Defenisi Government Dan Governance

GOVERNMENT DAN GOVERNANCE 
Pemerintah atau government intinya merupakan suatu struktur forum formal yang menyelenggarakan kiprah keseharian negara. Dalam Black’s Law dictionary, yang disusun Henry Campbell Balck, Government didefinisikan antara lain sebagai “…an organization through which a body of people exercise political authority: the machinery by which sovereign power is exercised…”. Pertengahan tahun 1980-an telah berkembang konsep governance yang dirumuskan oleh World Bank sebagai “….the manner in which power is exercised in the management of country’s economic and social resource for development…” (dalam Harkrisnowo, 2003). United Nations Development Programme (UNDP) merumuskan istilah governance sebagai suatu exercise dan kewenangan politik, ekonomi, dan manajemen untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP, 1997). 

Ada beberapa dimensi penting yang sejauh ini mencirikan apa yang disebut dengan governance. Pertama, dari dimensi kelembagaan, governance ialah sistem manajemen yang melibatkan banyak pelaku (multistakeholder), baik dari pemerintah maupun dari luar pemerintah. Perbedaannya dengan manajemen publik yang konvensional ialah dalam hal struktur. Administrasi publik yang konvensional cenderung berbagi struktur kelembagaan yang formal, mempunyai hirarkhi yang ketat, dan mekanisme yang rigid. Sedangkan governance cenderung berbagi struktur kelembagaan yang longgar dan lentur, informal, dan sanggup bersifat sementara. Pola relasi dalam governance, bahkan bisa saja berupa mekanisme, prosedur, dan jaringan. Dengan demikian governance bisa menjadi lebih responsif terhadap dinamika politik dan ekonomi yang berkembang dalam masyarakat (Dwiyanto, 2003:21-22). 

Dimensi kedua dari governance ialah nilai yang menjadi dasar dalam penggunaan kekuasaan. Dalam manajemen publik yang tradisional, efisiensi dan efektifitas menjadi nilai utama yang ingin diwujudkan. Efisiensi diperlakukan sebagai panglima dan sebab itu menempati posisi yang sentral dalam manajemen publik. Gerakan manajemen negara gres (new public administration) pada tahun 1970-an telah mengkritisi hal ini dengan memperlihatkan nilai gres menyerupai keadilan sosial, kebebasan, dan kemanusiaan. Dalam governance, penggunaan kekuasaan harus didasarkan pada nilai yang jauh lebih kompleks dari efisiensi dan efektivitas atau bahkan nilai-nilai yang dulu ditawarkan oleh gerakan manajemen negara baru. Efisiensi dan efektivitas, keadilan sosial, dan demokrasi hanyalah sebagian dari nilai-nilai yang biasanya dipakai untuk menilai suatu praktik governance yang baik. Mengenai nilai yang sebaiknya dipakai sebagai dasar dalam penggunaan kekuasaan, tentu jawabannya bisa berbeda antar ruang dan waktu. Setiap bangsa tentu mempunyai sejarah dan pengalaman pemerintahan yang berbeda dan menghasilkan tradisi dan nilai yang berbeda yang diakui kemanfaatannya oleh bangsa itu (Dwiyanto, 2003: 22). 

Dimensi ketiga dari governance ialah dimensi proses yang mencoba menjelaskan bagaimana banyak sekali unsur dan forum menyampaikan respon terhadap banyak sekali problem publik yang muncul di lingkungannya. Frederickson (1997) menyampaikan “governance of high complexity, both in making and implementing policy”. Ia menyampaikan bahwa dalam governance terkandung semua stakeholder dari kebijakan publik yang dibentuk untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, baik lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Ilmuwan-ilmuwan manajemen publik lainnya, menyerupai Garvey (1993), Behn (1991), dan Dilulio (1994), juga menjelaskan proses governance sebagai proses kebijakan untuk merspon masalah-masalah publik yang melibatkan banyak pelaku, pemerintah dan non pemerintah. Dalam konteks ini, governance dipahami sebagai sebuah proses di mana para pemimpin dan inovator kebijakan dari banyak sekali forum yang ada di dalam dan di luar pemerintahan berbagi jaringan untuk mengelola proses kebijakan publik (Dwiyanto, 2003:23-24). 

Good governance dikonsepsikan Meier (1991) sebagai cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan, dan administrasinya bertanggungjawab kepada publik (dalam Mas’oed, 1994:59). Good governance juga dikonsepsikan Khan (1996) sebagai sebuah kerangka institusional yang menyeluruh, yang di dalamnya masyarakat diizinkan untuk berinteraksi dan bertransaksi secara bebas pada semua tingkatan untuk menyalurkan aspirasi politik, ekonomi, dan aspirasi sosial mereka (dalam Moeljarto, 2000:2). Konsep ini menghendaki kesejajaran relasi antara institusi negara, pasar, dan masyarakat, sehingga perlu ada sebuah redefinisi kiprah dan relasi di antara ketiga institusi tersebut di atas yang pada karenanya diharapkan akan memunculkan relasi yang serasi di antara ketiganya. Hubungan yang serasi ini diharapkan akan menghasilkan pemerintah yang higienis dan responsif, maraknya masyarakat sipil, dan kehidupan bisnis yang bertanggungjawab (Achwan, 2000:39). 

Misi utama good governance ialah merubah wilayah politik dari arena penegasan identitas kelompok menjadi arena demokrasi. Suatu arena yang ditandai oleh semaraknya kehidupan banyak sekali perkumpulan atau organisasi sukarela yang menghormati prinsip universalisme dan mengasihi penyelesaian konflik secara tenang (Achwan,2000:39). Konsekuensinya perlu dilakukan dilakukannya pembagian kekuasaan dari pemerintah kepada lembaga-lembaga lain (pasar dan masyarakat), sehingga pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya forum yang menjalankan fungsi governing. Dalam konsep ini pemerintah hanya menjadi salah satu pemain film yang diharuskan berhubungan dengan aktor-aktor non pemerintah. Sehingga wilayah politik tidak hanya dikuasai oleh satu kelompok dan menjadi arena penegasan identitas kelompok tertentu yang berkuasa dalam pemerintahan, tetapi menjadi sebuah wilayah yang demokratis. 

Mengacu kepada pendapat Coston (1998:481), pemaknaan good governance (tata kepemerintahan yang baik) menyerupai di atas identik dengan democratic governance (tata kepemerintahan demokratis). Menurutnya tidak ada perbedaan antara good governance dengan democratic governance. Bahkan di antara keduanya sanggup dipertukarkan. Tata kepemerintahan yang demokratis berdasarkan citra Douglas Yates (dlm Thoha, 2000:10) mengandung asumsi-asumsi bahwa: (1) Terdapat banyak kelompok kepentingan yang beranekaragam, dan saling berkompetisi satu sama lainnya dalam proses politik. (2) Pemerintah seharusnya memperlihatkan kepada kelompok-kelompok kepentingan tersebut suatu kanal dan sarana berpartisipasi. (3) Pemerintah seharusnya melaksanakan penyebaran pusat-pusat kekuasaan yang banyak untuk menjamin terselenggaranya desentralisasi baik vertikal maupun horizontal dan terselenggaranya proses check and balance. (4) Saling kompetisi di antara institusi pemerintah dan non pemerintah sanggup menghasilkan proses bargaining dan kompromi yang sehat dan pada gilirannya nanti sanggup membuahkan keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat. 

Pemerintahan yang demokratis menjalankan tata kepemerintahan secara terbuka terhadap kritik dan kontrol dari rakyatnya. Pemerintahan yang demokratis merupakan landasan terciptanya tata kepemerintahan yang baik (good governance). Tata kepemerintahan yang baik itu merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan kiprah serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen yakni pemerintah (government), masyarakat (civil society), dan usahawan (business) sektor swasta (Taschereau dan Campos, 1997; UNDP, 1997). Paradigma good governance yang menekankan keseimbangan interaksi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (civil society), berdasarkan UNDP (1997), ditandai oleh adanya karakteristik atau prinsip-prinsip: Partisipasi (Participation); Aturan Hukum (Rule of Law); Transparansi (Transparancy); Daya Tanggap (Responsiveness); Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation); Berkeadilan (Equity); Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency); Akuntabilitas (Accountability); Bervisi Strategis (Strategic Vision); dan Saling Keterkaitan (Interrelated). 

Oleh sebab itu kesamaan derajat di antara komponen pemerintah, masyarakat, dan usahawan akan sangat kuat terhadap upaya membuat tata kepemerintahan yang baik. Sebaliknya ketidakseimbangan konstelasi di antara ketiga komponen itu akan menghambat terciptanya tata kepemerintahan yang baik. Di dalam tatanan kepemerintahan yang baik ini, komponen masyarakat sipil (civil society) memang memperoleh kiprah yang utama. Namun jika kiprah masyarakat sipil terlalu kuat, pengalaman Indonesia di tahun 1950-an pertanda bahwa hal itu ternyata menimbulkan situasi chaos dan anarkhi. Demikian pula sektor swasta turut berperan penting membuat tata kepemerintahan yang baik. Namun jika kiprah sektor swasta melebihi dua komponen lainnya, keadaan menyerupai ini akan membuat corak sistem manajemen publik yang kolusif dan nepotis. Kemungkinan lain yang bisa terjadi ialah bila kekuasaan negara melebihi dua komponen tersebut. Jika hal ini terjadi, maka akan timbul sistem manajemen publik yang sentralistik dan otokratis. 

BIROKRASI DAN GOOD GOVERNANCE 
Ada tiga aspek yang harus dipenuhi untuk mewujudkan good governance. Pertama, adanya kemampuan masyarakat untuk mengekspresikan pandangan mereka dan mengakses proses pengambilan keputusan secara bebas. Kedua, pemerintah harus mempunyai kapasitas untuk menterjemahkan pandangan masyarakat ke dalam sebuah planning yang realistis dan bisa mengimplementasikannya secara efektif. Terakhir, harus ada kemampuan masyarakat dan lembaga-lembaga lain untuk membandingkan apa yang mereka kehendaki dengan apa yang telah direncanakan oleh pemerintah, dan untuk membandingkan apa yang telah direncanakan pemerintah dengan apa yang telah dilakukannya ( Tjokrowinoto, 2000:2). 

Kata kunci untuk mewujudkan good governance ialah transparansi dan akuntabilitas. Transparansi diharapkan biar agresi yang dilakukan oleh satu pihak sanggup dikontrol oleh pihak lainnya, dan akuntabilitas merupakan konsekuensi yang harus ada biar transparansi tersebut menjadi bermakna. Di dalam teladan relasi yang transparan, masing-masing pihak dituntut untuk sanggup mempertanggungjawabkan apa yang mereka perbuat kepada publik (Darwin, 2000:2). Dalam rangka itu, kewenangan haruslah terdistribusi dan ruang publik harus cukup tersedia bagi seluruh elemen masyarakat. Winarno (2000:4) menyerupai dikutip Muhadjir Darwin (2000:2) menyebut ruang publik sebagai suatu ruang di mana seluruh elemen masyarakat sanggup terlibat dalam mendefinisikan problem publik yang mereka hadapi, menemukan solusi terhadap problem tersebut, berhubungan untuk memecahkan problem tersebut, dan melaksanakan proses kontrol terhadap penggunaan otoritas yang dimiliki masing-masing. 

Maka biar sanggup diselenggarakan tata kepemerintahan yang demokratis, Yates menyarankan pemerintah hendaknya melaksanakan hal-hal berikut: (1) Menciptakan pusat-pusat kekuasaan yang berlipat ganda dengan maksud biar konsentrasi kekuasaan bisa dikontrol (check and balance). (2) Mempermudah dan membantu kepada kelompok-kelompok kepentingan untuk bisa berpartisipasi dengan cara menyampaikan banyak sekali macam kanal kepada pemerintah (terutama kepada kelompok minoritas). (3) Pemerintah hendaknya mempunyai kemauan dan elemen-elemen yang kuat untuk melaksanakan desentralisasi. (4) Ke dalam, pemerintah harus mempunyai semangat dan terbuka melaksanakan kompetisi. (5) Pemerintah harus terbuka dan partisipatif yang bisa menghasilkan proses bargaining yang luas dan sehat (dlm Thoha, 2000:11). 

Mengacu kepada definisi Meier (1991:299-300) wacana good governance, sanggup disimpulkan bahwa posisi strategis birokrasi dalam mewujudkan good governance merupakan suatu conditio sine qua non bagi keberhasilan pembangunan. Strategisnya posisi birokrasi dibenarkan oleh Mas’oed, yang dalam pendapatnya menyebut tiga syarat bagi tercapainya good governance yaitu: adanya peningkatan partisipasi masyarakat, adanya peningkatan akuntabilitas birokrasi publik, dan dilakukannya pengurangan kiprah dan anggaran belanja militer (Mas’oed, 2000:278). Demikian pula Adil Khan (dalam Tjokrowinoto, 2000:2) dalam potongan lain tulisannya menyatakan adanya kepemimpinan politik yang imajinatif disertai oleh sebuah birokrasi yang akuntabel dan efisien menjadi kunci utama terwujudnya good governance. 

Birokrasi memang menempati posisi strategis sebab birokrasi tak lain ialah wujud riil dari kehadiran negara yang sanggup dirasakan oleh semua orang. Sebagai suatu organisasi, birokrasi pada hakikatnya tidak hidup dalam ruang hampa. Ia tak sanggup melepaskan diri dari dinamika perubahan yang terjadi di lingkungannya. Perkembangan masyarakat yang demikian cepat didorong pertumbuhan ekonomi dan derma globalisasi teknologi informasi, telah membuat zaman bergerak dalam dinamika yang tak terduga. Perubahan-perubahan fundamental tersebut dengan sendirinya menuntut respon atau pembiasaan diri birokrasi. Fleksibilitas birokrasi pada karenanya akan memilih daya tahannya dalam menghadapi banyak sekali perubahan yang terjadi. 

Menyikapi tuntutan bagi terwujudnya good governance, birokrasi diharapkan untuk melaksanakan peran-peran sebagai berikut: pertama, birokrasi diharapkan bisa menjembatani relasi antara negara (pemerintah) dan masyarakat sipil. Peran ini menuntut birokrasi untuk: (1) bisa menyerap tuntutan kebutuhan masyarakat, merumuskannya menjadi kebijakan publik, dan mengimplementasikannya dalam bentuk pelayanan publik yang seadil-adilnya; (2) memberdayakan masyarakat sipil melalui transformasi teladan interaksi pemerintah-masyarakat dari teladan yang selama ini didominasi pendekatan top down menjadi teladan relasi horizontal. Kedua, birokrasi diharapkan bisa menjembatani relasi pasar (sektor swasta) dengan masyarakat. Peran ini menuntut birokrasi untuk bisa melindungi masyarakat dari kemungkinan praktek-praktek bisnis yang tak fair yang dilakukan sektor swasta. 

Ketiga, birokrasi diharapkan bisa menjembatani relasi antara negara (pemerintah) dan pasar (sektor swasta). Peran ini menuntut birokrasi untuk bisa melaksanakan intervensi ke pasar dengan pertimbangan selektif biar pasar tetap berfungsi secara sehat dan menjamin perlakuan adil atas semua pelaku usaha. Menurut Tjokrowinoto (2001:10-13), kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang birokrat berkaitan dengan hal tersebut mencakup: (1) Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan gres yang timbul di dalam pasar. (2) Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental birokrasi, akan tetapi harus bisa melaksanakan terobosan (breakthrough) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif. (3) Mempunyai wawasan futuristik dan sistemik. (4) Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan, dan meminimalkan resiko. (5) Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru. (6) Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource mox yang mempunyai produktivitas tinggi. (7) Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia, dengan menggeser sumber acara yang berproduktivitas rendah menuju acara yang berproduktivitas tinggi. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel