formulasi kebijakan publik ialah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan, oleh lantaran apa yang terjadi pada tahap ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibentuk itu pada masa yang akan datang. Oleh lantaran itu perlu adanya kehati-hatian lebih dari para pembuat kebijakan saat akan melaksanakan formulasi kebijakan publik ini. Yang harus diingat pula ialah bahwa formulasi kebijakan publik yang baik ialah formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab seringkali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu ialah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif, namun tidak membumi. Padahal gotong royong formulasi kebijakan publik yang baik itu ialah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah kasus asalkan uraian atas kebijakan itu presisi dengan realitas kasus kebijakan yang ada dilapangan (Fadillah, 2001:49-50).
Solichin menyebutkan, bahwa seorang pakar dari Afrika, Chief J.O. Udoji (1981) merumuskan secara terperinci pembuatan kebijakan negara dalam hal ini ialah formulasi kebijakan sebagai :
“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)” (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan kasus dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengakuan dan pelaksanaan/implementasi monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik) (Dalam Solichin. 2002:17).
Menurut pendapatnya, siapa yang berpartisipasi dan apa peranannya dalam proses tersebut untuk sebagian besar akan tergantung pada struktur politik pengambilan keputusan itu sendiri.
Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik itu, maka ada empat hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan dalam formulasi kebijakan publik dimana sudah dikenal secara umum oleh khalayak kebijakan publik yaitu :
- Pendekatan Kekuasaan dalam pembuatan Kebijakan Publik
- Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik
- Pendekatan Pilihan Publik dalam Pembuatan Kebijakan Publik
- Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi dan Informasi dalam Formulasi Kebijakan Publik
(Fadillah, 2001:50-62).
Oleh sebeb itu dalam proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah mengutip pendapat dari Yezhezkhel Dror yang membagi tahap-tahap proses-proses kebijakan publik dalam 18 langkah yang merupakan uraian dari tiga tahap besar dalam proses pembuatan kebijakan publik yaitu :
A. Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making stage):
- Pemrosesan nilai;
- Pemrosesan realitas;
- Pemrosesan masalah;
- Survei, pemrosesan dan pengembangan sumber daya;
- Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan publik;
- Pengalokasian masalah, nilai, dan sumber daya;
- Penentuan seni manajemen pembuatan kebijakan.
B. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)
- Sub alokasi sumber daya;
- Penetapan tujuan operasional, dengan beberapa prioritas;
- Penetapan nilai-bilai yang signifikan, dengan beberapa prioritas;
- Penyiapan alternatif-alternatif kebijakan secara umum;
- Penyiapan prediksi yang realistis atas banyak sekali alternatif tersebut diatas, berikut laba dan kerugiannya;
- Membandingkan masing-masing alternatif yang ada itu sekaligus menentukan alternatif mana yang terbaik;
- Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yang telah dipilih tersebut diatas.
C. Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making stage)
- Memoivasi kebijakan yang akan diambil;
- Mengambil dan memutuskan kebijakan publik;
- Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yang telah dilakukan;
- Komunikasi dan umpan balik atas seluruh fase yang telah dilakukan.
(Dalam Fadillah, 2001:75-76)
Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap tahap tersebut mencerminkan kegiatan yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berafiliasi dengan tahap yang berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam bulat kegiatan yang tidak linear. Aplikasi mekanisme sanggup membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang secara pribadi mempengaruhi asumsi, keputusan, dan agresi dalam satu tahap yang kemudian secara tidak pribadi mempengaruhi kinerja tahap-tahap berikutnya. Aktivitas yang termasuk dalam aplikasi mekanisme analisis kebijakan ialah tepat untuk tahap-tahap tertentu dari proses pembuatan kebijakan, menyerupai ditunjukan dalam segi empat (tahap-tahap pembuatan kebijakan) dan oval yang digelapkan (prosedur analisis kebijakan) dalam skema 2.1. terdapat sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan sanggup memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).
KARAKTERISTIK PENYUSUNAN AGENDA
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan kasus pada acara publik. Banyak kasus tidak disentuh sama sekali sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
FORMULASI KEBIJAKAN
Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.
ADOPSI KEBIJAKAN
Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari dominan legislatif, konsesnsus diantara eksekutif forum atau keputusan peradilan.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit manajemen yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
PENILAIAN KEBIJAKAN
Unit-unit pemeriksanaan dan akuntansi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif. Legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.
Sumber : William N. Dunn, 2000:24.
Keterangan :
- Perumusan kasus sanggup memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi kasus dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan acara (agenda setting). Perumusan kasus sanggup membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.
- Peramalan sanggup menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan wacana kasus yang akan terjadi dimasa mendatang sebagai akhir dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melaksanakan sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan sanggup menguji masa depan yang potensial, dan secara normatif bernilai mengestimasi akhir dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari banyak sekali pilihan.
- Rekomendasi membuahkan pengatahuan yang relevan dengan kebijakan wacana manfaat atau biaya dari banyak sekali alternatif yang alhasil dimasa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenal eksternalitas dan akhir ganda, menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan, dan mentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.
- Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan wacana akhir dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan dengan memakai banyak sekali indikator kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggungjawab pada setiap tahap kebijakan.
- Evaluasi (Penilaian) membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan wacana ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diterapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Kaprikornus ini membantu pengambilan kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh kasus terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada penjelasan dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam pembiasaan dan perumusan kembali masalah
(Dunn. 2000:26-29).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan / kebijakan berdasarkan Nigro and Nigro dalam buku karya M. Irfan Islamy yang berjudul Prinsip-prinsip perumusan Kebijaksanaan Negara ialah sebagai berikut :
- Adanya imbas tekanan dari luar
- Adanya imbas kebiasaan usang (konsevatisme)
- Adanya imbas sifat-sifat pribadi
- Adanya imbas dari kelompok luar
- Adanya imbas keadaan masa lalu.
(Dalam Islamy, 1986:25-26)
Hal tersebut selalu saja terjadi pada setiap perjuangan perumusan kebijakan khususnya kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat dimana ternyata pada kenyataannya proses penentuan keputusan atau kebijakan tersebut kental dengan banyak sekali macam pengaruh-pengaruh yang bersifat negatif.
Sebaliknya kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam proses pembuatan keputusan berdasarkan Nigro and Nigro ialah sebagai berikut:
- Cara berfikir yang sempit (Cognitive nearsightedness)
- Adanya perkiraan bahwa masa depan akan mengulangi masa kemudian (Assumption that future will repeat past)
- Terlampau menyederhanakan sesuatu (Over simplication)
- Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang (Overreliance on one’sown experience
- Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi para pembuat keputusan (Preconceived nations)
- Tidak adanya keinginan untuk melaksanakan percobaan (Unwillingness to experiment)
- Keengganaan untuk membuat keputusan (Reluctance to decide).
(Dalam Islamy, 1986:25-26).
Kesalahan-kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang sangat fatal sekali khususnya didalam pembuatan suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama sehingga semaksimal mungkin kesalahan tersebut harus diminimalisir atau dihilangkan jika tidak ingin mendapatkan kasus pada tahap pengimplementasian dilapangan yang berdampak pada gambaran jelek para penentu kebijakan tersebut sekaligus kebijakan itu sendiri.
2.1.2. Implementasi Kebijakan
2.1.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan serta Faktor Keberhasilan dan Kegagalannya dalam Implementasi
Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan gotong royong bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut kasus konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari kebijakan. Oleh lantaran itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan tidak akan ada keuntungannya bila tidak sanggup diterapkan sesuai dengan rencana. Penerapan ialah suatu proses yang tidak sederhana (Dalam Solichin, 1997:45). Bahkan Udoji menyampaikan dengan tegas bahwa “The execution of policies is a important if not more important than policy-making. Policy will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented” (Pelaksanaan kebijakan ialah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau planning elok yang tersimpan rapih dalam arsip jika tidak diimplementasikan). Oleh lantaran itu implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada semangat kompetensi dan berwawasan pemberdayaan (Dalam Solichin, 1997:45). Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan diharapkan lebih banyak yang terlibat baik tenaga kerja maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat interaktif dalam proses perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses interaksi antara suatu tujuan dan tindakan yang bisa untuk meraihnya. Penerapan merupakan kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian lantaran akhir yang menghubungan tindakan dengan tujuan.
Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah kasus yang gampang terutama dalam mencapai tujuan bersama, cukup sulit untuk membuat sebuah kebijakan publik yang baik dan adil. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bantuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap klien. Masalah lainnya ialah kesulitan dalam memenuhi tuntutan banyak sekali kelompok yang sanggup menimbulkan konflik yang mendorong berkembangnya pemikiran politik sebagai konflik.
