Pengertian Musyawarah Dalam Islam
Friday, April 24, 2020
Edit
Musyawarah dalam Islam
Islam telah menganjurkan musyawarah dan memerintahkannya dalam banyak ayat dalam al-Qur'an, ia menjadikannya suatu hal terpuji dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara; dan menjadi elemen penting dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat dasar orang-orang beriman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak tepat kecuali dengannya, ini disebutkan dalam surat khusus, yaitu surat as syuura, Allah berfirman: (Dan (bagi) orang-orang yang mendapatkan (mematuhi) ajakan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.) (QS. as Syuura: 38)
Oleh sebab kedudukan musyawarah sangat agung maka Allah I menyuruh rasulnya melakukannya, Allah berfirman: (Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.) (QS. Ali Imran: 159)
Perintah Allah kepada rasulnya untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya setelah tejadinya perang uhud dimana waktu itu Nabi telah bermusyawarah dengan mereka, ia mengalah pada pendapat mereka, dan ternyata akhirnya tidak menggembirakan, dimana umat Islam menderita kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, di antaranya yaitu Hamzah, Mush'ab dan Sa'ad bin ar Rabi'. Namun demikian Allah menyuruh rasulnya untuk tetap bermusyawarah dengan para sahabatnya, sebab dalam musyawarah ada semua kebaikan, walaupun terkadang akhirnya tidak menggembirakan.
Musyawarah Rasulullah r dengan para sahabatnya
Rasulullah r yaitu orang yang suka bermusyawarah dengan para sahabatnya, bahkan ia yaitu orang yang paling banyak bermusyawarah dengan sahabat. Beliau bermusyawarah dengan mereka di perang badar, bermusyawarah dengan mereka di perang uhud, bermusyawarah dengan mereka di perang khandak, ia mengalah dan mengambil pendapat para cowok untuk membiasakan mereka bermusyawarah dan berani memberikan pendapat dengan bebas sebagaimana di perang uhud. Beliau bermusyawarah dengan para sahabatnya di perang khandak, ia pernah berniat hendak melaksanakan perdamaian dengan suku ghatafan dengan imbalan sepertiga hasil buah madinah semoga mereka tidak berkomplot dengan Quraisy. Tatkala utusan anshar menolak, belia mendapatkan penolakan mereka dan mengambil pendapat mereka. Di Hudaibiyah Rasulullah r bermusyawarah dengan ummu Salamah saat para sahabatnya tidak mau bertahallul dari ihram, dimana ia masuk menemui ummu Salamah, ia berkata, "manusia telah binasa, saya menyuruh mereka namun mereka tidak ta'at kepadaku, mereka merasa berat untuk segera bertahallul dari umrah yang telah mereka persiapkan sebelumnya," kemudian ummu Salamah mengusulkan semoga ia bertahallul dan keluar kepada mereka, dan ia pun melaksanakan usulannya. Begitu melihat Rasulullah bertahallul, mereka eksklusif segera berebut mengikuti beliau.
Rasulullah r telah merumuskan musyawarah dalam masyarakat muslim dengan perkataan dan perbuatan, dan para sahabat dan tabi'in para pendahulu umat ini mengikuti petunjuk beliau, sehingga musyawarah sudah menjadi salah satu ciri khas dalam masyarakat muslim dalam setiap masa dan tempat.
Musyawarah fleksibel
Dalam masyarakat muslim seorang penguasa dalam melaksanakan kiprah kenegaraan harus berkonsultasi dengan para ulama, orang-orang yang berpengalaman, dan sanggup juga ia membentuk majlis syura, yang tugasnya mempelajari, meneliti, dan memberikan pendapat dalam hal-hal yang dibolehkan berijtihad oleh syari'at. Ini semua dalam rangka mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah r, dimana saat orang-orang bijak yang mewakili rakyat di madinah, saat mereka berkumpul di sekitar ia dan mereka semua yaitu sahabat, Rasulullah bermusyawarah dengan mereka ihwal hal-hal yang tidak ada wahyu dan nash, menunjukkan kebebasan kepada mereka untuk berbicara dan berbuat dalam urusan keduniaan; sebab mereka lebih pengalaman dahal hal ini, dan arti (keduniaan) di sini yaitu tidak berkaitan dengan aturan syari'at atau masyarakat, akan tetapi bekaitan dengan pengalaman ilmiah, mirip seni berperang, menggarap tanah, memelihara buah-buahan dan seterusnya, di zaman kita kini ini sanggup kita namakan, murni urusan keilmuan, dan urusan praktek amaliah, Rasulullah menunjukkan kebebasan kepada mereka untuk berbuat dalam hal-hal ini dengan mengatakan: "kalian lebih tahu ihwal urusan dunia kalian."
Islam mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan penguasa melaksanakannya, ia melarang perilaku diktatorial dan diktator, menyerahkan kepada insan untuk menentukan bagaimana cara melaksanakan musyawarah, untuk menunjukkan keluwesan dan memperhatikan perubahan situasi dan kondisi, oleh sebab itu musyawarah sanggup dilakukan dengan aneka macam macam bentuk dan aneka macam cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang penting pelaksanaan pemerintahan dimulai dari pemilihan presiden kemudian menciptakan garis-garis besar haluan negara, dengan menyertakan rakyat dan seluruh umat atau yang mewakili mereka, yaitu yang dinamakan ahlul halli wal aqdi, dimana kekuasaan pemerintah dibatasi oleh dua hal, yaitu syari'at dan musyawarah, yakni dengan aturan Allah dan pendapat umat.
Ini merupakan fleksibelitas dalam mengaplikasikan musyawarah dalam masyarakat muslim, dan inilah bidang bagi para mujtahid, orang-orang yang punya ilmu dan pengalaman dalam menciptakan undang-undang Islam, yang menghalangi penyimpangan para penguasa dan keberanian para tiran dalam melanggar hak Allah dalam kedaulatannya, dan hak insan dalam menghambakan diri padaNya.
Penjamin utama dalam merealisasikan ini semua yaitu kesadaran rakyat terhadap wajibnya melaksanakan aturan Allah, dan hanya menghambakan diri padaNya, dengan menjauhkan diri dari pengagungan atau pengkultusan terhadap golongan atau individu dalam bentuk pemimpin atau raja atau pahlawan, sebab ini semua bertentangan dengan iman tauhid, dan merupakan ancaman yang sangat besar apabila masyarakat hingga kepada pengkultusan ini dimana seseorang merasa hina di hadapan pemimpin yang cerdas, atau penguasa satu-satunya, atau raja yang mulia, atau partai yang berkuasa, dan lain sebagainya dari bentuk-bentuk berhala yang mirip syi'ar ibadah, dan menjatuhkan insan kepada kesyirikan baik mereka meyadari atau tidak, dan ini semua dihentikan terjadi dalam masyarakat muslim yang disinari oleh petunjuk al-Qur'an dan hadits.
Perbedaan musyawarah dengan demokrasi
Islam telah mewajibkan musyawarah semenjak lima belas masa yang lalu, dan mewajibkan kepada umat Islam untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka secara pribadi, dalam masyarakat mereka, dan dalam negara mereka, dan musyawarah dalam Islam merupakan prinsip gres bagi kemanusiaan dalam sejarah mereka dahulu dan kini.
Hal ini sebab apa yang dicapai oleh insan kini setelah revolusi berdarah yaitu demokrasi dalam system pemerintahan. Jika kita membandingkan antara demokrasi barat yang berlaku kini dengan musyawarah dalam Islam, maka kita akan mendapatkan banyak perbedaan antara keduanya, dalam metode, dan tujuan, walaupun keduanya bertemu dalam banyak sisi.
Di selesai pembahasan ihwal musyawah ini saya tidak mendapatkan yang lebih utama daripada memaparkan pendapat seorang politikus dan diplomat yang telah menghabiskan umurnya yang panjang dalam bidang politik di Suria dan kerajaan Saudi Arabia, yaitu DR. Ma'ruf ad Dawalibi. Beliau telah mengalami peperangan politik demokrasi di Suria, pada masa Negara itu menganut system politik bebas, dan DPR yang dipilih oleh rakyat, ia hingga pada jabatan pimpinan perdana menteri, dan merupakan salah satu pemimpin partai rakyat di Suria, yang merupakan lebih banyak didominasi di perlemen.
Lalu ia tiba ke kerajaan Saudi Arabia setelah terhentinya kehidupan DPR di Suria untuk memenuhi undangan Raja Faisal bin Abdul Aziz Al Su'ud rahimahullah, untuk bekerja sebagai penasehat di diwan malaki, dan hingga kini ia masih bekerja.
Beliau telah menerbitkan buku yang berjudul ad daulah wa assulthah fi al Islam, ini yaitu penelitian yang disampaikan dalam konfrensi UNESCO di Paris pada tahun 1982M. dimana ia membahas ihwal musyawarah dan demokrasi, menjelaskan perbedaan antara keduanya, dengan judul (musyawarah), berikut ini teks pembicaraannya:
"Di sini saya hanya menegaskan ihwal prinsip musyawarah yang wajib dalam Islam, ia yaitu prinsip yang gres bagi kemanusiaan dalam peradabannya dahulu dan sekarang, dimana seluruh yang dicapai oleh filsafat hingga hari ini dalam system pemerintahan yaitu mewajibkan memerintah dengan demokrasi, saya mengenalnya sebagai kekuasaan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam prakteknya demokrasi tidak lain hanyalah:
lebih banyak didominasi memimpin minoritas (baik minoritas mau atau tidak) atau minoritas memimpin mayoritas, dalam bentuk lain, yaitu yang dilakukan oleh system sosialis, dan dinamakan juga dengan system sosialis demokratis.
Kedua system ini telah mengenyampingkan kelompok kecil atau besar dari rakyat dalam mengambil keputusan, yaitu kaum minoritas pada umumnya, atau lebih banyak didominasi dalam system sosialis.
Adapun prinsip musyawarah yang diwajibkan dalam Islam yaitu mewajibkan mengambil pendapat semua tanpa membedakan antara lebih banyak didominasi dan minoritas, kemudian mengambil pendapat yang terkuat dari segi argumentasi setelah dibandingkan antara kedua pendapat, bukan mengambil bunyi terbanyak.
Dalam bermusyawarah kita tahu sulitnya menciptakan kaidah menentukan pendapat yang kuat, namun ini tidak tidak mungkin jika ditimbang dengan logika sehat, maslahat dan pengalaman, sebagaimana ulama fiqh menciptakan kaidah ilmiyah untuk menentukan pendapat yang kuat. Dengan menentukan pendapat yang berpengaruh sesuai dengan kaidah ini maka tidak ada keberpihakan pada salah satu kelompok atas yang lain, akan tetapi mengambil pendapat terkuat secara akal, maslahat dan pengalaman setelah semua pendapat diletakkan pada posisi yang sama tanpa mengabaikan salah satu pendapat.
Prinsip musyawarah ini merupakan prinsip gres dalam system pemerintahan dimana ia menghilangkan semua bentuk penindasan dari pihak lebih banyak didominasi atas pihak minoritas sebagaimana yang dianut oleh system demokrasi mutlak. Demikian pula ia menghilangkan segala bentuk penindasan pihak minoritas atas pihak lebih banyak didominasi sebagaimana dalam system sosialis demokratis.
Sebagaimana prinsip musyawarah ini mengangkat semua pendapat orang baik dari pihak minoritas maupun lebih banyak didominasi kepada derajat yang sama, tanpa menunjukkan kesan dikesampingkan atau tidak diperdulikan kepada siapapun, sebagaimana yang berlaku pada masa nabi dalam musyawarah yang wajib, kemudian mengambil pendapat terbaik setelah ditimbang-timbang.
Akan tetapi mirip halnya kasus lain, prinsip musyawarah ini memerlukan persiapan pendidikan secara khusus semoga musyawarah ini sanggup diterima dengan baik, dan persiapan pendidikan untuk mendapatkan prinsip musyawarah ini lebih gampang daripada persiapan pendidikan yang dipaksakan untuk mendapatkan prinsip penindasan kelompok lebih banyak didominasi atas minoritas, atau prinsip penindasan minoritas atas mayoritas, terutama yang kedua ini biasanya dan hingga kini tidak diterapkan kecuali dengan kekuatan dan kekerasan.
Demikian pula prinsip musyawarah ini memerlukan perangkat teknis ilmiah yang sesuai dengan tema musyawarah, dengan membentuk panitia khusus di DPR contohnya atau lainnya yang diberi kiprah untuk mempelajari usulan-usulan yang masuk untuk menentukan pendapat yang terbaik, kemudian mengambil keputusan sesuai dengan kaidah-kaidah aturan yang diterima oleh semua pihak dengan penuh kebebasan.
Di sini juga dalam kasus (unsure rakyat) dan bangsa dalam Negara modern, sebagian penulis dalam majalah Prancis Beauvoir, mengingkari jika dalam Islam ada pemahaman yang terang bagi umat, mereka yaitu Profesor Iyadh bin Asyuur dari Tunis, dan Prof. William Zartmann dari New York.
Adapun Prof. bin Asyur, ia berkata pada hal. 21 dalam majalah itu:
Pertama: sebenarnya bangsa dalam Islam tidak memiliki eksistensi
- Kedua: dalam Islam bangsa merupakan khayalan bagi bangsa yang disatukan oleh iman dalam aneka macam masa dan aneka macam tempat.
- Ketiga: bangsa tidak mengungkapkan kehendaknya dengan langsung, akan tatapi diwakili oleh kaum darah biru yang memonopoli kekuasaan dan ilmu pengetahuan.
Adapun Prof. William Zartmann, ia juga berkata pada halaman enam dan setelahnya:
Pertama: bahwa bangsa dalam Islam tidak pernah memimpin dirinya, sebab dalam teori politik Islam tidak ada balai pertemuan, atau dewan publikasi, atau parlemen.
Kedua: dalam Negara Islam tidak terdapat ajaran ihwal batas Negara, sebab Negara Islam tiba pertama kali dari gurun sahara… kemudian bermetamorfosis masyarakat madani yang dikelilingi oleh mereka badui yang berpindah-pindah.
Kami akan menjawab itu semua dengan singkat:
Pertama bahwa negera yang didirikan oleh rasul Islam sendiri yaitu Negara Yatsrib, dan bahwa bangsa sesuai dengan teks konstitusi Negara ini memiliki keberadaan yang jelas, sebab kelompok-kelompok yang mengakui konstitusi ini dan bergabung dengannya telah disebut dengan namanya masing-masing, semuanya yaitu kelompok yang tinggal di sekitar mata airnya, dan memiliki batas tanah pertanian yang tidak diragukan lagi.
Prof. Ibn Asyuur telah lupa mengabaikan fakta bahwa pada banyak Negara suatu pengertian suatu bangsa ada dua konsep, yang pertama sanggup dikatakan "konsep histories" dan yang kedua sanggup dikatakan "konsep politik"
a. adapun konsep histories, maka hanya itulah dalam gambarannya yang melampaui batas masa dan tanah, ini mirip bangsa Arab, Turki, Prancis dan Jerman contohnya dalam sejarah. Dan mirip bangsa yang beriman kepada Allah sepanjang sejarah, yaitu pengikut para rasul dan para nabi semenjak masa Nabi Ibrahim bapak para nabi hingga masa Muhammad, al-Qur'an menyebutkan mereka: (92. Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini yaitu agama kau semua; agama yang satu[971] dan Aku yaitu Tuhanmu, Maka sembahlah Aku. ) (QS. al Anbiya': 92)
dan firmannya juga: (Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kau kerjakan. Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, yaitu agama kau semua, agama yang satu, dan Aku yaitu Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.) (QS. al Mukminuun: 51, 52)
b. adapun konsep politik, ia terbatas pada kelompok-kelompok dan daerah. Allah telah bekehendak Islam yang pertama mendirikan Negara pertama dalam sejarah sesuai dengan konsep ini (konsep politik) sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah di (Negara Madinah Yatsrib), dan tidak menjadikannya terbatas pada satu kelompok dalam akidah; akan tetapi menghimpun di dalamnya antara umat Islam dari kalangan muhajirin dari Mekah dan umat Islam penduduk orisinil Madinah, sebagaimana juga terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik yang bersama mereka, dan mereka semua dikatakan: "sesungguhnya mereka yaitu satu bangsa" persis mirip Negara modern sekarang. Demikian pula Allah bekehendak bahwa Negara Islam yang gres ini tercatat pertama kali dalam sejarah dalam satu lembar konstitusi yang diakui oleh semua penduduknya, dan inilah yang belum kita dapatkan hal yang sama dalam sejarah.
Demikian pula perkataan: "sesungguhnya bangsa dalam Islam tidak mengekspresikan dirinya akan tetapi diwakili oleh sekelompok kaum darah biru yang memonopoli kekuasaan dan ilmu pengetahuan", ini yaitu perkataan yang sangat aneh. Karena:
- Mayoritas bangsa-bangsa kini tidak mencerminkan dirinya sendiri, akan tetapi melalui perwakilannya, menurut banyak undang-undang yang beragam. Sejak empat belas masa yang kemudian Islam tidak bekehendak membatasi aturan tertentu bagi pola ini dimana pendapat-pendapat terkadang berbeda sesuai dengan kondisi bangsa dan maslahatnya, akan tetapi system syari'at al-Qur'an dalam hal semacam ini memberi kebebasan bagi logika insan untuk menentukan sesuai dengan kebutuhannya yang berkembang.
- Islam tlah mewajibkan menuntut ilmu kepada semua tanpa ada monopoli, bahkan menyebabkan monopoli terhadap ilmu suatu kemungkaran yang ada hukumannya sebagaimana disebutkan dalam hukum-hukum rasul Islam, jika pada suatu masa muncul sekelompok ulama, dan umat insan mengikuti arahan-arahan mereka dengan impian mereka yang bebas, maka mereka tidak sanggup dinamakan kaum ningrat, apalagi sama sekali mereka bukan berasal dari kaum ningrat, namun mereka semua berasal dari kelompok miskin yang memimpin umat di hadapan kekuasaan para penguasa.
Di sini cukup dikemukakan satu pola dari ulama tersebut, yaitu hakim madinah Muhammad bin Umar at Thalhi yang memenangkan kasus atas salah satu khalifah besar abbasiyah Al Manshur al Abbasi di madinah untuk para kuli angkut dan penggembala keledai setelah hakim ini memanggil khalifah melalui surat pangilan kepada para kuli dan khalifah ke majlis pengadilan di halaman masjid, ia mendudukkan kedua belah pihak di hadapannya mirip rakyat biasa dan ia memenangkan kasus untuk para kuli ([1]), tanpa memperdulikan kedudukan khalifah dan kebesarannya di hadapan pengadilan.
Adapun perkataan Prof. William Zartmann "bahwa bangsa dalam Islam tidak pernah memimpin dirinya, sebab dalam teori politik Islam tidak ada balai pertemuan, atau dewan publikasi, atau parlemen." Ini yaitu pendapat yang sangat aneh, ia menganggap system-sistem gres yang berbeda-beda dalam cara kepemimpinannya telah merealisasikan keingian suatu bangsa memimpin dirinya sendiri, sebab banyak catatan ilmiyah atas majlis pemilihan ini:
dalam majlis-majlis ini dalam system demokrasi kapitalis, kekuasaan hanya dimiliki oleh lebih banyak didominasi suatu bangsa, dengan demikian kekuasaan dimonopoli oleh kaum darah biru gres yaitu darah biru mayoritas.
Adapun Majlis dalam system sosialis mirip majlis soviet, terkadang mereka menamakannya demokrasi juga, maka kekuasaan di sini mirip diketahui terbatas pada sekelompok minoritas, dengan demikian kekuasaan dimonopoli juga oleh kaum darah biru gres juga yaitu darah biru minoritas.
Berdasarkan catatan-catatan ini atas system-sistem dan majils ini, maka system syari'at al-Qur'an memiliki pandangan lebih jauh saat mewajibkan prinsip musyawarah, kemudian menyerahkan bentuk dan teknisnya pada logika umat ini sesuai dengan keperluan mereka yang selalu bekembang, sebagaimana telah kami sebutkan di atas dalam pembahasan kasus musyawarah.
Pada kesempatan ini kami tidak lupa mengingatkan pada perhatian Islam pada pendirian masjid semoga menjadi tempat perkumpulan pertama bagi umat Islam semenjak pertama kali Rasulullah r hingga ke madinah (Yatsrib) dimana ia mendirikan Negara Islam di sana, ia eksklusif membangun masjid dan menjadikannya sebagai tempat umum untuk mengurusi duduk kasus umat Islam dalam agama dan dunia mereka, di masjid tersebut mereka bertemu lima kali dalam satu hari untuk mendirikan shalat bagi yang sanggup melakukannya, dan satu hari dalam satu ahad yang wajib dilakukan bagi semua.
Masjid ini sekaligus menjadi tempat ibadah, tempat bermusyawarah, mendapatkan para utusan, rumah sakit, rumah pemondokan dimana Rasulullah mendapatkan pendeta nasrani Najran yang bertamu kepada beliau, tempat pengadilan, dan di sana Qadhi memenangkan kasus bagi para kuli angkut atas khalifah al Manshur, bahkan masjid juga menjadi tempat merayakan hari ied… apabila penguasa mengajak bermusyawarah di masjid dengan cara mengumandangkan adzan pada selain waktu shalat, mereka semua tahu bahwa ada duduk kasus penting, maka mereka segera meninggalkan pekerjaan mereka dan segera menuju majlis musyawarah yang tidak hanya terbatas pada satu kelompok, atau orang-orang tertentu, dan mereka semua berhak mengajukan pendapat.
Demikianlah, musyawarah antar warga telah terjadi semenjak masa awal, akan tetapi perkembangannya diserahkan pada logika sehat insan sesuai dengan kondisi mereka dan perkembangan maslahat mereka ([2]).
Ada perbedaan besar dan prinsip antara musyawarah Islam dan demokrasi barat, yang nampak terang sekali dalam standar ganda yang dilakukan oleh Negara-negara demokrasi barat dan amerika, saat suatu duduk kasus berkaitan dengan Negara kecil dari dunia ketiga.
Negara demokrasi ini sangat mengagungkan demokrasi di dalam negaranya, dan mempraktekkannya dengan sangat detail dan disiplin, dalam kasus yang berkaitan dengan kebebasan pendapat, kebebasan memilih, mengawasi pemerintah, dan mengkritik, dan di waktu yang sama kita lihat ia mendukung dan membantu para penguasa dictator di Negara ketiga, yang membunuh kebebasan pendapat dan mengubur kebebasan memilih, dimana penguasa tunggal dalam Negara tersebut selalu menang 99 %, dan tidak membolehkan mengontrol penguasa dan mengkritiknya, siapa yang berani melaksanakan hal itu maka ia akan dijebloskan ke dalam penjara, dan terkadang ia harus mendekam dalam penjara seumur hidup, ini jika tidak dinaikkan ke tiang gantungan.
Sejak usang Inggris merupakan kerajaan yang kekuasaannya tidak pernah mataharinya tenggelam, dan system kerajaannya yaitu system kolonial, yang mencabut hak rakyat dalam kemerdekaan, kemuliaan dan menentukan masa depan, dan pada waktu yang sama ia merupakan pemimpin demokrasi di dunia.
Setelah itu diteruskan oleh Amerika tapi bukan dengan penjajahan, akan tetapi dengan kekuasaan dan arogansi, kemudian diikuti oleh anak emasnya Israil, ia membantunya dengan harta dan senjata, dan dengan memakai hak veto untuk kemaslahatannya, ia bungkam terhadap malapetaka, penghancuran, pengusiran, dan menyia-nyiakan hak, yang menimpa rakyat Palestina. demikian pula perbuatannya yang tidak manusiawi dan tidak demokratis di Jepang, Vietnam dan Somalia, semua orang tahu.
Makara standar ganda merupakan huruf politik luar negeri Negara-negara demokrasi barat pada masa kini ini.
jika kita lihat pada petunjuk Islam yang merupakan dasar ms dalam Negara Islam, kita akan mendapatkan standar tunggal, yang menjadi pijakan yaitu kebenaran dan keadilan antara insan dengan aneka macam jenis warna kulit, ras, bahasa dan agama, walaupun antara umat Islam dan orang-orang yang bersengketa dengan mereka ada permusuhan (Hai orang-orang yang beriman hendaklah kau jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kau untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih akrab kepada takwa. ) (QS. Shaad: 26). al Maidah: 8)
Tidak ada iman atau sistem di muka bumi ini yang menjamin keadilah mutlak bagi musuh yang dibenci mirip agama ini (Islam); sebab Islam menyuruh para pemeluknya semoga menegakkan keadilan sebab Allah, melepasakan diri dari selainNya, dan semoga mereka menjadi saksi dengan adil, dan semoga kebencian mereka kepada musuh tidak menghalangi mereka berbuat adil kepada mereka.
keputusan yang adil dalam kasus musuh yang dibenci bukan hanya sekedar wasiat, bukan pula sekedar teori, akan tetapi merupakan kenyataan dalam kehidupan umat Islam pada masa-masa cemerlang. insan tidak menyaksikan mirip itu sebelumnya maupun sesudahnya, conton-contoh yang dicatat oleh sejarah dalam maslah ini banyak sekali. apakah bertentangan dengan kenyataan jika kita katakana: sebenarnya masyarakat yang dibangun oleh Islam telah hingga pada tingkat musyawarah dan keadilan yang tidak dicapai oleh masyarakat manapun.
Musyawarah dalam masyarakat muslim yang melaksanakan aturan yang diturunkan oleh Allah tidak mirip musyawarah dalam masyarakat demokrasi di Negara-negara non muslim, baik itu demokrasi kapitalis yang merupakan (aristokrasi mayoritas) walaupun dengan satu suara, atau demikrasi sosialis yang berupa (aristokrasi minoritas) yang menindas kelompok lebih banyak didominasi dengan besi dan api.
Hal itu yaitu musyawarah yang dibentuk oleh manusia, untuk bermusyawarah dalam system pemerintahannya dengan dirinya sendiri, sedangkan musyawarah dalam Islam yaitu tukar pendapat antara orang-orang yang memiliki ajaran yang cerdas dari ahlul halli wal aqdi, untuk hingga pada keputusan terbaik dalam menerapkan aturan Allah atas manusia.
Oleh sebab itu masyarakat dalam Islam sangat mulia, sebab ia yaitu perintah Allah, dihentikan bagi penguasa menghapusnya untuk memaksakan kekuasaannya pada manusia:
(Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.) ((QS. Ali Imran: 156)
(Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; ) ((QS. Asssyuura: 38)
sedangkan dalam Negara yang memakai undang-undang buatan manusia, seorang penguasa boleh membekukan konstitusi, dan memberlakukan aturan darurat dengan alasan keamanan, disinilah terjadi perilaku diktatorial dan kezaliman.
Oleh sebab musyawarah dalam Islam bersumber dari Tuhan, maka pemimpin muslim yang bertakwa tidak akan merasa gusar jika mendengar kritikan dari rakyat yang mana saja, ia akan menerimanya dengan tulus dan menjawabnya dengan kebesarah jiwa, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Khattab kepada seorang perempuan yang membantahnya dalam kasus pembatasan Mahar: "Umar salah dan perempuan ini benar" ([3]).
dan juga ia berkata kepada salah seorang yang mengkritiknya: "tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak mengatakannya, dan tidak ada kebaikan pada kami jika kami tidak mendengarnya."([4]).
Dalam masyarakat muslim musyawarah memperoleh nilai dari petunjuk Islam yang lurus, yang tidak menjadikannya sebagai debat kusir, dan para politikus gadungan, mirip yang terjadi dalam banyak DPR sekaran, dan majis rakyat, akan tetapi musyawarah diletakkan pada para pemuka masyarakat yang memiliki ajaran yang cerdas dan latar belakang pengetahuan yang memadai, sebagaimana dipahami dari sabda nabi r:
لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى
«Hendaklah berada di belangkangku dari kalian yaitu orang bijaksana dan cerdas.» (HR. Muslim)
Nabi memberi instruksi semoga mengedepankan orang-orang bijak dan cerdas berdiri di belakang ia di waktu shalat merupakan pencalonan bagi mereka untuk menjadi anggota musyawarah dan ahlul halli wal aqdi dalam masyarakat muslim. dan jauh sekali bedanya antara musyawarah yang anggotanya terdiri dari para penjahat dan rakya jelata, dan musyawarah yang anggotanya terdiri dari orang-orang baik, mulia dan orang-orang terhormat ([5]).
SUMBER ARTIKEL;
- ([1]) Khulashat al madzhab al mukhtashar min siyar al muluk, dinukil dari al madkhal al fiqhi al aam, karangan ustasdz Mushthafa az zarqa, hal 169-201, cet ke v thn. 1957M.
- ([2]) Ad daulah wa assulthah fi al Islam, oleh Dr. Ma'ruf ad dawalibi: 51-59.
- ([3]) Ibn al Jauzi: 129, Syarh Ibn Abi al Jadid: 1/61.
- ([4]) Akhbar Umar, oleh At thanthawi: 267.
- ([5]) Lihat: wamadhaat al khathir, oleh pengarang: 133-135.