Filsafat Sebagai Perisai Dalam Menghadapi: Dekadensi Moral
Saturday, August 8, 2020
Edit
FILSAFAT SEBAGAI PERISAI DALAM MENGHADAPI: DEKADENSI MORAL
Abstrak
M. Ied Al Munir Abstract This article aims to describe the function of philosophy as a shield in the face of moral decadence. The development of science and technology, as we know already, has both positive and negative impacts. Science and technology are not only beneficial toward human life but also play a major role in the decline and even the destruction of moral values. Negative impacts that appear in the development of science and technology should not encourage pessimism or even resignation. Human beings should be able to control and restrain science and technology, rather than being defeated by them and surrendering to them. Keywords philosophy, shield, moral decadence, ethical responsibility
Pendahuluan
Dunia ilmu pengetahuan berkembang terus menerus tanpa pernah berhenti, demikian pula sisi terapannya berupa teknologi yang ikut mengalami kemajuan, baik secara sedikit demi sedikit maupun dengan akselarasi yang sangat cepat dan mencengangkan. Layaknya sebutir obat yang menjanjikan kesembuhan bagi orang yang sakit yang meneguknya, namun terkadang juga mempunyai imbas sampingan yang merugikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pun punya dua imbas yang positif dan negatif, imbas yang menguntungkan dan merugikan. Ilmu pengetahuan dan teknologi sanggup dimanfaatkan oleh insan secara positif-konstruktif maupun secara negatif-destruktif tergantung kepada moral dan mental insan (Bintarto, 1994: 39) yang berperan sebagai pencipta, pengembang, dan penggunanya. Dalam bahasa Djuretna A Imam Muhni (1994: 133) ilmu pengetahuan dan teknologi selalu terkait dengan pemilik dan pemakainya yakni insan yang sering kali tidak bisa untuk mengendalikan nafsu serakahnya sendiri dalam artian moral. Manusia dalam kehidupannya sangat tergantung dan berhutang budi kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Merupakan kenyataan yang tidak sanggup dipungkiri bahwa peradaban insan yang berkembang dari peradaban sederhana menuju ke peradaban yang sangat maju dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan pada kedua bidang inilah, maka insan menjadi sangat dimudahkan dalam menjalankan kehidupannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah membantu insan untuk memenuhi segala kebutuhannya secara lebih cepat dan lebih mudah.
Umat manusia, misalnya, dimudahkan lantaran ditemukannya alat-alat kedokteran yang canggih sehingga penyakit kita lebih gampang dideteksi dan usia impian hidup menjadi semakin panjang, alat-alat transportasi yang lebih cepat dan aman, alat-alat komunikasi yang begitu sophisticated yang membuat dunia terasa semakin sempit. Manusia juga dimudahkan untuk memanfaatkan segala sumber daya alam untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Kenyataan adanya kemajuan yang sangat pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak yang memberi akomodasi kepada umat insan untuk menjalani kehidupannya, di lain pihak memunculkan pertanyaan pelik: apakah ilmu pengetahuan dan teknologi selalu merupakan berkah yang terbebas dari malapetaka dan kesengsaraan? Menurut Abbas Hamami dan Koento Wibisono (1986: 123-124), pada ketika pembangunan sedang digalakkan dengan sumbangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mewujudkan suatu masyarakat yang ideal, yakni masyarakat yang damai, sejahtera, adil dan makmur, baik materil maupun spritual, maka di ketika itu pula banyak sekali masalah mendasar atau mendasar muncul yang harus dihadapi oleh umat insan dalam hidup dan kehidupannya sebagai imbas negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tadi. Berbagai masalah dimaksud yakni alienasi, anomi, kehidupan yang tidak lagi utuh lantaran semakin bercerai-berainya nilai-nilai cipta, rasa dan karsa, kemeralatan dan kemiskinan, keresahan akan kemungkinan munculnya perang dunia, semakin terbatasnya sumber-sumber kekayaan alam justru di kala penduduk dunia semakin membesar jumlahnya. Masalah-masalah tadi tidak hanya berujung kepada penderitaan insan secara fisik namun juga berakibat kepada menurunnya atau bahkan hancurnya nilai-nilai moral. Dengan kata lain telah terjadi dekadensi moral.
Dan ketika hal ini telah terlanjur terjadi, maka kita tidak bisa hanya membisu berpangku tangan dan meratapi apa yang telah terjadi. Banyak hal yang sanggup dilakukan. Banyak pula sarana yang sanggup dilalui dan digunakan contohnya pendidikan, agama maupun filsafat. Khusus sarana terakhir inilah yakni filsafat yang akan penulis telaah lebih jauh. Dimulai dengan pertanyaan: bagaimana tugas filsafat dalam menghadapi dekadensi moral? bagi kebanyakan orang pertanyaan ini mungkin menyerupai atau bahkan sama dengan pertanyaan bagaimana tugas atau fungsi rem bagi sebuah sepeda? yakni untuk memperlambat laju sepeda atau menghentikannya sama sekali. Pertanyaan kedua ini membutuhkan tanggapan yang sama sekali bersifat mudah dan konkret. Akan tetapi, tanggapan yang bersifat mudah dan nyata tidak akan didapatkan apabila pertanyaan pertama diajukan kepada seseorang yang pernah berguru atau menggeluti filsafat dan boleh jadi jawabannya pun akan tidak menyerupai yang diharapkan. Jawaban yang bersifat mudah dan nyata tidak sanggup diberikan oleh orang yang berguru filsafat. Meskipun demikian, apakah benar bahwa filsafat lantas tidak mempunyai tugas sama sekali dalam menghadapi dekadensi moral?
Peran Filsafat secara Umum: Masalah-masalah yang Dihadapi
Filsafat Sejak kelahirannya sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan lebih kurang kurun ke-6 sebelum masehi hingga dengan perkembangannya sampaumur ini, filsafat selalu saja berhadapan dengan masalah-masalah mendasar yang awet dan tidak pernah terpecahkan dengan baik. Boleh dikatakan bahwa filsafat dihadapkan dengan masalah-masalah yang ituitu saja, masalah yang sama, akan tetapi insan dengan budi dan pengalamannya belum atau tidak bisa untuk menawarkan tanggapan yang satu dan sama, melainkan berbeda atau bahkan bertentangan. Menurut Hamami dan Wibisono (1986: 125-126), masalah-masalah dasar dimaksud antara lain:
- di bidang ontologi menyerupai apakah ‘ada’ itu? apakah yang ‘ada’ itu tetap atau berubah?;
- di bidang antropologi menyerupai apa dan siapakah insan itu? apakah insan dalam keberadaannya di alam semesta ini bebas atau terikat?;
- di bidang ilmu pengetahuan menyerupai bagaimanakah caranya semoga insan sanggup mencapai kebenaran atau kenyataan? apakah yang disebut kebenaran atau kenyataan sendiri;
- di bidang agama menyerupai adakah Tuhan itu? bagaimanakah hubungan Tuhan dengan segala sesuatu ‘ada’ yang lain? bagaimanakah hubungan antara wahyu dengan akal?
Sedangkan Harry J Gesler (1998: 2), dengan bahasa yang lebih sederhana dan lebih terfokus kepada masalah-masalah moral, menjelaskan bahwa masalah-masalah yang seringkali dihadapi dalam filsafat sanggup dilihat dalam beberapa pertanyaan berikut: apakah Tuhan ada? apakah tindakan insan bersifat bebas atau ditentukan? apakah insan sanggup dijelaskan dengan pengerian material? bagaimana insan sanggup mengetahui dan apa yang sanggup insan ketahui? apakah kodrat dan metodologi dalam keputusan moral? prinsip apa yang harus kita pegang dalam hidup? Dalam sejarah perkembangan filsafat, terlihat bahwa insan menawarkan tanggapan yang bermacam-macam bahkan sering kali bertentangan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Masing-masing mendasarkan kepada keyakinan, pendekatan dan cara kerja yang dipandangan benar. Karena itu pula, maka dalam filsafat berkembang ajaran yang bermacam-macam tergantung kepada keyakinan awal, pendekatan dan cara kerja tadi. Sebagian ajaran sangat tergantung kepada penggunaan akal, sebagian lagi tergantung kepada pengalaman inderawi, sementara sebagian yang lainnya berusaha untuk menggabungkan keduanya. Atau ada pula yang sama sekali terlepas dari keduanya. Sehingga dalam sejarah dikenal adanya aliran-aliran Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, Pragmatisme dan lain sebagainya.
Peran Filsafat
Banyak orang yang sering kali mengeluarkan pendapat, bahkan dengan sedikit nada sinis, mempertanyakan apa fungsi atau kiprahnya filsafat bagi keilmuan dan kehidupan. Pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang masuk akal dan tidak salah. Karena selama seseorang belum mengenal filsafat (suatu cabang ilmu pengetahuan yang cenderung tidak terlalu aplikatif dan cenderung kepada kontemplasi atau perenungan kritis), maka ia tidak akan mungkin bisa untuk memahaminya dengan baik. Irmayanti M Budianto (2002: 15-16) pernah mencatat beberapa tugas filsafat, baik dalam kehidupan maupun dalam bidang keilmuan:
- pertama, filsafat atau berfilsafat mengajak insan bersikap pandai dan berwawasan luas terdapat pelbagai masalah yang dihadapinya, dan insan diharapkan bisa untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dengan cara mengidentifikasinya semoga jawaban-jawaban sanggup diperoleh dengan mudah.
- Lokal Kedua, berfilsafat sanggup membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup dan atau ide-ide yang muncul lantaran keinginannya.
- Ketiga, Filsafat sanggup membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan lainnya (interaksi dengan masyarakat, komunitas, agama, dan lain-lain) secara lebih rasional, lebih arif, dan tidak terjebak dalam fanatisme yang berlebihan.
- Keempat, terutama bagi para ilmuwan ataupun para mahasiswa dibutuhkan kemampuan untuk menganalisis, analisis kritis secara komprehensif dan sistematis atas banyak sekali permasalahan ilmiah yang dituangkan di dalam suatu riset, penelitian, ataupun kajian ilmiah lainnya. Dalam era globalisasi, ketika banyak sekali kajian lintas ilmu pengetahuan atau multidisiplin melanda dalam kegiatan ilmiah, diharapkan adanya suatu wadah, yaitu sikap kritis dalam menghadapi kemajemukan berpikir dari banyak sekali ilmu pengetahuan berikut para ilmuannya.
Dalam pandangan Hamami dan Wibisono (1986: 126-27), filsafat melalui metode-metode pemikirannya tidak akan sanggup eksklusif mempersembahkan programme-programme kebijakan yang keuntungannya sanggup dinikmati secara mudah dan nyata sebagaimana halnya dengan ekonomi, teknik dan ilmu-ilmu terapan yang lainnya. Segi kelemahan filsafat, dalam arti sifat dan coraknya yang abnormal dengan lemparan analisis-analisis kritisnya yang sering tidak tersentuh oleh mereka yang telah terbiasa untuk berpikir secara praktis, merupakan salah satu alasannya yakni mengapa para andal filsafat terisolir dan jarang diajak untuk berpartisipasi dalam penentuan taktik pembangunan, apalagi dalam pelaksanaan programme-programme kegiatan yang sudah bersifat teknis operasional. Padahal keabstrakan dengan spekulasi-spekulasinya yang paling dalam justru membawa filsafat kepada kekuatan radikalnya. Dengan berpikir secara abnormal spekulatif dan mengambil jarak dari penggumulan masalah-masalah teknis praktis, filsafat justru sanggup melihat sesuatu Filsafat sebagai Perisai 47 permasalahan dari semua dimensi, sehingga hal-hal yang belum tersentuh oleh ilmu-ilmu lain sanggup pula dijadikan titik perhatiannya. Peranan filsafat yakni memperlihatkan adanya perspektif yang lebih dalam dan luas, sehingga kehadirannya akan disertai dengan banyak sekali alternatif penyelesaian untuk ditawarkan mana yang paling sesuai dengan perubahan waktu dan keadaan (Hamami dan Wibisono, 1986: 127). Demikian pula halnya apabila kita berbicara mengenai tugas filsafat dalam menghadapi dekadensi moral. Filsafat mungkin hanya sanggup menjelaskan sebab-sebab munculnya dekadensi moral, menjelaskan caracara mengatasi sebab-sebab tersebut, membuktikan cara-cara penanganan dekadensi moral. Sementara pelaksanaannya sendiri sangat tergantung kepada manusianya sendiri.
Dekadensi Moral Sebagai Pengaruh Negatif Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Manusia yakni makhluk yang tidak pernah merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dicapainya. Kepuasan mereka bersifat sementara. Manusia selalu ingin memperoleh sesuatu yang lebih daripada apa yang telah dicapainya. Oleh lantaran alasan itu pula, maka insan membutuhkan pembangunan yang bersifat bersinambungan atau berkelanjutan (Bintarto, 1991: 1). Demi akselerasi pembangunan dan hasilhasilnya yang seringkali dimaknai hanya secara kuantitatif, maka insan memanfaatkan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi modernnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mungkin tidak terbatas didasari oleh perkembangan intelektual insan yang terjadi terus menerus untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Apakah memang insan akan mencapai kebahagiaan dengan ilmu pengetahuannya? Ini merupakan pertanyaan normatif yang sifatnya relatif. Apakah juga penemuan-penemuan teknologi gres sebagai terapan ilmu pengetahuan sanggup bermanfaat bagi kebahagiaan insan ataukah sebaliknya akan menjadikan suatu bencana? Di sinilah letak pokok permasalahannya, lantaran ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya menjanjikan akomodasi bagi kehidupan manusia, ia juga menawarkan bahaya bagi kehidupan dan menurunnya nilai-nilai moral insan itu sendiri apabila ia tidak bisa dikelola dengan baik. Ilmu pengetahuan dan teknologi memang mempunyai imbas positif dan negatif, menyerupai terekam dalam Skema 1: Filterisasi Budaya Asing. Dalam bagan tersebut digambarkan bahwa budaya aneh yang salah satu aspeknya yakni berupa teknologi dan tentunya sebelumnya masih berupa ilmu pengetahuan, mempunyai imbas positif dan negatif bagi kepribadian bangsa Indonesia.
Digambarkan pula apabila bisa dikelola dengan baik, maka imbas negatifnya sanggup dihilangkan, sehingga yang tertinggal hanya imbas positif bagi kepribadian bangsa Indonesia. Menurut Hamami dan Wibisono (1986: 130), ilmu pengetahuan dengan teknologi modernnya telah menjadikan rasionalisasi dan sekularisasi dalam kehidupan bermasyarakat yang berujung kepada hancurnya nilai-nilai sakral-etis yang selama ini dijadikan panutan hidup, hilangnya kewibawaan orang tua, pemimpin-pemimpin masyarakat, forum pendidikan dan agama, mengakibatkan timbulnya ‘pencemaran mental’. Dengan pujian kepada ilmu pengetahuan dan teknologi modernnya, insan menaklukkan alam lingkungannya dan memeras kekayaannya. Padahal kekayaan alam ada batasnya yang akan habis bila terus menerus diperas. Ilmu pengetahuan dan teknologi sering kali kebablasan dengan tidak hanya memanipulasi kekayaan alam namun juga insan itu sendiri. Hal ini tentu menghasilkan bermacam-macam masalah etis pada kasus-kasus menyerupai aborsi, eutanasia, teknologi penundaan kematian, pencemaran lingkungan, kloning, dan lain sebagainya (Adian, 2002: 163). Skema 1: Filterisasi Budaya Asing Sumber: Bintarto, 1994: 30 Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ‘para aparaturnya’ pembangunan juga sering kali memunculkan pengaruh-pengaruh negatif sebagai berikut: menurunnya aspek moral dari sebagian rakyat. Manakala kita membaca surat kabar atau mendengar gosip sanggup dipastikan ada gosip pembunuhan, perampokan, penipuan, pemerasan, dan sebagainya yang kita ketemukan; menurunnya nilai-nilai budaya terutama mengenai moral dan sikap orangnya.