Definisi dan konsep implementasi kebijakan publik ini sangat bervariasi. Menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Fadillah menyatakan bahwa implementasi kebijakan ialah :
“Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan hingga tercapainya hasil kebijakan”. Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : “Policy implementation encompasses those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (pernyataan ini menyampaikan makna bahwa implementasi kebijakan ialah keseluruhan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan) (Dalam Fadillah, 2001:81).
Secara sederhana sanggup dikatakan bahwa implementasi kebijakan meliputi semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak aktualnya.
Didalam artikel yang membahas mengenai Studi Niat Berimigrasi di Tiga Kota, Determinan dan Intervensi Kebijaksanaan ditulis, bahwa untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan berdasarkan pendapat Keban yang dikutip dari pendapat Van Meter dan Van Horn yang menyatakan menyatakan “Suatu kebijakan tentulah menegaskan standar dan target tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan intinya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan target tersebut”. Lebih sederhana lagi kinerja (performance) merupakan tingkat pencapaian hasil atau the degree of accomplishment. Dalam model Van Meter dan Van Horn ini ada enam faktor yang sanggup meningkatkan kejelasan antara kebijakan dan kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut ialah standar dan target kebijakan, komunikasi antar organisasi dan pengukuran aktivitas, karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik, sumber daya, perilaku pelaksana (Dalam Keban, 1994:1).
Pada dasarnya indikator kinerja untuk menilai derajat pencapaian standar dan target kebijakan sanggup dijelaskan bahwa kegiatan itu melangkah dari tingkat kebijakan yang masih berupa dokumen peraturan menuju penentuan standar spesifik dan kongkrit dalam menilai kinerja program. Dengan standar dan target sanggup diketahui seberapa besar keberhasilan acara yang telah dicapai.
Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan atau acara sanggup ditujukan dari tiga faktor yaitu :
- Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan strect level bereau crats terhadap atasan mereka.
- Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.
- Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok peserta manfaat yang diharapkan”.
(Ripley dan Franklin, 1986:89)
Secara sederhana ketiga faktor diatas merupakan suatu kepastian dalam menilai keberhasilan suatu implementasi kebijakan sehingga kurang hilangnya salah satu faktor mempengaruhi sekali terhadap kinerja kebijakan tersebut.
Kemudian sebaliknya Jam Marse mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang sanggup menimbulkan kegagalan dalam implementasi kebijakan yaitu:
- Isu kebijakan. Implementasi kebijakan sanggup gagal lantaran masih ketidaktetapan atau ketidak tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, membuktikan adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.
- Informasi. Kekurangan informasi dengan gampang menimbulkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.
- Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaanya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.
(Solichin, 1997:19)
Ketiga faktor yang sanggup menimbulkan kegagalan dalam proses implementasi kebijakan sebelumnya harus sudah difikirkan dalam merumuskan kebijakan, lantaran tidak tertutup kemungkinan kegagalan didalam penerapan kebijakan sebagaian besar terletak pada awal perumusan kebijakan oleh pemerintah sendiri yang tidak sanggup bekerja maksimal dan bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
2.1.2.2. Model-model Implementasi Kebijakan
Sekalipun dalam khasanah ilmu kebijakan negara atau analisis kebijakan negara telah banyak dikembangkan model-model atau teori yang membahas wacana implementasi kebijakan namun penulis hanya akan membicarakan beberapa model implementasi kebijakan yang relatif gres dan banyak mempengaruhi banyak sekali pemikiran maupun goresan pena para ahli.
Pertama, model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A. Gunn (1978; 1986). Model ini kerap kali disebut sebagai “The top down approach”, menurutnya untuk mengimplementasikan kebijakan negara secara tepat maka diharapkan beberapa persyaratan tertentu, syarat-syarat itu ialah sebagai berikut :
- Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius
- Untuk pelaksanaan acara tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai
- Perpaduan sumber-sumber yang diharapkan benar-benar tersedia
- Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu kekerabatan kausalitas yang andal
- Hubungan kausalitas bersifat pribadi dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya
- Hubungan saling ketergantungan harus sedikit
- Pemahaman yang mendalam dan janji terhadap tujuan
- Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat
- Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
- Pihak-pihak yang mempunyai wewenang dan kekuasaan sanggup menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
(Dalam Solichin, 2002:70-78)
Kedua, model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975), yang disebut sebagai A model of the policy implementation process (model proses implementasi kebijakan) dimana dalam teorinya beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menyampaikan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara gosip kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja (performance). Kedua hali ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha membuat tipologi kebijakan sebagai berikut :
- Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan,
- Jangkauan atau ruang lingkup janji terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi
Alasan yang dikemukakannya ini ialah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara janji terhadap tujuan --- terutama dari mereka yang mengoperasikan acara dilapangan relatif tinggi (Dalam Solichin, 2002:78-79).
