Cara Mengajar Anak Berpikir Kritis

Mengajar Anak Berpikir Kritis
Mungkinkah Mengajar Anak Bepikir Kritis?
Sejak kapan insan mulai belajar?
Jawabannya: Sejak lahir. Begitu Lipsitt (1969) dalam tulisannya “Learning capacities in the human infant” menegaskan. Ternyata insan yang gres lahir merupakan organisme dengan kemampuan mencar ilmu efisien. Tahun-tahun awal dalam kehidupan insan ialah masa mencar ilmu intensif yang amat banyak membuahkan hasil. Perolehan bahasa, pengetahuan wacana banyak sekali benda dan pengenalan kehidupan sosial terjadi pesat dalam masa lima tahun pertama.
Lalu, semenjak kapan insan mulai berpikir? Bower (1989) menjelaskan dalam bukunya, Rational Infant, bahwa bayi dalam tahap infansi sudah sanggup berpikir logis. Diperkuat oleh data dari Monnier (1981) yang memperlihatkan bahwa bayi berusia sekitar satu tahun sanggup memakai kalkulus logis secara formal menyerupai anak usia remaja akhir. Artinya kemampuan berpikir sudah ada pada insan semenjak tahun pertama kehidupan.
Pendapat-pendapat di atas berimplikasi kepada proses pengajaran berpikir pada anak, bahwa mengajar anak berpikir bukanlah hal yang aneh, begitu pula dengan mengajar berpikir kritis. Jika bayi sudah sanggup melaksanakan aktivitas berpikir logis, maka masuk akal jika bawah umur di usia sekolah dasar diajar berpikir kritis. Persoalannya adalah: bagaimana mengajarnya dan sejauh mana?
Pada dasarnya semenjak kanak-kanak insan sudah mempunyai kecenderungan dan kemampuan berpikir kritis. Sebagai makhluk rasional, insan selalu terdorong untuk memikirkan hal-hal yang ada di sekelilingnya. Kecenderungan insan memberi arti pada banyak sekali hal dan bencana di sekitarnya merupakan indikasi dari kemampuan berpikirnya (Paul, 1994). Kecenderungan ini sanggup kita temukan pada seorang anak kecil yang memandang banyak sekali benda di sekitarnya dengan penuh rasa ingin tahu. Perhatikan ia maka kita sanggup memperoleh pemahaman wacana bagaimana anak berpikir dan memberi makna pada lingkungannya. Lihat bagaimana mereka menguji-coba segala sesuatu yang memancing rasa ingin tahunya kemudian menarik kesimpulan dari hal-hal yang ditemuinya.

Dengan pemahaman terhadap kondisi kognitif anak dan kemampuan mencar ilmu mereka yang tinggi, sanggup ditarik kesimpulan bahwa pendidikan untuk berpikir kritis hendaknya sudah diberikan pada anak semenjak masih sangat muda, selain untuk mempersiapkan mereka di masa cukup umur kelak, juga untuk membiasakan keterbukaan pada banyak sekali informasi semenjak dini. Kurangnya pendidikan berpikir kritis sanggup mengarahkan bawah umur kepada kebiasaan melaksanakan banyak sekali aktivitas tanpa mengetahui tujuan dan mengapa mereka melakukannya. Kebiasaannya ini sudah sering terlihat pada bawah umur yang kurang bahkan tidak mendapatkan pendidikan berpikir kritis.

Schoenfeld (dalam Paul dkk., 1989) melaporkan suatu eksperimen pada siswa-siswa sekolah dasar. Kepada siswa-siswa ini diberikan soal “Kalau dalam sebuah kapal ada 26 ekor biri-biri dan 10 ekor kambing, berapakah usia kapten kapalnya?” Hasilnya ‘menakjubkan’, 76 dari 97 siswa ‘memecahkan’ kasus ini dengan menambah, mengurangi, mengalikan atau membagi angka-angka tersebut. Mereka merasa dituntut untuk memecahkan kasus itu sesegera mungkin sampai-sampai tidak berusaha untuk memahami duduk kasus yang dihadapinya. Dalam dunia pendidikan yang masih banyak menganut cara ortodoks yang menuntut pelajar hanya menelan apa yang disampaikan guru atau orangtua padanya memang sulit mengharapkan individu bisa mengajukan pikirannya sendiri, apalagi yang unik. Mereka cenderung tampil sebagai individu yang otomatis, melaksanakan hal-hal yang biasa dilakukan. Itu juga berlaku di Indonesia.

Cara mencar ilmu dan berpikir menyerupai itu sama sekali tidak cocok untuk keadaan kini terutama bila bangsa kita tidak ingin hanya menjadi follower (pengikut) saja. Menyedihkan bila dalam dunia yang sudah makin menipis batas-batasnya ini Bangsa Indonesia hanya menjadi pelaksana dari perintah-perintah orang-orang bangsa lain, juga di negaranya sendiri, sedangkan pengambilan keputusan dipegang oleh orang dari bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dipersiapkan sebelumnya. Untuk menghindari kondisi menyerupai itu, perlu dilakukan perjuangan untuk menyebarkan kemampuan inisiatif dan berpikir anak yang nantinya mengarahkan mereka menjadi orang-orang yang bisa mengambil keputusan, berpikir dan menghasilkan produk-produk baru. Usaha yang sesuai dengan kasus dan kondisi ketika ini ialah mengajarkan mereka berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis sanggup membantu insan menciptakan keputusan yang sempurna menurut perjuangan yang cermat, sistematis, logis dan mempertimbangkan banyak sekali sudut pandang. Bukan hanya mengajar kemampuan yang perlu dilakukan tetapi juga mengajar sifat, sikap, nilai dan huruf yang menunjang berpikir kritis. Artinya bawah umur perlu dididik untuk berpikir kritis.

Banyak orang bau tanah belakangan ini mempunyai ketakutan anaknya akan terpengaruh oleh banyak hal negatif. Teknologi informasi yang berkembang pesat melahirkan jutaan informasi setiap hari yang sebagian besarnya mengandung informasi yang mungkin besar lengan berkuasa jelek terhadap diri anak. Ketakutan ini beralasan. Namun mustahil dan tidak bijak mengisolasi bawah umur dari banyak sekali informasi. Hal yang perlu dilakukan untuk melindungi anak dari banyak sekali imbas jelek ialah dengan membangun kemampuan pengolahan informasi yang memadai serta menyebabkan mereka sebagai orang yang bisa mencermati dan menentukan informasi yang baik bagi dirinya. Mendidik mereka berpikir kritis sanggup membantu orang bau tanah untuk menghindarkan anak dari kemungkinan memakai informasi yang tidak tepat. Mendidik anak berpikir kritis akan membantu anak untuk secara aktif membangun pertahanan diri terhadap serangan informasi di sekelilingnya.

Melatih anak berpikir kritis semenjak muda memang dimungkinkan, tentu saja dengan mempertimbangkan tahap perkembangannya. Hal itu sanggup dilakukan dengan mempersiapkan kurikulum pendidikan yang menurut berpikir kritis. Paul (1994) mengusulkan taktik pengajaran yang menyebarkan kemampuan berpikir dialogik dan dialektikal. Melalui cara ini anak akan terbiasa untuk memakai pemikiran kritisnya pada segala sesuatu, termasuk juga pada dirinya sendiri. Selain itu, untuk sanggup melatihkan keterampilan berpikir kritis pada bawah umur tentu saja mensyaratkan orangtua dan guru yang juga mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis. Dengan demikian maka seyogyanya para orang dewasa, yang diharap membantu anak untuk memanfaatkan keterampilan berpikirnya, dengan rendah hati belajar, melatih dan menyebarkan kemampuan berpikir kritisnya pula.

Perlu dipahami bahwa mengajar anak berpikir kritis tentu berbeda dengan mengajar orang dewasa. Meski kemampuan mencar ilmu dan berpikir sudah ada semenjak awal kehidupan tetapi perbedaan-perbedaan isi dan kompleksitas struktur pengetahuan mereka berbeda dengan yang dimiliki orang dewasa. Perbedaan itulah yang perlu dijadikan dasar bagi pengajaran berpikir kritis pada anak.

Bagaimana kita mengajarkan berpikir kritis kepada anak. Di sini akan dipaparkan sebagian metode dan fasilitasi yang diperlukan sanggup merangsang anak mencar ilmu berpikir kritis. Lalu akan dikemukakan pula indikasi-indikasi dari sikap berpikir kritis pada bawah umur sekolah dasar. (Untuk klarifikasi wacana apa itu berpikir kritis dan seluk-beluknya, baca penggalan “Berpikir Kritis dalam Pendidikan).

Menyediakan Fasilitas untuk Pembelajaran Berpikir Kritis
Belajar dari Observasi
Anak usia 4-6 tahun sanggup diajar berpikir kritis dalam banyak sekali area: seni bahasa, matematika, ilmu pengetahuan dan ilmu sosial. Anak sanggup mulai diajarkan keterampilan observasi dasar menyerupai mengamati kelompok untuk mencari tahu apa yang menciptakan kelompok terbentuk. Lewat pengamatan anak juga sanggup diajak untuk memahami apa itu bunyi, udara, air, cahaya, suhu, tanah, serta banyak sekali kayu dan logam. Dalam melaksanakan observasi anak sanggup diperlengkapi dengan alat bantu menyerupai beling pembesar, alat pengukur suhu dan sebagainya. Mereka sanggup diberi kiprah yang derajat kesulitannya bervariasi dari mulai mencocokkan nama yang terdapat dalam daftar dengan stimulus tertentu (teman, bunyi, cahaya dan lain-lain) yang ditampilkan oleh fasilitator hingga ke menjelaskan karakteristik dari hal yang diamatinya bahkan menjelaskan korelasi hal-hal itu dengan manusia.

Pertanyaan-pertanyaan berikut merupakan pola pertanyaan untuk menggali berpikir kritis dalam aktivitas mengobservasi kelompok.
  1. Apa yang kau sanggup dari mengamati teman-teman kamu?
  2. Mengapa kau berteman dengan mereka?
  3. Apa persamaan kau dengan mereka? Apa perbedaannya?
  4. Apa yang kau sanggup dari teman?
  5. Mengapa kau berteman?
  6. Mengapa orang perlu teman?
Berikut ini pola pertanyaan yang sanggup diajukan dalam aktivitas mengobservasi benda-benda di sekeliling anak. 
  • Mengapa air bisa tumpah dari wadahnya?
  • Kapan air tumpah dari wadahnya?
  • Mengapa air mengikuti bentuk wadahnya?
  • Apa perbedaan dan persamaan antara air putih dan sirup? Atau: apa perbedaan air dengan cairan lainnya (minyak, obat batuk, dan sebagainya)?
  • Kapan kita membutuhkan cahaya?
  • Dari mana asal cahaya?
  • Apa guna cahaya?
Belajar dari Pengandaian
Anak juga sanggup mencar ilmu berpikir kritis dari pengandaian-pengandaian. Anak diminta mengandaikan bencana yang mungkin terjadi meskipun belum pernah terjadi dalam keseharian mereka. Misalnya mereka diminta untuk membayangkan apa yang terjadi jika tidak ada air, atau bayangkan jika tak ada cahaya. 

Belajar wacana Kemungkinan-kemungkinan Baru
Anak juga sanggup diajak untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Contohnya, minta anak untuk mencari cara lain untuk menulis selain memakai ballpoint atau pinsil. Atau anak diminta mencari kegunaan lain dari suatu benda. 

Belajar Menemukan Kesalahan
Anak sanggup diajarkan untuk menemukan kesalahan-kesalahan dari keseharian dengan memakai gambar. Contoh: kepada anak ditunjukkan benda tertentu yang kurang lengkap, kemudian minta mereka menemukan lima kesalahan dari gambar itu. Atau kepada anak ditunjukkan gambar orang buang sampah dan ditanya apa yang salah dengan orang dalam gambar itu, mengapa salah dan bagaimana seharusnya. Untuk stimulus yang lebih kompleks sanggup digunakan rangkaian gambar yang memuat beberapa kesalahan, kemudian anak diminta menemukan kesalahan dalam rangkaian gambar itu. Contoh: tunjukkan serangkaian gambar yang memuat dua atau lebih anak yang berselisih dan menuntaskan perselisihan dengan berkelahi, kemudian tanya kepada mereka apa yang salah dari sikap bawah umur dalam rangkaian gambar itu. Di sini sanggup juga digunakan rangkaian gambar kecelakaan. Misalnya citra orang kecelakaan gesekan sepeda atau orang terkena strum. Jawaban-jawaban anak sanggup menjadi materi diskusi yang merangsang anak untuk berpikir kritis. 

Melengkapi Cerita
Anak juga sanggup diajak untuk melengkapi cerita. Rangkaian dongeng dipaparkan kepada mereka dengan beberapa ketidaklengkapan. Anak diminta untuk menemukan penggalan dongeng yang hilang atau tidak lengkap, kemudian diminta melengkapinya. Cerita sanggup disajikan dengan dibacakan atau dilengkapi dengan gambar-gambar. 

Indikan-indikan Berpikir Kritis
Pada prinsipnya orang yang bisa berpikir kritis ialah orang yang tidak begitu saja mendapatkan atau menolak sesuatu. Mereka akan mencermati, menganalisis dan mengevaluasi informasi sebelum menentukan apakah mereka mendapatkan atau menolak informasi. Jika belum mempunyai cukup pemahaman, maka mereka juga mungkin menangguhkan keputusan mereka wacana informasi itu. 

Pada bawah umur sekolah dasar, prinsip ini pun berlaku. Kita sanggup menilai apakah mereka sudah melaksanakan berpikir kritis atau belum dari sikap mereka menanggapi informasi. Berikut ini beberapa pola dari indikan berpikir kritis menurut media yang digunakan untuk memfasilitasi pada bawah umur di taman kanak-kanak dan sekolah dasar.
  1. Dengan media observasi, anak yang berpikir kritis sanggup menemukan dan mempertanyakan objek-objek yang tidak dipahaminya. Ia juga sanggup menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan pengetahuan atau pengalaman yang dimilikinya. Pertanyaan-pertanyaan berikut ini bisa jadi indikan dari sikap berpikir kritis anak-anak: “Mengapa kumbang menyukai bunga?” Mengapa gula warnanya tidak selalu putih bersih?” “Mengapa orang suka minum kopi?” “Mengapa bunga mawar berduri?” dan “Mengapa orang cukup umur boleh tidur larut sedang anak kecil harus tidur cepat?”
  2. Dari media pengandaian, anak sanggup mengandaikan dan menemukan kemungkinan-kemungkinan gres atau lain menurut pengandaiannya. Contoh: “Jika air tanah habis, kita membutuhkan air lain untuk sanggup diminum. Kita bisa memakai air bahari tetapi air bahari harus diubah dulu supaya tidak asin dan menjadi air putih yang bisa kita minum.”
  3. Dari aktivitas menemukan kemungkinan-kemungkinan kegunaan lain dari benda-benda anak sanggup mengemukan banyak sekali kemungkinan kegunaan dari sebuah benda. Contoh: “Sendal sanggup digunakan untuk melempar tikus.” “Kertas sanggup dibentuk kalung.” “Sedotan minum bisa menjadi tali.” Anak yang lebih kritis sanggup menjelaskan proses bagaimana benda-benda itu sanggup berfungsi menyerupai yang mereka katakan. Contoh: “Kertas jadi kalung kalau kita merobeknya secara melingkar tanpa putus hingga bentuknya jadi memanjang.”
  4. Anak sanggup menemukan kekurangan dari gambar. Contoh, gambar cangkir tidak ada tangkainya; rumah tidak ada jendelanya; orang jarinya kurang satu; dan sebagainya. Semakin kritis seorang anak semakin tinggi kemampuannya untuk menemukan kesalahan atau kekurangan dari gambar, bencana atau dongeng yang kompleks. Contoh: “Anak ini perlu diingatkan dikarenakan telah mencontek. Mencontek akan menciptakan ia jadi bodoh. Kalau kita membiarkan anak ini mencontek terus maka ia tidak akan mencar ilmu dengan baik dan nantinya menjadi orang yang bodoh.”
  5. Anak yang berpikir kritis secara konstruktif sanggup memperlihatkan komentar-komentar yang melengkapi sesuatu. Contoh: “Rumah ini akan lebih terasa teduh jika diberi warna biru muda.” atau “Jika anak dalam dongeng itu menabung, tentu keinginnanya mendapatkan sepeda lebih cepat tercapai.” 

Demikian sekilas contoh-contoh wacana bagaimana mengajar anak berpikir kritis. Hal yang penting untuk diperhatikan ialah jangan memaksa anak untuk berpikir keras di luar kemampuan dan minatnya. Anak yang merasa dipaksa akan cenderung pasif dan menghindar dari aktivitas berpikir. Akibatnya anak cenderung negativistik. Hal lain yang penting juga ialah membiasakan anak untuk mencari tahu sendiri dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Jika anak terlalu cepat diberi tahu, ia cenderung pasif dan mendapatkan begitu saja segala sesuatu. Anak yang sering tidak boleh akan berubah menjadi anak yang takut menciptakan keputusan sehingga cenderung pasif dan dependen. Semoga beberapa pola dalam goresan pena ini bermanfaat.*** 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel