Pengertian Pendekatan Kontekstual
Thursday, August 13, 2020
Edit
2. Hakikat Pendekatan Kontekstual
a. Pengertian Pendekaan Kontekstual
Menurut Nurhadi bahwa pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning atau CTL) merupakan konsep berguru yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat korelasi antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi 2002: 1) Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berkhasiat bagi hidupnya nanti. Dengan begitu merke memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep berguru dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat korelasi antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Hasilnya diharapkan lebih bermakna dan bermanfaat. (http://www,google,co,id/search?hl:id&q:pendekatan kontekstual and bt). diunduh tanggal 18 Januari 2008 pukul 10.00 WIB. 211 Peran guru di kelas dengan pendekatan kontekstual yakni membantu siswa mencapai tujuannya, guru harus memikirkan taktik pembelajaran daripada beceramah di kelas untuk memberikan informasi. Dalam hal ini guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk inovasi-inovasi gres bagi siswa dengan cara menemukan sendiri bukan tiba dari guru. Proses pembelajaran dengan pendekatan kontekstual merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga tercapai tujuan pendidikan nasional. (http://www:padang ekspres.co.id/content(view/7745/129). Diunduh tanggal 18 Januari 2008 pukul 10.00 WIB. Dalam kelas kontekstual, kiprah guru yakni membantu siswa mencapai tujuannya maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan taktik daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang gres bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang gres tiba dari “menemukan sendiri” bukan dari apa kata guru. Begitulah kiprah guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual hanya sebuah taktik pembelajaran ibarat pembelajaran yang lain. Kontekstual dikembangkan dengan tujuan semoga pembelajaran berlajan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual sanggup dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. (Depdiknas 2008, Pembelajaran Kontekstual http://akhmad sudrajat.wordpress.com/ 2008/01/29/ pembelajaran -kontekstual Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi taktik belajar.
Untuk itu diharapkan sebuah taktik berguru gres yang lebih memberdayakan 212 siswa. Sebuah taktik berguru yang mendorong siswa mengkonstrusikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Melalui landasan filosofi kontruktivisme, Contextual Teaching and Learning (CTL) dipromosikan menjadi alternatif taktik pembelajaran yang baru. Melalui taktik Contextual Teaching and Learning (CTL) siswa diharapkan berguru melalui mengalami bukan menghafal. Knowledge is constukcted bu humans. Knowledge is not a set of facts, conceptc, or laws waiting to be discovered. It is not something that exist independent of a knower. Humans create or construct knowledge as they attempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made (Zahorik, 1995). Knowledge is konjectural and fallible. Since knowledge is a construction of humans constanly undergoing new experiences, knowledge can never by stable. The understandings that we invent are always tentative and incomplete. Knowledge is growing through exposure. Understand becomes deeper and stronger if one test is againt new encounters (Zahorik, 1995). Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran perihal berguru sebagai berikut.
- proses belajar,
- transfer belajar,
- siswa sebagai pembelajar,
- pentingnya lingkungan belajar,
- hakikat pembelajaran kontekstual,
- motto,
- kata-kata kunci pembelajaran CTL, dan
- lima eleman berguru yang konstruktivistik.
Yang dimaksud dengan proses berguru yakni berguru tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Anak berguru mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan gres dan bukan diberi begitu saja dari guru. Para hebat setuju bahwa pengetahuan gres yang dimiliki oleh seseorang yang terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam perihal sesuatu perkara (subject matter). Pengetahuan tidak sanggup dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah tetapi mencerminkan keterampilan yang sanggup diterapkan. Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. Proses berguru sanggup mengubah struktur 213 otak. Perubahan struktur otak itu berjalan seiring perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, taktik berguru yang salah dan terus-menerus dipakai akan mempengaruhi struktur otak yang pada hasilnya mempengaruhi cara orang berperilaku. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berkhasiat bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Transfer berguru siswa berguru dari mengalami sendiri, bukan dari santunan orang lain.
Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit) sedikit demi sedikit. Yang penting bagi siswa tahu untuk apa ia berguru dan bagaimana ia memakai pengetahuan dan keterampilan itu. Siswa sebagai pembelajar. Manusia mempunyai kecenderungan untuk berguru dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk berguru dengan cepat hal-hal baru. Strategi berguru itu penting. Anak dengan gampang mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi untuk hal-hal yang sulit taktik berguru amat penting. Peran guru membantu menghubungkan antara yang gres dan yang sudah diketahui. Tugas guru memfasilitasi semoga informasi gres bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan inspirasi mereka sendiri dan menyadarkan siswa untuk menerapkan taktik mereka sendiri. Pentingya lingkungan belajar. Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan berguru yang berpusat pada siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton siswa akting, bekerja dan berkarya guru mengarahkan. Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa memakai pengetahuan gres mereka. Strategi berguru lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar. Menumbuhkan komunitas berguru dalam bentuk kerja kelompok itu penting. 214 Hakikat pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual ( Contextual Teaching and Learning) yakni konsep berguru yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat korelasi antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkannya dalam tujuh komponen utama pembelajaran afektif yaitu: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inkuiry), masyarakat berguru (learning community), pemodelan (modelling), dan penilaian sesungguhnya (authentic assessment) (Nurhadi 2005: 105). Sejalan dengan pendapat tersebut Whitelegg dan Parry dalam Sumarwati dan Suyatmi menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual yakni konsep berguru yang membantu dosen / guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata mahasiswa / siswa dan mendorong mereka membuat korelasi antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam menjalankan profesinya (Jurnal Bahasa, Sastra dan Pengajarannya, 2007: 54) Motto pembelajaran kontekstual “Student learn best by actively constructing their own understanding (CTL Academy Fellow, 1999 dalam Nurhadi, 2005: 105)(cara berguru terbaik yakni siswa mengkonstruksikan sendiri secara aktif pemahamannya). Kata-kata kunci pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL): (1) real world learning, (2) mengutamakan pengalaman nyata, (3) berpikir tingkat tinggi, (4) berpusat pada siswa, (5) siswa aktif kritis dan kreatif, (6) pengetahuan bermakna dalam kehidupan, (7) erat dengan kehidupan nyata, (8) perubahan perilaku, (9) siswa praktik bukan menghafal, (10) learning bukan teaching, (11) pendidikan 215 (education) bukan pengajaran (instruction), (12) pembentukan manusia, (13) memecahkan masalah, (14) siswa akting guru mengarahkan bukan guru akting siswa menonton, (15) hasil berguru diukur dengan banyak sekali cara bukan hanya dengan tes. (Nurhadi, 2005: 105-106). Strategi pengajaran yang berasosiasi dengan Contextual Teaching and Learning (CTL) yakni cara berguru siswa aktif, pendekatan proses, life skill education, authentik instruction, inquiry based learning, cooperatif learning dan service learning. Lima eleman berguru yang konstruktivistik, berdasarkan Zahorik dalam E.Mulsa, (2006: 138) (1) pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge), (2) pemerolehan pengetahuan gres (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya, (3) pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) yaitu dengan cara menyusun (a) konsep sementara (hipotesis), (b) melaksanakan sharing kepada orang lain semoga menerima tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu, (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan, (4) mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), dan (5) melaksanakan refleksi (reflecting knowledge) terhadap taktik pengembangan pengetahuan tersebut. (Elaine B. Johnson dalam bukunya “Contextual Teaching and Learning” memberi definisi CTL sebagai berikut : “The CTL system is an educational process that aims to help student see meaning in the academic material there are studying by concing academic subjects the with the context their daily lives, that is with the context of their personal, social, and cultural circumstances. To archieve this aim, the system encompasses the following eight component: making meaningful connections, doing significant work, 216 self-regulative learning, reaching high standards, using authentic assessment” (Elaine B. Johnson, 2006: 67). Sistem CTL yakni sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi perguruan yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut : membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melaksanakan pekerjaan yang berarti, melaksanakan pekerjaan yang diatur sendiri, melaksanakan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi dan memakai penilaian autentik. CTL yakni sitem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-bagian yang terselubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan imbas yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah. Seperti halnya biola, cello, clarinet, dan alat musik yang lain dalam sebuah orkestra yang menghasilkan suara yang berbeda-beda yang secara gotong royong menghasilkan musik, demikian juga bagian-bagian CTL yang terpisah melibatkan proses-proses yang berbeda, yang ketika dipakai secara besama-sama, memampukan para siswa yang membuat korelasi menghasilkan makna. Setiap bab CTL yang berbeda-beda ini memperlihatkan sumbangan dalam menolong siswa memahami kiprah sekolah. Secara gotong royong mereka membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya dan mengingat materi akademik. (Elaine B. Johnson, 2005: 65). James Le Marquad mengemukakan bahwa aplikasi pembelajaran kontekstual di dalam kelas di Amerika pertama kali dilakukan oleh John Dewey. Pendapatnya 217 perihal pembelajaran kontekstual terdapat dalam Yulia Krisnawati dan Suwarsih sebagai berikut : “People have used such term as discovery learning, experiential learning, real world education to mean similar ideas ... “ (jurnal penelitian dan evaluasi, 2004: 55). Berdasarkan beberapa pendapat di atas sanggup ditarik kesimpulan bahwa pendekatan kontekstual merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang lebih menekankan pada pemberdayaan siswa secara aktif untuk sanggup menemukan dan membangun pengetahuan yang gres dengan cara mengaitkan dunia nyata siswa dalam banyak sekali bentuk kegiatan semoga siswa mengalami sendiri. b. Komponen Utama Pendekaan Kontekstual Pendekatan kontekstual mempunyai tujuh komponen utama pembelajaran efekti yaitu: konstruktivisme (constructivisme), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat berguru (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection), dan penilaian sesungguhnya (authentic assessment) (Nurhadi, 2005: 105). Ketujuh komponen tersebut lebih lanjut diuraikan sebagai berikut :
a) Konstruktivisme (Constructivisme) Konstruktisme merupakan landasan berpikir atau filosofi pendekatan CTL, yaitu pengetahuan dibangun oleh insan sedikit demi sedikit, tidak sekonyongkonyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil dan diingat. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan perkara menemukan sesuatu yang berkhasiat bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan bisa memperlihatkan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus menemukan dan menstransformasikan suatu informasi itu dalam situasi lain. Untuk itu kiprah guru yakni memfasilitasi proses tersebut. Pengetahuan tumbuh dan berkembang 218 melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin berpengaruh apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Secara sederhana konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan kita itu merupakan konstruksi (bentukan) dari kita yang mengetahui sesuatu. Seseorang yang berguru itu membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif (tidak hanya mendapatkan dari guru mereka) dan terus menerus (Paul Suparno 2006: 11).
b) Bertanya (questioning) Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Dengan bertanya sanggup menggali informasi, membangkitkan respon, mengecek pemahaman, memfokuskan perhatian, mengetahui hal-hal yang sudah diketahui dan menyarkan kembali pengetahuan siswa. Bertanya merupakan taktik utama pembelajaran CTL. Bagi guru dengan bertanya akan mendorong, menandakan dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa dengan bertanya untuk mendapatkan informasi, menginformasikan apa yang sudah siswa ketahui, dan sanggup mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya (Depdiknas, 2003 : 13-14). Untuk mencapai tujuan di atas terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan guru. Dalam upaya meningkatkan partisipasi siswa dalam proses atau kegiatan pembelajaran, guru perlu memperlihatkan sikap kehangatan dan keantusiasan, baik pada waktu mengajukan pertanyaan maupun ketika mendapatkan balasan siswa. Dalam kaitan ini kemampuan guru dalam memperlihatkan penguatan dan penghargaan baik secara verbal maupun non verbal sangat dibutuhkan. Berkenaan dengan taktik bertanya, beberapa hal kebiasaan yang perlu dihindari dalam bertanya. Kebiasaan itu yakni (a) mengulangi pertanyaan sendiri, (b) mengulang jabawan siswa, (c) menjawab pertanyaan sendiri, (d) 219 pertanyaan yang memancing balasan serentak, (e) pertanyaan ganda, (f) menentukan siswa tertentu untuk menjawab.
c) Menemukan (inquiry) Menenemukan merupakan kegiatan inti dari CTL. Guru harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan. Inquiry sering dipertukarkan dengan discovery. Sund beropini bahwa discovery yakni proses mental dimana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip sedangkan inquiry yakni proses ekspansi proses discovery yang dipakai lebih mendalam (B. Suryo Subroto, 2002: 193). Dari pendapat itu sanggup dijelaskan bahwa inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya saja proses mental dalam discovery siswa mengamati sesuatu obyek, maka memasuki proses mental dalam inquiry anak tidak hanya sekedar mengamati obyek tetapi juga bisa menemukan data dan menarik kesimpulan. Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa metode penemuan itu merupakan metode dalam proses berguru mengajar yang mengkaryakan siswa untuk menemukan sendir pengetahuan dan keterampilan dari materi yang dipelajari. Pengtahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta yang diberikan oleh guru. Siswa diharapkan menemukan sendiri apapun materinya. Dalam perjuangan siswa untuk menemukan itu guru hendaknya menerapkan langkah-langkah dalam kegiatan menemukan antara lain: (1) mengetahui perkara yang dibahas, (2) mengamati atau melaksanakan observasi, untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, (3) menganalisis dan menyajikan dalam bentuk tulisan, gambar atau karya yang lain, (4) mengkomunikasikan dengan menyajikan hasil karya dengan sahabat sekelas, guru 220 atau orang lain. Hal ini sanggup dilakukan dengan meminta koreksi sahabat melaksanakan refleksi dan menempelkan karyanya itu pada dinding kelas (Depdiknas, 2003: 12-13). Namun perlu dingat, betapa hebatnya suatu metode tetap mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihan metode inquiry antara lain: pengetahuan yang diperoleh siswa sangat berpengaruh dan mendalam, membantu siswa menyebarkan keterampilan dan proses kognitif siswa, membangkitkan gairah pada siswa alasannya yakni dengan jerih payahnya mereka berhasil menemukan, dan memperkuat rasa percaya diri. Sedangkan kelemahannya, perlu persiapan mental untuk cara belajar, kurang sempurna untuk mengajar kelas besar alasannya yakni waktu terbuang banyak untuk beberapa siswa saja, tidak semua pemecahan perkara menjamin penemuan yang berarti (B. Suryo Subroto, 2002: 200-202). Senada dengan B. Suryo Subroto Nurhadi (2005: 122-123) mengemukakan bahwa pembelajaran dengan penemuan (inquiry) merupakan suatu pilar penting dalam pendekatan konstruktivistik yang telah mempunyai sejarah panjang dalam penemuan atau pembaharuan pendidikan. Dalam pembelajaran dengan penemuan atau inquiry, siswa didorong untuk berguru sebagian besar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mempunyai pengalaman dan melaksanakan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Penganjur Pembelajaran dengan Basis Inquiry menyatakan idenya sebagai berikut: kita mengajarkan suatu materi kajian tidak untuk menghasilkan suatu perpustakaan hidup perihal materi kajian, tetapi lebih ditujukan untuk membuat siswa berpikir ... untuk diri mereka sendiri, meneladani ibarat apa yang dilakukan oleh seorang sejarawan, mereka turut mengambil bab dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui 221 yakni suatu proses bukan suatu produk. Belajar dengan penemuan sanggup diterapkan dalam banyak mata pelajaran. Keuntungan memakai pendekatan inquiry memacu harapan siswa untuk mengetahui, memotivasi siswa untuk melanjutkan pekerjaannya hingga menemukan jawaban. Siswa juga memecahkan perkara secara berdikari dan mempunyai keterampilan berpikir kritis alasannya yakni mereka harus selalu menganalisis dan menangani informasi. Inquiry yakni seni dan ilmu bertanya dan menjawab. Selama proses inquiry berlangsung, seorang guru sanggup mengajukan pertanyaan atau mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan bersifat open – ended memberi kesempatan kepada siswa untuk menilik sendiri dan mencari balasan sendiri (tetapi tidak hanya satu balasan yang benar). Manfaat inquiry memperlihatkan pengalaman-pengalaman berguru yang nyata dan aktif kepada siswa. Siswa diharapkan mengambil inisiatif. Mereka dilatih bagaimana memecahkan perkara membuat keputusan dan memperoleh keterampilan. Inquiry memungkinkan siswa dalam banyak sekali tahap perkembangannya bekerja dengan masalah-masalah yang sama dan bahkan bekerja sama mencari solusi terhadap masalah-masalah. Setiap siswa harus memainkan dan memfungsikan talentanya masing-masing.
d) Masyarakat Belajar (learning community) Masyarakat berguru sanggup terjadi apabila terdapat proses komunikasi dua arah dan adanya korelasi dialogis. Kegiatan saling berguru bisa terjadi jika tidak ada pihak yang secara umum dikuasai dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada yang menganggap paling tahu dan semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang mempunyai pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. 222 Konsep learning community menyarankan semoga hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil berguru diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok dan antara yang tahu ke yang belum tahu (Depdiknas, 2003: 15). Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya heterogen. Menurut John Dewey, sekolah yakni miniatur masyarakat sudah selayaknya anak didik berguru mengenai tata cara bermasyarakat dalam konteks-konteks yang sesungguhnya semasa di sekolah. (Anita Lie, 2004: 15). Mendasarkan pemikiran dari John Dewey tersebut maka masyarakat berguru sanggup diterapkan dengan metode cooperative learning atau pembelajaran gotong royong. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk membina pembelajaran siswa dalam menyebarkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengan pembelajaran yang lain. Untuk itu ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan oleh guru yakni: (1) mengelompokkan siswa secara heterogen, (2) menyebabkan semangat gotong royong, dan (3) penataan ruang kelas (Anita Lie, 2004: 38). Uraian lebih lanjut mengenai ketiga hal tersebut akan dijelaskan berikut ini. Selama ini telah menjadi kebiasaan yang dibanggakan di beberapa sekolah unggulan yang ingin menonjolkan kelas khusus yang terdiri dari bawah umur cerdas dan berbakat. Kelas ini yang kini populer dengan kelas akselerasi. Pengelompokan semacam ini memang sangat disukai alasannya yakni sangat mudah dan gampang pengadministrasiannya. Selain itu juga gampang dalam pengajarannya namun dibalik manfaat itu ada dampak negatifnya. Pertama, hal itu bertentangan dengan misi pendidikan, yang tidak bisa mencerminkan kemampuan siswa secara individu. Kedua, oleh John Dewey bahwa sekolah seharusnya menjadi miniatur 223 masyarakat, alasannya yakni itu dalam masyarakat kelas mencerminkan keanekaragaman. Pengelompokan heterogenitas merupakan ciri yang menonjol dalam metode pembelajaran kooperatif. Hal ini alasannya yakni beberapa alasan yaitu dengan kelompok yang heterogen memberi kesempatan siswa saling mendukung dan meningkatkan kekerabatan interaksi (Anita Lie, 2004: 39-44). Agar kelompok sanggup secara efektif dalam proses pembelajaran maka diharapkan semangat gotong royong. Kelompok merasa bersatu jika masingmasing anggota kelompok mengenalkan keunikan rekan-rekannya. Hal lain yang terpenting yakni penataan ruang kelas. Bangku perlu ditata sedemikian rupa sehingga semua siswa bisa melihat guru atau papan tulis dengan jelas. Siswa bisa melihat rekan-rekan kelompoknya. Kelompok bisa berdekatan tetapi tidak mengganggu kelompok lain. Dalam kelas CTL siswa tidak harus selalu duduk menghadap papan tulis. Siswa bebas begerak dalam rangka menuntaskan tugasnya.
e) Pemodelan (Modelling) Dalam sebuah pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru oleh siswa. Namun perlu diingat bahwa guru bukanlah satu-satunya model dalam kelas. Model sanggup dirancang dengan melibatkan siswa. Misalnya jika ada siswa yang sudah sanggup menguasai kemampuan terlebih dahulu, ditunjuk untuk menjadi model bagi temannya. Atau guru bisa mendatangkan model dari luar contohnya tukang kayu, pengrajin, sastrawan, dan para hebat lainnya yang mau dimintai untuk bekerja sama (Depdiknas, 2003: 16). Dalam pembelajaran guru perlu memberi contoh sebelum siswa melaksanakan tugas. Ketika guru mendemonstrasikan sesuatu, siswa mengamati dengan penuh perhatian. Dengan begitu diharapkan siswa tahu. Inilah yang 224 disebut pemodelan. Ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa sebelum siswa berlatih sendiri.
f) Penilaian Otentik (Authentic Assessment) Dalam CTL, penilaian tidak dilaksanakan pada simpulan periode, tetapi dilakukan bersama secara terintegrasi dengan kegiatan pembelajaran (Sarwiji Suwandi, 2004: 33). Penilaian yakni proses pengumpulan banyak sekali data yang bisa menggambarkan perkembangan berguru siswa. Hal ini perlu diketahui oleh guru semoga bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran yang benar. Apabila ditemui siswa mengalami hambatan, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat. Data yang dikumpulkan melalui penilaian (assessment) bukanlah untuk mencari informasi perihal berguru siswa. Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa semoga bisa mempelajari (learning how to learn) bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di simpulan periode pembelajaran (Nurhadi, 2005: 168). Dengan demikian kemajuan berguru dinilai dari proses bukan melulu hasil. Siswa dinilai kemampuannya dengan banyak sekali cara. Prinsip utama assessment dalam KTSP tidak hanyak menilai apa yang diketahui siswa, tetapi juga apa yang sanggup dilakukan siswa. Penilaian ini mengutamakan kualitas hasil kerja siswa dalam menuntaskan tugas. Tes bukan merupakan satu-satunya alat penilaian. Hal-hal yang sanggup dipakai sebagai dasar menilai: pekerjaan rumah, kuis, presentasi dan hasil karya. Ciri penilaian yang otentik antara lain sebagai berikut :
- Mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan produk.
- Dilaksanakan selama dan setelah proses pembelajaran berlangsung.
- Menggunakan banyak sekali cara dan sumber. 225
- Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian.
- Tugas yang diberikan kepada siswa berafiliasi dengan keseharian kehidupan siswa.
- Menekankan ke dalam pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasaannya.
Ketentuan pokok yang harus ditaati dalam menerapkan penilaian otentik yakni sebagai berikut :
- Penilaian merupakan bab yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran bukan terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not a part from instuction).
- Penilaian mencerminkan perkara dunia nyata (rel world problems ) bukan perkara dunia sekolah (school work king of problems)
- Penilaian memakai banyak sekali ukuran, metode, dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar.
- Penilaian bersifat holistik yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan sensori motorik. Alat penilaian yang disarankan yakni sebagai berikut :
- Hasil karya (product) : berupa karya seni, laporan, gambar, bagan, tulisan, dan benda.
- Penugasan (project) yaitu bagaimana siswa bekerja dalam kelompok atau individual untuk menuntaskan sebuah proyek.
- Unjuk Kerja (performance) yaitu penampilan diri dalam kelompok maupun individual dalam bentuk kedisiplinan, kerja sama, kepemimpinan, inisiatif, dan penampilan di depan umum.
- Test Terlulis (paper and pencil test), yaitu penilaian yang didasarkan pada hasil ulangan harian, semester, atau simpulan program. 226
- Kumpulan hasil kerja siswa (portofolio), yaitu kumpulan karya siswa berupa laporan, gambar, peta, benda-benda, karya tulis, isian, tabel-tabel, dan lainlain. Beberapa sumber data penelitian otentik: proyek/kegiatan dan laporan; hasil tes tulis (ulangan harian, semester, atau simpulan jenjang pendidikan); portofolio (kumpulan karya siswa selama satu semester atau satu tahun); pekerjaan rumah; kuis; karya siswa; presentasi atau penampilan siswa; demonstrasi; laporan; jurnal; karya tulis; kelompok diskusi; dan wawancara. g) Refleksi (Reflection) Refleksi yakni cara berpikir perihal apa yang gres dipelajari atau berpikir ke belakang perihal segala sesuatu yang sudah dilakukan.
Pada dikala itu siswa mengendapkan apa yang gres saja dipelajarinya sebagai pengetahuan baru. Pengetahuan gres itu merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, acara atau pengetahuan yang gres diterima. Siswa memperluas pengetahuan yang dimilikinya melalui konteks pembelajaran yang diperluas sedikit demi sedikit. Sementara guru membantu menghubungkan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang gres itu. Pada simpulan pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak semoga siswa melaksanakan refleksi. Bukti bahwa telah dilakukannya refleksi di simpulan pembelajaran sanggup berupa pernyataan eksklusif siswa perihal apa yang telah diperoleh hari ini, catatan di buku/ jurnal, kesan dan saran, hasil karya dan diskusi antara teman. 227 c. Penerapan Pendekatan Kontekstual dalam Menulis di Sekolah Dasar Pembelajaran merupakan aktualisasi kurikulum yang menuntut keakftifan guru dalam membuat dan menumbuhkan kegiatan penerima didik sesuai dengan planning yang telah diprogramkan (E. Mulyasa, 2006: 117). Guru harus menguasai prinsipprinsip pembelajaran, pemilihan dan penggunaan media pembelajaran, pemilihan dan penggunaan metode mengajar, keterampilan menilai hasil-hasil berguru penerima didik, serta menentukan dan memakai taktik pembelajaran. Guru harus menyadari bahwa pembelajaran mempunyai sifat yang sangat kompleks alasannya yakni melibatkan aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis secara bersamaan. Aspek pedagogis menunjuk pada kenyataan bahwa pembelajaran berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan. Karena itu guru harus mendampingi penerima didik menuju kesuksesan berguru atau penguasaan sejumlah kompetisi tertentu. Aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa penerima didik pada umumnya mewakili taraf perkembangan yang berbeda, yang menuntut materi yang berbeda pula. Selain itu aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa proses berguru itu sendiri mengandung variasi konsep, belajar, sikap, dan seterusnya Gagne dalam E. Mulyasa (2006: 117). Perbedaan tersebut menuntut pembelajaran yang berbeda, sesuai dengan jenis berguru yang sedang berlangsung. Aspek didaktis menunjuk pada pengaturan berguru penerima didik oleh guru. Pembelajaran efektif dan bermakna sanggup dilakukan dengan mekanisme pemanasan dan apersepsi, eksplorasi, konsolodasi pembelajaran , pembentukan kompetensi, sikap dan perilaku, dan penilaian formatif. Pembelajaran kontekstual (Contextual Teching and Learning) yang sering disingkat CTL merupakan salah satu model pembelajaran berbasis kompetensi yang sanggup dipakai mengefektifkan pembelajaran. 228 Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning - CTL) yakni konsep berguru yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Dan juga mendorong siswa membuat korelasi antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kedalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari perjuangan siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan gres ketika ia berguru (Nurhadi, 2004: 103). Menurut pandangan Nurhadi (2005: 106) penerapan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar langkah-langkahnya sebagai berikut.
- Kembangkan pemikiran bahwa anak akan berguru lebih bermakna dengan bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya!
- Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik!
- Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya!
- Ciptakan “masyarakat belajar” (belajar dalam kelompok-kelompok)!
- Hadirkan “model” sebagai contoh pembelajaran!
- Lakukan refleksi di simpulan pertemuan!
- Lakukan penilaian yang sesungguhnya dengan banyak sekali cara!
Nurhadi memperlihatkan contoh langkah-langkah pembelajaran kontekstual sebagai berikut. Langkah-langkah/ skenario pembelajaran yang dilakukan yakni pengorganisasian siswa, pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian. Pada langkah pengorganisasian, siswa dibuat menjadi beberapa kelompok kecil, tiap-tiap kelompok anggotanya empat hingga dengan lima orang. Setelah terbentuk kelompokkelompok kecil, pembelajaran segera dimulai. Pertemuan pertama, mengadakan tanya jawab perihal materi pelajaran, klarifikasi penggunaan alat, melaksanakan kegiatan percobaan, mengamati dan melaporkan hasil pengamatan, menyimpulkan hasil kegiatan, dan memberi contoh terapan. Pada pertemuan kedua, mengadakan tanya jawab perihal materi pelajaran, klarifikasi penggunaan alat, melaksanakan 229 kegiatan percobaan, mengamati dan melaporkan hasil pengamatan, menyimpulkan hasil kegiatan, dan memberi contoh terapan. Alat dan materi disiapkan untuk mengefektifkan pembelajaran. Kemudian melaksanakan penilaian. Penilaian berupa penilaian kinerja, dan penilaian produk. Kemampuan profesional yang harus dikuasai seorang guru bahasa Indonesia, pada garis besarnya, yaitu (1) menguasai materi pelajaran, (2) bisa merencanakan acara berguru mengajar, (3) bisa mengelola proses berguru mengajar, (4) bisa melaksanakan proses berguru mengajar, (5) bisa memakai media dan sumber belajar, (6) bisa melaksanakan penilaian prestasi siswa, (7) bisa menyusun acara bimbingan dan penyuluhan, (8) bisa mendiagnose kesulitan berguru siswa, (9) bisa melaksanakan manajemen guru. Menurut E. Mulyasa (2006: 73-80) seorang guru yang akan melaksanakan kurikulum 2004 diharapkan mempunyai kemampuan menyebarkan persiapan mengajar, melaksanakan pembelajaran, dan menguasai sistem evaluasi. Persiapan mengajar pada hekikatnya merupakan perencanaan jangka pendek untuk memperkirakan atau memproyeksikan perihal apa yang akan dilakukan. Fungsi persiapan mengajar yakni mendorong guru lebih siap melaksanakan pembelajaran dengan perencanaan yang matang. Oleh alasannya yakni itu, setiap akan melaksanakan pembelajaran guru wajib mempunyai persiapan, baik persiapan tertulis maupun persiapan tidak tertulis. Selain itu, persiapan mengajar berfungsi untuk mengefektifkan proses pembelajaran sesuai dengan apa yang direncanakan. Dalam pembelajaran, kiprah guru yang paling utama yakni mengkondisikan lingkungan semoga menunjang terjadinya perubahan sikap bagi penerima didik. Umumnya pelaksanaan pembelajaran meliputi tiga hal: pre tes, proses, dan post tes. (E. Mulyasa, 2006: 126-131). Ketiga hal tersebut dijelaskan sebagai berikut : 230
1. Pre Tes (tes awal) Pre tes ini mempunyai banyak kegunaan dalam menjajagi proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Fungsi pre tes ini antara lain sanggup dikemukakan sebagai berikut :
- Untuk menyiapkan penerima didik dalam proses belajar, alasannya yakni dengan pre tes maka pikiran mereka akan terfokus pada soal-soal yang harus mereka jawab/kerjakan.
- Untuk mengetahui tingkat kemajuan penerima didik sehubungan dengan proses pembelajaran yang dilakukan.
- Untuk mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki penerima didik mengenai materi fatwa yang akan dijadikan topik dalam proses pembelajaran.
- Untuk mengetahui dari mana seharusnya proses pembelajaran dimulai, tujuan-tujuan mana yang telah dikuasai penerima didik, dan tujuan-tujuan mana yang perlu menerima pengutamaan dan perhatian khusus.
2. Proses Proses di sini dimaksudkan sebagai kegiatan ini dari pelaksanaan proses pembelajaran, yakni bagaimana tujuan-tujuan berguru direalisasikan melalui modul. Kualitas pembelajaran sanggup dilihat dari proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, untuk memenuhi tuntutan tersebut pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) penerima didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, di samping memperlihatkan kegairahan yang tinggi, semangat yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri. Sedangkan dari segi hasil, proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan sikap yang positif pada diri penerima didik seluruhnya atau setidaktidaknya sebagian besar (75%). Lebih lanjut proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata, menghasilkan out put yang banyak dan bermutu tinggi, serta sesuai dengan kebutuhan, pekembangan masyarakat, dan pembangunan.
3. Post Tes 231 Pada umumnya pelaksanaan pembelajaran diakhiri dengan post tes. Fungsi post tes antara lain sanggup dikemukakan sebagai berikut :
- Untuk mengetahui tingkat penguasaan penerima didik terhadap kompetensi yang telah ditentukan, baik secara individu maupun kelompok. Hal ini sanggup diketahui dengan membandingkan antara hasil pre tes dan post tes.
- 2Untuk mengetahui kompetensi dan tujuan-tujuan yang sanggup dikuasai oleh penerima didik, serta kompetensi dan tujuan-tujuan yang belum dikuasainya. Sehubungan dengan kompetensi dan tujuan-tujuan yang belum dikuasai ini, apabila sebagian besar belum menguasainya maka perlu dilakukan pembelajaran kembali (remedial teaching).
- 3Untuk mengetahui penerima didik-peserta didik yang perlu mengikuti kegiatan remidial, dan penerima didik yang perlu mengikuti kegiatan pengayaan, serta untuk mengetahui tingkat kesulitan dalam mengerjakan modul (kesulitan belajar).
- Sebagai materi pola untuk melaksanakan perbaikan terhadap komponenkomponen modul, dan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan, baik terhadap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi.
terdiri dari delapan komponen: membuat keterkaitan yang bermakna, pembelajaran mandiri, melaksanakan pekerjaan yang berarti, berpikir kritis dan kreatif membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan memakai penilaian yang autentik (Elaine B. Johnson, 2002: 15) Demi CTL, ada sejumlah taktik yang masih ditempuh. Ketujuh strategi/ayat pendidikan kontekstual tersebut meliputi, pengajaran berbasih problem; memakai konteks yang beragam; mempertimbangkan kebhinekaan siswa; memberdayakan siswa untuk berguru sendiri; berguru melalui kolaborasi; memakai penilaian autentik; dan mengejar standar tinggi (Elaine B. Johnson, 2006: 21-22). Berbeda dengan Elaine B. Johnson, Nurhadi (2005: 105) mengemukakan pembelajaran berbasis CTL, melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran produktif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat berguru (learning community), pemodelan (modelling), dan penilaian sesungguhnya (authentic assessment). 232 Nurhadi dalam E. Mulyasa (2006: 137-138) mengemukakan dalam pembelajaran kontekstual kiprah guru yakni memperlihatkan kemudahan berguru kepada penerima didik, dengan menyediakan banyak sekali sarana dan sumber berguru yang memadai. Guru bukan hanya memberikan materi yang pembelajaran yang berupa hafalan, tetapi mengatur lingkungan dan taktik pembelajaran yang memugkinkan penerima didik belajar.
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran kontekstual dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sangat erat kaitannya. Faktor-faktor tersebut bisa dalam diri penerima didik (internal), dan dari luar dirinya atau lingkungan di sekitanya (eksternal). Lingkungan yang aman sangat penting dan sangat menunjang pembelajaran kontekstual secara keseluruhan. Pendapat Nurhadi dalam E. Mulyasa (2006: 138) perihal lingkungan berguru dalam pembelajaran kontekstual sebagai berikut. Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan berguru yang berpusat pada siswa. Dari “guru akting di depan kelas, siswa menonton” ke “siswa aktif bekerja dan berkarya, guru mengarahkan”. Pembelajaran harus berpusat pada “bagaimana siswa” memakai pengetahuan gres mereka. Strategi berguru lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar. Menumbuhkan komunitas berguru dalam bentuk kerja kelompok itu penting. Zahorik dalam E. Mulyasa (2006: 138) mengungkapkan lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, sebagai berikut :
1. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang dimiliki oleh penerima didik.
2. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagian secara khusus (dari umum ke khusus).
3. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara :
- menyusun konsep sementara.
- Menyusun sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain.
- Merevisi dan menyebarkan konsep. 233
4. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekkan secara eksklusif apaapa yang dipelajari.
5. Adanya refleksi terhadap taktik pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari. Sistem pengajaran dan pembelajaran kontekstual yakni perihal pencapaian intelektual yang berasal dari partisipasi aktif mencicipi pengalaman-pengalaman yang bermakna, pengalaman yang memperkuat korelasi antara sel-sel otak yang sudah ada dan membentuk korelasi saraf. Elaine B. Johnson (2006: 181). Kelas dikatakan memakai pendekatan kontekstual jika filosofi belajarnya yakni konstruktivisme, selalu ada unsur bertanya, pengetahuan dan pengalaman diperoleh dari kegiatan menemukan, terbentuk masyarakat belajar, ada model yang ditiru, dan dilakukan penilaian sebenarnya.
Nurhadi (2005: 107) beropini bahwa kelas yang memakai pendekatan kontekstual mempunyai ciri-ciri pembelajarannya memperlihatkan pengalaman nyata, ada kerja sama, saling menunjang, suasananya gembira, berguru dengan bergairah, pembelajaran terintegrasi, memakai banyak sekali sumber, siswa aktif dan kritis, menyenangkan, tidak memosankan, sharing dengan teman, dan guru kreatif. Pendekatan kontekstual tidak hanya diterapkan di kelas khusus yang jumlah penerima didiknya sedikit, tetapi juga sanggup diterapkan di kelas yang penerima didiknya banyak/besar. Sri Harjani (2005: 155-156) dalam tesisnya yang berjudul “Pengembangan Kemampuan Membaca dan Menulis Permulaan dengan Pendekaan Kontekstual” menyatakan bahwa pendekatan kontekstual memberi imbas positif terhadap proses pembelajaran. Penerapan pendekatan kontekstual dalam setiap siklusnya memperlihatkan peningkatan kemampuan yang dicapai oleh siswa. Secara keseluruhan siswa yang tadinya belum bisa membaca dan menulis, setelah mengalami proses 234 pembelajaran dengan pendekatan kontekstual siswa bisa membaca dan menulis kalimat sederhana. Penerapan pendekatan kontekstual yang kuncinya mengutamakan pengalaman nyata diterapkan dalam pembelajaran menulis, yaitu menulis pengalaman.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sudartomo M.yang dikutip Pangesti Wiedarti (2005: 9-11) perihal pembelajaran menulis, mengemukakan bahwa anak sanggup diajak menuliskan aneka fenomena yang erat anak termasuk pengalamannya sendiri yang niscaya dikuasai. Sudartomo M. Mengimplementasikannya ke dalam bentuk surat kepada Tuhan dan buku harian. Buku harian mempunyai potensi sebagai mitra, belantara, dan lautan daerah mencurahkan rasa sukacita, dukacita, kesal, cemburu, puas, kecewa, sesal, dan sebagainya.