Ketiga, model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sbatier yang disebut A frame work for implementation analisys (kerangka analisis implementation). Kedua hebat ini beropini bahwa kiprah penting dari analisis implementasi kebijaksanaan negara ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud sanggup diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu :
- Mudah tidaknya kasus yang akan digarap dikendalikan
- Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya; dan
- Pengaruh pribadi banyak sekali variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.
(Dalam Solichin, 2002:81).
Dari model-model yang disajikan tersebut ada yang relatif abstrak, dan ada pula yang relatif operasional. Sekalipun demikian peneliti tidak bermaksud untuk menilai mana yang diantara model-model tersebut yang baik atau paling tepat, lantaran penggunaan model ini untuk keperluan penelitian/analisis sedikit banyak akan tergantung pada kompleksitas permasalahan kebijakan yang dikaji serta tujuan dan analisis itu sendiri. Sebagai fatwa awal barangkali ada baiknya diingat bahwa semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin mendalam analisis yang dilakukan, semakin diharapkan teori atau model yang relatif operasional yang bisa menjelaskan kekerabatan kausalitas antar yang menjadi fokus analisis.
2.1.3. Pengertian Kebijakan Keuangan Negara
untuk memahai makna keuangan negara, pertama-tama perlu diketahui apa arti negara dan keuangan yang diharapkan oleh negara dalam menjalankan pemerintahan untuk mencapai tujuannya. Keberhasilan negar dalam mencapai tujuan tersebut, tergantung pada bagaimana negara itu manghimpuan dana masyarakat, utamanya pajak guna menyelenggarakan fungsi-fungsinya. Hal ini sanggup dipahami, lantaran untuk menjalankan roda pemerintahan, negara perlu dukungan dana yang sangat besar yang bersumber dari pendapatan negara yang potensial. Kebijakan pemerintah sejalan dengan perkembangan kebutuhan negara guna mensejahterakan warga masyarakatnya berubah menjadi lebih luas menjadi kebijakan di bidang keuangan negara. Hal-hal yang dikelola oleh pemerintah disebut sebagai keuangan negara, yang pengertiannya selalu berkembang dan berbeda, baik berdasarkan tempat negara yang mengelolanya maupun berdasarkan pendapat para hebat diantaranya berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 wacana Keuangan Negara ialah “Semua hak dan kewajiban yang sanggup dinilai dengan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang sanggup dijadikan milik negara berafiliasi dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut” (Pemerintah RI, 2003:2). Kemudian berdasarkan M. Subagio (1988) ialah :
“Keuangan negara terdiri atas hak dan kewajiban negara yang sanggup dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang sanggup dijadikan milik negara berafiliasi dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Hak negara meliputi membuat uang; hak mendatangkan hasil; hak melaksanakan pungutan; hak meminjam dan hak memaksa. Kewajiban negara meliputi kewajiban menyelenggarakan kiprah negara demi kepentingan masyarakat; dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga” (Didalam BPK, 2000:16).
Dari pendapat M. Subagio tersebut nampak unsur-unsur keuangan negara, yaitu uang dan barang yang dijadikan milik negara, kekayaan negara, hak dan kewajiban negara yang sanggup dinilai dengan uang. Pakar lainnya Bambang Kusmanto menyatakan :
“Public finance (keuangan negara) diinterpretasikan dalam arti sempit, yakni Government Finance (keuangan pemerintah), sedangkan makna “Finance” (keuangan) sudah ada kata sepakat, hakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) didalam mencari sumber-sumber dana (Sources of fund) dan kemudian bagaimana dana-dana tersebut dipakai (uses of fund) untuk mencapai tujuan (pemerintah) tertentu. Kaprikornus keuangan negara mencerminkan kegiatan-kegiatan pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri berada dalam sektor swasta (private sector)” (Didalam BPK, 2000:19-20).
Apabila dianalisis pendapat yang dikemukakan oleh Bambang Kusmanto, amaka unsur-unsur keuangan negara yang dikemukakan meliputi : kegiatan mencari dana dan kegiatan memakai dana untuk mencapai tujuan pemerintah tertentu.
2.1.3.1. Pengelolaan Keuangan Negara
1. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi dibawah MPR. Presiden mempunyai kekuasaan penyelengaraan pemerintahan negara, meliputi apa yang dalam trias politica disebut kekuasaan eksekutif dan legislatif, dengan pengertian bahwa kekuasaan legislatif itu dijalankan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Kekuasaan penyelenggaraan pemerintah itu meliputi didalamnya tiga kekuasaan pengelolaan keuangan negara, yaitu kekuasaan otorisasi (kekuasaan untuk mengambil tindakan atau keputusan yang sanggup menimbulkan kekayaan negara menjadi bertambah atau berkurang) yang dibedakan atas kekuasaan otorisasi umum (berupa peraturan perundang-undangan) dan otorisasi khusus (menetapkan keputusan yang mengikat orang ataupihak tertentu yang bersifat umum). Kedua kekuasaan ordonansi (kekuasaan untuk menerima, meneliti, mengguji keabsahan dan menertibkan surat perintah menagih atau membayar tagihan yang membebani anggaran penerimaan dan pengeluaran negara sebagai akhir tindakan otorisator). Ketiga kekuasaan kebendaharaan (kekuasaan untuk menerima, menyimpan atau membayar/mengeluarkan uang atau barang, serta pertanggungjawaban uang atau barang yang berada dalam pengelolaannya.
2. Pendelegasian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka efisiensi dan efektifitas peleksanaan kekuasaan pengelolaan kekuangan negara sesuai dengan sistem pemerintahan negara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, presiden mendelegasikan sebagian kekuasaan pengelolaan keuangan itu kepada aparatur pemerintah di sentra dan daerah, BUMN dan BUMD serta pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(BPK, 2000:37-40)
2.1.3.2. Pertanggungjawaban Keuangan Negara
Mengingat bahwa kekuasaan pemyelenggaraan pemerintah tertinggi dibawah MPR ialah presiden, maka konsekuensi tanggung jawab penyelenggaraan seluruh keuangan negara berada pula ditangan presiden. Telah diketahui bersama bahwa dalam tubuh pemerintah, selain presiden, terdapat pula para menteri, gubernur, bupati dan walikota, dan banyak sekali pejabat yang mempunyai fungsi dan kedudukan tertentu dalam keterlibatannya mengelola keuangan negara. Masing-masing pejabat tersebut memikul tanggung jawab atas pelaksanaan keuangan negara di bidang tugasnya. Dalam pengertian pengelolaan keuangan negara terkandung pengertian pertanggungjawaban yang harus dibentuk oleh semua instansi pemerintah maupun pejabat yang melaksanakan penglolaan keuangan negara yang meliputi pelaksanaan APBN, APBD, pelaksanaan anggaran BUMN, BUMD, serta pelaksanaan anggaran yayasan yang didirikan oleh pemerintah, BUMN dan BUMD atau tubuh aturan lain dimana terdapat kepentingan negara atau yang mendapatkan derma pemerintah. Laporan pertanggungjawaban tersebut disampaikan kepada pejabat atau instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban diharapkan untuk mengetahui pelaksanaan acara pemerintah, baik acara pembangunan maupun kegiatan rutin pelayanan pemerintah, mengenai tingkat ketaatannya pada peraturan perundang-undangan, serta mengetahui tingakat kehematan, efisiensi dan efektifitas dari acara atau pelayanan pemerintah. Bentuk tangung jawab keuangan negara pada umum berupa laporan keuangan yang disajikan secara berkala. Laporan keuangan ini harus disajikan secara lengkap sepadan dengan luas lingkup keuangan negara yang dilimpahkan oleh MPR kepada presiden yang meliputi keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD, hakekatnya meliputi seluruh kekayaan negara. Bentuk tanggung hawab masing-masing cuilan keuangan negara intinya berupa : laporan realisasi pelaksanaan anggaran (kinerja keuangan), laporan mutasi kekayaan dari hasil pelaksanaan anggaran, dan laporan perhitungan anggaran secara rinci. (BPK, 2000:43-47)