Sejarah Dan Pengertian Perkembangan Fiqh

Sejarah Perkembangan Fiqh
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sesebenarya sanggup dibagi dalam dua periode, lantaran dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi berdasarkan az-Zarqa yaitu sebagai berikut:
1. Periode risalah.
Periode ini dimulai semenjak kerasulan Muhammad SAW hingga wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan aturan sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber aturan ketika itu yaitu AlQur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, lantaran penentuan aturan terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW. Periode awal ini juga sanggup dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat aturan yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat ihwal aturan turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh dilema aturan diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.

2. Periode al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW hingga Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya aneka macam ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika dilema yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara terperinci dalam nash. Pada masa ini, khususnya sesudah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan aneka macam dilema aturan yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan aturan pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari aneka macam etnis dengan budaya masing-masing. Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi lantaran daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing mempunyai budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk menawarkan aturan dalam persoalanpersoalan gres tersebut. Dalam menuntaskan persoalan-persoalan gres itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika aturan yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melaksanakan ijtihad.

3. Periode awal pertumbuahn fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan kurun ke-1 hingga awal kurun ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke aneka macam kawasan semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama semenjak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya aneka macam fatwa dan ijtihad aturan yang berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat kawasan tersebut. Di irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab aneka macam dilema aturan yang dihadapinya di sana. 

Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi aneka macam masalah hukum, Ibnu Mas'ud mengikuti tumpuan yang telah di tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud lantaran situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan ketika teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau ajaran ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi).

Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab aneka macam dilema aturan yang muncul di kawasan itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab aneka macam dilema aturan yaitu Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab dilema aturan oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang besar lengan berkuasa pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan lantaran di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini mempunyai banyak hadits. Oleh karenanya, tumpuan fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani aneka macam dilema aturan jauh berbeda dengan tumpuan yang digunakan fuqaha di Irak.

Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadits. Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang tumpuan dan sistem penyelesaian masalah aturan yang dihadapi di kawasan itu, antara lain Ibrahim anNakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris alKindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman. Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani aneka macam dilema aturan di zaman dan kawasan masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi'in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.

4. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal kurun ke-2 hingga pada pertengahan kurun ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini yaitu semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga aneka macam pemikiran ihwal ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya. Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah mempunyai tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap aneka macam bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melaksanakan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi dilema sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh contohnya sanggup dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.

Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi usul khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan forum peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul alMuwaththa' (Yang Disepakati).

Pada awal periode keemasan ini, kontradiksi antara ahlulhadits dan ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga mengakibatkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melaksanakan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan mudah masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis). Pertentangan kedua ajaran ini gres mereda sesudah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang sanggup digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka ajaran ahlulhadits sanggup mendapatkan pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus mendapatkan ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.

Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang sanggup mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua ajaran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini yaitu alMuwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini yaitu ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, menyerupai teori kias, istihsan, dan almaslahah al-mursalah.

5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan kurun ke-4 hingga pertengahan kurun ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih yaitu upaya yang dilakukan ulama masingmasing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut.

Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melaksanakan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melaksanakan ijtihad secara mandiri, muncullah perilaku at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyampaikan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.

6. Periode kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan kurun ke-7 H. hingga munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta. Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak menawarkan klarifikasi terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing.

Penjelasan yang dibentuk sanggup berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan goresan pena yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang sanggup ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir yaitu untuk mempermudah pemahaman terhadap aneka macam dilema yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini

Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh mempunyai kecenderungan besar lengan berkuasa untuk melihat aneka macam pendapat dari aneka macam mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab mulai mereda, khususnya sesudah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-1201 H./1787 M.; pendiri ajaran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan bid'ah yang harus dihindari, dan tidak satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi 'i dan Imam Ahmad bin Hanbali membolehkannya).

Sejak ketika itu, kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari aneka macam mazhab, yang dikenal dengan istilah fiqh muqaran. Sekalipun studi komparatif telah dijumpai semenjak zaman klasik menyerupai yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi'i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masingmasing mazhab, sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan gampang sanggup menentukan pendapat yang akan diambil

Pada zaman modern, bunyi yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya sesudah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melaksanakan studi komparatif antara fiqh Islam dan aturan produk Barat.

Sumber Fiqh
Sumber fiqh merupakan landasan yang digunakan untuk memperoleh aturan fiqh, dimana ulama fiqh membagi dua macam sumber fiqh yaitu sumber yang disepakati dan sumber yang diperselisihkan. Yang dimaksudkan dengan sumber fiqh yaitu landasan yang digunakan untuk memperoleh aturan fiqh. Ulama fiqh membagi dua macam sumber fiqh, yaitu sumber yang disepakati dan sumber yang diperselisihkan. Sumber yang disepakati atau dalam istilah Mustafa Ahmad az-Zarqa disebut dengan alMasadir al-Asasiyyah yaitu Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Tetapi berdasarkan jumhur ulama fiqh sumber tersebut ada empat, yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, Ijma', dan Qiyas.

Adapun sumber fiqh yang tidak disepakati seluruh ulama fiqh atau yang disebut juga dengan al-masadir at-Taba'iyyah (sumber selain Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW) terdiri atas Istihsan, Maslahat, Istishab, Irf, Sadd az-Zari'ah, Mazhab Sahabi, dan Syar'u Man Qablana. Bagi ulama fiqh yang menyatakan bahwa al-Masadir al-Asasiyyah hanya terdiri dari Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma', Qiyas, dan yang termasuk al-Masadir atTaba'iyyah tersebut dikatakan sebagai dalil atau metode untuk memperoleh aturan syara' melalui ijtihad. Alasannya, metode-metode tersebut merupakan metode penggalian aturan Islam yang tidak sanggup berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan kepada Al-Qur'an dan atau sunnah Nabi SAW. Oleh alasannya yaitu itu, ada diantara metode ijtihad tersebut yang keabsahannya sebagai dalil diperselisihkan ulama usul fiqh. Misalnya, metode istihsan diterima oleh ulama Mazhab Hanafi, Maliki dan sebagian Mazhab Hanbali sebagai dalil; sedangkan ulama Mazhab Syafi'i menolaknya. 

Karenanya dalam suatu kasus akan ditemukan beberapa hukum, apabila landasan yang digunakan yaitu salah satu dari alMasadir at-Taba'iyyah tersebut. Munculnya perbedaan ini disebabkan lantaran perbedaan metode yang digunakan dalam berijtihad terhadap kasus tersebut. Misalnya, kasus perselisihan dalam jual beli. Pembeli tidak mau menyerahkan uang sebelum barang yang dibelinya ia terima, sedangkan penjual tidak mau pula menyerahkan barang sebelum uang sebesar harga yang dituntutya diserahkan. Dalam kasus menyerupai ini, pembeli dan penjual berstatus sama-sama penggugat disatu pihak dan tergugat dipihak lain. Menurut qaidah umum (qiyas), penggugat wajib mengemukakan alat bukti untuk mengambarkan kebenaran gugatannya. Namun persoalannya yaitu bagaimana menentukan penggugat dan tergugat dalam kasus di atas. Ulama Mazhab Hanafi menuntaskan dilema itu melalui istihsan.

Caranya dengan menetapkan bahwa keduanya sama-sama tergugat dan penggugat. Jika qiyas diterapkan dalam kasus ini, maka tidak sanggup ditentukan siapa yang tergugat dan siapa yang menggugat, lantaran keduanya dalam waktu yang sama berstatus sebagai tergugat dan penggugat. Oleh alasannya yaitu itu, baik melalui qaidah maupun metode istihsan masing-masing, mereka harus mengemukakan alat bukti atas somasi mereka. Pembeli harus mengemukakan alat bukti bahwa penjual menyerahkan barang yang dibeli sesuai dengan harga barang yang menurutnya telah disetujui bersama, sebaliknya penjual harus pula mengemukakan alat bukti bahwa harga yang dikehendakinya bukan menyerupai yang dikemukakan pembeli. Pihak yang tidak sanggup mengemukakan alat bukti dinyatakan kalah dan harus menyerahkan tuntutan pihak lainnya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel