Pengertian Upah Dalam Konsep Islam
Friday, August 7, 2020
Edit
Pengertian Upah dalam Konsep Islam
Upah berdasarkan pengertian Barat terkait dengan dukungan imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, menyerupai upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan honor berdasarkan pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam pengertian barat, Perbedaan honor dan upah itu terletak pada Jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan atau tidak). Meskipun titik berat antara upah dan honor terletak pada jenis karyawannya apakah tetap ataukah tidak.
“Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen pemanis yang dibayarkan eksklusif atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan korelasi kerja” (Konvensi ILO nomor 100).2
Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional : Upah ialah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada peserta kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan berdasarkan suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan peserta kerja.3
Dalam hal perbedaan pengertian upah dan honor berdasarkan konsep Barat di atas, maka Islam menggariskan upah dan honor lebih komprehensif dari pada Barat.
Allah menegaskan ihwal imbalan ini dalam Qur’an sbb :
“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kau akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, kemudian diberikan-Nya kepada kau apa yang kau kerjakan.” (At Taubah : 105).
Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Bekerjalah Kamu, demi alasannya Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kau maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kau itu”4
Tafsir dari melihat dalam keterangan diatas ialah menilai dan memberi ganjaran terhadap amal-amal itu. Sebutan lain daripada ganjaran ialah imbalan atau upah atau compensation.
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik pria maupun wanita dalam keadaan beriman, maka bersama-sama akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan bersama-sama akan Kami berikan akhir kepada mereka dengan pahala yang lebih baik apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl : 97).
Dalam menafsirkan At Nahl ayat 97 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik pria maupun perempuan, sedang dia ialah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka bersama-sama niscaya akan kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan bersama-sama akan kami berikan akhir kepada mereka semua di dunia dan di akherat dengan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan“.5
Tafsir dari akhir dalam keterangan d iatas ialah akhir di dunia dan di akherat. Ayat ini menegaskan bahwa akhir atau imbalan bagi mereka yang bederma saleh ialah imbalan dunia dan imbalan akherat. Amal Saleh sendiri oleh Syeikh Muhammad Abduh didefenisikan sebagai segala perbuatan yang berkhasiat bagi pribadi, keluarga, kelompok dan insan secara keseluruhan.6 Sementara berdasarkan Syeikh Az-Zamakhsari, Amal Saleh ialah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau Sunnah Nabi Muhammad Saw.7 Menurut Defenisi Muhammad Abduh dan Zamakhsari diatas, maka seorang yang bekerja pada suatu tubuh perjuangan (perusahaan) sanggup dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-barang yang haram. Dengan demikian, maka seorang karyawan yang bekerja dengan benar, akan mendapatkan dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat.
“Sesungguhnya mereka yang beriman dan bederma saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al Kahfi : 30).
Berdasarkan tiga ayat diatas, yaitu At-Taubah 105, An-Nahl 97 dan Al-Kahfi 30, maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akherat. Tetapi hal yang paling penting, ialah bahwa pementingan kepada akherat itu lebih penting daripada pementingan terhadap dunia (dalam hal ini materi) sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash ayat 77.
Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah niscaya membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat ini ialah penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan akhir yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).
Lebih jauh Surat An-Nahl : 97 menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam mendapatkan upah / akhir dari Allah. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hal yang menarik dari ayat ini, ialah akhir Allah eksklusif di dunia (kehidupan yang baik/rezeki yang halal) dan akhir di akherat (dalam bentuk pahala).
Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa akhir terhadap pekerjaan yang telah dilakukan manusia, niscaya Allah balas dengan adil. Allah tidak akan berlaku zalim dengan cara menyia-nyiakan amal hamba-Nya. Konsep keadilan dalam upah inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri Islam.
Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah saw ihwal upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“ Mereka (para budak dan pelayanmu) ialah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan menyerupai apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian menyerupai apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan kiprah yang sangat berat, dan jika kau membebankannya dengan kiprah menyerupai itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8
Dari hadits ini sanggup didefenisikan bahwa upah yang sifatnya bahan (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan : “harus diberinya makan menyerupai apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian menyerupai apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang mendapatkan upah.
Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w bersabda :
“Siap yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai kawasan tinggal, hendaklah ia mencarikan kawasan tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Siapa yang mengambil perilaku selain itu, maka ia ialah seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).9
Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan azasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri). Hal ini ditegaskan lagi oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan istri juga merupakan kewajiban majikan, alasannya istri ialah kebutuhan pokok bagi para karyawan.10
rja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan akhir yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).
Sehingga dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka sanggup didefenisikan bahwa : Upah ialah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan bahan di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).
Dari uraian diatas, paling tidak terdapat 2 Perbedaan konsep Upah antara Barat dan Islam: pertama, Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat tidak. Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas bahan (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat dan Islam adalah; pertama, prinsip keadilan (justice), dan kedua, prinsip kelayakan (kecukupan).
Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan menyerupai apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian menyerupai apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan kiprah yang sangat berat, dan jika kau membebankannya dengan kiprah menyerupai itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8
Dari hadits ini sanggup didefenisikan bahwa upah yang sifatnya bahan (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan : “harus diberinya makan menyerupai apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian menyerupai apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang mendapatkan upah.
Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w bersabda :
“Siap yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai kawasan tinggal, hendaklah ia mencarikan kawasan tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Siapa yang mengambil perilaku selain itu, maka ia ialah seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).9
Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan azasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri). Hal ini ditegaskan lagi oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan istri juga merupakan kewajiban majikan, alasannya istri ialah kebutuhan pokok bagi para karyawan.10
rja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan akhir yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).
ADIL
Organisasi yang menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan mencerminkan organisasi yang dipimpin oleh orang-orang bertaqwa. Konsep adil ini merupakan ciri-ciri organisasi yang bertaqwa. Al-Qur’an menegaskan :
“Berbuat adillah, alasannya adil itu lebih bersahabat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).
ADIL bermakna JELAS dan TRANSPARAN
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kau bemua’malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kau menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kau menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun kan pada mereka dengan kiprah yang sangat berat, dan jika kau membebankannya dengan kiprah menyerupai itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8
Dari hadits ini sanggup didefenisikan bahwa upah yang sifatnya bahan (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan : “harus diberinya makan menyerupai apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian menyerupai apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang mendapatkan upah.
Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w bersabda :
“Siap yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai kawasan tinggal, hendaklah ia mencarikan kawasan tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Siapa yang mengambil perilaku selain itu, maka ia ialah seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).9
Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan azasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri). Hal ini ditegaskan lagi oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan istri juga merupakan kewajiban majikan, alasannya istri ialah kebutuhan pokok bagi para karyawan.10
rja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan akhir yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).
ADIL
Organisasi yang menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan mencerminkan organisasi yang dipimpin oleh orang-orang bertaqwa. Konsep adil ini merupakan ciri-ciri organisasi yang bertaqwa. Al-Qur’an menegaskan :
“Berbuat adillah, alasannya adil itu lebih bersahabat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).
ADIL bermakna JELAS dan TRANSPARAN
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kau bemua’malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kau menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kau menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun kan pada mereka dengan kiprah yang sangat berat, dan jika kau membebankannya dengan kiprah menyerupai itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak bisa mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kau ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka di panggil; dan janganlah kau jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar hingga batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih bersahabat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mua’malahmu itu), kecuali jika mua’malah itu perdagangan tunai yang kau jalankan di antara kamu, (jika) kau tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kau berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kau lakukan (yang demikian), maka bersama-sama hal itu ialah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 282)
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kau sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah memutuskan hukum-hukum berdasarkan yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Maidah : 1).
Nabi bersabda :
“Berikanlah honor kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan”. (HR. Baihaqi).11
Dari dua ayat Al-Qur’an dan hadits riwayat Baihaqi di atas, sanggup diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak pada Kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen melakukannya. Aqad dalam perburuhan ialah aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus terang dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut mencakup besarnya upah dan tata cara pembayaran upah. Khusus untuk cara pembayaran upah, Rasulullah bersabda :
“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya“. (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).12
Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan sebagai berikut :
Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, alasannya umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) alasannya setiap hak dibarengi dengan kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja” yang menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak.13
Dari klarifikasi Syeikh Qardhawi diatas, sanggup dilihat bahwa upah atau honor merupakan hak karyawan selama karyawan tersebut bekerja dengan baik. Jika pekerja tersebut tidak benar dalam bekerja (yang dicontohkan oleh Syeikh Qardhawi dengan mangkir tanpa alasan yang jelas), maka gajinya sanggup dipotong atau disesuaikan. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa selain hak karyawan memperoleh upah atas apa yang diusahakannya, juga hak perusahaan untuk memperoleh hasil kerja dari karyawan dengan baik. Bahkan Syeikh Qardhawi menyampaikan bahwa bekerja yang baik merupakan kewajiban karyawan atas hak upah yang diperolehnya, demikian juga, memberi upah merupakan kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya. Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan. Hadits lain yang menjelaskan ihwal pembayaran upah ini ialah :
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa dia bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga jenis insan dimana Aku ialah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, ialah orang yang menciptakan komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang insan bebas (bukan budak), kemudian memakan uangnya. Ketiga, ialah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya” (HR. Bukhari).14
Hadits-hadits diatas menegaskan ihwal waktu pembayaran upah, biar sangat diperhatikan. Keterlambatan pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan sangat menghargai tenaga seorang karyawan (buruh).
ADIL bermakna PROPORSIONAL
“Dan bagi masing-masing mereka derajat berdasarkan apa yang telah mereka kerjakan dan biar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf : 19).
“Dan kau tidak dibalas, melainkan dengan apa yang telah kau kerjakan.” (QS. Yaasin : 54).
“Bahwasanya seorang insan tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm : 39).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan seseorang akan dibalas berdasarkan berat pekerjaannya itu. Konteks ini yang oleh pakar manajemen Barat diterjemahkan menjadi equal pay for equal job, yang artinya, upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama. Jika ada dua orang atau lebih mengerjakan pekerjaan yang sama, maka upah mereka mesti sama. Prinsip ini telah menjadi hasil konvensi International Labour Organization (ILO) nomor 100.15
Sistem manajemen penggajian HAY atau yang sering disebut dengan Hay System, telah menerapkan konsep ini. Siapapun pekerja atau karyawannya, apakah bau tanah atau muda, berpendidikan atau tidak, selagi mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, maka mereka akan dibayar dengan upah yang sama.
LAYAK
Jika Adil berbicara ihwal kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat pekerjaannya, maka Layak berafiliasi dengan besaran yang diterim
LAYAK bermakna CUKUP PANGAN, SANDANG, PAPAN
Jika ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) ialah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan menyerupai apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian menyerupai apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan kiprah yang sangat berat, dan jika kau membebankannya dengan kiprah menyerupai itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).16
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw. bersabda:
“Aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda : „Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan istri untuknya; ; seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. . Bila ia tidak mempunyai kawasan tinggal, hendaklah ia mencarikan kawasan tinggal. Abu Bakar mengatakan:
Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad bersabda : Siapa yang mengambil perilaku selain itu, maka ia ialah seorang yang keterlaluan atau pencuri” (HR Abu Daud).17
Dari dua hadits diatas, sanggup diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh pekerja dilihat dari 3 aspek yaitu : Pangan (makanan), Sandang (Pakaian) dan papan (tempat tinggal). Bahkan bagi pegawai atau karyawan yang masih belum menikah, menjadi kiprah majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya. Artinya, korelasi antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas korelasi pekerjaan formal, tetapi karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan. Konsep menganggap karyawan sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih 14 kala yang kemudian telah dicetuskan.
Konsep ini digunakan oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka (pengusaha muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya di luar lingkungan kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan ketika ini. Wilson menulis dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang artinya kira-kira “walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami para pengusaha Barat“.[1] Konsep inilah yang sangat berbeda dengan konsep upah berdasarkan Barat. Konsep upah berdasarkan Islam, tidak sanggup dipisahkan dari konsep moral. Mungkin sah-sah saja jika honor seorang pegawai di Barat sangat kecil
alasannya pekerjaannya sangat remeh (misalnya cleaning service). Tetapi dalam konsep Islam, meskipun cleaning service, tetap faktor LAYAK menjadi pertimbangan utama dalam memilih berapa upah yang akan diberikan.
LAYAK bermakna SESUAI DENGAN PASARAN
“Dan janganlah kau merugikan insan akan hak-haknya dan janganlah kau merajalela di muka bumi menciptakan kerusakan.” (QS. Asy-Syua’ra 26 : 183).
Ayat di atas bermakna bahwa janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan cara mengurangi hak-hak yang seharusnya diperolehnya. Dalam pengertian yang lebih jauh, hak-hak dalam upah bermakna bahwa janganlah mempekerjakan upah seseorang, jauh dibawah upah yang biasanya diberikan. Misalnya saja untuk seorang staf administrasi, yang upah perbulannya berdasarkan pasaran ialah Rp 900.000,-. Tetapi di perusahaan tertentu diberi upah Rp 500.000,-. Hal ini berarti mengurangi hak-hak pekerja tersebut. Dengan kata lain, perusahaan tersebut telah memotong hak pegawai tersebut sebanyak Rp 400.000,- perbulan. Jika ini dibiarkan terjadi, maka pengusaha sudah tidak berbuat layak bagi si pekerja tersebut.
Dari uraian Upah berdasarkan Konsep Islam diatas, maka sanggup digambarkan bagaimana konsep Upah dalam Islam menyerupai tertera dalam Gambar 2 Dapat dilihat bahwa Upah dalam konsep Syariah mempunyai 2 dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akherat. Untuk menerapkan upah dalam dimensi dunia, maka konsep moral merupakan hal yang sangat penting biar pahala sanggup diperoleh sebagai dimensi akherat dari upah tersebut. Jika moral diabaikan, maka dimensi akherat tidak akan tercapai. Oleh alasannya itulah konsep moral diletakkan pada kotak paling luar, yang artinya, konsep moral diharapkan untuk menerapkan upah dimensi dunia biar upah dimensi akherat sanggup tercapai.
Dimensi upah di dunia dicirikan oleh 2 hal, yaitu adil dan layak. Adil bermakna bahwa upah yang diberikan harus jelas, transparan dan proporsional. Layak bermakna bahwa upah yang diberikan harus mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta tidak jauh berada di bawah pasaran. Aturan manajemen upah ini perlu didudukkan pada posisinya, biar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam mengimplementasikan manajemen syariah dalam pengupahan karyawannya di perusahan.
Kesimpulan
Upah berdasarkan Barat ialah Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen pemanis yang dibayarkan eksklusif atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan korelasi kerja. Sedangkan Upah berdasarkan Islam ialah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan bahan di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).
Perbedaan pandangan terhadap Upah antara Barat dan Islam terletak dalam 2 hal : pertama, Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat tidak. Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas bahan (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat dan Islam terletak pada prinsip keadilan (justice) dan prinsip kelayakan (kecukupan).
Rambu-rambu pengupahan dalam Islam ada 2 yakni adil dan layak. Adil bermakna 2 hal ; (1) terang dan transparan, (2) proporsional. Sedangkan Layak bermakna 2 hal;(1), cukup pangan, sandang dan papan, (2), sesuai dengan pasaran.
Saran
Berhubung penelitian ini tidak membahas teori-teori pengupahan yang selama ini dikenal, maka untuk penelitian lanjutan, perlu dilakukan penelitian ihwal teori-teori itu apakah sudah sesuai dengan syariah atau belum. Jika belum sesuai dengan syariah, maka perlu modifikasinya biar sesuai dengan syariah