Sistem Pertanian Berkelanjutan
Sunday, November 8, 2020
Edit
Konsepsi Sistem Pertanian Berkelanjutan
Sistem pertanian berkelanjutan sangat kompleks, dan aksi-aksi manipulatif yang bekerjasama dengan sistem ini harus melibatkan perspektif konsumen, totalitas sistem pangan mulai dari produksi sampai konsumsi, implikasi sosial, dan peranan tenagakerja pedesaan dalam pertanian. Dankelman dan Davidson (1988) mengemukakan beberapa persyaratan dasar bagi sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu: (1). Akses yang merata bagi seluruh petani atas lahan yang subur, kemudahan kredit, serta informasi pertanian; (2). Pemeliharaan dan pinjaman terhadap acara pertanian yang dilakukan oleh petani; (3). Pengembangan metode-metode kultivasi, pengolahan materi pangan, dan penyimpanan materi pangan yang bisa menyerap tenagakerja wanita; (4). Diversifikasi spesies yang cukup tinggi guna mempertahankan fleksibilitas referensi pertanaman; (5). Konservasi tanah-tanah subur dan produktif dengan jalan mendaur-ulangkan materi organik; (6). Penggunaan air dan materi bakar secara tepat. Persyaratan ini masih belum disepakati secara umum, terutama mengenai kebutuhan input bagi perjuangan on-farm dan off-farm. Sifat yang rumit dari sistem pertanian yang berkelanjutan mengharuskan pengkajian secara lebih mendalam wacana sistem usahatani. Parr (1990) mengusulkan bahwa target final dari petani dalam pertanian yang berkelanjutan yaitu (i) memelihara dan memperbaiki sumberdaya alam dasar, (ii) melindungi lingkungan, (iii) menjamin profitabilitas, (iv) konservasi energi, (v) meningkatkan pproduktivitas, (vi) memperbaiki kualitas pangan dan keamanan pangan, (vii) membuat infrastruktur sosial-ekonomi yang viabel bagi usahatani dan komunitas pedesaan.
Kontribusi penting sumberdaya insan dalam pertanian berkelanjutan tampak dari definisi yang dikemukakan oleh CGIAR (Consultative Group on International Agricultural Research), bahwa "sistem pertanian yang berkelanjutan melibatkan keberhasilan pengelolaan sumberdaya bagi pertanian untuk memenuhi kebutuhan insan yang senantiasa berubah sambil memelihara atau memperbaiki sumberdaya alam dasar dan menghindari degradasi lingkungan". Berdasarkan hal-hal di atas, Harwood (1990) mengemukakan definisi kerja wacana pertanian yang berkelanjutan sebagai "suatu pertanian yang sanggup berevolusi secara indefinit ke arah utilitas insan yang semakin besar, efisiensi penggunaan sumberdaya yang semakin baik, dan keseimbangan dengan lingkungan yang nyaman baik bagi kehidupan insan maupun bagi spesies lainnya". Definisi kerja ini masih sangat umum, untuk lebih mema hami proses-proses yang terlibat didalamnya maka perlu diterjemahkan ke dalam substansi-substansi yang sesuai dengan kondisi dan tatanan yang berlaku di masing-masing negara. Sebagai konsepsi yang dinamis, pertanian yang berkelanjutan melibatkan interaksi-interaksi yang kompleks faktor-faktor biologis, fisik, dan sosial-ekonomis serta memerlukan pende katan yang komprehensif untuk memperbaiki sistem yang ada dan mengembang kan sistem gres yang lebih berkelanjutan.
Beberapa pertimbangan biologis yang penting adalah: (1). Konservasi sumberdaya genetik; (2). Hasil per unit area per unit waktu harus meningkat; (3). Pengendalian hama jangka panjang harus dikembangkan melalui pengelolaan hama terpadu; (4). Sistem produksi yang seimbang yang mmelibatkan tanaman dan ternak; (5). Perbaikan metode pengendalian hama dan penyakit ternak. Beberapa faktor fisik yang sangat penting ialah: (1). Tanah merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk menjamin keberlanjutan sistem pertanian; sehingga kehilangan material tanah alasannya yaitu abrasi dan kemunduran kesu buran tanah jawaban kehilangan hara harus dikendalikan.; (2). Sistem pertanian merupakan pengguna air; pemanfaatan secara tidak efisien cadangan air bumi dan eksploitasi akuifer akan sanggup berakibat fatal; (3). Pengelolaan tanah dan air yang tidak memadai di lahan pertanian tadah hujan sanggup memacu degradasi lahan; (4). Penggunaan materi agrokimia yang tidak sempurna sanggup menimbulkan akumulasi bahan-bahan toksik dalam air dan tanah; (5). Perubahan atmosferik jawaban ulah insan sanggup berdampak jelek terhadap sistem produksi pertanian; (6). Konsumsi energi oleh sistem produksi pertanian dengan hasil-tinggi harus lebih dicermati. Kendala sosial-ekonomi dan tatanan legal yang juga mempe ngaruhi stategi jangka panjang yang berkelanjutan adalah: (1). Infrastruktur yang lemah sehingga sangat membatasi di namika transportasi dan komunikasi; (2). Program finansial dan administratif seringkali bias ke arah tempat urban; (3). Sistem penguasaan lahan (land tenure)
Agroteknologi Lahan Kering
Di seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana sekitar 70% di antaranya dikelola dengan aneka macam tipe usahatani lahan kering secara subsistensi (Manuwoto, 1991). Salah satu duduk kasus utama yang dihadapi yaitu keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat bermacam-macam dan sebagian sudah rusak atau memiliki potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi ibarat ini mutlak dibutuhkan penajaman teknologi pemanfaatan sumberdaya lahan kering dan pembenahan kelembagaan penunjangnya. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam upaya perekayasaan dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan kering, yaitu (i) secara teknis bisa dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan sesuai dengan kondisi agroekologis setempat, (ii) secara hemat menguntungkan pada kondisi tatanan ekonomi wilayah pedesaan, (iii) secara sosial tidak bertentangan dan bahkan bisa mendorong motivasi petani, (iv) kondusif lingkungan, dan (v) bisa membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan.
Evaluasi kesesuaian agroekologis lahan kering untuk penggunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi perencanaan sistem pengelolaan lahan kering. Beberapa metode dan mekanisme penilaian agroekologis sanggup dipakai untuk kepentingan ini. Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, sedangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim dipakai sampai dikala ini biasanya juga belum melibatkan secsara eksklusif aspek-aspek agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperimental di lapangan yang sangat tergantung pada musim, memerlukan waktu usang dan sumberdaya penunjang yang cukup banyak (P3HTA, 1987; PLKK, 1988). Kondisi lahan kering umumnya ditandai oleh infrastruktur fisik dan sosial yang rendah dan keterbatasan-keterbatasa saluran lainnya. Keterisolasian penduduk dari sumber informasi mengakibatkan mereka kurang bisa membuatkan daerahnya secara mandiri. Kondisi ibarat ini diperparah oleh keterbatasan kemampuan abdnegara pemerintah untuk menjangkau masyarakat di lahan kering yang sebagian besar relatif miskin. Pada kondisi ibarat itu, siperlukan rancangan khusus sistem usahatani konservasi di lahan kering untuk membuat produksi pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan disertai dengan pinjaman pengembangan peranan perempuan pedesaan, kemudahan perkreditan, jalan dan transportasi desa, sarana air higienis pedesaan dan sarana penunjang lainnya.
Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat bermacam-macam dan kondisi iklim yang berfluk tuasi tersebut pada kenyataannya sering menjadi hambatan yang memilih tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada. Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, hambatan yang dihadapi yaitu erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor lereng dan fisiografi. Dalam kondisi ibarat ini maka tindakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering yaitu dengan pemilihan kultivar, pengaturan referensi tanam yang melibatkan tumbuhan semusim dan tumbuhan tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA wacana referensi usahatani lahan kering pada animo tanam 1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung + kacang tanah (atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif daripada referensi tanam tradisional. Suatu peluang yang sepertinya cukup besar di lahan kering yaitu usahatani tumbuhan pisang dan kelapa. Kedua jenis komoditas ini ternyata bisa mensuplai pendapatan dan kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara eksklusif maupun secara tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata bisa meningkatkan produktivitas kedua tanman ini secara signifikan. Penelitian-penelitian ini sudah mulai melibatkan aspek konservasi tanah, laju abrasi dan limpasan permukaan sudah mulai diamati dan diukur di lapangan, sehingga dibutuhkan dana yang cukup banyak dan harus mengikuti irama musiman.
Produksi pertanian yang berkelanjutan yang sekaligus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan alam ini akan dicapai melalui pendekatan usahatani yang menyeluruh denagn menerapkan paket teknologi "Asta-usaha". Penerapan paket teknologi yang terdiri atas penggunaan benih unggul, pengolahan tanah, pengairan, proteksi tanaman, cara bercocok tanam, pengolahan hasil, pemasaran dan konservasi tanah ini diharapkan akan bisa menjawab tantangan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah. Dalam hubungan ini dibutuhkan aneka macam petunjuk teknis yang tepatguna. Petunjuk teknis bagi pengembangan sistem pertanian lahan kering ini terdiri atas Usahatani konservasi dan produksi pertanian, Produksi Peternakan, Penyuluhan dan transfer informasi, Pembinaan perempuan pedesaan, pengembangan forum keuangan pedesaan, Pembangunan prasarana jalan, dan Pengadaan kemudahan air bersih. Komponen-komponen teknologi ini dikemas dalam suatu acara pembangunan pertanian lahan kering untuk meningkatkan ekonomi wilayah dan sekaligus kesejahteraan masyarakat setempat.
Teknologi Konservasi Lahan Pertanian
Permasalahan dan hambatan bagi upaya konservasi tanah yang sering dijumpai di lahan kering yaitu (i) kondisi lahan yang curam sehingga pengolahan tanah akan merangsang dan mempercepat proses abrasi dan tanah longsor, (ii) rendahnya rataan penghasilan petani lahan kering yang menimbulkan tidak bisa untuk membiayai kegiatan konservasi tanah, (iii) masih terbatasnya kesadaran petani akan perjuangan konservasi tanah sebagai jawaban dari keterbatasan informasi dan pengetahuan, dan (iv) keterbatasan sarana dan prasarana pengembangan sistem pertanian lahan kering. Lokasi prioritas bagi kegiatan konservasi tanah harus memenuhi kriteria (i) terletak dalam Zone Erosi Kritis dengan lahan lebih dari 75% lahan kering; (ii) sebagian besar diusahakan untuk usahatani kecil; (iii) kemiringan lahan antara 8% sampai 45% dengan tebal solum lebih dari 30 cm, untuk tempat yang solumnya kurang 30 cm diarahkan untuk tumbuhan keras tahunan; dan (iv) respon petani cukup tinggi. Metode konservasi tanah yang sering dipakai yaitu metode sipil-teknis dan metode vegetatif. Bentuk-bentuk teknik konservasi tanah sanggup berupa teknik teras bangku, teras gulud, teras kredit, teras individu, teras kebun, saluran diversi, saluran pembuangan air, dan penanaman tumbuhan penguat teras pada bibir/tampingan, tumbuhan epilog tampingan teras dan penanaman berjalur (strip cropping).
Pembangunan Teras Kredit
Pada hakekatnya pembuatan teras dimaksudkan untuk memperpendek panjang lereng dan/atau memperkecil kemiringan lereng. Teras juga dilengkapi dengan saluran untuk menampung dan menyalurkan air yang masih mengalir di atas permukaan tanah. Tujuan pembuatan teras yaitu (i) mengurangi kecepatan limpasan permukaan, (ii) memperbesar resapan air ke dalam tanah, (iii) menampung dan mengendalikan arah dan kecepatan limpasan permukaan. Ciri-ciri penting dari bangunan teras kredit yaitu (i) sesuai untuk tanah landai sampai bergelombang dengan derajat kemiringan 3-10%; (ii) jarak antara larikan teras 5-12 m; (iii) tumbuhan pada larikan teras berfungsi untuk menahan butir-butir tanah yang terbawa abrasi dari sebelah atas larikan; (iv) teras kredit ini secara berangsur-angsur dimodifikasi menjadi teras bangku. Tahapan pembuatan teras ini mencakup pemancangan patok berdasarkan garis kontur dengan jarak patok dalam baris 5 m dan jarak antar baris 5-12 m; pembuatan bangunan teras berupa guludan tanah yang sejajar dengan garis kontur; dan penanaman tumbuhan penguat teras secara rapat di sepanjang guludan. Jenis tumbuhan legume tahunan ditanam dengan benih.
Pembangunan Teras Gulud
Spesifikasi bangunan teras ini yaitu sesuai pada lahan dengan kemiringan 10-20%; jarak antar guludan rata-rata 10 m; saluran air pada teras berfungsi sebagai saluran diversi untuk mengurangi limpasan permukaan ke arah lereng di bawahnya. Cara dan tahapan pembangunannya yaitu pemancangan patok berdasarkan garis kontur dengan jarak dalam baris 5 m dan jarak patok antar baris 10 m; pembuatan saluran teras dengan jalan menggali tanah berdasarkan arah larikan patok, ukurannya dalam 30 cm, lebar bawah 20 cm dan lebar atas 50 cm; tanah hasil galian ditimbun untuk membentuk guludan, panjang guludan dan saluran maksimum 50 m dan dipotong oleh SPA yang dibentuk tegak lurus garis kontur; penanaman tumbuhan penguat etras pada guludan.
Jenis tumbuhan penguat teras sanggup berupa: kayu-kayuan yang ditanam dengan jarak 50 cm (bibit stek) atau benih ditabur merata; rumput-rumputan yang ditanam dengan jarak 30-50 cm.
Pembangunan Teras Bangku
Spesifikasi bangunan teras ini yaitu sesuai pada lahan dengan kemiringan 10-30%; bidang olah teras dingklik hampir datar, sedikit miring ke arah kepingan dalam (± 1%); di antara dua bidang teras dibatasi oleh tampingan/talud/riser; di bawah tampingan teras dibentuk selokan teras yang miring ke atrah SPA. Cara pembuatan teras ini diawali dengan penggalian tanah berdasarkan larikan patok pembantu; memisahkan lapisan tanah kepingan atas dan menimbun di kiri atau kanan galian; menggali tanah lapisan bawah sesuai dengan gugusan patok-patok dan menimbun tanah galian di sebelah bawah patok; pemadatan timbunan tanah dan permukaan bidang olah dibentuk miring ke arah bawah 1%; tanah lapisan atas ditaburkan kembali secara merata pada permukaan bidang olah; pada bibir teras dibentuk guludan 20 x 20 cm, di kepingan dalam teras dibentuk selokan 20 cm x 10 cm; talud teras dibentuk dengan kemiringan 2:1 atau 1:1 tergantung pada kondisi tanah. Talud kepingan atas ditanami gebalan rumput atau tumbuhan penguat teras lainnya.
Pembangunan Teras Kebun
Ciri-ciri bangunan teras ini yaitu sesuai pada lahan dengan kemiringan 30-50% yang dirancang untuk penananaman tumbuhan perkebunan; pembuatan teras hanya pada jalur tanaman, sehingga ada lahan yang tidak diteras dan hanya tertutup oleh vegetasi epilog tanah; lebar jalur teras dan jarak antara jalur teras diadaptasi dengan jenis tanaman. Cara pembuatannya hampir sama dengan pembuatan teras bangku, pengolahan tanah pada bidang teras hanya dilakukan pada lubang tanam. Talud teras ditanami rumput atau cover crop. Lahan yang terletak di antara dua teras dibiarkan tidak diolah. Tatacara pembangunannya diawali dengan membuat batas galian dengan menghubungkan patok-patok pembantu melalui pencangkulan tanah; menggali tanah di kepingan bawah batas galian yang telah terbentuk dan ditimbun ke kepingan bawah sampai patok batas timbunan; tanah urugan dipadatkan dan permukaannya dibentuk miring 1% ke arah dalam; talud teras ditanami dengan cover crop atau rumput; di kepingan bawah batas galian talud dibentuk selokan teras atau saluran buntu sepanjang 2 m lebar 20 cm sedalam 10 cm.
2Penanaman tumbuhan penguat teras
Tanaman penguat teras yaitu jenis vegetasi yang alasannya yaitu sifat tumbuh dan/atau cara tumbuhnya sanggup berfungsi sebagai penguat teras. Jenis tumbuhan ini sanggup berupa rumput-rumputan atau pohon-pohonan. Persyaratan tumbuhan penguat teras yaitu (i) sistem perakar annya intensif sehingga bisa mengikat tanah, (ii) tahan pangkas, (iii) bermanfaat dalam menyuburkan tanah dan penyedia pakan ternak. Beberapa jenis tumbuhan penguat teras yaitu (i) Turi (Sesbania grandiflora), (ii) Gomal (Gliricidea maculata), (iii) Akasia merah (Acacia villosa), (iv) Opo-opo (Flemingia sp.), (v) Rumput setaria (Setaria sphacellata), (vi) Rumput bebe (Brachiarta brizantha), (vii) Rumput benggala (Panicum maximum), (viii) Rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan Desmodium sp.
DAFTAR PUSTAKA
- Arsyad, S. , A. Priyanto, dan L.I. Nasoetion. 1985. Konsepsi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Makalah disajikan pada Lokakarya Program Studi Pengelolaan DAS pada FPS IPB, 14 Januari 1985.
- Dent, J.B. dan J.R. Anderson. 1971. Systems Analysis in Agricultural Management. John Wiley & Sons Australasia PTY LTD,. Sydney.
- Eriyatno. 1990. Permodelan Sistem. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 15 halaman. Eriyatno. 1990a. Sistem Penunjang Keputusan. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 23 hal
- FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin No. 32/I/ILRI Publ. No. 22. FAO, Rome.
- Ignizio, J.P. 1978. Goal Programming and Extensions. D.C. Health and Company, Lexington, Mass.