Makalah Implementasi Kebijakan

ARTIKULASI KONSEP IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Pendahuluan
Eugene Bardach dalam tulisannya menyampaikan bahwa penulis yang lebih awal memperlihatkan perhatian terhadap duduk kasus implementasi ialah Douglas R. Bunker dalam penyajiannya di depan the American Association for the Advancement of Science pada tahun 1970. Pada ketika itu disajikan untuk pertama kali secara konseptual perihal proses implementasi kebijakan sebagai suatu fenomena sosial politik (Edward III, 1984: 1). Konsep tersebut kemudian semakin marak dibicarakan seiring dengan banyaknya pakar yang memperlihatkan donasi pemikiran mengenai implementasi kebijakan sebagai salah satu tahap dari proses kebijakan. Wahab dan beberapa penulis menempatkan tahap implementasi kebijakan pada posisi yang berbeda, namun pada prinsipnya setiap kebijakan publik selalu ditindaklanjuti dengan implementasi kebijakan (Wahab, 1991: 117). Oleh alasannya ialah itu, implementasi merupakan tahap yang sangat memilih dalam proses kebijakan (Ripley dan Franklin, 1982, dalam Tarigan, 2000: 14; Wibawa dkk., 1994: 15). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Edwards III (1984: 1) bahwa tanpa implementasi yang efektif maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan ialah kegiatan yang terlihat sesudah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcomes bagi masyarakat.

Tahap implementasi kebijakan sanggup dicirikan dan dibedakan dengan tahap pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan di satu sisi merupakan proses yang mempunyai budi bottom-up, dalam arti proses kebijakan diawali dengan penyampaian aspirasi, seruan atau proteksi dari masyarakat. Sedangkan implementasi kebijakan di sisi lain di dalamnya mempunyai budi top-down, dalam arti penurunan alternatif kebijakan yang ajaib atau makro menjadi tindakan konkrit atau mikro (Wibawa, 1994: 2).

Pengertian
Grindle (1980: 7) menyatakan, implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang sanggup diteliti pada tingkat acara tertentu. Sedangkan Van Meter dan Horn (Wibawa, dkk., 1994: 15) menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Grindle (1980: 7) menambahkan bahwa proses implementasi gres akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, acara kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran.

Menurut Lane, implementasi sebagai konsep sanggup dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, implementation = F (Intention, Output, Outcome). Sesuai definisi tersebut, implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari akibat. Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi dari implementation = F (Policy, Formator, Implementor, Initiator, Time). Penekanan utama kedua fungsi ini ialah kepada kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh implementor dalam kurun waktu tertentu (Sabatier, 1986: 21-48).

Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan Horn (Grindle, 1980: 6) bahwa kiprah implementasi ialah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui kegiatan instansi pemerintah yang melibatkan banyak sekali pihak yang berkepentingan (policy stakeholders).

Perspektif Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan publik sanggup dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach yang diperkenalkan oleh Edwards III (1984: 9-10). Edwards III mengajukan pendekatan duduk kasus implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: 
  1. Faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? 
  2. Faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? 
Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan.Komunikasi suatu acara hanya sanggup dilaksanakan dengan baik apabila terang bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan. Sumber daya, meliputi empat komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan kiprah atau tanggung jawab dan kemudahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan. Disposisi atau sikap pelaksana merupakan komitmen pelaksana terhadap program. Struktur birokrasi didasarkan pada standard operating prosedure yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan.

Untuk memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan diseminasi dengan baik. Syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yakni: 
  1. Adanya respek anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah untuk menjelaskan perlunya secara moral mematuhi undang-undang yang dibentuk oleh pihak berwenang; 
  2. Adanya kesadaran untuk mendapatkan kebijakan. Kesadaran dan kemauan mendapatkan dan melaksanakan kebijakan terwujud manakala kebijakan dianggap logis;
  3. Keyakinan bahwa kebijakan dibentuk secara sah; 
  4. Awalnya suatu kebijakan dianggap kontroversial, namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua perspektif dalam analisis implementasi, yaitu perspektif manajemen publik dan perspektif ilmu politik. Menurut perspektif manajemen publik, implementasi pada awalnya dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara sempurna dan efisien. Namun, pada final Perang Dunia II banyak sekali penelitian manajemen negara memperlihatkan bahwa ternyata biro manajemen publik tidak hanya dipengaruhi oleh mandat resmi, tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota forum legislatif dan banyak sekali faktor dalam lingkungan politis.

Perspektif ilmu politik menerima proteksi dari pendekatan sistem terhadap kehidupan politik. Pendekatan ini seperti mematahkan perspektif organisasi dalam manajemen publik dan mulai memperlihatkan perhatian terhadap pentingnya input dari luar arena administrasi, menyerupai ketentuan administratif, perubahan preferensi publik, teknologi gres dan preferensi masyarakat. Perspektif ini terfokus pada pertanyaan dalam analisis implementasi, yaitu seberapa jauh konsistensi antara output kebijakan dengan tujuannya.

Ripley memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kabijakan (Ripley & Franklin, 1986: 11). Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur manajemen publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan biro atau individu bawahan terhadap biro atau individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis aksara dan kualitas sikap organisasi. Menurut Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni: 
  • Banyak faktor non-birokratis yang kuat tetapi justru kurang diperhatikan,  
  • Adanya acara yang tidak didesain dengan baik. 
Perspektif kedua ialah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang menghipnotis proses implementasi kebijakan yang mengharuskan implementor semoga lebih leluasa mengadakan penyesuaian.Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor eksternal organisasi yang juga menghipnotis kinerja biro administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang juga memfokuskan perhatian pada banyak sekali faktor non-organisasional yang menghipnotis implementasi kebijakan (Grindle, 1980: 7).

Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual sanggup dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu:
  1. Kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan 
  2. Kemampuan implementor melaksanakan apa yang dianggap sempurna sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi imbas eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual.
Keberhasilan kebijakan atau acara juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, acara pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibentuk oleh pembuat acara yang meliputi antara lain cara pelaksanaan, biro pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, acara sanggup dinilai berhasil manakala acara membawa dampak menyerupai yang diinginkan. Suatu acara mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.

Model Implementasi Kebijakan
Menurut Sabatier (1986: 21-48), terdapat dua model yang berpacu dalam tahap implementasi kebijakan, yakni model top down dan model bottom up. Kedua model ini terdapat pada setiap proses pembuatan kebijakan. Model elit, model proses dan model inkremental dianggap sebagai citra pembuatan kebijakan berdasarkan model top down. Sedangkan citra model bottom up sanggup dilihat pada model kelompok dan model kelembagaan.

Grindle (1980: 6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh bermacam-macam aktor, dimana keluaran risikonya ditentukan oleh baik materi acara yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik sanggup terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan banyak sekali bintang film kebijakan, sedangkan proses manajemen terlihat melalui proses umum mengenai agresi administratif yang sanggup diteliti pada tingkat acara tertentu.

T.B. Smith mengakui, ketika kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan (Nakamura dan Smallwood, 1980: 2). Pada gambar 01 terlihat bahwa suatu kebijakan mempunyai tujuan yang terang sebagai wujud orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi kebijakan diformulasi ke dalam acara agresi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai. Program dilaksanakan sesuai dengan rencana. Implementasi kebijakan atau acara – secara garis besar – dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasi. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran acara berdasarkan tujuan kebijakan. Luaran acara dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu dan kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan ialah perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran.

Model Linier Implementasi Kebijakan
Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implementasi kebijakan publik yang efektif, yaitu model linier dan model interaktif (lihat Baedhowi, 2004: 47). Pada model linier, fase pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting, sedangkan fase pelaksanaan kebijakan kurang menerima perhatian atau dianggap sebagai tanggung jawab kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tergantung pada kemampuan instansi pelaksana. Jika implementasi kebijakan gagal maka yang disalahkan biasanya ialah pihak manajemen yang dianggap kurang mempunyai komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih baik untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.

Model Interaktif Implementasi Kebijakan
(Thomas R. Dye. 1981. Understanding Public Policy, Prentice-Hall Internati
Berbeda dengan model linier, model interaktif menganggap pelaksanaan kebijakan sebagai proses yang dinamis, alasannya ialah setiap pihak yang terlibat sanggup mengusulkan perubahan dalam banyak sekali tahap pelaksanaan. Hal itu dilakukan ketika kebijakan publik dianggap kurang memenuhi keinginan stakeholders. Ini berarti bahwa banyak sekali tahap implementasi kebijakan publik akan dianalisis dan dievaluasi oleh setiap pihak sehingga potensi, kekuatan dan kelemahan setiap fase pelaksanaannya diketahui dan segera diperbaiki untuk mencapai tujuan.meskipun persyaratan input sumberdaya merupakan keharusan dalam proses implementasi kebijakan, tetapi hal itu tidak menjamin suatu kebijakan akan dilaksanakan dengan baik. Input sumberdaya sanggup dipakai secara optimum jika dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan terjadi interaksi positif dan dinamis antara pengambil kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan pengguna kebijakan (masyarakat) dalam suasana dan lingkungan yang kondusif.

Jika model interaktif implementasi kebijakan di atas disandingkan dengan model implementasi kebijakan yang lain, khususnya model proses politik dan manajemen dari Grindle, terlihat adanya kesamaan dan representasi elemen yang mencirikannya. Tujuan kebijakan, acara agresi dan proyek tertentu yang dirancang dan didanai berdasarkan Grindle memperlihatkan urgensi fase pengambilan keputusan sebagai fase terpenting dalam model linier implementasi kebijakan. Sementara itu, enam elemen isi kebijakan ditambah dengan tiga elemen konteks implementasi sebagai faktor yang menghipnotis kegiatan implementasi berdasarkan Grindle mencirikan adanya interaksi antara pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan dalam model interaktif. Begitu pula istilah model proses politik dan proses manajemen berdasarkan Grindle, selain memperlihatkan dominasi cirinya yang cenderung lebih erat kepada ciri model interaktif implementasi kebijakan, juga memperlihatkan kelebihan model tersebut dalam cara yang dipakai untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan, beserta output dan outcomesnya.

Selain model implementasi kebijakan di atas Van Meter dan Van Horn membuatkan Model Proses Implementasi Kebijakan. (Tarigan, 2000: 20). Keduanya meneguhkan pendirian bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam mekanisme implementasi. Keduanya membuatkan tipologi kebijakan menurut: 
  • Jumlah perubahan yang akan dihasilkan, 
  • Jangkauan atau ruang lingkup janji mengenai tujuan oleh banyak sekali pihak yang terlibat dalam proses implementasi.
Tanpa mengurangi dapat dipercaya model proses implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn terlihat bahwa elemen yang memilih keberhasilan penerapannya termasuk ke dalam elemen model proses politik dan manajemen berdasarkan Grindle. Kata kunci yakni perubahan, kontrol dan kepatuhan termasuk dalam dimensi isi kebijakan dan konteks implementasi kebijakan. Demikian pula dengan tipologi kebijakan yang dibentuk oleh keduanya termasuk dalam elemen isi kebijakan dan konteks implementasi berdasarkan Grindle. Tipologi jumlah perubahan yang dihasilkan termasuk dalam elemen isi kebijakan dan tipologi ruang lingkup janji termasuk dalam konteks implementasi.

Sejalan dengan pendapat di atas, Korten (baca dalam Tarigan, 2000: 19) menciptakan Model Kesesuaian implementasi kebijakan atau acara dengan menggunakan pendekatan proses pembelajaran. Model ini berintikan kesesuaian antara tiga elemen yang ada dalam pelaksanaan program, yaitu acara itu sendiri, pelaksanaan acara dan kelompok sasaran program.

Model Kesesuaian
(Dikutip dari David C. Korten (1988) dalam Tarigan, h. 1
Korten menyatakan bahwa suatu acara akan berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian antara acara dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh acara dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara acara dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara kiprah yang disyaratkan oleh acara dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk sanggup memperoleh output acara dengan apa yang sanggup dilakukan oleh kelompok sasaran program.

Berdasarkan rujukan yang dikembangkan Korten, sanggup dipahami bahwa jika tidak terdapat kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan, kinerja acara tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika output acara tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran terang outputnya tidak sanggup dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana acara tidak mempunyai kemampuan melaksanakan kiprah yang disyaratkan oleh acara maka organisasinya tidak sanggup memberikan output acara dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana acara tidak sanggup dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh alasannya ialah itu, kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan mutlak dibutuhkan semoga acara berjalan sesuai dengan planning yang telah dibuat.

Model kesesuaian implementasi kebijakan yang diperkenalkan oleh Korten memperkaya model implementasi kebijakan yang lain. Hal ini sanggup dipahami dari kata kunci kesesuaian yang digunakan. Meskipun demikian, elemen yang diubahsuaikan satu sama lain – program, pemanfaat dan organisasi – juga sudah termasuk baik dalam dimensi isi kebijakan (program) dan dimensi konteks implementasi (organisasi) maupun dalam outcomes (pemanfaat) pada model proses politik dan manajemen dari Grindle.

Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan
Menurut Grindle (1980: 10) dan Quade (1984: 310), untuk mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan alasannya ialah melalui pemilihan kebijakan yang sempurna maka masyarakat sanggup berpartisipasi memperlihatkan donasi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih dibutuhkan organisasi pelaksana, alasannya ialah di dalam organisasi ada kewenangan dan banyak sekali sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan proteksi positif sehingga lingkungan akan kuat terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada tiga aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil eksklusif dari implementasi kebijakan yang memilih efeknya terhadap masyarakat.Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi berdasarkan Ripley dan Franklin (1986: 12) didasarkan pada tiga aspek, yaitu:
  1. Tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana diatur dalam undang-undang,
  2. Adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya masalah; serta 
  3. Pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang dikehendaki dari semua acara yang ada terarah. 
Sedangkan berdasarkan Goggin et al. (1990: 20-21, 31-40), proses implementasi kebijakan sebagai upaya transfer informasi atau pesan dari institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih rendah diukur keberhasilan kinerjanya berdasarkan variabel: 
  • Dorongan dan paksaan pada tingkat federal, 
  • Kapasitas pusat/negara, 
  • Dorongan dan paksaan pada tingkat sentra dan daerah.
Variabel dorongan dan paksaan pada tingkat sentra ditentukan oleh legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sentra di mata tempat maka semakin besar kredibilitasnya, begitu pula sebaliknya. Untuk mengukur kekuatan isi dan pesan kebijakan sanggup dilihat melalui:
  1. Besarnya dana yang dialokasikan, dengan perkiraan bahwa semakin besar dana yang dialokasikan maka semakin serius kebijakan tersebut dilaksanakan dan
  2. Bentuk kebijakan yang memuat antara lain, kejelasan kebijakan, konsistensi pelaksanaan, frekuensi pelaksanaan dan diterimanya pesan secara benar. Sementara itu, untuk mengetahui variabel kapasitas sentra atau kapasitas organisasi sanggup dilihat melalui seberapa jauh organisasi pelaksana kebijakan bisa memanfaatkan wewenang yang dimiliki, bagaimana hubungannya dengan struktur birokrasi yang ada dan bagaimana mengkoordinasikan banyak sekali sumberdaya yang tersedia dalam organisasi dan dalam masyarakat.
Model kesesuaian implementasi kebijakan atau acara dari Korten juga relevan dipakai (lihat kembali Gambar 3 dan penjelasannya) sebagai kriteria pengukuran implementasi kebijakan. Dengan kata lain, keefektifan kebijakan atau acara berdasarkan Korten tergantung pada tingkat kesesuaian antara acara dengan pemanfaat, kesesuaian acara dengan organisasi pelaksana dan kesesuaian acara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana.Selain kriteria pengukuran implementasi kebijakan di atas, perlu pula dipahami adanya korelasi imbas antara implementasi kebijakan dengan faktor lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Meter dan Van Horn (lihat Grindle, 1980: 6) bahwa terdapat variabel bebas yang saling berkaitan sekaligus menghubungkan antara kebijakan dengan prestasi kerja. Variabel yang dimaksud oleh keduanya meliputi: 
  1. Ukuran dan tujuan kebijakan, 
  2. Sumber kebijakan, 
  3. Ciri atau sifat badan/instansi pelaksana, 
  4. Komunikasi antar organisasi terkait dan komunikasi kegiatan yang dilaksanakan, 
  5. Sikap para pelaksana, dan 
  6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Menurut Quade (1984: 310), dalam proses implementasi kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi, kelompok sasaran dan faktor lingkungan yang menjadikan munculnya tekanan dan diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi. Dari transaksi tersebut diperoleh umpan balik yang oleh pengambil kebijakan sanggup dipakai sebagai materi masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya. Quade memperlihatkan citra bahwa terdapat empat variabel yang harus diteliti dalam analisis implementasi kebijakan publik, yaitu:
  1. Kebijakan yang diimpikan, yaitu rujukan interaksi yang diimpikan semoga orang yang memutuskan kebijakan berusaha untuk mewujudkan;
  2. Kelompok target, yaitu subyek yang diharapkan sanggup mengadopsi rujukan interaksi gres melalui kebijakan dan subyek yang harus berubah untuk memenuhi kebutuhannya;
  3. Organisasi yang melaksanakan, yaitu biasanya berupa unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan; dan 
  4. Faktor lingkungan, yaitu elemen dalam lingkungan yang menghipnotis implementasi kebijakan.
Sebagai komparasi sanggup dipahami pemikiran Mazmanian dan Sabatier yang membuatkan “kerangka kerja analisis implementasi” (lihat Wahab, 1991: 117). Menurutnya, kiprah penting analisis implementasi kebijakan negara ialah mengidentifikasi variabel yang menghipnotis pencapaian tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang dimaksud oleh Mazmanian dan Sabatier diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum, yaitu: 
  1. Mudah atau sulitnya dikendalikan duduk kasus yang digarap; 
  2. Kemampuan kebijakan untuk mensistematisasi proses implementasinya; dan 
  3. pengaruh eksklusif variabel politik terhadap keseimbangan proteksi bagi tujuan yang termuat dalam kebijakan. Ketiga variabel ini disebut variabel bebas yang dibedakan dengan tahap implementasi yang harus dilalui sebagai variabel terikat.
Variabel gampang atau sulitnya suatu duduk kasus dikendalikan mencakup:
  1. Kesukaran teknis,
  2. Keragaman sikap kelompok sasaran, 
  3. Persentase kelompok sasaran dibandingkan dengan jumlah penduduk, dan
  4. Ruang lingkup perubahan sikap yang diinginkan. 
Variabel kemampuan kebijakan untuk mensistematisasi proses implementasi mencakup:
  1. Kejelasan dan konsistensi tujuan,
  2. Ketepatan alokasi sumber daya, 
  3. Keterpaduan hirarki dalam dan di antara forum pelaksana,
  4. Aturan keputusan dari tubuh pelaksana,
  5. Rekruitmen pejabat pelaksana, dan 
  6. Akses formal pihak luar.
 Variabel di luar kebijakan yang menghipnotis proses implementasi mencakup: 
  1. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi, 
  2. Dukungan publik, 
  3. Sikap dan sumber daya yang dimiliki kelompok, 
  4. Dukungan dari pejabat atasan, dan 
  5. Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana (Keban, 2007: 16). sedangkan variabel terikat yang ditunjukkan melalui tahapan dalam proses implementasi mencakup: 
  • Output kebijakan tubuh pelaksana, 
  • Kesediaan kelompok sasaran mematuhi output kebijakan, 
  • Dampak nyata output kebijakan,
  • Dampak output kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan 
  • Perbaikan.
Penutup
Artikulasi konsep implementasi kebijakan ini memperlihatkan adanya perpaduan sejumlah elemen dari model-model implementasi kebijakan, khususnya elemen model proses politik dan administrasi, model kesesuaian, model linier dan model interaktif ke dalam suatu konstruksi model deskriptif sistem determinan implementasi kebijakan. Kerangka konseptual yang telah dibicarakan di atas meliputi dimensi dan indikator dari keempat model implementasi kebijakan yang diperkenalkan. Aspek yang secara eksklusif mengacu pada model proses politik dan manajemen ialah kesesuaian isi kebijakan dengan apa yang dilaksanakan, jenis manfaat yang dirasakan oleh kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi melalui implementasi kebijakan. 

Tiga aspek tersebut merupakan elemen dari dimensi isi kebijakan dalam model proses politik dan administrasi. Sedangkan aspek yang secara tidak eksklusif mengacu pada keempat model implementasi kebijakan tersebut ialah sebagian besar dari aspek kebijakan yang dibicarakan, menyerupai aspek kejelasan tujuan kebijakan bagi pelaksana, kesesuaian isi kebijakan dan konsistensi isi kebijakan dengan acara dan pelaksanaannya. Tiga aspek kebijakan tersebut implisit dalam makna dari kata kepentingan yang kuat sebagai elemen dari dimensi isi kebijakan dalam model proses politik dan administrasi. Begitu pula aspek lain yang dibicarakan, menyerupai korelasi sosial yang solid, kerjasama dengan forum mitra, kepemimpinan berdasarkan hati nurani dan politik, implisit dalam makna kata daya tanggap, kekuasaan, kepentingan dan taktik bintang film serta kepatuhan. Aspek-aspek tersebut merupakan bab dari dimensi konteks implementasi dalam model proses politik dan manajemen sebagai faktor yang kuat terhadap implementasi kebijakan.

Daftar Rujukan

  • Baedhowi. 2004. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan: Studi Kasus di Kabupaten Kendal dan Kota Surakarta, Disertasi Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta.
  • Edward III, George C (edited), 1984, Public Policy Implementing, Jai Press Inc, London-England.
  • Goggin, Malcolm L et al. 1990. Implementation, Theory and Practice: Toward a Third Generation, Scott, Foresmann and Company, USA.
  • Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third World, Princnton University Press, New Jersey.
  • Keban, Yeremias T. 2007. Pembangunan Birokrasi di Indonesia: Agenda Kenegaraan yang Terabaikan, Pidato Pengukuran Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
  • Korten, David C dan Syahrir. 1980. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
  • Mazmanian, Daniel A and Paul A. Sabatier. 1983. Implementation and Public Policy, Scott Foresman and Company, USA.
  • Nakamura, Robert T and FrankSmallwood. 1980. The Politics of Policy Implementation, St. Martin Press, New York.
  • Quade, E.S. 1984. Analysis For Public Decisions, Elsevier Science Publishers, New York.
  • Ripley, Rendal B. and Grace A. Franklin. 1986. Policy Implementation and Bureaucracy, second edition, the Dorsey Press, Chicago-Illionis.
  • Sabatier, Paul. 1986. “Top down and Bottom up Approaches to Implementation Research” Journal of Public Policy 6, (Jan), h. 21-48.
  • Tarigan1, Antonius. 2000. Implementasi Kebijakan Jaring Pengaman Sosial: Studi Kasus Program Pengembangan Kecamatan di Kabupaten Dati II Lebak, Jawa Barat, Tesis Masigter Administrasi Publik UGM Yogyakarta.
  • Wahab, Solichin A. 1991. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan, Bumi Aksara Jakarta.
  • Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik, Intermedia Jakarta.
  • Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo Yogyakarta.
  • [1] Dr. Haedar Akib, M.Si., dosen Program Sarjana dan Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, STIA-LAN dan UNISMUH Makassar. Dr. Antonius Tarigan, M.Si., Kasubdit Kerjasama Kelembagaan Bappenas Jakarta.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel