Pengertian Dan Sejarah Khilafah Dan Khalifah
Tuesday, April 21, 2020
Edit
A. Khilafah dan Khalifah
Ada dua istilah yang selama ini mengemuka berkaitan dengan core-nya politik Islam, yaitu khilafah (Dhiya'a ad-Din ar-Rais, 1985) dan imamah (Al-Baqarah (2): 124). Meskipun diambil dari sumber yang sama, yaitu Al-Quran, tetapi dalam praksis politik yang berkembang di dunia Islam, istilah ini digunakan oleh dua kelompok yang secara politik dipandang berseberangan, yaitu Sunni dan Syiah. Namun demikian, goresan pena ini tidak akan membahas dua kelompok, meskipun adakala disebut untuk keperluan penegasan.
Kata khilafah dalam gramatika bahasa Arab merupakan bentuk kata benda verbal yang mensyaratkan adanya subyek atau pelaku yang aktif yang disebut khalifah. Kata khilafah dengan demikian menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu seseorang yang disebut khalifah. Oleh alasannya itu tidak akan ada suatu khilafah tanpa adanya seorang khalifah ( Ade Shitu-Agbetola, 1991: 25). Menurut Ganai, secara literal khilafah berarti penggantian terhadap pendahulu, baik bersifat individual maupun kelompok. Sedangkan secara teknis, khilafah yaitu forum pemerintahan Islam yang berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah. Khilafah merupakan medium untuk menegakkan din (agama) dan memajukan syariah (Ghulam Nabi Ganai, 2001: 59). Dari pandangan yang demikian, muncullah suatu konsep yang menyatakan bahwa Islam mencakup din wa ad-daulah (agama dan negara).
Kata khalifah sendiri berasal dari akar kata khalafa (kh-l-f), yang berarti menggantikan, mengikuti, atau yang tiba kemudian (A.W. Munawwir, 1984: 380). Bentuk jamak dari kata tersebut ada dua macam, yaitu khulafa dan khalaif. Menurut Quraish Shihab, masing-masing makna dari kata itu mengiringi atau sesuai dengan konteksnya. Seperti contohnya saat Allah menguraikan pengangkatan Nabi Adam sebagai khalifah, digunakan kata tunggal (Q.S. Al-Baqarah (2): 30), sedangkan saat berbicara wacana pengangkatan Nabi Daud digunakan bentuk jamak (Q.S. Shad (38): 26) (M. Quraish Shihab, 1996: 422-423).
Penggunaan bentuk tunggal pada masalah Nabi Adam berdasarkan Quraisy Shihab cukup beralasan, alasannya saat itu memang belum ada masyarakat manusia, apalagi gres pada tataran ide. Redaksi yang digunakannya yaitu "Aku akan mengangkat di bumi khalifah...". Sedangkan pada masalah Nabi Daud, digunakan bentuk jamak serta past tense, yaitu "Kami telah mengangkat engkau khalifah...". Hal ini mengisyaratkan adanya keterlibatan pihak lain selain Allah dalam pengangkatan itu. Di sisi lain sanggup disimpulkan pula bahwa pengangkatan seseorang sebagai khalifah sanggup dilakukan oleh seseorang selama itu masih dalam bentuk ide. Tetapi jikalau akan diwujudkan dalam kehidupan sosial yang nyata, maka hendaknya dilakukan oleh orang banyak atau dengan melibatkan masyarakat (M. Quraish Shihab, 1996: 422-423).
Dari kedua ayat tersebut di atas sanggup pula disimpulkan akan adanya unsur-unsur yang menyertai kekhalifahan seseorang. Unsur-unsur tersebut adalah: (1) khalifah, yaitu orang yang diberi kekuasaan atau mandat, (2) wilayah kekuasaan, dan (3) kekerabatan antara khalifah dengan wilayah, dan kekerabatan khalifah dengan pemberi kekuasaan, yakni Allah. Kekhalifahan seseorang dengan demikian sanggup dinilai dari sejauhmana seorang khalifah memperhatikan hubungan-hubungan tersebut. Ketika seorang khalifah mempraktikkan semua tindakan-tindakannya itu, maka yang demikian itu dinamakan khalifah. Dalam konteks politik yang lebih populer, kata khilafah sanggup diartikan dengan pemerintahan. Jadi, jikalau ada istilah Khilafah Islamiyah, itu berarti Pemerintahan Islam atau lebih tepatnya pemerintahan yang ditegakkan berdasarkan syariat Islam.
Persoalan yang kemudian mengiringi pemerintahan Islam yaitu mengenai bentuknya. Beberapa pemikir Muslim, seraya merujuk kepada sejumlah ayat dalam Al-Quran, menyampaikan bahwa bentuk pemerintahan bisa berbentuk kerajan maupun republik (Q.S. Al-Baqarah (2): 251; Shad (38): 26). Praktik yang terjadi dalam perjalanan sejarah Islam memperlihatkan dua bentuk pemerintahan ini. Pemerintahan Islam yang berlangsung sepeninggal Nabi, khususnya pada masa Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib), barangkali sepadan dengan bentuk republik dalam konsep politik modern. Tetapi pada kurun berikutnya, semenjak pemerintahan Umayyah, Abbasiyyah, hingga dengan Turki Usmani, dan pemerintahan Islam di wilayah yang lainnya, termasuk di Indonesia, yaitu bercorak kerajaan atau monarki (Muhammad Husein Haikal, 1983: 17-18). Ciri utamanya yaitu semasa Nabi dan Khulafa al-Rasyidin, pergantian kekuasaan tidak bersifat keturunan (hereditas) dan satu sama lain tidak mempunyai kekerabatan kekeraatan, sementara pemerintahan selanjutnya pergantian kekuasaannya berlangsung secara turun-temurun, meskipun tidak mesti antara bapak dan anak. Tidak jarang pula pergantian itu terjadi berdasarkan pada seberapa berpengaruh efek seorang anggota (pangeran) istana atas pusaran politik yang ada di istana atau pusat pemerintahan.
Seperti diketahui, hingga masa wafatnya, Nabi Muhammad saw tidak meninggalkan sekaligus memutuskan aturan yang rinci mengenai pemerintahan Islam, termasuk masalah bentuk dan penggantian kekuasaan. Latar belakang turunnya ayat Al-Quran dalam surat Ali 'Imran ayat 159 dan surat Asy-Syura ayat 38, berdasarkan Haikal tidak ada kaitannya dengan pemerintahan (Muhammad Husein Haikal, 1983: 17-18). Setidaknya kedua ayat tersebut tidak menggambarkan sistem pemerintahan secara rinci (Khalid Ibrahim Jindan, 1997: 67). Nabi menyerahkan sepenuhnya urusan tersebut kepada umat Islam. Para ulama kemudian mengasosiasikan kenyataan ini dengan hadis yang berbunyi: "kalian lebih tahu wacana urusan dunia kalian".
Bentuk suatu pemerintahan berkaitan erat dengan sejarah, kondisi, dan insiden yang mengiringi bangsa yang bersangkutan. Inggris (United Kingdom) dan Amerika Serikat (United States) yaitu sama-sama negara demokrasi misalnya, tetapi lihatlah, bentuk pemerintahan di Inggris berbeda dengan Amerika. Inggris yaitu negara kerajaan sedangkan Amerika Serikat berbentuk republik. Demikia pula dengan pengalaman pemerintahan di dunia Islam, pada periode empat khalifah pertama misalnya, pemerintahannya cenderung berbetuk republik, sedangkan periode berikutnya berbentuk kerajaan. Dewasa ini, negara-negara di dunia Islam pun mempunyai bentuk pemerintahan yang tidak seragam, ada yang mengambil kerajaan dan republik. Tampaknya kedua bentuk pemerintahan ini sama-sama bisa diadopsi, akan tetapi yang terpenting yaitu ditegakkannya syariat Islam atau prinsip-prinsip Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat.
B. Persoalan Prinsip dan Kriteria
Menurut aliran Islam, untuk menyampaikan bahwa suatu pemerintahan sanggup disebut Khilafah Islamiyah atau Negara Islam harus memenuhi beberapa prinsip dan kriteria (Abu A'la al-Maududi, 1990: 352-355). Prinsip pertama yang harus diyakini dan dipegangi yaitu bahwa seluruh kekuasaan di bumi ini ada pada Allah, alasannya Dia lah yang menciptakannya. Prinsip kedua yaitu bahwa syariah Islam telah ditetapkan Allah untuk membimbing umat insan dalam menjalankan fungsi khilafahnya di bumi ini. Berdasarkan kedua prinsip tersebut, suatu negara yang diatur menuurut syariah Islam secara teknis disebut Khilafah al-Islamiyah atau Dar al-Islam (Hakim Javid Iqbal, 1996: 57-58). Menurut Qamaruddin Khan, negara yang terikat oleh kaidah yang demikian sanggup dinamakan sebagai negara agama (religious state) (Qamaruddin Khan, 2002: 4).
Lebih jauh dikatakan oleh Iqbal bahwa suatu negara disebut negara Islam apabila memenuhi tiga kriteria. Tiga kriteria itu adalah: ummah (masyarakat Muslim), syariah (diberlakukannya aturan Islam), dan khalifah (kepemimpinan masyarakat Muslim). Berdasarkan prinsip bahwa kekuasaan dan kedaulatan mutlak ada pada Allah, maka negara Islam harus menjunjung tinggi syariah Islam. Selanjutnya, alasannya masyarakat Muslim (ummah) harus diperintah berdasarkan aturan atau aturan Islam (syariah), dengan demikian menuntut adanya pemimpin (khalifah) yang akan melaksanakan dan menjalankannya. Tanggung jawab seorang khalifah atau kepala negara yaitu melaksanakan syariah Islam dengan dipandu oleh tujuan pembentukan negara Islam (Khilafah Islamiyah) yaitu menuju kebahagiaan (falah). Negara atau khilafah menjadi sarana untuk mengantarkan masyarakat Muslim mencapai keberhasilan baik dalam kehidupan dunia maupun akherat. Adapun prinsip-prinsip yang harus dipegangi saat menjalankan pemerintahan yaitu prinsip musyawarah, keadilan, persamaan hak, kemerdekaan, dan solidaritas (Mumtaz Ahmad (ed.), 1996: 58).
Kepala pemerintahan masyarakat Muslim disebut khalifah atau imam. Untuk menempati posisi sebagai khalifah ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi. Para ulama pada masa klasik telah mencatat dan mensyaratkan adanya kriteria-kriteria ini. Ibn Abi Rabi' misalnya, mengemukakan enam persyaratan yang harus dipenuhi seorang khalifah, yaitu:
- anggota dari keluarga raja, dan mempunyai kekerabatan nasab yang bersahabat dengan raja sebelumnya, aspirasi yang luhur,
- pandangan yang mantap dan kokoh,
- ketahanan dalam menghadapi kesukaran dan tantangan,
- kekayaan yang besar, dan
- pembantu-pembantu yang setia (Munawir Sjadzali, 1993: 48).
Al-Farabi memilih adanya dua belas persyaratan bagi mereka yang akan menjadi seorang khalifah. Kedua belas persyaratan itu adalah: (1) lengkap anggota badannya, (2) baik daya pemahamannya, (3) tinggi intelektualitasnya, (4) pintar mengemukakan pendapatnya dan gampang dimengerti uraiannya, (5) pecinta pendidikan dan gemar mengajar, (6) tidak loba atau rakus dalam hal makanan, minuman, dan wanita, (7) pecinta kejujuran dan pembenci kebohongan, (8) berjiwa besar dan berbudi luhur, (9) tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi yang lain, (10) pecinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim, (11) tanggap dan tidak sukar diajak menegakkan keadilan dan sebaliknya sulit untuk melaksanakan dan menyetujui tindakan keji dan kotor, dan (12) berpengaruh pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi semangatnya, bukan penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil (Munawir Sjadzali, 1993: 56).
Menurut al-Mawardi, ahl al-imamah, atau mereka yang berhak menempati jabatan imam atau kedudukan sebagai khalifah harus memenuhi tujuh kriteria. Ketujuh kriteria itu adalah:
- sikap adil dengan semua persyaratannya,
- ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad,
- sehat pendengaran, penglihatan, dan lisannya,
- utuh anggota tubuhnya,
- wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum,
- keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan mengeyahkan musuh, dan
- keturunan Quraisy (Munawir Sjadzali, 1993: 63-64).
Kriteria yang dikemukakan al-Gazali sebagai persyaratan seorang imam dan khalifah ada sepuluh. Kesepuluh kriteria itu adalah:
- dewasa atau aqil-baligh,
- otak yang sehat,
- merdeka dan bukan budak,
- laki-laki,
- keturunan Quraisy,
- pendengaran dan penglihatan yang sehat,
- kekuasaan yang nyata,
- hidayah,
- ilmu pengetahuan, dan
- wara, kehidupan yang higienis dengan kemampuan mengendalikan diri, tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan tercela.
Al-Gazali memperlihatkan aksesori keterangan pada beberapa syarat di atas. Berkaitan dengan syarat yang ketujuh, yaitu kekuasaan yang nyata, ia menambahkan tersedianya perangkat kekuasaan yang memadai, antara lain mencakup angkatan bersenjata. Sedangkan yang dimaksudkan dengan syarat kedelapan, yaitu hidayah, yaitu adanya daya pikir dan daya rancang yang kuat, dan ditunjang oleh kesediaan bermusyawarah, mendengarkan pendapat serta pesan tersirat dari orang lain. Kemudian, berkaitan dengan syarat yang kesembilan, yaitu ilmu pengetahuan, seorang imam atau khalifah tidak disyaratkan mempunyai ilmu pengetahuan seluas atau seberat ibarat halnya seorang ulama (Munawir Sjadzali, 1993: 78).
Dalam pandangan Islam, selain kriteria yang harus dipenuhi di atas, seorang khalifah saat menduduki jabatannya ia harus mendapat bai'at (Mahmud Al-Khalidi, 2002) dari masyarakat Muslim. Masyarakat Muslim memperlihatkan dan menyatakan kepatuhannya kepada khalifah, dan khalifah berjanji akan memerintah sesuai dengan syariah Islam. Namun, Al-Quran sendiri tidak memutuskan metode dan prosedur tertentu untuk mengangkat dan menurunkan seorang khalifah. Meskipun begitu, problem metode dan prosedur ini sanggup dipikirkan dan dipecahkan dengan berpegang kepada rambu-rambu yang telah digariskan dala Al-Quran. Salah satu prinsip yang harus dipegangi dalam setiap menuntaskan masalah ibarat diajarkan Al-Quran yaitu prinsip musyawarah (Q.S. Ali 'Imran (3): 159; Asy-Syura (42): 38).
Secara teoritik, penguasa sebuah negara Islam tidak mempunyai kekuasaan mutlak, demikian juga DPR maupun rakyatnya, alasannya kemutlakan itu milik dan ada pada Allah. Tugas pemerintah atau forum administrator yaitu melaksanakan syariah atau konstitusi yang telah ditetapkan oleh Allah. Tugas forum yudikatif atau pembuat undang-undang bukanlah membuat undang-undang dalam pengertian mutlak, alasannya undang-undang tersebut sudah ditetapkan Allah. Tugas forum ini yaitu memperlihatkan penguatan terhadap perundang-undangan yang sudah ada dan atau menurunkan perundang-undangan atau peraturan-peraturan tersebut pada tataran yang lebih operasional. Pada tataran inilah sepertinya terdapat adanya ruang ijtihad bagi para anggota yudikatif. Mekanisme pelaksanaannya pun sudah barang tentu berdasarkan pada prinsip musyawarah. Menurut Abul A'la Al-Maududi negara yang mempraktikkan prinsip-prisip di atas dsebut dengan negara Teo-Demokrasi (Abul A'la Al-Maududi, 1990: 160).
C. Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah
Islam lahir di kota Makkah al-Mukarromah pada tahun 610 M, bersamaan dengan turunnya wahyu Al-Quran yang pertama kepada Nabi Muhammad saw. Selama kurang lebih 12 tahun, Nabi mendakwahkan Islam di kota ini, tapi hasil yang diperlukan dari dakwahnya di kota tersebut tidak maksimal. Sebaliknya, selama itu pula, Nabi menghadapi tantangan dan kendala dari penduduk yang bersuku Quraisy ini. Berbagai cara dilakukan oleh para pembesar kaum Quraisy untuk menghambat dan menghentikan dakwah Nabi. Mereka melaksanakan usahanya tersebut semenjak dari menggunaan cara-cara yang baik dan halus hingga pada tindakan intimidasi dan kekerasan. Karena keadaan yang ibarat itu, sewaktu di Makkah, Nabi tidak sanggup mengorganisasikan pengikutnya sesuai ideal Islam.
Begitu Nabi Muhammad saw hijrah ke kota Madinah pada tahun 622 M, semenjak itu, Nabi tidak hanya mempunyai otoritas keagamaan atau spiritual, sebagai seorang pemimpin agama, tetapi juga mempunyai otoritas temporal, sebagai pemimpin negara. Kedatangan Nabi di kota Madinah ibarat diketahui yaitu atas seruan dua kelompok suku yang mayoritas di sana, yaitu suku Aus dan Khazraj. Tampaknya kedua suku tersebut sudah letih dengan pertikaian yang berkepanjangan dan mengharapkan terciptanya kehidupan bersama secara damai. Tetapi untuk memenuhi keinginan ini, satu syarat yang harus dipenuhi adalah, pemimpin yang akan memerintah mereka sebaiknya orang luar, bukan berasal dari salah satu di antara mereka.
Ketika mendengar bahwa di Makkah telah muncul seorang Nabi, keinginan untuk hidup bersama secara hening sepertinya akan segera terwuju dan menjadi kenyataan. Dengan mengutus sejumlah orang akidah dari perwakilan suku, mereka berangkat ke Makkah untuk meneliti dan menyidik kebenaran gosip yang beredar tersebut. Selain itu, mereka pun merasa yakin dengan kepribadian sang Nabi yang telah didengarnya itu. Mereka pun kemudian mengutus rombongan lain, yang kemudian diikuti dengan tindakan bai'at kepadanya. Pertemuan ini kemudian dikenal dengan sebutan bai'at Aqabah pertama, yang disusul pada tahun berikutnya dengan bai'at Aqabah kedua (Badri Yatim, 1997: 24).
Bai'at yang diberikan oleh perwakilan penduduk Madinah kepada Nabi Muhammad saw sanggup diartikan sebagai atau merupakan mandat kepada Nabi untuk memimpin dan mengatur kota Madinah. Posisi Nabi di Madinah dengan mandat ibarat itu telah menempatkannya sebagai seorang kepala negara. Kalau diperhatikan secara seksama, proses pengangkatan Nabi menuju posisi sebagai kepala negara, dalam pengertian politik modern telah memenuhi syarat. Seperti disebutkan di atas, Nabi telah mendapat bai'at atau ratifikasi dari sekelompok orang akidah yang merupakan wakil-wakil dari kelompok utama masyarakat Madina. Dalam pengertian politik modern, pengangkatan Nabi sebagai kepala negara telah melalui proses musyawarah atau demokratris.
Kedudukan Nabi sebagai kepala negara, secara otomatis berimplikasi kepada bentuk dan penyelenggaraan negara yang dipimpinnya. Meskipun tidak ada dokumen resmi yang sanggup ditemukan berkaitan dengan bentuk dan dasar penyelenggaraan Negara Madinah, kaum Muslimin pada umumnya sanggup menyimpulkan bahwa Islamlah yang menjadi dasarnya. Kesimpulan ini diambil dengan memakai pemikiran logis, alasannya Nabi Muhammad yaitu pembawa agama Islam, maka sudah barangtentu apabila bentuk dan penyelenggaraan negaranya pun berdasarkan Islam. Karena alasan demikian, Negara Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad dengan sendiriya merupakan negara Islam.
Dalam kurun berikutnya, saat Nabi Muhammad saw wafat pada tahun 632 M, otoritas yang bersifat temporal dalam bentuk kekuasaan politik ini terus berlanjut. Sejarah Islam pun kemudian bergulir mengikuti perjalanan arus sang waktu. Tercatat dalam perjalanan sejarahnya peralihan kekuasaan politik dari satu penguasa ke penguasa yang lain. Berdasarkan kriteria kequraisyan (al-aimmatu min quraisyin), sebutan atau gelar yang digunakan oleh kepala negara di dunia Islam pada periode klasik setidaknya ada dua, yaitu khalifah dan amir atau sultan. Khilafah Islamiyah yang dipimpin oleh para khalifah yaitu pemerintahan pada masa Khulafa al-Rasyidin (632-661), Umayyah di Damaskus (661-750), Umayyah di Spanyol (750-1031), Abbasiyyah di Baghdad (750-1258), dan Fatimiyyah di Mesir (609-1171) (C.E. Bosworth, 1980 ). Selain yang telah disebutkan, para penguasa Muslim biasnya mendapat gelar atau sebutan amir atau sultan.
Khilafah Islamiyah dalam bentuk keamiran atau kesultanan yaitu sebagai berikut. Di Spanyol dan Afrika Utara terdapat keamiran atau kesultanan al-Mulk al-Thawaif (1010-1142), Nashiriyyah atau Bani al-Ahmar di Granada (1230-1492), Idrisiyyah di Maroko (789-926), Rustamiyyah di al-Jazair Barat (777-909), Aghlabiyyah di Ifriqiyyah, al-Jazair dan Sisilia (800-909), Ziriyyah dan Hamdaniyyah di al-Jazair Timur (972-1152), al-Murawiyyah (al-Murabbitun) di Afrika Utara dan Spanyol (1130-1269), Mariniyyah dan Waththasiyyah di Maroko (1196-1549), Hafshiyyah di Tunisia dan al-Jazair Timur (1228-1574), Dinasti Syarif Maroko (1511-sekarang), dan Sanusiyyah (1187-1918).
Di wilayah bulan sabit yang mencakup Mesir, Suriah, dan Irak terdapat keamiran dan kesultanan sebagai berikut: Thuluniyyah di Mesir dan Suriah (868-905), Ikhsidiyyah di Mesir dan Suriah (935-969), Hamdaniyyah di al-Jazirah dan Suriah (905-1004), Mazyadiyyah di Hila dan Irak Tengah (961-1150), Marwaniyyah di Diyarbakr (983-1085), Uqaliyyah di al-Jazirah, Irak, dan Suriah Utara (900-1096), Mirdasiyyah di Aleppo dan Suriah Utara (1023-1279), Ayyubiyyah di Mesir, Suriah, Dryarbakr, dan Yaman (1169 - selesai kala ke-15), Mamluk di Meir dan Suriah (1250-1517), dan Muhammad Ali di Mesir (1805-1953).
Di wilayah Jazirah Arabia terdapat keamiran atau kesultanan sebagai berikut: Qaramithah di Arabia Timur dan Tengah serta Bahrain (894-997), Imam-imam Zaidiyah di Shan'a (860-1962), Shulaihiyyah di Yaman (1074-1138), Rasuliyyah di Yaman (1229-1454), Sultan Muscat dan Zanzibar di Oman dan Zanzibar (1741-1964), al-Saud atau Wahabiyyah di Arabia Utara dan Tengah (1764-sekarang).
Di wilayah Iran dan Kaukasus terdapat keamiran atau kesultanan sebagai berikut: Bawandiyyah di pantai Laut Kaspia (665-1349), Musafiriyyah atau Sallariyyah di Dailan dan Azerbaijan (916-1090), Rawwadiyyah di Azerbaijan (951-1071), Syaddadiyyah di Arran dan Armenia Timur (951-1174), Ziyariyyah di Tabaristan dan Gurqan (927-1090), Buwaihiyyah di Persia dan Irak (932-1062), Kakuiyyah di Persia Tengah dan Barat (1041-1119), Thahiriyyah di Khurasan (821-873), Samaniyyah di Khurasan dan Transoxania (819-1005), Syafariyyah di Sistan (867-1495), Khawarizam-Syiah (995-1231), Qarakhaniyyah di Transoxania dan Turkestan Timur (992-1211), Saljuk di Irak dan Persia (1038-1194), Artuqiyyah di Diyarbakr (1102-1048), Zangiyyah di al-Jazirah dan Suriah (1127-1222), Eldiguziyyah di Azerbaijan (1137-1225), Salghuriyyah di Fars (1148-1270), dan Ismailiyyah atau Assasin di Persia dan Suriah (1090-1273).
Di wilayah Anatolia dan Turki terdapat keamiran atau kesultaan sebagai berikut: Saljuk Rum di Anatolia (1077-1307), Danismendiyyah di Anatolia Tengah dan Timur (1071-1177), Qaramithah di Anatolia Tengah (1256-1483), Utsmaniyyah di Anatolia, Balkan, dan negeri-negeri Arab (1282-1924).
Dinasti-dinasti Mongol Islam yaitu sebagai berikut: Khan-khan Agung Mongol di Mongolia dan Cina Utara (1206-1634), Chaghatiyyah di Transoxania dan Turkestan Timur (1227-1370), Il-Khaniyyah di Persia (1256-1353), Khan-khan keturunan Jochi di Transoxania (1500-1598), dan Khan-khan di Crimea (1426-1792).
Wilayah Persia sehabis Mongol berdiri keamiran atau kesultanan sebagai berikut: Myzafariyyah di Persia Selatan (1314-1393), Jalayiriyyah di Irak, Kurdistan dan Azerbaijan (1336-1432), Timuriyya di Transoxania dan Persia (1370-1506), Qara Qayunlu di Azerbaijan dan Irak (1380-1468), Aq Qayunlu di Diyarbakr, Anatolia Timur dan Azerbaijan (1378-1508), Shafawiyyah di Persia (1501-1732), Afsyariyyah di Persia (1736-1795), Dinasti Zand di Persia (1750-1794), dan Dinasti Qajar di Persia (1779-1924), yang kemudian digantikan oleh Dinasti Pahlevi.
Di wilayah Afghanistan dan India terdapat keamiran dan kesultanan sebagai berikut: Ghaznawiyyah di Khurasan, Afghanistan, dan India Utara (977-1186) Ghuriyyah di Khurasan, Afghanistan, dan india Utara (1000-1215), Sultan-sultan Delhi di India Utara (1206-1555), Sultan-sultan Bengal (1336-1576), Sultan-sultan Kashmir (1346-1589), Sultan-sultan Gujarat di India Barat (1391-1583), Sultan-sultan Syarqi Jawnpur (1394-1479), Sulta-sultan Malwa di India Tengah (1401-1531), Bahmaniyyah di Deccan Utara (1347-1527), Sultan-sultan Faruqi, Khandesh di Deccan Utara (1370-1601), Sultan-sultan Mughal (1526-1858), dan Raja-raja Afghanistan (1747-1933).
Sepanjang sejarahnya, dalam catatan Bosworth terdapat 82 dinasti yang memerintah di dunia Islam (C.E. Bosworth, 1980). Secara umum dinasti-dinasti yang besar berhenti pada paroh pertama kala ke-20. Utsmaniyyah atau Turki Utsmani digantikan oleh Republik Turki Modern sekitar tahun 1924, Safawiyyah digantikan oleh Dinasti Qajar pada tahun 1925 yang tak usang kemudian digantikan oleh Republik Iran modern yang sekuler di bawah Dinasti Pahlevi, selanjutnya Dinasti Mughal merosot tajam dan pada tahun 1857 Inggris masuk ke India dan menjajahnya hingga tahun 1947 (Harun Nasution, 1979: 87-88).
Ketika memperhatikan perjalanan sejarah umat Islam di atas, selama kurang lebih 14 abad, terbayangkan bahwa selama itu pula para penguasa Muslim mengakibatkan Islam sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan. Seperti telah disebutkan di atas, terjadi adanya otomatisasi untuk menempatkan Islam sebagai pilar negara, dan selama itu pula tidak terjadi adanya dikotomi atau pemisahan antara agama dan negara. Menurut Qamaruddin Khan, ibarat telah disebutkan di muka, negara yang terikat oleh kaidah yang demikian sanggup dinamakan sebagai negara agama (religious state).
Kurshid Ahmad menyampaikan bahwa selama 14 kala tidak ada konsep ideal yang digunakan oleh para penguasa di dunia Islam selain Islam. Islam merupakan nafasnya kaum Muslimin. Semua gagasan yang bertentangan dengan Islam tidak pernah memikat imajinasi mereka (Abul A'la al-Maududi, 1990: 34). Sementara itu, Smith melihat adanya tanda-tanda yang unik di dunia Islam. Menurutnya tidak ada seorang Muslim pun yang telah membuatkan suatu perasaan kebangsaan, yang diartikan sebagai kesetiaan kepada atau kecintaan terhadap suatu masyarakat melampaui batas-batas Islam (Wilfred C. Smith, 1987: 77).
Selanjutnya, saat memasuki kala ke-20, sejumlah pemerintahan tetap mempertahankan dan melanjutkan tradisi lamanya, sedangkan yang lain bermetamorfosis negara dalam bentuk yang lebih tersekulerkan. Negara-negara yang disebut terakhir merupakan akhir dari pemikiran Barat modern yang memisahkan antara agama dan negara. Perubahan bentuk pemerintahan di dunia Islam sebagian diakibatkan pula alasannya keterlibatan Barat di banyak sekali belahan dunia Islam dalam bentuk kolonialisme, dan terutama merosotnya kekuasaan politik kaum Muslimin ibarat yang terjadi di Kesultanan Turki Utsmani, Safawiyyah, dan Mughal. Pmerintahan Islam tidak lagi tersentralisasi, tetapi sudah menyebar dalam bentuk negara-negara kecil yang berdiri secara independen. Unsur formatif dari negara-negara ini bisa berupa wilayah yang diwarisi dari generasi sebelumnya atau wilayah yang diwarisi sebagai akhir pengkotak-kotakkan kolonialisme Barat. Unsur formatif yang lainnya bisa berupa batas-batas wilayah tradisional alasannya faktor kesukuan, bahasa, ikatan budaya, faham keagamaan, dan lain sebagainya. Konsep negara bangsa ini pun tidak lepas dari efek berkembangnya faham nasionalisme yang bermula dari Barat
Dewasa ini sanggup disaksikan sekian banyak negara Islam, ada yang berbentuk kerajaan dan banyak pula yang berbentuk republik. Negara-negara ini diwadahi oleh forum internasional yang berjulukan OKI (Organisasi Konferensi Islam). Dari sekian banyak negara ini, apakah yang menjadi kriteria sehingga negara tersebut disebut negara Islam?. Kalau diperhatikan, dari sekian banyak negara-negara Islam, pada tingkat yang pertama yaitu negara yang secara ekplisit dan formal konstitusional menyatakan diri sebagai negara atau republik Islam, Iran misalnya. Sebagian yang lain alasannya dalam konstitusinya menyatakan Islam sebagai dasar negara, Arab Saudi misalnya. Kemudian, kriteria yang lain yaitu negara yang menyatakan Islam sebagai agama resmi negara, Malaysia dan Brunai Darussalam misalnya. Selanjutnya yang terakhir yaitu suatu negara yang mayoritas penduduknya atau sebagian penduduknya memeluk agama Islam.
Kesimpulan
Memperhatikan perkembangan politik yang terjadi di dunia Islam, semenjak awal berdirinya hingga sekarang, tercatat adanya dua bentuk pemerintahan, yaitu ibarat republik dan masih berbentuk kerajaan. Dalam perkembangannya yang awal, dunia Islam merupakan satu kesatuan politik yang utuh. Pemerintahannya tersentralisasi di satu pusat pemerintahan, sementara itu daerahnya dibagi ke dalam wilayah-wilayah provinsial. Ketika pecah perang sipil yang pertama, yaitu terjadinya fitnah al-kubra yang pertama, pada masa Utsman ibn Affan, dunia Islam mulai terpecah. Muawiyah ibn Abi Sofyan tidak mau berba'iat kepada Khalifah Ali ibn Abi Thalib di Madinah dan menyatakan melepaskan diri dari pemerintahan di Pusat. Muawiyah ibn Abi Sofyan mengakibatkan kota Damaskus sebagai pusat pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan baik Dinasti Umayyah, Abbasiyyah, Fatimiyyah, Utsmaniyyah, dan dinasti-dinasti lain, ibarat telah disebutkan di muka, pemerintahan di dunia Islam tidak lagi utuh dalam satu kesatuan politik yang tersentralisasi. Masing-masing wilayah dengan kekuasaan politik yang dimilikinya, secara bergantian, menjadi penguasa yang independen. Seperti telah disebutkan, ada sekitar 82 dinasti yang memerintah di dunia Islam selama 14 abad, jumlah tersebut belum termasuk dinasti-dinasti Islam yang berada di daerah Asia Tenggara (Malaka dan Nusantara). Dalam perkembangan di dunia modern cukup umur ini, sejumlah pemerintahan tetap mewarii tradisi lamanya dan sebagian yang lain mengikuti arus Barat sebagai negara nasional dalam bentuk republik. Negara-negara ini kini diwadahi oleh forum internasional yang berjulukan OKI (Organisasi Konferensi Islam).
Daftar Pustaka:
- Ahmad, Mumtaz (ed.) Teori Politik Islam. Terj. Ena Hadi. Bandung: Mizan, 1996.
- Bosworth, C.E. Dinasti-Dinasti Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan , 1980.
- Haikal, Muhammad Husein. Pemerintahan Islam. Terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
- Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993.
- Smith, Wilfred C. Islam in Modern History. Princeton: Princeton University, 1987.
- Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dan Tokoh Orientalis. Terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
- Yatim, Badri Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1997.