Pengertian Hakikat Keterampilan Menulis
Monday, August 10, 2020
Edit
1. Hakikat Keterampilan Menulis
a. Pengertian Keterampilan Menulis
Di sekolah dasar keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan yang ditekankan pembinaannya, disamping membaca dan berhitung. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) ditegaskan bahwa siswa sekolah dasar perlu mencar ilmu bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan peserta dalam berkomunikasi dengan baik dan benar, baik secara verbal maupun tulis. Keterampilan menulis di sekolah dasar dibedakan atas keterampilan menulis permulaan dan keterampilan menulis lanjut. Keterampilan menulis permulaan ditekankan pada kegiatan menulis dengan menjiplak, menebalkan, mencontoh, melengkapi, menyalin, dikte, melengkapi cerita, dan menyalin puisi. Sedangkan pada keterampilan menulis lanjut diarahkan pada menulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk percakapan, petunjuk, dan cerita. Aflah Cintya.2008. https://sewakarya.blogspot.com//search?q=23/ salah satu contoh-ptk-dalambidang-bahasa. 7 191 Keterampilan menulis ialah keterampilan seseorang untuk menuangkan buah pikiran, ide, gagasan, dengan mempergunakan rangkaian bahasa tulis yang baik dan benar. Keterampilan menulis seseorang akan menjadi baik apabila ia juga memiliki:
- kemampuan untuk menemukan perkara yang akan ditulis,
- kepekaan terhadap kondisi pembaca,
- kemampuan menyusun perencanaan penelitian,
- kemampuan memakai bahasa Indonesia,
- kemampuan memulai menulis, dan
- kemampuan mengusut karangan sendiri.
Kemampuan tersebut akan berkembang apabila ditunjang dengan kegiatan membaca dan kekayaan kosa kata yang dimilikinya. Ditinjau dari cara pemerolehannya, keterampilan menulis memang berbeda dengan keterampilan menyimak dan berbicara. Keterampilan menulis tidak diperoleh secara “alamiah”, tetapi harus dipelajari dan dilatihkan dengan sungguh-sungguh (Budinuryanta dkk, 1997: 12.1). Setiap orang memperoleh satu bahasa orisinil tahuntahun pertama dan kehidupannya, tetapi tidak setiap orang mencar ilmu membaca dan menulis (Raimes, 1983: 4). Untuk menghasilkan goresan pena yang baik, setiap penulis harus mempunyai tiga keterampilan dasar dalam menulis, yaitu keterampilan berbahasa, keterampilan penyajian, dan keterampilan perwajahan. Keterampilan berbahasa meliputi keterampilan penggunaan ejaan, tanda baca, pembentukan kata, dan penggunaan kalimat efektif. Keterampilan penyajian meliputi keterampilan membentuk dan mengembangkan paragraf, merinci pokok bahasan dan sub pokok bahasan ke dalam susunan yang sistematis. Keterampilan perwajahan meliputi pengaturan topografi dan pemanfaatan sarana tulis secara efektif dan efisien (Atar Semi, 1990:2). Bertolak pada pendapat di atas sanggup disimpulkan pengertian keterampilan menulis yaitu kemampuan menyusun atau mengorganisasikan gagasan serta 7 192 mengkomunikasikan gagasan tersebut kepada pembaca sehingga terjalin interaksi antara keduanya demi tercapainya suatu tujuan.
b. Pengertian Menulis
Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Keterampilan berbahasa yang lain ialah menyimak, berbicara, dan membaca. Menurut Burhan Nurgiyantoro (1987: 27), menulis sanggup dikatakan keterampilan yang paling sukar. Bila dilihat dari urutan pemerolehannya, keterampilan atau kemampuan menulis berada pada urutan terakhir sesudah kemampuan mendengarkan, berbicara, dan membaca. Jika dilihat dari sudut aspek keterampilan berbahasa, menulis merupakan kegiatan yang bersifat aktif produktif. Bagi siswa usia Sekolah Dasar menulis lebih cenderung pada kemampuan daya pikir. Hal itu senada dengan Mulyati (1998: 244) menulis pada hakikatnya memberikan ilham atau gagasan dan kiprah dengan memakai lambang grafis (tulisan). Gagasan atau pesan yang akan disampaikan bergantung pada perkembangan dan tingkatan pengetahuan serta daya nalar. Sekurang-kurangnya, ada tiga komponen yang tergabung dalam perbuatan menulis, yaitu:
- penguasaan bahasa tulis, yang akan berfungsi sebagai media tulisan, meliputi: kosakata, struktur kalimat, paragraf, ejaan, pragmatik, dan sebagainya;
- penguasaan isi karangan sesuai dengan topik yang akan ditulis; dan
- penguasaan perihal jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi goresan pena dengan memakai bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan. Sebagai potongan dari kegiatan berbahasa, menulis berkaitan erat dengan acara berpikir.
Keduanya saling melengkapi. Costa (1985: 103) mengemukakan bahwa menulis dan berpikir merupakan dua kegiatan yang dilakukan secara bersama 193 dan berulang-ulang. Tulisan ialah wadah dan sekaligus merupakan hasil pemikiran. Melalui kegiatan menulis, penulis sanggup mengkomunikasikan pikirannya. Dan melalui kegiatan berpikir, penulis sanggup meningkatkan kemampuannya dalam menulis. (http://www.ralf.edu/bipa/jan 2003/efektivitas pengajaran menulis) diunduh tanggal 14 Januari 2009 pukul 16.00 WIB. Begitu juga pendapat Sri Harini Ekowati. Dalam pembelajaran menulis, proses penulisan perlu diperhatikan dengan melalui tahap pra penulisan, tahap penulisan dan tahap revisi. Kaprikornus dalam kegiatan menulis proses ini perlu dicermati supaya sanggup menghasilkan goresan pena yang baik. (Jurnal Penelitian Strategi Pembelajaran Menulis 2008: 25). The Liang Gie (2005b: 7) menyatakan bahwa buah pikiran yang dituangkan penulis sanggup berupa pengalaman, pendapat, pengetahuan, dan perasaan. Hasil perwujudan bahasa tulis itu menjadi buah karya tulis yang berupa karangan apa saja termasuk di dalamnya menulis baik faktawi maupun fiksi, baik pendek yang hanya beberapa lembar maupun yang panjang hingga berjilid-jilid, baik dalam corak puisi maupun prosa.
Menulis merupakan sebuah seni yaitu dalam menuangkan ilham seorang pengarang ke dalam suatu goresan pena itu bebas, sesuai dengan kreativitas dan daya seni seseorang. Kata seni mengandung arti “keahlian membuat karya yang bermutu atau kesanggupan kebijaksanaan untuk membuat sesuatu yang bernilai tinggi dan luar biasa. Menulis berarti menuangkan isi hati si penulis ke dalam bentuk tulisan, sehingga maksud hati penulis bisa diketahui banyak orang melalui goresan pena yang dituliskan. Kemampuan seseorang dalam menuangkan isi hatinya ke dalam sebuah goresan pena sangatlah berbeda dipengaruhi oleh latar belakang penulis. Dengan demikian mutu atau kualitas goresan pena setiap penulis berbeda pula satu sama lain, tergantung dari keahlian dan daya kreativitas seseorang dalam menuangkan gagasannya menjadi 194 tulisan. (http://pelitaku-sabda-org/menulis seni mengungkapkan hati) diunduh pada tanggal 8 November 2008 pukul 16.00 WIB. Kegiatan menulis merupakan suatu keterampilan produktif dalam pembelajaran bahasa, sebab kegiatan tersebut lebih banyak menekankan pada penuangan ilham dan gagasan dalam bentuk kata-kata, susunan kalimat, dan menjadi suatu gagasan alenia.
Menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami seseorang sehingga orang lain sanggup membaca lambang-lambang grafik tersebut. (Tarigan, 1985 : 21). Pendapat tersebut memperlihatkan bahwa dengan goresan pena sanggup terjadi komunikasi antara penulis dan pembaca; hal ini sanggup terjadi apabila penulis dan pembaca memahami lambanglambang grafik yang dipakai penulis. Siswa sanggup menawarkan kejelasan kepada pemakainya maka harus bisa menyusun kalimat yang serasi. Kalimat-kalimat yang terdapat dalam goresan pena tersebut harus disusun secara sempurna supaya tercipta keserasian kekerabatan antar unsur dalam sebuah karangan. Hal ini terdapat dalam goresan pena siswa dan bagian-bagiannya harus merupakan kekerabatan yang logis. Menulis dalam bentuk apapun bergotong-royong melatih penulis berpikir secara teratur, tertib dan lugas. Diketahui juga ada kekerabatan timbal balik antara pikiran dan bahasa. Pikiran bergotong-royong sanggup dinyatakan sebagai suatu mental bahasa yang terdiri atas lambang-lambang atau gejala yang istimewa. Pendapat lain menyampaikan bahwa pikiran sanggup disejajarkan dan ditafsirkan sebagai acara jiwa. Oleh karen itu, semakin teratur pikiran seseorang diharapkan semakin teratur diharapkan semakin teratur pula susunan kalimat yang dinyatakannya. Keteraturan-keteraturan memerlukan latihan berulang-ulang.
Latihan menuntut keteraturan, keuletan, 195 kepekaan, dan kemampuan menerapkan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Ada syarat yang sering dilupakan sebab kesederhanaannya, yaitu setiap kali selesai menulis harus disertai pertanyaan kepada diri sendiri ‘apakah goresan pena saya ini sanggup dibaca dan dipahami orang lain?’. Sehubungan dengan hal tersebut, sebelum goresan pena dibaca oleh orang lain, sebaiknya dibaca sekali lagi. Tarigan (1992 : 4) menyatakan bahwa antar penulis dan pembaca terdapat kekerabatan yang sangat erat. Bila kita menuliskan sesuatu, pada prinsipnya kita ingin supaya goresan pena tersebut dibaca oleh orang lain. Tugas penulis ialah mengatur dan menggerakkan suatu proses yang menjadikan suatu perubahan tertentu dalam bayangan sang pembaca. Menulis pada hakikatnya ialah suatu proses berpikir yang teratur, sehingga apa yang ditulis praktis dipahami pembaca (Fachudin, 988 : 12). Sebuah goresan pena dikatakan baik apabila mempunyai ciri-ciri: (a) bermakna, (b) jelas, (c) bundar dan utuh, (d) ekonomis, dan (e) memenuhi kaidah gramatika. Pengertian-pengertian tersebut di atas tidak mempersoalkan apakah pikiran atau ilham yang ditulis sanggup dipahami oleh seseorang atau tidak. Padahal setiap goresan pena harus mengandung makna sesuai dengan pikiran, perasaan, ilham dan emosi penulis yang disampaikan kepada pembaca untuk dipahami sempurna ibarat yang dimaksud penulis Widyamartaya (1990: 9) beropini bahwa menulis ialah keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang dalam mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada pembaca ibarat yang dimaksud oleh pengarang.
Sementara itu Burhan Nurgianto (1988 : 271) berpendapat, supaya komunikasi lewat lambang tulis sanggup dicapai ibarat yang diharapkan penulis, hendaknya menuangkan ilham atau gagasannya ke dalam bahasa yang sempurna dan teratur serta lengkap, dengan 196 demikian bahasa yang dipergunakan dalam menulis sanggup menggambarkan suasana hati atau pikiran penulis, sehingga dengan bahasa tulis seseorang akan sanggup menuangkan isi hati dan pikiran. Dalam menulis seorang dituntut bisa menerapkan sejumlah keterampilan sekaligus. Sebelum menulis perlu membuat perencanaan, misalnya, menyeleksi topik, menata, dan mengorganisasikan gagasan, serta mempertimbangkan bentuk goresan pena sesuai dengan calon pembacanya. Pada dikala menungkan ide, penulis perlu menyajikannya secara teratur. Begitu juga penggunaan aspek kebahasaan ibarat bentukan kata, diksi, dan kalimat perlu disusun secara efektif. Penerapan ejaan dan tanda baca perlu dilakukan secara sempurna dan fungsional. Sejumlah keterampilan tersebut menjadi bukti betapa kompleksnya keterampilan menulis (http://aflahchintya23.wordpress.com/2008/ 02/23/salah-satu-contoh-ptk-dalambidang-bahasa/ ). Menurut Lado (1979: 143) ialah menurunkan atau menuliskan lambanglambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain sanggup membacanya jika ia memahami bahwa atau citra grafik tersebut.
Pendapat lain menyampaikan bahwa menulis merupakan kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan atau menyampaikannya melalui bahasa tulis (Widyamartaya, 1990: 9). Pujiati dan Rahmina (1997: 1) beropini menulis merupakan kegiatan menyusun atau mengorganisasikan buah pikiran, ide, atau gagasan dengan memakai rangkaian kalimat yang logis dan terpadu dalam bahasa tulis. 197 The Liang Gie (1992: 17) mamberi batasan, mengarang ialah keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami. Menulis dan membaca berkaitan dengan ekspresi bahasa yang memakai media visual, dan termasuk keterampilan aktif atau produktif (Widdowson: 1978: 57). Berbeda dengan kegiatan berbicara dan mendengarkan yang termasuk kegiatan resiprokal, menulis dan membaca secara umum tergolong kegiatan nonresiprokal. Memang ada kegiatan menulis dan membaca yang ibarat kegiatan berbicara dan mendengarkan ibarat korespondensi, tetapi interaksi yang terjadi sangat berbeda dan dalam kurun waktu yang tidak bersamaan.
Dalam hal ini Widdowson mengatakan, “In most written discourse, however, this interrelationship does not exist: reading and writing are not typically reciprocal activities in the same way as are saying and listening.” (Widdowson, 1978: 61). Kegiatan menulis ialah kegiatan berkomunikasi. Menurut Imam Syafi’ie (1993: 57) komponen pertama ialah pihak-pihak yang berperan sebagai pengirim pesan (penulis) dan akseptor pesan (pembaca). Komponen ketiga ialah media penyampai komunikasi (bahasa). Komponen berikutnya ialah saluran, yang sanggup berupa surat, artikel, makalah, buku, dan sebagainya. Senada dengan Imam Syafi’ie ialah pendapat (Sopa, 2005) yang dikutip oleh Pangesti Wiedarti (2005: 136) menyatakan menulis ialah cara seseorang berkomunikasi. Melalui goresan pena seseorang berusaha memberikan gagasan, ide, pendapat, dan informasi kepada orang lain. Pandangan lain perihal menulis juga dikemukakan oleh Brown. Menurut Brown (2001: 335) menulis ialah citra grafis dari bahasa lisan, dan bahasa tertulis sama saja dengan bahasa lisan, satu-satunya perbedaan terletak pada lambang 198 grafis daripada arahan lain. Imam Syafi’ie (1993: 52-53) menyebutkan goresan pena ialah simbol-simbol atau gambar bunyi-bunyi bahasa yang bersifat visual. Keterampilan menulis ialah kemampuan memakai bahasa untuk berkomunikasi dengan memakai bahasa tulis. Jika dibaca dengan seksama pendapat di atas sanggup diketahui bahwa ada dua hal pokok yang terdapat dalam kegiatan menulis, yaitu
- gagasan yang dikemukakan penulis dan
- bahasa yang dipakai sebagai media untuk mengungkapkan gagasan tersebut.
Pada hakikatnya menulis ialah mengkomunikasikan “apa” dan “bagaimana” pikiran penulis. Hal pertama bertalian dengan substansi perkara atau gagasan yang dikemukakan; sedangkan hal kedua bertalian dengan bahasa yang dipakai untuk memberikan gagasan. Kemampuan menulis atau mengarang pada hakikatnya merupakan bentuk komunikasi dari pengarang kepada pembaca supaya sanggup berkomunikasi dengan baik, seorang penulis harus mempunyai beberapa kemampuan, satu diantaranya ialah kemampuan linguistik (atau kemampuan gramatikal) yaitu pengetahuan mengenai kaidah-kaidah kebahasaan (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni 2005: 51). Menulis tidak selalu mudah. Dalam menulis, orang tidak sanggup memakai bahasa atau gerak tubuh, intonasi, nada, kontak mata dan semua ciri lain yang sanggup membantu orang menangkap makna ibarat dalam bercakap-cakap.
Dalam kutipan ini Scott dan ytreberg antara lain menyatakan, “You can’t make the same use of body language, intonation, tone, eye contact and all the other features which help you to convey meaning when you talk,” (Scott and Ytreberg, 1990: 68). Ann Raimes juga mengemukakan, berbicara (Bahasa lisan) mempunyai variasi dialek, bunyi (nada, tekanan, dan irama) dan gerakan badan (gesture dan ekspresi wajah), jeda dan intonasi, serta pendengarannya ada di kawasan pembicara sehingga sanggup memberi 199 respon secara langsung; sedangkan menulis pada umumnya memakai bentukbentuk standar (tata bahasa, sintaksis, kosa kata), menyandarkan pada kata-kata di atas kertas, dan mengandalkan pungtuasi dan pembaca tidak di kawasan sehingga tidak ada respon secara eksklusif (Raimes, 1983: 4-5). Tanpa meremehkan tiga keterampilan berbahasa yang lain, menulis merupakan keterampilan berbasaha yang paling penting dan sulit dikuasai, pendapat itu dikemukakan oleh Ari Kusmiatun, yang dikutip Pangesti Wiedarti (2005:133). Menulis tidak semudah membaca. Untuk memperoleh keterampilan menulis, dibutuhkan suatu proses yang berupa pembelajaran dan training menulis.
Pembelajaran dan training menulis guna mengatasi kesulitan menulis. Kesulitan menulis yang dihadapi, yaitu kesulitan menemukan topik, kesulitan mencari atau menemukan materi penulisan, kesulitan menyusun kalimat efektif, kesulitan menyusun paragraf yang baik, dan kurang menguasai tata cara menulis (Pangesti Wiedarti, 2005: 20-28). Berbeda dengan pendapat di atas, Arswendo Atmowiloto (2004: vii) menyatakan mengarang itu gampang, sebab bisa dipelajari. Semua bisa mempelajarinya asal bisa baca dan tulis dan mempunyai minat terus menerus yang tak praktis patah. Membangun komunitas tulis berdasarkan Sudartomo M, yang dikutip oleh Pangesti Wiedarti (2005: 9-12) ialah dengan mengajak anak untuk menuliskan fenomena yang dekat dengan anak termasuk pengalamannya sendiri yang niscaya dikuasai. Pengalaman ini dituangkan ke dalam bentuk puisi atau surat. Isi surat berupa pengalaman yang dialami oleh anak masing-masing. Pengalaman yang menyenangkan, mengesalkan, menakutkan, atau menyedihkan. Selain itu, anak diajak menulis buku harian, dan korespondensi. 200 Orang menulis mempunyai maksud dan tujuan yang bermacam-macam, contohnya memberitahukan atau mengajar, meyakinkan atau mendesak, menghibur atau menyenangkan, dan mengutarakan atau mengekspresikan maksud emosi (Tarigan, 1986: 23).
Meskipun tujuan menulis sangat beragam, Heart dan Reinking berpendapat, tujuan umum menulis hanya ada dua yaitu menginformasikan (to inform) dan meyakinkan (to persuaea). Akan tetapi mereka berpendapat, setiap goresan pena tentu mempunyai sebuah tujuan yang lebih spesifik. Mereka menyatakan , “ ... each written work must have a more specific purpose,” (Heart dan Reinking, 1986: 3). The Liang Gie juga beropini bahwa tujuan orang mengarang intinya ada dua tipe, akan tetapi pendapat The Liang Gie berbeda dengan pendapat Heart dan Reinking tersebut, sebab menurutnya dua tipe tujuan mengarang itu ialah (1) memberi informasi, menawarkan sesuatu, dan (2) memberi hiburan , menggerakkan hati (The Liang Gie, 1992: 24). Tulisan bermanfaat untuk mempengaruhi orang, sebagai sarana membuatkan pengalaman, bisa membebaskan dari penderitaan, sanggup menggulingkan sebuah rezim, mencegah perang, membangkitkan semangat hidup, menyelamatkan nyawa, sanggup mengasah otak, dan sanggup mendatangkan rezeki. Dari pendapat-pendapat di atas sanggup disimpulkan bahwa pengertian menulis ialah kegiatan mengungkapkan ilham atau gagasan dengan bahasa tulis. Sedangkan pengertian keterampilan menulis, yaitu kemampuan menyusun atau mengorganisasikan gagasan serta mengkomunikasikan gagasan tersebut kepada pembaca sehingga terjalin interaksi antara keduanya demi tercapainya suatu tujuan. c. Jenis-Jenis Tulisan 201 Menurut Gie (2002: 25-30) dalam Pangesti Wiedarti (2005: 20) goresan pena sanggup digolongkan menjadi beberapa jenis berdasarkan kriteria tertentu. Berdasarkan bentuknya, goresan pena sanggup digolongkan menjadi: kisah (narasi), lukisan (deskripsi), paparan (eksposisi) dan bincangan (argumentasi). Menurut ragamnya, goresan pena sanggup dibedakan menjadi dua, yaitu goresan pena faktawi (faktual) dan goresan pena khayali.
Tulisan faktawi ialah goresan pena yang bertujuan memberi informasi, memberitahukan sesuatu sesuai dengan fakta senyatanya, sedangkan goresan pena khayali ialah goresan pena yang bertujuan memberi hiburan, menggugah hati pembaca, dan merupakan rekaan dari pengarang. Selanjutnya, berdasarkan pengetahuan atas tujuan penulis, sanggup diketahui bentuk goresan pena dari sebuah naskah (tulisan). Pada umumnya, goresan pena sanggup dikelompokkan atas empat macam bentuk, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi dan argumentasi. Bentuk goresan pena narasi dipilih jika penulis ingin bercerita kepada pembaca. Narasi biasanya ditulis berdasarkan rekaan atau imajinasi. Akan tetapi, narasi sanggup juga ditulis berdasarkan pengamatan atau wawancara. Narasi pada umumnya merupakan himpunan insiden yang disusun berdasarkan urutan waktu atau urutan kejadian. Dalam goresan pena narasi, selalu ada tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu atau banyak sekali peristiwa.
Bentuk goresan pena deskripsi dipilih jika penulis ingin menggambarkan bentuk, sifat, rasa, corak, dari hal yang diamatinya. Deskripsi juga dilakukan untuk melukiskan perasan, ibarat bahagia, takut, sepi, murung dan sebagainya. Penggambaran itu mengandalkan panca indera dalam proses penguraiannya. Deskripsi yang baik harus didasarkan pada pengamatan yang cermat dan penyusunan yang tepat. Tujuan deskripsi ialah membentuk, melalui ungkapan bahasa, imajinasi 202 pembaca supaya sanggup membayangkan suasana, orang, peristiwa, dan supaya mereka sanggup memahami suatu sensasi atau emosi. Pada umumnya, deskripsi jarang berdiri sendiri. Bentuk goresan pena tersebut selalu menjadi potongan dalam bentuk goresan pena lainnya. Bentuk goresan pena eksposisi dipilih jika penulis ingin menawarkan informasi, penjelasan, keterangan atau pemahaman. Berita merupakan bentuk goresan pena eksposisi sebab menawarkan informasi. Tulisan dalam majalah juga merupakan eksposisi. Buku teks merupakan bentuk eksposisi. Pada dasarnya, eksposisi berusaha menjelaskan suatu mekanisme atau proses, menawarkan definisi, menerangkan, menjelaskan, menafsirkan gagasan, menerangkan skema atau tabel, mengulas sesuatu. Tulisan eksposisi sering ditemukan bahu-membahu dengan bentuk goresan pena deskripsi. Laras yang termasuk dalam bentuk goresan pena eksposisi ialah buku resep, buku-buku pelajaran, buku teks, dan majalah. Tulisan bentuk argumentasi bertujuan meyakinkan orang, menunjukan pendapat atau pendirian pribadi, atau membujuk pembaca supaya pendapat pribadi penulis sanggup diterima. Bentuk goresan pena tersebut erat kaitannya dengan eksposisi dan ditunjang oleh deskripsi. Bentuk argumentasi dikembangkan untuk menawarkan klarifikasi dan fakta-fakta yang sempurna sebagai alasan untuk menunjang kalimat topik. Salisbury mengelompokkan goresan pena ke dalam dua kelompok, yaitu
- bentukbentuk objektif, yang meliputi klarifikasi yang terperinci mengenai proses, batasan, laporan dan dokumen dan
- bentuk-bentuk subjektif yang meliputi otobiografi, surat-surat, penilaian pribadi, esai, informal, potret/gambaran, dan satire (Tarigan, 1986: 26-27).
Weaver dan Moris et al. Membuat pembagian terstruktur mengenai yang hampir sama. Weaver (dalam Tarigan, 1986: 27) mengklasifikasikan goresan pena dalam empat jenis yaitu
- eksposisi,
- deskripsi,
- narasi, dan
- argumentasi.
Demikian juga Moris et al 203 (dalam Tarigan 1986: 27-28) juga membagi goresan pena dalam empat jenis yaitu
- eksposisi,
- argumentasi,
- deskripsi, dan
- narasi.
Klasifikasi goresan pena Brooks dan Warren juga ada empat jenis tetapi berbeda dengan Weaver dan Moris. Brooks dan Warren mengklasifikasikan goresan pena ke dalam;
- eksposisi,
- persuasi,
- argumen, dan
- deskripsi (Tarigan, 1986: 28).
Gorys Keraf (1994: 1) menyebutkan ragam komposisi atau bentuk-bentuk wacana meliputi eksposisi, argumentasi, deskripsi, dan narasi. Atar Semi (1990: 32) beropini demikian pula hanya berbeda urutannya, yakni narasi, eksposisi, deskripsi,dan argumentasi. Adelstain dan Pival membuat pembagian terstruktur mengenai goresan pena yang berbeda. Mereka membuat pembagian terstruktur mengenai goresan pena berdasarkan nada (voice). Berdasarkan nada terdapat enam jenis goresan pena yakni
- tulisan bermakna akrab,
- tulisan bernada informatif,
- tulisan bernada menjelaskan,
- tulisan bernada argumentatif,
- tulisan bernada mengkritik, dan
- tulisan bernada otoritatif (Tarigan 1986: 28-29).
Jika dibaca dengan seksama beberapa pendapat di atas sanggup diketahui bahwa ada dua hal pokok yang terdapat dalam kegiatan menulis yaitu (1) gagasan yang dikemukakan penulis dan (2) bahasa yang dipakai sebagai media untuk mengungkapkan gagasan tersebut.
d. Pembelajaran Menulis Flower dan Hayes (lewat Tompkins, 1990: 71) mengembangkan model proses dalam menulis. Proses menulis sanggup dideskripsikan sebagai proses pemecahan perkara yang kompleks, yang mengandung tiga elemen, yaitu lingkungan tugas, memori jangka panjang penulis, dan proses menulis. Pertama, lingkungan kiprah ialah kiprah yang penulis kerjakan dalam menulis. Kedua, memori jangka panjang penulis ialah pengetahuan mengenai topik, pembaca, dan cara menulis. Ketiga, 204 proses menulis meliputi tiga kegiatan, yaitu:
- merencanakan (menentukan tujuan untuk mengarahkan tulisan),
- mewujudkan (menulis sesuai dengan planning yang sudah dibuat), dan
- merevisi (mengevaluasi dan merevisi tulisan).
Ketiga kegiatan tersebut tidak merupakan tahap-tahap yang linear, sebab penulis terus menerus memantau tulisannya dan bergerak maju mundur (Zuchdi, 1997: 6). Peninjauan kembali goresan pena yang telah dihasilkan ini sanggup dianggap sebagai komponen keempat dalam proses menulis. Hal inilah yang membantu penulis sanggup mengungkapkan gagasan secara logis dan sistematis, tidak mengandung bagianbagian yang kontradktif. Dengan kata lain, konsistensi (keajegan) isi gagasan sanggup terjaga. Berkaitan dengan tahap-tahap proses menulis. (Tompkins 1990, 73) menyajikan lima tahap, yaitu: (
- pramenulis,
- pembuatan draff,
- merevisi,
- menyunting, dan
- berbagi (sharing).
Tompkins juga menekankan bahwa tahaptahap menulis ini tidak merupakan kegiatan yang linear. Proses menulis bersifat nonlinier, artinya merupakan putaran berulang. Misalnya, sesudah selesai menyunting tulisannya, penulis mungkin ingin meninjau kembali kesesuaiannya dengan kerangka goresan pena atau draff awalnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap itu sanggup dirinci lagi. Dengan demikian, tergambar secara menyeluruh proses menulis, mulai awal hingga selesai menulis ibarat berikut.
1. Tahap Pramenulis Pada tahap pramenulis, pembelajar melaksanakan kegiatan sebagai berikut:
- Menulis topik berdasarkan pengalaman sendiri.
- Melakukan kegiatan-kegiatan latihan sebelum menulis.
- Mengidentifikasi pembaca goresan pena yang akan mereka tulis.
- Mengidentifikasi tujuan kegiatan menulis. 205
- Memilih bentuk goresan pena yang sempurna berdasarkan pembaca dan tujuan yang telah mereka tentukan.
2. Tahap Membuat Draff Kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar pada tahap ini ialah sebagai berikut :
- Membuat draff kasar.
- Lebih menekankan isi daripada tata tulis.
3. Tahap Merevisi
Yang perlu dilakukan oleh pembelajar pada tahap merevisi goresan pena ini ialah sebagai berikut :
- Berbagai goresan pena dengan teman-teman (kelompok).
- Berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi perihal goresan pena teman-teman sekelompok atau sekelas.
- Mengubah goresan pena mereka dengan memperhatikan reaksi dan komentar baik dari pengajar maupun teman.
- Membuat perubahan yang substantif pada draff pertama dan draff berikutnya, sehingga menghasilkan draff akhir.
4. Tahap Menyunting
Pada tahap menyunting, hal-hal yang perlu dilakukan oleh pembelajar ialah sebagai berikut : a. Membetulkan kesalahan bahasa goresan pena mereka sendiri. b. Membantu membetulkan kesalahan bahasa dan tata tulis goresan pena mereka sekelas/sekelompok. c. Mengoreksi kembali kesalahan-kesalahan tata tulis goresan pena mereka sendiri. 206 Dalam kegiatan penyuntingan ini, sekurang-kurangnya ada dua tahap yang harus dilakukan. Pertama, penyuntingan goresan pena untuk kejesalan penyajian. Kedua, penyuntingan bahasa dalam goresan pena supaya sesuai dengan sasarannya (Rifai, 1997: 105- 106). Penyuntingan tahap pertama akan berkaitan dengan perkara komunikasi. Tulisan diolah supaya isinya sanggup dengan terperinci diterima oleh pembaca. Pada tahap ini, seringkali penyunting harus mereorganisasi goresan pena sebab penyajiannya dianggap kurang efektif. Ada kalanya, penyunting terpaksa membuang beberapa paragraf atau sebaliknya, harus menambahkan beberapa kalimat, bahkan beberapa paragraf untuk memperlancar kekerabatan gagasan. Dalam melaksanakan penyuntingan pada tahap ini, penyunting sebaiknya berkonsultasi dan berkomunikasi dengan penulis. Pada tahap ini, penyunting harus luwes dan pandai-pandai menjelaskan perubahan yang disarankannya kepada penulis sebab hal ini sangat peka.
Hal-hal yang berkaitan dengan penyuntingan tahap ini ialah kerangka tulisan, pengembangan tulisan, penyusunan paragraf, dan kalimat. Kerangka goresan pena merupakan ringkasan sebuah tulisan. Melalui kerangka tulisan, penyunting sanggup melihat gagasan, tujuan, wujud, dan sudut pandang penulis. Dalam bentuknya yang ringkas itulah, goresan pena sanggup diteliti, dianalisis, dan dipertimbangkan secara menyeluruh, dan tidak secara lepas-lepas (Keraf, 1989: 134). Penyunting sanggup memperoleh keutuhan sebuah goresan pena dengan cara mengkaji daftar isi goresan pena dan potongan pendahuluan. Jika ada, misalnya, dalam goresan pena ilmiah atau ilmiah populer, sebaiknya potongan simpulan pun dibaca. Dengan demikian, penyunting akan memperoleh citra awal mengenai sebuah goresan pena dan tujuannya. Gambaran itu. Kemudian diperkuat dengan membaca secara keseluruhan isi tulisan. Jika goresan pena merupakan karya fiksi, misalnya, penyunting eksklusif membaca keseluruhan karya 207 tersebut. Pada dikala itulah, biasanya penyunting sudah sanggup menandai bagian-bagian yang perlu disesuaikan. Berdasarkan kerangka goresan pena tersebut sanggup diketahui tujuan penulis. Selanjutnya, berdasarkan pengetahuan atas tujuan penulis, sanggup diketahui bentuk goresan pena dari sebuah naskah (tulisan). Pada umumnya, goresan pena sanggup dikelompokkan atas empat macam bentuk, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi.
Bentuk goresan pena narasi dipilih jika penulis ingin bercerita kepada pembaca. Narasi biasanya ditulis berdasarkan pengamatan atau wawancara. Narasi pada umumnya merupakan himpunan insiden yang disusun berdasarkan urutan waktu atau urutan kejadian. Dalam goresan pena narasi, selalu ada tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu atau banyak sekali peristiwa. Bentuk goresan pena deskripsi dipilih jika penulis ingin menggambarkan bentuk, sirat, rasa, corak dari hal yang diamatinya. Deskripsi juga dilakukan untuk melukiskan perasaan, ibarat bahagia, takut, sepi, sedih, dan sebagainya. Penggambaran itu mengandalkan pancaindera dalam proses penguraiannya. Deskripsi yang baik harus didasarkan pada pengamatan yang cermat dan penyusunan yang tepat. Tujuan deskripsi ialah membentuk, melalui ungkapan bahasa, imajinasi pembaca supaya sanggup membayangkan suasana, orang, peristiwa, dan supaya mereka sanggup memahami suatu sensasi atau emosi. Pada umumnya, deskripsi jarang berdiri sendiri. Bentuk goresan pena tersebut selalu menjadi potongan dalam bentuk goresan pena lainnya. Bentuk goresan pena eskposisi dipilih jika penulis ingin menawarkan informasi, penjelasan, keterangan atau pemahaman. Berita merupakan bentuk goresan pena eksposisi sebab menawarkan informasi. Tulisan dalam majalah juga merupakan eksposisi. Buku teks merupakan bentuk eksposisi. Pada dasarnya, eksposisi berusaha menjelaskan suatu mekanisme atau proses, menawarkan definisi, menerangkan, 208 menjelaskan, menafsirkan gagasan, menerangkan skema atau tabel, mengulas sesuatu.
Tulisan eksposisi sering ditemukan bahu-membahu dengan bentuk goresan pena deskripsi. Laras yang termasuk dalam bentuk goresan pena eksposisi ialah buku resep, buku-buku pelajaran, buku teks, dan majalah. Bentuk goresan pena argumentasi bertujuan meyakinkan orang, menunjukan pendapat atau pendirian pribadi, atau membujuk pembaca supaya pendapat pribadi penulis sanggup diterima. Bentuk goresan pena tersebut erat kaitannya dengan eksposisi dan ditunjang oleh deskripsi. Bentuk argumentasi dikembangkan untuk menawarkan klarifikasi dan fakta-fakta yang sempurna sebagai alasan untuk menunjang kalimat topik. Kalimat topik, biasanya merupakan sebuah pernyataan untuk meyakinkan atau membujuk pembaca. Dalam sebuah majalah atau surat kabar, misalnya, argumentasi ditemui dalam kolom opini/ wacana/ gagasan/ pendapat. Kendatipun keempat bentuk goresan pena tersebut mempunyai ciri masing-masing, mereka tidak secara ketat terpisah satu sama lain. Dalam sebuah kolom, misalnya, sanggup ditemukan banyak sekali bentuk goresan pena tersebut tersebar di dalam paragraf yang membangun kerangka tersebut. Oleh sebab itu, penyunting befungsi untuk mempertajam dan memperkuat pembagian paragraf. Pembagian paragraf terdriri atas paragraf pembuka, paragraf penghubung atau isi, dan paragraf epilog seringkali tidak diketahui oleh penulis. Masih sering ditemukan goresan pena yang sulit dipahami sebab pemisah bagian-bagian atau pokok-pokoknya tidak jelas. Pemeriksaan atas kalimat merupakan penyuntingan tahap pertama juga.
Pada ini pun, sebaiknya penyunting berkonsultasi dengan penulis. Penyunting harus mempunyai pengetahuan bahasa yang memadai. Dengan demikian, penyunting sanggup menjelaskan dengan baik kesalahan kalimat yang dilakukan oleh penulis. Untuk itu, penyunting kalimat harus menguasai persyaratan yang tercakup dalam kalimat yang 209 efektif. Kalimat efektif ialah kalimat yang secara jitu atau sempurna mewakili gagagan atau perasaan penulis. Untuk sanggup membuat kalimat yang efektif, ada tujuh hal yang harus diperhatikan, yaitu kesatuan gagasan, kepaduan, penalaran, kehematan atau ekonomisasi bahasa, penekanan, kesejajaran, dan variasi. Penyuntingan tahap kedua berkaitan dengan perkara yang lebih terperinci, lebih khusus. Dalam hal ini, penyunting berafiliasi dengan perkara kaidah bahasa, yang meliputi perbaikan dalam kalimat, pilihan kata (diksi), tanda baca, dan ejaan. Pada dikala penyunting memperbaiki kalimat dan pilihan kata dalam tulisan, ia sanggup berkonsultasi dengan penulis atau eksklusif memperbaikinya. Hal ini tergantung pada keluasan permasalahan yang harus diperbaiki. Sebaliknya, perkara perbaikan dalam tanda baca dan ejaan sanggup eksklusif dikerjakan oleh penyunting tanpa memberitahukan penulis. Perbaikan dalam tahap ini bersifat kecil, namun sangat mendasar.
5. Tahap Berbagi
Tahap terakhir dalam proses menulis ialah membuatkan (sharing) atau publikasi. Pada tahap ini, pembelajar :
- Mempublikasikan (memajang) goresan pena mereka dalam bentuk goresan pena yang sesuai, atau
- Berbagi goresan pena yang dihasilkan dengan pembaca yang telah mereka tentukan.
Dari tahap-tahap pembelajaran menulis dengan pendekatan/model proses sebagaimana dijabarkan di atas sanggup dipahami betapa banyak dan bervariasi kegiatan pembelajar dalam proses menulis. Keterlibatannya dalam banyak sekali kegiatan tersebut sudah barang tentu merupakan pelajaran yang sangat berharga guna mengembangkan keterampilan menulis. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pembelajar pada setiap tahap, upaya-upaya mengatasi kesulitan tersebut, dan hasil terbaik yang dicapai oleh 210 para pembelajar membuat mereka lebih tekun dan tidak praktis mengalah dalam mencapai hasil yang terbaik dalam mengembangkan keterampilan menulis.