Teori Musyawarah Politik Islam

Musyawarah Politik Islam
Politik Islam di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh alasannya itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah siyasah syar'iyyah. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Sehingga secara ringkasnya yang dimaksud Politik Islam ialah mengatur segala urusan seluruh umat Islam. 
Rasulullah SAW memakai kata politik (siyasah) dalam sabdanya: "Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain tiba menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)”
"Siapa saja yang berdiri di pagi hari dan dia hanya memperhatikan urusan dunianya, maka orang tersebut tidak berkhasiat apa-apa di sisi Allah; dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka (yaitu kaum Muslim). (Hadis Riwayat Thabrani)

Sejak masa awal dakwah Islam, ketika umat Islam di mekah menjadi pribadi-pribadi yang tertindas dan selalu dalam kejaran musuh, Al-Qur'an telah mengakibatkan mereka suatu masyarakat yang mempunyai rasa kesetiakawanan yang sempurna. Pribadi-pribadi mereka disatukan dengan ikatan persaudaraan dan solidaritas, yaitu akidah kepada Allah dan menyembahNya dengan mendirikan shalat dan gotong royong.

Tentunya ketika itu umat Islam bergotong royong melalui tukar menukar pendapat menetapi syura (musyarawah), serta kolaborasi dalam infak atau dalam urusan harta dan ekonomi dalam bentuk khusus. Dengan demikian, musyawarah dijadikan salah satu dari elemen-elemen kesetiakawanan sosial. Lebih dari itu Allah telah memuliakan musyawarah dengan menjadikannya sebagai nama dari salah satu surat dalam Al-Qur'an.

Diantara ayat-ayat wacana musyawarah ialah sebagai berikut: “Dan (bagi) orang-orang yang mendapatkan (mematuhi) undangan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (As-Syura: 38)

“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu… “ (Ali Imran: 159) Dari kedua ayat mulia tersebut tampak sejauhmana Al-Qur'an memperhatikan terhadap penetapan mabda/prinsip musyawarah. Allah mewajibkannya semenjak dakwah Islam dimulai di mekah sebagai manhaj (metode) dalam rangka mendirikan masyarakat Islam dan sebagai kaidah bagi sistem sosial dalam Islam. Kemudian Al-Qur'an mengukuhkan mabda itu di Madinah, setelah umat Islam mempunyai kemerdekaan sendiri di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW.

Kemudian musyawarah merupakan salah satu sifat yang istimewa bagi umat Islam di samping beriman kepada Allah, mendirikan shalat, dan saling menjamin dalam infak. Terlebih lagi musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan setelah akidah dan shalat. Hal ini memaknakan bahwa musyawarah mempunyai martabat setelah ibadah terpenting, yaitu shalat, sekaligus menunjukkan pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat (Rujukan Al-Imam Abu Bakar Al-Jashash dalam kitabnya, Ahkamul-Qur'an, juz 3, hlm. 386, dan tafsir Ibnu Katsir, juz 4, hlm. 126. Kairo, 1978).

Bahkan Para Ahli Tafsir dan Sejarah Nabi telah bersepakat bahwa Setelah umat Islam mengalami kekalahan pada Perang Uhud Rasul SAW benar-benar bermusyawarah sebelum berperang. Ketika Beliau beropini tidak usah keluar dari kota Madinah dan bertahan di Madinah, karena ketentuan itu memungkinkan mereka menghancurkan pihak penyerang dengan mudah. Akan tetapi Para Sahabat karena dengan dorongan semangat menekankan biar keluar dari Madinah untuk menghadapi musuh biar tidak ditafsirkan takut dalam menghadapi musuh karena mereka tidak keluar. Maka Rasul SAW menuruti anjuran Para Sahabat. Kebetulan hasil pertempuran itu merupakan malapetaka bagi umat Islam, maka Para Sahabat khawatir dan menduga bahwa hal itu akan menjadi alasannya Rasul SAW tidak mau bermusyawarah dan tidak mau menyetujui pendapat mereka, oleh jadinya datanglah nash yang mulia untuk menghilangkan keraguan ini dengan kewajiban Rasul SAW biar mengampuni mereka dan menjalankan musyawarah dengan istiqomah. Nash yang dating kepada Rasul SAW bersifat tegas dalam bentuk perintah, yaitu : ‘Bermusyawarahlah kau dengan mereka wacana perkara/urusan itu'

Ayat tersebut pun berlaku bagi seluruh umat Islam setelah sepeninggalnya Rasul SAW biar berjalan di atas metode ia dalam menetapi prinsip musyawarah, sebagai sunnah Nabi di samping musyawarah sebagai mabda Qur'ani dengan adanya nash yang tegas.

Syekh Muhammad Abduh menafsirkan nash-nash dalam Al-Qur'an yang mewajibkan untuk menjalankan amar ma'ruf nahi munkar ialah sebagai dasar kewajiban bermusyawarah (tafsir al-Mannar, oleh Sayid Rasyid Ridha, juz 4, hlm 45, cetakan al-Mannar, 1379 H. lihat juga kitabnya, al-Islam wan-Nasraniyyah, hlm. 72-73)

Hal ini berarti Syekh Muhammad Abduh mengisyaratkan berkewajiban menjalankan musyawarah dalam berpartisifasi untuk memperbaiki keadaan umat dengan suatu amal positif, yaitu amar ma'ruf dan nahi munkar.

Oleh karena itu, studi musyawarah yang islami dan kaidah-kaidah syar'inya telah membedakannya dari filsafat-filsafat Barat. Sehingga mengakibatkan kita bisa membuktikan kepada dunia bahwa musyawarah merupakan pengganti demokrasi atau sebagai solusi bagi masalah-masalah yang timbul dari pemalsuan terhadap syiarnya teori-teori import yang diambil dari Yunani atau Negara-negara Eropa.

Teori universal wacana musyawarah harus dimulai dengan mempelajari kaidah-kaidahnya dalam sumber-sumber yang sah dari fiqih Islam yang berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijmak, dan ijtihad sebagai metode di dalam mengatur kehidupan masyarakat (umat).

Sehingga tampak terperinci bahwa politik islam dalam makna mengatur segala urusan umat ialah musyawarah bukan demokrasi, maka politik yang demikian akan menjadi politik mulia karena musyawarah didasarkan kepada hukum-hukum Allah yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga. Namun apabila politik islam (yang sering dijadikan jargon oleh partai islam) diidentikkan dengan demokrasi ala Barat maka akan terbangun politik kotor, menyerupai yang terjadi di Indonesia dikala ini. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel