Pengertian Etika Dan Etika Islam

A. Pengertian Etika dan Etika Islam
Etika yaitu suatu cabang filsafat yang membicarakan ihwal sikap manusia. Atau dengan kata lain, cabang filsafat yang mempelajari ihwal baik dan buruk.
Untuk menyebut etika, biasanya ditemukan banyak istilah lain : moral, norma dan etiket.[1] Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah “etika” pun bersal dari Yunani kuno. Kata Yunani ethos merupakan bentuk tunggal yang bisa mempunyai banyak arti: daerah tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap dan cara berpikir. Bentuk jamaknya yaitu ta etha yang berarti: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” dalam filsafat. Dalam sejarahnya, Aristoteles (384-322 SM) sudah menggunakan istilah ini yang dirujuk kepada filsafat moral.

Istilah lainya yang mempunyai konotasi makna dengan etika yaitu moral. Kata moral dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores, atau manners, morals. Kata moral berarti budpekerti atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hatinurani yang menjadi pembimbing tingkah laris batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika.[2]

Secara etimologis, etika yaitu anutan ihwal baik buruk, yang diterima umum ihwal sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana etika. Akhir-akhir ini istilah etika mulai dipakai secara bergantian dengan filsafat moral lantaran dalam banyak hal, filsafat moral juga mengkaji secara cermat prinsip-prinsip etika.[3]

Ketika dihubungkan dengan Islam, selalu muncul pertanyaan mendasar, adakah sebetulnya yang disebut sebagai etika Islam itu?. Menurut abdul Haq Anshari dalam Islamic Ethics: Concepts and Prospects meyakini bahwa sebetulnya Etika Islam sebagai sebuah disiplin ilmu atau subyek keilmuan yang berdikari tidak pernah ada pada hari ini. Menurutnya kita tidak pernah menjumpai karya-karya yang mendefinisikan konsepnya, menggambarkan isu-isunya dan mendiskusikan pemaslahannya. Apa yang kita temukan justru diskusi yang dilakukan oleh banyak sekali kalangan penulis, dari kelompok filosof, teolog, jago aturan Islam, sufi dan teoretesi ekonomi dan politik dibidang mereka masing-masing ihwal banyak sekali isu, baik yang merupakan penggalan dari keilmuan mereka atau relevan dengan etika Islam.[4]

B. Konsep Etika Menurut Para Filosof Muslim 
Al-Kindi 
Dalam hal ini etika Al-Kindi bekerjasama erat dengan definisi mengenai filsafat atau cita filsafat.[5] Filsafat yaitu upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh sanggup dijangkau oleh kemampuan manusia[6]. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah biar insan mempunyai keutamaan yang sempurna, juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh keutamaan.[7] Kenikmatan hidup lahiriah yaitu keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriah berarti meningggalkan penggunaan akal.

Pertanyaan yang sanggup diajukan ialah bagaimana cara untuk menjadi insan yang mempunyai keutamaan yang tepat itu. Bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu biar sanggup mencapai keutamaan itu. Jawaban pertanyaan ini ialah : keahuilah keutamaan itu dan bertingkah lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu.
Al-Kindi beropini bahwa keutamaan insan tidak lain yaitu budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapai bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Hal ini dibagi lagi menjadi tiga :
  1. Kebijaksanaan (hikmah) yaitu keutamaan daya fikir; bersifat teoritik yaitu mengetahu segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki; bersifat mudah yaitu menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
  2.  Keberanian (nadjah) ialah keutamaan daya gairah (ghadabiyah; passiote), yang merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada ajal untuk mencapai sesuatu yang harus dicapai dan menolak yang harus ditolak.
  3. Kesucian (iffah) yaitu memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara tubuh serta menahan diri yang tidak dibutuhkan untuk itu.
Kedua keutamaan-keutamaan insan tidak terdapat dalam jiwa, tetapai erupakan hasil dan buah dari tiga macam keutamaan tersebut. Dan ketiga hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin dalam keadilan. Penistaan yang merupakn padanannya yaitu penganiayaan.[8]
Al-Razi 
Filsafat etika Al-Razi terdapat hanya dalam karyanya :
  • Al-tibb al-ruhani
  • Al- Shirat al-Falsafiyyah
Al-Razi beropini bahwa :
  1. Seorang dalam hidup ini harus moderat, maksudnya dalam hidup ini kita jangan terlalu zuhud tetapi jangan pula terlalu tamak[9]
  2. Tidak terlalu menyendiri
  3. Tidak terlalu mengumbar hawa nafsu tetapi jangan pula membunuh nafsu.
Untuk mencapai tujuan tersebut ia membuat dua buah batas dalam hidup ini :
a. Batas tertinggi
Batas tertinggi ialah menjauhi kesenangan yang hanya sanggup diperoleh dengan jalan menyakiti orang lain ataupun bertentangan dengan rasio.
b. Batas terendah
Batas terendah ialah menemukan atau memakan sesuatu yang tidak membahayakan atau mengakibatkan penyakit dan menggunakan pakaian sekedar untuk menutup tubuh, dan diantara batas itu orang sanggup hidup tanpa keterlayakan.[10]

Filsafat etika al-Razi yang lain yaitu :
  1. Al-Razi juga berkata bahwa insan harus mengendalikan hawa nafsunya; ia mengemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh Plato tentang-tentang aspek jiwa :
  2. Al-Razi juga berkata bahwa insan harus mengendalikan hawa nafsunya; ia mengemukakan perbedaan yang dikemukakan oleh tentang-tentang aspek jiwa :
  •  Nalar
  • Lingkungan
  •  Hasrat dan memperlihatkan bagaimana keadilan mesti mengatasi semua itu.
c. Al-Razi mengenali dusta, dusta yaitu hal yang buruk
d. Tamak yaitu suatu keadaan yang sangat jelek yang sanggup menjadikan rasa saki dan bencana. Mabuk mengakibatkan malapetaka dan sakitnya jiwa dan raga dan sebagainya.[11]

Dan keempat pendapat tersebut tercakup dalam Risalah etika Al-Razi yang cukup terkenal, Obat Pencahar Rohani (Spiritual Phisic).[12]

3. Al-Farabi 
Konsep etika yang ditawarkan Al-Farabi dan menjadi salah satu hal penting dalam karya-karyanya, berkaitan erat dengan pembicaraan ihwal jiwa dan politik.[13] Begitu juga erat kaitanya dengan kasus etika ini yaitu kasus kebahagiaan. Didalam kitab At-tanbih fi sabili al-Sa’adah dan Tanshil al-Sa’adah, Al-Farabi menyebutkan bahwa kebahagiaan yaitu pencapaian kesempurnaan simpulan bagi manusia,[14] al-Farabi juga menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diahirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yakni :
  • Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh semenjak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperleh dengan kontemplasi, penelitian dan melalui belajar.
  • Keutamaan pemikiran, yaitu yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk dalm hal ini, kemampuan membuat aturan-aturan, lantaran itu disebut keutamaan pemikiran budaya (fadhail fikriyah madaniyyah).
  • Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada dibawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran, kedua jenis keutamaan tersebut, terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyemprna watak atau watak manusia.
  • Keytamaan amalia, diperoleh dengan dua cara yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.[15]
4. Ikhwan al-Safa`
Adapun ihwal moral etika, ikhwan al-Safa’ bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi. Harus memupuk rasa cinta untuk bisa hingga pada eksatase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat yaitu sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan, kasih saying dan keadilan. Rasa syukur, mengutamakan kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian perasaan, kecintaan yangmembara sesama manusia, dan keramahan terhadap alam dan binatang liar sekalipun.

Jiwa yang telah dibersihkan akan bisa mendapatkan bentuk-bentuk cahaya spiritual dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa dan tidak terbelenggu oleh ikatan jasmani, semakin sanggup memahami makna dasar yang tersembunyi dalam kitab suci dan kessuainya dengan data pengetahuan rasional dalm filsafat. Sebaliknya, selama jiwa terperosok dalam daya pikat tubuh dan oleh keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenanganya, ia tidak dapt mengetahui makna kitab suci dan ia tidak akan sanggup beranjak kepad bola-bolalangit dan secara langsungmerenungkan apa yang ada disana.[16]

5. Ibnu Maskawaih
Ibnu maskawai yaitu seorang moralis yang terkenal. Sehingga ia menerima julukan sebagai bapak etika Islam, Maskawaih dikenakl juga sebgai guru ketiga (Al-Mutaalim al-Tsalis), sesudah al-Farabi yang digelari guru kedua. Sedangkan yang dipandang sebagai guru pertama yaitu aristoteles.

Teorinya ihwal etika secara rinci ditulis dalam kitab Tahdzb al-Akhlaq wa al-‘Araq (pendidikan budi dan pencucian watak). Maskawai membagi kitabnya itu menjadi tujuh bagian. Bagian pertama membicaraka perihal jiwa yang merupakan dasar pembahasan akhlaq. Bagian kedua membicarakan insan dalam hubunganya dengan akhlak. Bagian ketiga membicarakan perihal kebajikan dan kebahagiaan yang merupakan inti pembahasan ihwal akhlak. Bagian keempat membicarakan perihal keadilan. Bagian kelima membicarakan perihal cinta dan persahabatan. Bagian keenam dan ketujuh membicarakan perihal pengobatan penyakit-penyakit jiwa.

Teori etika Maskawaih bersumber pada filsafat Yunani, peradaban Persia, anutan dyari’at Islam, dan pengalaman pribadi.[17] Filsafat etika Maskawaih ini selalu menerima perhatian utama. Keistimewaan yang menarik dalam tulisanya ialah pembahasan yang didasarkan pada anutan Islam (Al-Qur’an dan Hadits) dan dikombinasikan dengan pemikiran yang lain sebagai pelengkap, menyerupai filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Persia. Dimaksud dengan suplemen ialah sumber lain gres diambilnya apabila sejalan dengan anutan Islam dan sebaliknya ia tolak, jika tidak demikian.[18]

Akhlak, berdasarkan Maskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa piker dan pertimbangan. Sementara tingkah laris insan terbagi menjadi dua unsure, yakni unsure watak naluriah dan unsure lewat kebiasaan dan latihan.[19]

Berdasarkan ilham diatas, secara tidak pribadi Ibnu Maskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang menyampaikan bahwa budpekerti insan tidak sanggup berubah. Bagi Ibnu Maskawaih budpekerti yang tercela bisa bermetamorfosis budpekerti yang terpuji dengan jalan pendidikan (Tarbiyah al-Akhlak) dan latihan-latihan. Pemikiran menyerupai ini terperinci sejalan dengan anutan Islam lantaran kandungan anutan Islam secara eksplisittelah mengisyaratkan kearah ini dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki budpekerti manusia. Kebenaran ini terperinci tidak sanggup dibantah, sedangkan budpekerti atau sifat binatang saja bisa berubah dariliar menjadi jinak, apalagi budpekerti manusia.[20]

Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian ihwal budpekerti yaitu kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa’adah) dan keutamaan (al-fadhilah). Menurut Ibnu Maskawaih, kebaikan yaitu suatu keadaan dimana kita hingga kepada batas simpulan dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum dan adakalanya khusus. Diatas semua kebaikan itu terdapat kebaikan mutlak yang identik dengan wujud tertinggi.

Mengenai pengertian kebahagiaan telah dibicarakan oleh pemikir-pemikir Yunani yang pokoknya terdapat dua versi, pandangan pertama dari Plato dan yang kedua oleh Aristoteles. Ibnu Maskawaih tampil diantaara dua pendapat tersebut. Menurutnya, lantaran pada diri insan ada dua unsure, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu mencakup keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat. Pertama ada insan yang terikat dengan hal-hal yang bersifat benda dan menerima kebahagiaan dengannya, namun ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa, kemudian berusaha memperolehnya. Kedua, insan yang melepaskan diri dari keterikatanya kepada benda dan memperoleh kebahagiaannya lewat jiwa. 

Tentang keutamaan, Ibnu Maskawaih beropini bhwa asas semua keutamaan yaitu cinta kepada semua manusia. Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat mustahil ditegakkan.[21]

6. Al-Ghozali
Filsafat etika al-Ghozali secara sekaligus sanggup kita lihat pada teori tasawufnya dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika al-Ghazali yaitu teori tasawufnya. Mengenai tujuan pkok dari etika al-Ghazali kita temukan pada semboyan tasawuf yang populer : al-Takhalluq bi-Akhlaqillah ‘ala taqothil Basyathiyyah, atau pada semboyannya yang lain, al-Shifatir-Rahman ‘ala Taqhathil Basyathiyah.

Maksud semboyan itu adalh biar insan sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan menyerupai pengasih, penyayang, pengampun dan sifat-sifat yang disukai Tuhan,sabar jujur, takwa, zuhud, ihlas beragama dan sebagainya.

Dalam Ihya’ Ulmuddin itu, al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnyadalam mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya mengupas soal kebersihan tubuh lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani.

Al-Ghazali melihat sumber kebaikan insan itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan mengembangkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Al-ghazali juga mengakui bahwa kebaikan tersebur dimana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disedeeer hanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allh itu, al-Ghazali memperlihatkan beberapa cara latihan yang pribadi mensugesti rohani. Diantaranya yang terpenting ialah muraqabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan al-mahasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.

Menurut al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yaitu kepuasan dan kebahagiaan. Kepuasan yaitu apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang mencicipi kebahagiaan.

Akhirnya, kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui kebenaran dari sumber segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit juga dan dengan penyaksian hati yang sangat yakin.[22]

7. Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah membagi perbuatan insan menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan cita-cita hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi yaitu perbuatan yang didasrkan atas petimbangan rasio dan kemauan yang higienis lagi luhur.

Sebagi contoh, perbuatan makan bisa dikategorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk memenuhhi cita-cita hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun, apabila perbuatan makan dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam dalam mencapai keutamaan hidup, perbuatan tersebut jatuh pada perbuatan manusiawi.

Perbedaan antara kedua perbuatan ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan hawa nafsu tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan rasio maka dinamakan perbuatan manusiawi. 

Pandangan Ibnu Bajjah diatas sejalan dengan anutan Islam. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa insan yang mendasarkan perbuatanya atas iradah yang merdeka dan logika budi akan sanggup mencapai kebahagiaan. Menurut Ibnu Bajjah, apabila perbuatan dilakukan demi memuaskan logika semata, perbuatan ini menyerupai dengan perbuatan ilahy dari pada perbuatan manusiawi.

Secara ringkas Ibbnu Bajjah membagi tujuan perbuatan insan menjadi tiga tingkat sebagai berikut :
  • Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Pada tujuan ini insan sama derajatnya dengan hewan.
  • Tujuanrohaniah husus, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Tujuan ini akan melahirkan keutamaan akhlaqiyyah dan aqliyyah.
  • Tujuan rohaniah umum (rasio), dilakukan atas dasar kepuasan pemikiran untuk sanggup bekerjasama dengan Allah. Inilah tingkat insan yang sempurnadan taraf inilah yang ingin dicapai insan penyendiri Ibnu Bajjah.[23]
8. Ibnu Thufail
Menurutnya, insan merupkan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esesnsi non-bendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara memalsukan tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruanya, pertamaterikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca burukdan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, pereungan atas esensi Tuhan dan perputaran atas esesnsi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.

Ibnu Thufail sepertinya percaya bahwa benda-benda angkasa mempunyai jiwa hewani dan karam dalam perenungan yang tak habis-habisnya ihwal Tuhan. Terahir ia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari cita-cita jasmaniah dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban demi diri sendiri, demi yang lain-lain dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terahir yaitu suatu ahir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudanya dalam visi akan rahmat Tuhan. Dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.[24]

9. Ibnu Rusyd
Mengenai etika Ibnu Rusyd membenarkan teori Plato yang menyampaikan bahwa insan yaitu makhluk social yang membutuhkan kolaborasi untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai kebahagiaan. Dalam merealisasikan kebahagiaan yang merupakan tujuan ahir bagi manusia, dibutuhkan dukungan agama yang akan meletakkan dasar-dasarkeuamaan budpekerti secara praktis, juga dukungan filsafat yang mengajarkan keutamaan teoritis, untuk itu dibutuhkan kemampuan perhubungan dengan logika aktif.[25]

10. Nashiruddin At-Thusi
Nasir al-Din Abd al-Rahman, gubernur Ismailiyah dan Quhistan, memerintahkan al-Thusi menerjemahkan kitab al-Thaharah (Tahdzib al-Ahlaq) dari bahasa Arab kedalam bahasa Pesia. Namun al-Thusi melihat karya Maskawaih tersebut terbatas pada penggambaran disiplin moral, hal yang bekerjasama dengan rumah tangga dan politik tidak disinggung dalam buku tersebut. Padahal, keduanya merupakan aspek yang sangat penting dari “Filsafat Praktis”, dan lantaran itu dihentikan diabaikan. Atas dasar itulah al-Thusi memasukkan kasus rumah tangga dan politik dalam karyanya, Akhlaq-I Nasiri, dengan menyetir pemikiran al-Farabi dan Ibnu Sina. Makara karya tersebut tidak semata-mata terjemahan dari Tahdzib al-Ahlaq sebagaimana diutarakan dalam encyclopedia of Islam, tetapi lebih bersifat ringkasan dari buku Tahdzib al-Akkhlaq dengan format dan penjabaran kasus sepenuhnya merupakan karya al-Thusi.

Bukunya Akhlaq-I Nashiri mengklasifikasikan pengetahuan kedalam spekulasi dan praktek. Pengetahuan speklatif dibaginya dalam (a) metafisika dan theology, (b) matematika, (c) ilmu-lmu alam, termasuk elemen, ilmu-ilmu transportasi, meteorology, minerologi, botani, zoology, psikogi, pengobatan, astrologi dan agrikultur. Pengetahuan mudah termasuk (a) etika, (b) ekonomi domestik dan (c) politik.

Baik dan jelek tidak luput dari perhatian Thusi. Kebaikan tiba dari Tuhan, sedangkan yang jelek lahir secara kebetulan dalam perjalanan yang baik.

Menurut al-Thusi bahwa kebahagiaan utama yaitu tujuan moral utama, yang ditentukan oleh daerah dan kedudukan insan didalam evolusi kosmik dan diwuudkan lewat kesediannya untuk berdisiplin dan patuh. Al-Thusi juga menempatkan kebajikan (tafadhol) diatas keadilan dan cinta (mahabbah) sebagai sumber alami kesatuan, diatas kebajikan.

Bagi al-Thusi, penyakit moral bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, yaitu (1) keberlebihan, (2) keberkurangan dan (3) ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat. Bagi al-Thusi masyarakat berperan. Bagi al-Thusi, masyarakat juga berperan memilih kehidupan moral, lantaran intinya insan yaitu makhluk social, bahkan kesmpurnaannya terletak pada tindakannya yang bersifat social kepad sesamanya. Dengan kata lain, ia mendukung konsep cinta dan persahabatan.

Lebih luas permasalahan moral, Thusi memasukkan urusan rumah tangga kedalamnya. Thusi mendefinisikan rumah (manzil) sebagai hubungan istimewa antara suami dan istri, orang bau tanah dan anak, tuan dan hamba serta kekayaan dan pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga yaitu mengembangkan system disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik,social dan mental kelompok. Mengenai disiplin anak-anak, Thusi mengikuti pendapat Maskawaih memulai dengan penanaman moral yang baik lewat pujian, hadiah dan celaan yang halus.[26]

11. Mulla Shadra
Agama Islam diturunkan oleh Allh kepada insan dengan tujuan untuk membimbing meereka memperoleh kebahagiaan tertinggi dengan jalan membuat keseimbangan, baik pada tingkat individu maupun social. Hal ini mengandung arti bahwa substansi insan yan diciptakan oleh dzat Yang Maha Sempurna, harus mengetahuui cara mengaktualisasikan seluruh kemampuannya.

Berkaitan dengan kebahagiaan ini, Mulla Shadra menyatakan sangat bergantung kepada kesempurnaan jiwa dalam proses inteleksi (taaqqul). Lebih lanjut Shadra menyampaikan bahwa pengetahuan sanggup mengalih bentuk orang yang tahu dalam proses trans-subtansi (harka jauhariya)nya menuju kesempurnaan.

Menurut prinsip harka jauhariya, substansi wujud didunia inni mengalami transformasi terus menerus dengan menempatkan insan sebagai sentra domain dunia yang menghubungkan seluruh skala wujud.

Berkaitan dengan keadilan (‘adalah), tidak sanggup dipisahkan dengan konsep keseimbangan (I’tidal) yang mempunyai akar kata yang sama. Bagi Mulla Shadra, kedua konsep itu dikaitkan dengan pucuk kesempurnaan jiwa insan dan persoalan-persoalan etika didalam filsafat, tasawuf dan syariah[27]. 

12. Iqbal
Filsafat Iqbql yaitu filsafat yang meletakkan kepercayaan kepada insan yang dilihatnya mempunyai kemungkinan yang tak terbatas, mempunyai kemampuan untuk mengubah dunia dan dirinya sendiri, serta mempunyai kemampuan untuk ikut memperindah dunia. Hal ini dimungkinkan lantaran insan merupakan wujud penampakan diri dari Aku Yang Akbar.

Manusialah yan sanggup mengambil inisiatif menyiapkan diri dalam menghadapi tantangan alam dan mengerahkan seluruh kekuatannya supaya sanggup mempergunakan tenaga-tenaga alam untuk tujuan sendiri. Dengan bersenjatakan pengetahuan, insan berkenalan dengan aspek kebenaran yang sanggup diselidiki. Usaha pikiran mengatasi yang disebabkan oleh alam. Manusia bertahan dengan alam, dan pertalian ini memungkinkan insan mengawasi tenaga-tenaga alam yang dikerahkan untuk mengambil manfaatnya, bukan dengan nafsu jahathendak menguasainya, melainkan mendatangkan keunugan yang lebih mulia dalam perkembangan rohaniahnya.

Untuk tujuan ini, Iqbql beropini bahwa persepsi indrawi saja tidak cukup, tetapi harus dilengkapi dengan persepsi lain, yang oleh al-Qur’an disebut fuad dan qalb.

Dalam hal mencari kebenaran dari suatu pengalaman, Iqbal membagi dua macam cara pembuktian ; pertama, pembbuktian secara logika dan cara kedua pembuktian secara pragmatis. Yang dimaksud pembuktian secara logika yaitu penafsiran yang kritis tanpa prasangka ihwal pengalaman manusia. Pembuktian secara pragmatis yaitu pembbuktian kebenaran dari suatu pengalaman dengan melihat hasilnya. Dalam hal ini pengalaman religius dilihat dari hasilnnya.

C. Analisis Tentang Konsep Etika Para Filosof Muslim
Dari sini saya sanggup menganalisis bahwa, beberapa konsep-konsep etika filosofis muslim mencerminkan imbas aliran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya ihwal moral yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi sebagai filosof Muslim pertama, sanagat dipengaruhi oleh Socrates. 

Pengaruh klasik lainnya bisa juga dilihat dalam karya-karya filosof beraliran Platonis menyerupai Abu Bakar al-Razi, yang mengikuti pembagian Plato ihwal pembagian-pembagian jiwa, dan kalangan Neoplatonis menyerupai al-Farabi. Sementara imbas Aristotelian bisa juga dilihat dari al-Farabi, yang mendiskusikan ihwal kejahatan.

Didalam karya etika Maskawaih imbas Platonis mendapatkan konfirmasi dan dimensi politiknya lebih jauh dimana sebelumnya tak ada, maka pada ketika ini mulai tampak. Didalam karya etika Maskawaih, ia mencabangkan tiga penggalan kebajikan menjadi kebijaksanaan keberanian, keberanian dan kesederhanaan.

Dimensi politik muncul secara penuh dalam tulisan-tulisan Nasir al-Din al-Tusi yang menggambarkan jauh lebih baik mengenai kesatuan organis antara politik dan etila dari pada pendahulunya.

Al-ghazali, yang system etikanya mencangkup moralitas filosofis, teologis dan sufi, yaitu pola yang paing representatif dari tipe etika religius. Terahir Mulla Shadra, yang pemikirannya dipenuhi oleh elemen-elemen Ibnu Sna dan al-Ghazali,dapat dianggap sebagai wakil penting pada periode klasik dalam goresan pena ihwal etika, filsafat dan teologi.

Dalam beberapa konsep etika ini banyak para filosof yang menghubungkan etika ini dengan tujuan pencapaian kebahagiaan insan didunia dan diahirat diantaranya adalah, ada juga yang menghubungkan etika dengan jiwa, baik itu merupakan jiwa hewani, esensi non-bendawi, diantaranya maupun manusiawi. Selain itu masih ada juga yang menghubungkan moral atau etika dengan politik, rumah tangga dan menghubungkannya dengan keutamaan-keutamaan dengan mengerjakan perbuatan yang baik dan terpuji.

Referensi;
[1] Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh (Malang : UMM Press, 2003),h.61 
[2] K.Bartens, Etika (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 4 
[3] Pradana Boy, Filsafat Islam……,h.63 
[4] Pradana Boy, Filsafat Islam……,h.64-65 
[5] Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), h.28 
[6] H.A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung : Pustaka Setia, 1997), h.110 
[7] Sudarsono, Filsafat……,h.28 
[8] Mustofa, Filsafat……,h.111 
[9] Sudarsono, Filsafat……,h.56 
[10] M.M.Syarif, Para Filosof Muslim (Jakarta : Mizan, 1993),h.48 
[11] Syarif, filosof Muslim……,h.49-50
[12] Majid fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis (Bandung : Mizan, 2001),h.36 
[13] hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999),h.43 
[14]Pradana Boy, Filsafat Islam……,h.121 
[15] Nasution, , Filsafat……,h.43 
[16] Nasution, , Filsafat……,h.52-53 
[17] Mustofa, Filsafat……,h.176 
[18] Sirajudin zar, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004),h.135 
[19] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1986),h.61 
[20] Sirajudin zar, Filsafat……,h.135 
[21]Nasution, , Filsafat……,h 
[22] Mustofa, Filsafat……,h.240 
[23] Sirajuddin, Filsafat……,h.197-198 
[24] Mustofa, Filsafat……,h.279-280 
[25] Nasution, Filsafat……,h.126 
[26] Nasution, Filsafat……,h.139-142 
[27] Nasution, Filsafat……,h.180-181

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel