Pengertian Dan Manfaat Musyawarah Berdasarkan Islam
Wednesday, April 22, 2020
Edit
A. PENGERTIAN MUSYAWARAH
Definisi musyawarah , berdasarkan Bahasa dan berdasarkan Islam: Menurut Bahasa berasal syawara yaitu berasal dari bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembug atau menyampaikan dan mengajukan sesuatu. Menurut Istilah, musyawarah yaitu negosiasi antara dua orang atau lebih untuk menetapkan kasus secara tolong-menolong sesuai dengan yang diperintahkan Allah.
Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (شرت العسل) saya mengeluarkan madu dari wadahnya.
Istilah-istilah lain dalam tata Negara Indonesia dan kehidupan modern perihal musyawarah dikenal dengan sebutan “syuro”, “rembug desa”, “kerapatan nagari” bahkan “demokrasi”. Kewajiban musyawarah hanya untuk urusan keduniawian. Makara musyawarah yaitu merupakan suatu upaya untuk memecahkan duduk masalah (mencari jalan keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan kasus yang menyangkut urusan keduniawian.
Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah yaitu upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Musyawarah sanggup berarti menyampaikan atau mengajukan sesuatu.
Kata musyawarah intinya hanya dipakai untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Sedangkan berdasarkan istilah fiqh yaitu meminta pendapat orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan negosiasi atau tukar pikiran.
Perundingan itu jua disebut musyawarah, lantaran masing-masing orang yang berunding dimintai atau dibutuhkan mengeluarkan atau mengemukakan pendapatnya perihal suatu kasus yang di bicarakan dalam negosiasi itu.
Musyawarah merupakan salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Islam memandang penting peranan musyawarah bagi kehidupan umat manusia, antara lain sanggup dilihat dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah banyak sekali duduk masalah yang mereka hadapi.
B. MUSYAWARAH MUFAKAT
1. PENGERTIAN MUSYAWARAH
Musyawarah yaitu cara merumuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak orang banyak. Artinya pengambilan suatu keputusan berdasarkan kehendak orang banyak sehingga kebulatan beropini tercapai, suatu keputusan tidak harus berdasarkan kemenangan atas dasar bunyi terbanyak. Akan tetapi sutu keputusan diutamakan kebulatan pendapat yang berdasarkan atas kata sepakat atau mufakat.
Jadi, dalam musyawarah keputusan berdasarkan kebulatan pendapat bukan berdasarkan bunyi terbanyak.
Contoh-contoh musyawarah:
- Musyawarah di lingkungan keluarga mengenai kawasan liburan yang akan dikunjungi
- Musyawarah di lingkungan sekolah
- Musyawarah di lingkungan pemerintah
2. AYAT-AYAT TENTANG MUSYAWARAH
1. Surat Al-Baqarah ayat 233:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya kekerabatan suami istri ketika mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, menyerupai menceraikan anak dari menyusu ibunya. Didalam menceraikan anak dari menyusu ibunya kedua orang renta harus mengadakan musyawarah, menceraikan itu dihentikan dilakukan tanpa ada musyawarah, seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang renta itu akan berdosa lantaran ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut. Makara pada ayat di atas, al-Qur’an memberi petunjuk supaya setiap duduk masalah rumah tangga termasuk duduk masalah rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.
2. Surat Ali ‘Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap berangasan dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)
Dalam ayat ini disebutkan sebagai fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan yaitu menghapuskan bekas luka dihati jawaban sikap pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, lantaran tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.
Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum.
Didalam musyawarah, silang pendapat selalu terbuka, apalagi jika orang-orang yang terlibat terdiri dari banyak orang. Oleh alasannya yaitu itulah, Allah memerintah Nabi supaya menetapkan peraturan itu, dan mempraktekkannya dengan cara yang baik. Nabi saw. , manakala bermusyawarah dengan para sahabatnya senantiasa bersikap damai dan hati-hati. Beliau memperhatikan setiap pendapat, kemudian mentarjihkan suatu pendapat dengan pendapat lain yang lebih banyak maslahatnya dan faedahnya bagi kepentingan kau Muslimin, dengan segala kemampuan yang ada.
Beliau juga melaksanakan musyawarah pada waktu pecah perang Badar, sesudah diketahui bahwa orang-orang Quraisy telah keluar dari Mekkah untuk berperang. Nabi, pada waktu itu tidak menetapkan suatu keputusan sebelum kaum Muhajirin dan Anshar menjelaskan isi persetujuan mereka. Juga musyawarah yang pernah dia lakukan sewaktu menghadapi perang Uhud.
Demikianlah, Nabi saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam menghadapi masalah-masalah penting, selagi tidak ada wahyu mengenai hal itu. Sebab, jika ternyata jika Allah menurunkan wahyu, wajiblah Rasulullah melaksanakan perintah Allah yang terkandung dalam wahyu itu. Nabi saw. tidak mencanangkan kaidah-kaidah dalam bermusyawarah.
Karena bentuk musyawah itu berbeda-beda sesuai denga sikon masyarakat, serta sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Sebab, seandainya Nabi mencanangkan kaidah-kaidah musyawarah, maka niscaya hal itu akan diambil sebagai Dien oleh kaum Muslimin, dan mereka berupaya untuk mengamalkannya pada segala zaman dan tempat.
3. Surat At-Thalaq ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
Artinya: “Tempatkanlah mereka para istri dimana kau bertempat tinggal berdasarkan kemampuanmu dan janganlah kau menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan bermusyawarahlah di antara kau segala sesuatu dengan baik dan jika kau menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)
Menghargai bunyi terbanyak dan bersikap lapang hati
Ada halnya musyawarah berjalan berlarut-larut, tanpa menghasilkan kata mufakat. Jika suatu keputusan telah disyahkan, semua akseptor musyawarah wajib melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab. Tanggungjawab dalam musyawarah ditunjukkn oleh hal-hal sebagai berikut:
- Bersedia mengalahkan kepentingan pribadi
- Jujur
- Ikhlas/lapang hati
- Beritikad baik
C. MUSYAWARAH DALAM PANDANGAN ISLAM
Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah banyak sekali duduk masalah yang mereka hadapi.
Musyawarah itu di pandang penting, antara lain lantaran musyawarah merupakan salah satu alat yang bisa mempersekutukan sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik.
Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memperlihatkan klarifikasi secara tegas. Oleh lantaran itu soal sistem permusyawaratan diserahkan sepenuhnya kepada umat sesuai dengan cara yang mereka anggap baik.
Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak perihal masalah-masalah keagamaan? Sebagian dari mereka beropini bahwa musyawarah yang dianjurkan atau diperintahkan dalam islam itu khusus dalam masalah-masalah keduaniawian dan tidak untuk soal-soal keagamaan.
Sementara sebagian yang lain berpendirian bahwa disamping masalah-masalah keduniawian, musyawarah juga sanggup dilakukan dalam soal-soal keagamaan sejauh yang tidak jelaskan oleh wahyu (Al-Qur’an dan Hadis)
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, yang terang antara persoalan-persoalan duniawi dan agamawi tak sanggup dipisahkan meskipun antara yang satu dengan yang lain memang sanggup di bedakan. Dan suatu hal yang telah di sepakati bersama oleh para ulama ialah bahwa musyawarah tidak di benarkan untuk membahas masalah-masalah yang ketentuannya secara tegas dan terang telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Hukum Pemilu dalam Islam
Dalam pandangan Islam, aturan asal dari pemilu dan melibatkan diri di dalamnya yaitu mubah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, pemilu yaitu aqad wakalah dalam hal aspirasi dan pendapat. Selama rukun dan syarat wakalah tersebut dipenuhi dan sejalan dengan prinsip Islam, maka absahlah janji wakalah tersebut. pemilu dalam sistem Islam tentu saja berbeda dengan pemilu dalam sistem pemerintahan demokratik. Asas, prinsip, maupun tujuan-tujuannya saling bertolak belakang dan bertentangan. Pemilu di dalam sistem demokratik, terikat dengan prinsip dan sistem demokrasi. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk menentukan wakil rakyat yang mempunyai beberapa fungsi, salah satunya yaitu fungsi legislasi dan kontrol. Selain itu, pemilu dalam negara demokratik merupakan prosedur pemerintahan yang ditujukan untuk mempertahankan sistem demokratik-sekuleristik.
Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat –badan legislative— yaitu forum yang bertugas menciptakan dan mengesahkan undang-undang. Ini didasarkan pada prinsip dasar negara demokrasi “kedaulatan ada di tangan rakyat”, “vox populi vox dei”. Prinsip ini menempatkan rakyat atau wakil rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Yang dimaksud dengan kedaulatan di sini yaitu kekuasaan tertinggi untuk menciptakan aturan dan undang-undang. Sedangkan kepala negara (lembaga eksekutif) bertugas melaksanakan undang-undang. Adapun dalam sistem pemerintahan Islam, pemilu merupakan media untuk menentukan anggota majelis ummat serta salah satu cara (uslub) untuk menentukan seseorang yang akan dicalonkan sebagai kepala negara (khalifah). Perlu dipahami bahwa, fakta majelis ummat berbeda dengan fakta dewan legislatif yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik. Keanggotaan, prosedur pengambilan pendapat, dan wewenang majelis ummat berbeda dengan dewan legislatif demokratik.
Dari sisi keanggotaan, majelis umat terdiri dari muslim dan non muslim, baik pria maupun wanita. Akan tetapi, non muslim tidak diperkenankan memperlihatkan aspirasi dalam hal pemerintahan maupun hukum. Mereka hanya berhak memberikan koreksi atau aspirasi-aspirasi yang berafiliasi dengan penyelenggaraan dan penerapan aturan negara. Sedangkan dalam sistem demokrasi, muslim maupun non muslim diberi hak sepenuhnya untuk memberikan aspirasi dalam hal apapun secara mutlak.