Terkadang kita membaca dalam Budaya Asing Teknologi Pendidikan Ideologi Film, dll. Lembaga Formal Pemerintah Universitas, dll. Filter Formal Departemen dan Instansi Pemerintah Pengaruh Negatif Sumber Pemerintah Universitas Masyarakat Budaya Nsnal Pribadi Bangsa Indonesia Lembaga Non-Formal Masyarakat Keluarga, dll. Filter NonFormal Badan Non Pemerintah Pengaruh Positif Pengaruh Positif gosip surat kabar atau melihat tayangan televisi yang memberitakan adanya seorang kakek yang mencumbui cucunya, dan incest antara saudara sekandung (Bintarto, 1991: 7-8). Satu hal penting yang perlu dicatat bahwa sudah semenjak dari tahaptahap pertama pertumbuhannya ilmu pengetahuan dipertalikan dengan tujuan yang keliru. Ilmu pengetahuan tidak saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga digunakan untuk memerangi sesama insan dan menguasai mereka. Tidak saja bermacam-macam senjata pembunuh telah berhasil dikembangkan namun juga banyak sekali teknik penyiksaan dan cara memperbudak massa. Di pihak lain, perkembangan ilmu pengetahuan sering kali melupakan faktor manusianya, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun juga justru sebaliknya dimana manusialah karenanya yang harus beradaptasi dengan teknologi.
Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang menawarkan akomodasi bagi kehidupan insan melainkan beliau berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sesuatu yang terkadang harus dibayar mahal oleh insan yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiaannya. Manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya (Suriasumantri, 1998: 229-231). Padahal ilmu pengetahuan dan teknologi sesungguhnya bertujuan untuk mempermudah insan dalam menjalani kehidupannya, namun kelihatannya yang terjadi malah berbeda. Manusia kesulitan untuk meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi pada jalur tujuannya dengan benar. Manusia kelihatan bukan lagi pemilik dan pengguna ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi hamba dari keduanya. Dewasa ini, ilmu pengetahuan bahkan telah berada di ambang kemajuan yang bisa untuk menghipnotis reproduksi dan penciptaan insan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan bukan saja menjadikan tanda-tanda dehumanisasi namun bahkan kemungkinan untuk mengubah hakikat Filsafat sebagai Perisai 51 kemanusiaan itu sendiri, atau dengan kata lain, ilmu pengetahuan bukan lagi merupakan sarana yang membantu insan untuk mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan untuk mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu pengetahuan bukan lagi merupakan sarana yang membantu insan mencapai tujuan hidupnya, melainkan juga ikut membuat tujuan hidup itu sendiri (Suriasumantri, 1998: 231). Menghadapi kenyataan menyerupai ini, berdasarkan Suriasumantri (1998: 231-232), ilmu pengetahuan yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: Untuk apa sesungguhnya ilmu pengetahuan itu harus dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan semacam ini terang tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan-ilmuwan masa lalu, namun menjadi penting bagi para ilmuwan yang hidup pada masa kini. Dan untuk menjawab pertanyaan ini, maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral.
Perisai dalam Wujud Tanggung Jawab Etis Ilmuwan Bintarto (1994: 40) pernah menuturkan sebuah kutipan yang diambilnya dari Ensiklopedi Indonesia terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve bahwa ‘intisari dari filsafat yakni cara berfikir berdasarkan budi dengan bebas sedalam-dalamnya hingga ke dasar persoalannya’. Sementara itu, insan terdorong untuk menemukan suatu orientasi hidup yang sanggup menawarkan arah dan pegangan bagi perbuatan serta perilakunya. Orientasi ini yakni filsafat dalam bentuknya yang masih pra-ilmiah. Filsafat bersifat universal lantaran objek kajiannya berkaitan erat dengan seluruh kenyataan (realitas). Dengan kata lain, pandangan filsafat terhadap segala sesuatu ditempatkan pada latar belakang arti seluruh realitas manusia. Apabila diubahsuaikan dengan objek kajiannya, maka filsafat sanggup mencakup beberapa cabang, menyerupai filsafat manusia, filsafat pengetahuan, filsafat ketuhanan, dan sebagainya (Bintarto, 1994: 40). Ketika masalah dekadensi moral yang menjadi objek kajian dalam filsafat, maka cabang filsafatnya yakni filsafat moral atau etika. Selain itu, lantaran dekandensi moral sendiri dalam goresan pena ini ditelisik sebagai imbas negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka cabang filsafat lainnya yang terkait filsafat ilmu pengetahuan, terutama kepingan aksiologinya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil karya ilmuwan secara individual yang kemudian disosialisasikan kepada masyarakat. Peranan ilmuwan inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan bisa mengubah wajah peradaban. Kreativitas ilmuwan yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berjalan sangat efektif . Menurut Conny R Semiawan dkk. (1998: 118) dalam membuatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka seorang ilmuwan harus mempunyai kepekaan dan tanggung jawab besar terhadap pelbagai konsekuensi etis ilmu pengetahuan dan teknologinya. Sebab dialah satusatunya orang yang sanggup mengikuti dari akrab perkembanganperkembangan yang konkret. Namun memang seorang ilmuwan sesungguhnya tidak sanggup berbuat banyak untuk mencegah penyalahgunaan hasil penemuannya. Manusia sepertinya tetap cenderung untuk membuat pedang yang bermata dua, yaitu satu digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan, mata yang lain digunakan untuk mendatangkan kerusakan. Tanggung jawab etis bukanlah berkeinginan untuk mencampuri atau bahkan ‘menghancurkan’ otonomi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi bahkan sanggup sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri, yang sekaligus akan lebih memperkukuh keberadaan insan (Zubair, 2002: 49-50).
Tanggung jawab etis yang dipikul seorang ilmuwan bukan saja lantaran beliau yakni anggota masyarakat yang kepentingannya terlibat secara eksklusif di masyarakat namun yang lebih penting yakni lantaran beliau mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab semoga produk keilmuan hingga dan sanggup dimanfaatkan oleh masyarakat. Untuk membahas ruang lingkup yang menjadi tanggung jawab etis seorang ilmuwan, maka hal ini sanggup dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Sering terdengar bahwa ilmu pengetahuan beserta teknologinya itu terbebas dari sistem nilai. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri netral dan para ilmuwanlah yang menawarkan nilai. Dalam hal ini maka masalah apakah ilmu pengetahuan dan teknologi itu terikat atau bebas dari nilai-nilai tertentu, semua itu tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan (Suriasumantri, 1998: 239). Bebas nilai dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu masalah yang melibatkan masalah filosofis, yakni aksiologi (nilai/value).
Nilai yang dimaksud yakni sesuatu yang dimiliki insan untuk melaksanakan pelbagai pertimbangan mengenai apa yang dinilai dan apa yang seharusnya dinilai. Nilai dalam pengertian ini yakni suatu evaluasi yang dilakukan oleh ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya. Penilaian sanggup muncul dari orang lain, forum pendidikan, agama, dan juga dari dalam diri ilmuwan sendiri terhadap apa yang telah dihasilkannya. Bebas nilaikah atau tidak bebas nilaikah kegiatan ilmiah yang telah dihasilkan seorang ilmuwan? Selama ia masih berada dalam ruang kerja ilmiahnya (seperti laboratorium), maka ia masih mencicipi adanya bebas nilai. Ia tetap sanggup memusatkan perhatian pada kegiatan ilmiahnya tanpa memperoleh halangan dari banyak sekali unsur luar. Namun, apabila telah keluar dari ruang kerja ilmiahnya kedalam masyarakat, maka hasil kerjanya berupa ilmu dan teknologi akan diuji oleh pandangan-pandangan masyarakat, lembaga, atau pun agama. Hasil kerjanya diuji apakah telah sesuai dengan peraturan pemerintah, norma adat, dan sebagainya. Ilmuwan dengan hasil karya ilmiah menjadi tidak bebas nilai (Budianto, 2002: 103). Sebagai rujukan menarik yakni masalah kloning terhadap manusia.
Ketika ilmuwan berada dalam ruang kerjanya, ia mungkin bisa bekerja secara idealis tanpa sesuatu nilai pun yang akan mengaturnya. Akan tetapi, apabila hasil kerjanya disosialisasikan, maka akan terjadi kegemparan. Akan terjadi pro dan kontra. Hasil kerja ilmiah tersebut akan berhadapan banyak nilai yang ada dalam masyarakat. Kloning insan akan dipandang sebagai kegiatan yang bukan saja mengarah kepada dekadensi moral, namun juga dehumanisasi. Untuk memperjelas masalah bebas nilai dan tidak bebas nilai di atas sanggup dilihat pada Skema 2: Bebas Nilai dan Tidak Bebas Nilai dalam Penelitian Ilmiah. Dalam bagan tersebut digambarkan bahwa bagaimanapun ilmuwan selalu berhadapan dengan pandanganpandangan hidup yang terdapat di dalam masyarakat, menyerupai adat istiadat dan agama. Pada masalah menyerupai di atas, maka peranan ilmuwan menjadi sesuatu yang imperatif. Dialah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk sanggup menempatkan masalah tersebut pada proporsi yang sebenarnya. Oleh alasannya yakni itu, beliau mempunyai kewajiban untuk memberikan hal itu kepada masyarakat banyak dalam bahasa yang sanggup mereka cerna. Menghadapi masalah yang kurang mereka mengerti biasanya masyarakat bersikap ekstrim. Pada satu pihak mereka bisu lantaran ketidaktahuan mereka, sedangkan di pihak lain mereka bersikap radikal dan irasional. Tanggung jawab seorang ilmuwan dalam hal ini yakni menawarkan perspektif yang benar: untung dan ruginya, baik dan buruknya; sehingga penyelesaian yang objektif sanggup dimungkinkan (Suriasumantri, 1998: 239-241). Filsafat sebagai Perisai 55 Skema 2: Bebas Nilai dan Tidak Bebas Nilai dalam Penelitian Ilmiah Sumber: Budianto, 2002: 104 Pada bidang lain mungkin terjadi bahwa masalah itu gres akan timbul yang disebabkan proses yang kini sedang berjalan. Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya mempunyai kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kita di masa depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan sekarang. Apakah sistem pendidikan kita memungkinkan negara kita mengejar keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di masa yang akan datang? Sekiranya tidak maka apakah yang harus kita lakukan? Kerugian apakah yang akan timbul sekiranya tindakan pencegahan tidak dilakukan? Demikianlah pertanyaan yang serupa sanggup dikemukakan dalam banyak sekali bidang.
Kemampuan analisis seorang ilmuwan mungkin pula menemukan alternatif dari objek permasalah yang sedang menjadi sentra perhatian. Kemampuan analisis seorang ilmuwan sanggup dipergunakan untuk mengubah kegiatan non-produktif menjadi kegiatan produktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak (Suriasumantri, 1998: 241). Penelitian Penerapan di masyarakat Nilai-nilai: adat istiadat, agama, ideolgi Hasil penelitian Tidak bebas nilai Bebas nilai Hasil penelitian Teoritis Singkatnya, dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus sanggup menghipnotis opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat ilmuwan yang elitis, beliau harus berbicara dengan bahasa yang sanggup dicerna oleh orang awam. Untuk itu maka beliau bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
Penutup
Penulis menemukan sebuah kutipan menarik dalam buku Pengantar Filsafat karya Louis O Kattsoff. Dalam bahasa analogis, Kattsof (2004: 3) menjelaskan bahwa meskipun filsafat ‘tidak membuat roti’, namun filsafat sanggup menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah jumlah bumbunya secara layak, dan mengangkat roti itu dari tungkunya pada waktu yang tepat. Filsafat berperan untuk mengumpulkan pengetahuan insan sebanyak mungkin, dan menerbitkan serta mengatur semua itu di dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa insan kepada pemahaman, dan pemahaman membawa insan kepada tindakan yang lebih layak. Suatu kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak berjasa untuk membantu insan dalam kehidupan kesehariannya. Akan tetapi, yakni suatu kenyataan yang tidak sanggup diabaikan begitu saja pula adanya imbas negatif dari keduanya berupa menurunnya atau bahkan hancurnya nilai-nilai moral. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dan teknologi juga kuat negatif pada terjadinya dekadensi moral. Pengaruh negatif yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak seharusnya membuat insan pesimis bahkan mengalah terhadap perkembangan tersebut. Manusia tidak seharusnya hanya mengekor kepada ilmu pengetahuan dan teknologi dan menjadi budak Filsafat sebagai Perisai 57 keduanya. Ilmu pengetahuan dan teknologilah yang seharusnya berada di tangan insan atau berada di bawah kendali manusia. Kemampuan berpikir dan berimajinasi insan dalam wujud ilmu pengetahuan dan teknologi tidak sanggup dihentikan, dibendung, atau dimatikan, namun barangkali sanggup dikontrol semoga tidak kebablasan. Manusia harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. Tanggung jawab bukan saja dalam arti normatif, namun juga dalam arti kedudukan insan itu di antara manusia-manusia lain. Berbicara mengenai tanggung jawab secara tidak eksklusif berbicara mengenai insan yang mempraktikkannya, menerapkan, dan memakai ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Jari telunjuk kita dengan gampang menunjuk kepada oknum yang terkait eksklusif dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yakni para ilmuwan. Para ilmuwan memang mempunyai tanggung jawab etis untuk mengarahkan semoga perjalanan ilmu pengetahuan dan teknologi tetap pada ‘orbitnya’. Mereka harus berusaha untuk menemukan suatu orientasi hidup yang sanggup menawarkan arah dan pegangan bagi perbuatan serta sikap dirinya pribadi dan masyarakat kebanyakan.
Daftar Pustaka
- Adian, Donny Gahral. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume hingga Thomas Kuhn. Jakarta:
- Teraju. Bintarto, R 1991. Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Ekologis. Yogyakarta: Panitia Seminar Regional SEMA-FPIPS-IKIP 994. Ekologi Manusia IL-614:
- Hand Out Kuliah Ekologi Manusia untuk S2 Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Programme Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Budianto, Irmayanti M 2002. Realitas dan Objektivitas: Refleksi Kritis atas Cara Kerja Ilmiah. Jakarta:
- Widya Sastra. Gensler, Harry J 1998. Ethics: A Contemporary Introduction. London and New York. Hamami, Abbas dan Koento Wibisono. 1986. “Peran Filsafat dalam Wawasan Lingkungan” dalam Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya.
- Slamet Sutrisno (ed.). Yogyakarta: Liberty. Kattsof, Louis O 2004. Elements of Philosophy atau Pengantar Filsafat, Soejono Soemargono (penerjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
- Muhni, Djuretna A Imam. 1994. Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson. Yogyakarta: Kanisius. Semiawan, Conny R dkk. 1998. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suriasumantri, Jujun S 1998. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
- Pustaka Sinar Harapan. Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia: Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: LESFI