Sumberdaya Lahan Dan Pengelolaannya

SUMBERDAYA LAHAN DAN PENGELOLAANNYA
Konsepsi Pengelolaan Sumberdaya Lahan
Proses pembangunan nasional dan regional sampai ketika ini, khususnya sektor pertanian, telah menunjukan bahwa banyak sekali hambatan masih dihadapi, terutama di wilayah pertanian lahan kering yang kondisinya sangat beragam. Di seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana sekitar 70% di antaranya dikelola dengan banyak sekali tipe usahatani lahan kering. Salah satu dilema utama yang dihadapi ialah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat bermacam-macam dan sebagian sudah rusak atau memiliki potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi ibarat ini mutlak dibutuhkan kebijakan-kebijakan penajaman teknologi peman faatan sumberdaya lahan kering dan kebijakan kelembagaan penunjang operasional. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan teknologi pengelolaan lahan kering, ialah (i) teknis bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat, (ii) hemat menguntungkan, (iii) sosial tidak bertentangan dan bahkan bisa mendorong motivasi petani, (iv) aman lingkungan, dan (v) mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan.

Menurut Sanders (1991), kunci untuk menuntaskan konflik pengelolaan lahan dan problematik degrad­asi sumberdaya lahan terletak pada kebijakan dan kelembagaan yang didukung oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu. Kebijakan dalam konteks ini harus bisa mempromosikan sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu suatu sistem pertanian yang didukung oleh adanya insentif bagi produsen (pemilik lahan dan tenagakerja), kredit pede­saan, kebijakan pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi, teknologi sempurna guna yang site-spesific, serta acara penelitian dan penyuluhan. Hal ini membawa konsekwensi yang sangat berat, yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal sesuai dengan kondisi setempat, yang sasarannya ialah sistem penggunaan lahan yang dicirikan oleh tingkat penutupan vegetatif yang lebih baik pada permukaan lahan. 

Tiga faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi pengembangan kebija­kan-kebijakan lokal ini ialah (1) tersedianya Data-base Management System wacana sumberdaya lahan, air, vegetasi, manusia, dan sumber­daya ekonomi lainnya, (2) mekanisme analisis hambatan dan problematik, dan (3) mekanisme perencanaan yang didukung oleh brainware, software dan hardware yang sanggup diakses oleh para perencana pembangunan di tingkat daerah. Untuk sanggup mendorong dan mendukung berkembangnya kebijakan-kebijakan lokal tersebut, maka kebijakan nasional wacana penggunaan dan pengelolaan lahan harus diarahkan kepada (1) perbaikan penggunaan dan pengelolaan lahan, (2) menggalang partisipasi aktif dari para pengguna lahan (pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenaga­kerja), dan (3) pengembangan kelembagaan penunjang, terutama lembaga-lembaga perencana dan pemantau di daerah. 

Khusus dalam kaitannya dengan acara konservasi tanah dan rehabilitasi lahan, Douglas (1991) mengikhtisarkan lima prinsip dasar bagi keberhasilannya pada tingkat lapangan, yaitu (1) acara ini harus merupakan belahan integral dari acara pem bangunan pertanian yang lebih luas, dan harus dimulai dengan peningkatan produksi, (2) acara ini harus bersifat bottom-up yang dirancang dengan melibatkan kepentingan petani, (3) asistensi teknis melalui acara jangka panjang, (4) suatu acara konservais dan pengelolaan lahan harus bisa mengatakan benefit jangka pendek, dan (5) degradasi lahan harus sanggup dikendalikan sebelum melampaui batas ambangnya. 

Berdasarkan pada kelima prinsip ini, maka beberapa implikasi kebijakan yang penting ialah (1) para perencana acara harus men­guasai pengetahuan wacana "sistem pertanian berkelanjutan" dan komponen-komponen penggunaan lahan yang relevan, (2) para pelaksana acara harus bisa "berkomunikasi dengan petani" dalam rangka untuk mengakomodasikan pandangan, persepsi dan kepentingan petani; (3) para perencana dan pelaksana acara harus menyadari bahwa proses peruba­han berlangsung secara lambat dan lama, sehingga dibutuhkan "komitmen jangka panjang"; (4) para perencana harus bisa mengidentifikasikan "kebutuhan petani dan alternatif solusinya" yang terkait eksklusif dengan problem pengelolaan lahan, dan (5) para perencana harus menge­tahui "sebab-sebab terjadinya permasalahan" pengelolaan lahan dan menelusurinya.

Integrasi antara kepentingan konservasi dengan kebutuhan petani merupakan kunci utama keberhasilan acara konservasi tanah dan pengelolaan lahan pertanian. Empat target prioritas yang harus diikuti dalam merancang acara usahata­ni konservasi, yaitu (1) memenuhi obligasi-oblikasi sosial-budaya dari masyarakat, (2) menyediakan suplai pangan yang sanggup mengemban amanah oleh petani, (3) menyediakan aksesori pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang tidak sanggup dihasilkan oleh sektor pertanian, (4) bisa membuat ekstra "cash resources". Khusus untuk sistem pertanian di dataran tinggi atau tempat pegunun­gan, tiga faktor secara umum dikuasai yang sangat berpengaruh, yaitu (1) tekanan penduduk atas sumberdaya lahan, (2) praktek pengelolaan kesuburan tanah, dan (3) taktik dan kebija­kan pembangunan yang dikhususkan bagi tempat pegunungan. Dalam kai­tannya dengan taktik pengembangan sistem pertanian di tempat pegu­nungan, Jodha (1990) mengemukakan enam spsesifikasi penting, yaitu (1) aksesibilitas, (2) fragilitas, (3) marjinalitas, (4) heterogeni­tas dan diversitas, (5) suitabilitas ekologis, dan (6) sejarah meka­nisme pembiasaan manusia.

Lahan memiliki peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Segala macam bentuk intervensi insan secara siklis dan permanen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use (Sys, 1985). Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan. Fenomena ibarat ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai dengan kapabi litasnya. 

 Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada tiga faktor yang mem­pengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (iii) interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin bersahabat dengan pasar. Sehubungan dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan la­han kering (seperti contohnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan- persyaratan agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air) (Sys, 1985). Persesuaian syarat agroeko­logis menjadi landasan pokok dalam pengembangan komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya akan menimbul­kan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biaya-sosial yang berupa kemero- sotan kualitas sumberdaya lahan (Brinkman dan Smyth, 1973; Soemarno, 1992). Di lokasi-lokasi tertentu, ibarat lahan kering di belahan hulu DAS, biaya sosial tersebut bisa bersifat internal ibarat kemunculan tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal ibarat sedi­mentasi di banyak sekali fasilitas perairan ( Soemarno, 1991c). 

Beberapa ciri dan proses yang berlangsung dalam ekosistem pegunungan (highland areas) yang sanggup menjadi hambatan atau penunjang pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan. Tiga ciri ekosistem yang sangat penting ialah (1) iklim, (2) landform, dan (3) sumberdaya tanah. Sedangkan dua proses yang terkait dengan ciri-ciri tersebut ialah proses geomorfik dan proses-proses pedologis. Kondisi iklim dicirikan oleh ketinggian tempat lebih dari 800 m dpl, curah hujan tahunan lebih 2000 mm, temperatur rataan 15-29oC dengan rezim suhu tanah isothermik atau isohiperthermik. Pada kondisi ibarat ini biasanya variasi rezim lengas tanah ialah Udik dan Ustik. Kondisi ekosistem pegunungan ibarat ini memiliki keunggulan komparatif bagi pengembangan berba­gai jenis penggunaan lahan pertanian dengan banyak pilihan sistem pertanaman (cropping systems). Potensi ibarat ini pada kenyataannya banyak mengundang investasi dari luar tempat untuk "menggarap" lahan secara lebih intensif. 

Pada kesannya hal ini akan sanggup mengakibatkan munculnya "kesenjangan" yang semakin besar antara intensitas penggu­naan sumberdaya dengan karakteristik sumberdaya. Apabila kesenjangan ini melampaui daya dukung sumberdaya, maka laju degradasi akan sanggup melampaui batas ambang toleransinya. Sedangkan taktik petani di tempat pegunungan untuk berjuang memper­tahankan kehidupannya biasanya bertumpu pada tiga prinsip dasar yang spesifik, yaitu (1) untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, petani menge­lola sumberdaya lahannya dengan banyak sekali acara produksi tanaman, ternak, hortikultura dan kehutanan; (2) petani menghindari resiko kegagalan dan peristiwa melalui pengembangan metode-metode indigenous dalam mengelola lahannya, dan (3) teknologi yang mudah, low input dan small scale lebih disenangi lantaran keterbatasan penguasaan pengeta­huan, teknologi dan kapital.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka penilaian kesesuaian agroekologis lahan untuk peng­gunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi per­encanaan sistem pengelolaan lahan. Beberapa metode dan mekanisme penilaian agroekologis sanggup dipakai untuk kepentingan ini ( FAO, 1976; Wood dan Dent, 1983). Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek agroekologi, se­dangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebalik­nya, pendekatan agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim dipakai sampai ketika ini biasanya juga belum meli­batkan secsara eksklusif aspek-aspek agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperi­mental di lapangan yang sangat ter­gantung pada musim, memerlukan waktu usang dan sumberdaya penunjang yang cukup banyak.

Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa material, tekno­logi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses untuk menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tumbuhan dan ternak. Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut sanggup berupa hasil sedimen, hasil air, dan bahan-ba­han kimia yang sanggup menjadi pencemar lingkungan. Limbah ini biasa­nya diangkut ke luar dari sistem produksi dan menimbulkan biaya eksternal dan imbas eksternalitas (Soemarno, 1990). Biasanya sistem produksi pertanian di tempat hulu sungai mempu­nyai imbas eksternal yang cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di tempat bawah. 

Dalam suatu tempat anutan sungai yang memiliki bangunan pengairan ibarat bendung­an, waduk dan jaringan irigasi, imbas eksternalitas tersebut menjadi semakin serius, lantaran sanggup mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan imbas eksternalitas tersebut, namun hasilnya masih belum memadai. Hal ini disebabkan oleh lantaran mekanisme pasar tidak sanggup bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga produsen pertanian di tempat hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang ditimbul­kannya. Disamping itu, biaya untuk mengendalikan imbas eksternalitas tersebut relatif sa­ngat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan usahatani. Dalam kon­disi ibarat ini di-perlukan campur tangan kebijakan pemerintah. 

 Davies dan Kamien (1972) mengemukakan bebera­pa macam campur tangan pemerintah untuk mengendali­kan imbas eksternalitas, yaitu (i) larangan, (ii) pengarahan, (iii) kegiatan percontohan, (iv) pajak atau subsidi, (v) pengaturan (regulasi), (vi) denda atau hukuman, dan (vii) tindakan pengamanan. Efek eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga bekerjasama dengan de­gradasi sumberdaya lahan yang pengaruhnya sanggup terjadi terhadap proses produksi. Pada lahan pertanian di tempat hulu sungai imbas eksternalitas tersebut biasanya berkaitan erat dengan intensitas pengusahaan lahan yang pada kenyataanya sangat bermacam-macam (Suwardjo dan Saefuddin, 1988; Soemarno, 1991b).

Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat bermacam-macam dan kondisi iklim yang berfluktuasi menjadi faktor pemba­tas yang memilih tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada (P3HTA, 1987). Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, hambatan yang dihadapi ialah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor le­reng dan fisiografi (Suwardjo dan Saefudin, 1988). Dalam kondisi ibarat ini maka tin­dakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi la­han. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering ialah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan tumbuhan semusim dan tanam­an tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan. 

Dari hasil-hasil penelitian tersebut sanggup disimpul­kan bahwa upaya pengelolaan lahan kering dalam suatu sistem pertanian harus mempertimbangkan tingkat kemampuan dan kesesuaiannya serta harus diikuti oleh tindakan konservasi tanah dan air secara me­madai. Beberapa peneliti telah mencoba menyebarkan pola tanam yang sesuai untuk lahan kering secara lokal. Tam­paknya para peneliti ini menghada­pi kesulitan dalam menyusun polatanam yang sempurna lantaran keterbatasan informasi sumberdaya lahan yang bersifat lokal, demikian juga in­formasi wacana kesesuaiannya.

2.2. Konsepsi Sistem Pertanian BerkelanjutanSistem pertanian berkelanjutan sangat kompleks, dan aksi-aksi manipulatif yang bekerjasama dengan sistem ini harus melibatkan perspektif konsumen, totalitas sistem pangan mulai dari produksi sampai konsumsi, implikasi sosial, dan peranan tenagakerja pedesaan dalam pertanian. Dankelman dan Davidson (1988) mengemukakan beberapa persyaratan dasar bagi sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu: (1). Akses yang merata bagi seluruh petani atas lahan yang subur, fasilitas kredit, serta informasi pertanian; (2). Pemeliharaan dan pertolongan terhadap acara pertani­an yang dilakukan oleh petani; (3). Pengembangan metode-metode kultivasi, pengolahan materi pangan, dan penyimpanan materi pangan yang bisa menyerap tenagakerja wanita; (4). Diversifikasi spesies yang cukup tinggi guna mempertahankan fleksibilitas pola pertanaman; (5). Konservasi tanah-tanah subur dan produktif dengan jalan mendaur-ulangkan materi organik; (6). Penggunaan air dan materi bakar secara tepat. Persyaratan ini masih belum disepakati secara umum, terutama mengenai kebutuhan input bagi perjuangan on-farm dan off-farm. Sifat yang rumit dari sistem pertanian yang berkelanjutan mengharuskan pengkajian secara lebih mendalam wacana sistem usahatani. Parr (1990) mengu­sulkan bahwa target selesai dari petani dalam pertanian yang berkelanjutan ialah (i) memelihara dan memperbaiki sumberdaya alam dasar, (ii) melindungi lingkungan, (iii) menjamin profitabilitas, (iv) konservasi energi, (v) mening­katkan pproduktivitas, (vi) memperbaiki kualitas pangan dan keamanan pangan, (vii) membuat infrastruktur sosial-ekonomi yang viabel bagi usahatani dan komunitas pedesaan.

Kontribusi penting sumberdaya insan dalam pertanian berkelanjutan tampak dari defi­nisi yang dikemukakan oleh CGIAR (Consultative Group on International Agricul­tural Research), bahwa "sistem pertanian yang berkelanjutan melibatkan keber­hasilan pengelolaan sumberdaya bagi pertanian untuk memenuhi kebutuhan insan yang senantiasa berubah sambil memelihara atau memperbaiki sumberdaya alam dasar dan menghindari degradasi lingkungan". Berdasarkan hal-hal di atas, Harwood (1990) mengemukakan definisi kerja wacana pertanian yang berkelanjutan sebagai "suatu pertanian yang sanggup berevolusi secara indefinit ke arah utilitas insan yang semakin besar, efisiensi penggunaan sumberdaya yang semakin baik, dan keseimbangan dengan lingkungan yang nyaman baik bagi kehidupan insan maupun bagi spesies lain­nya". Definisi kerja ini masih sangat umum, untuk lebih mema hami proses-proses yang terlibat didalamnya maka perlu diterjemahkan ke dalam substansi-substansi yang sesuai dengan kondisi dan tatanan yang berlaku di masing-masing negara. Sebagai konsepsi yang dinamis, pertanian yang berkelanjutan melibatkan inter­aksi-interaksi yang kompleks faktor-faktor biologis, fisik, dan sosial-ekono­mis serta memerlukan pende katan yang komprehensif untuk memperbaiki sistem yang ada dan mengembang kan sistem gres yang lebih berkelanjutan.

Beberapa pertimbangan biologis yang penting adalah: (1). Konservasi sumberdaya genetik; (2). Hasil per unit area per unit waktu harus meningkat; (3). Pengendalian hama jangka panjang harus dikembangkan melalui pengelolaan hama terpadu; (4). Sistem produksi yang seimbang yang mmelibatkan tana­man dan ternak; (5). Perbaikan metode pengendalian hama dan penyakit ternak. Beberapa faktor fisik yang sangat penting ialah: (1). Tanah merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk menjamin keberlanjutan sistem pertanian; sehingga kehilangan material tanah lantaran pengikisan dan kemunduran kesu buran tanah tanggapan kehilangan hara harus diken­dalikan.; (2). Sistem pertanian merupakan pengguna air; pemanfaatan secara tidak efisien cadangan air bumi dan eksploit­asi akuifer akan sanggup berakibat fatal; (3). Pengelolaan tanah dan air yang tidak memadai di lahan pertanian tadah hujan sanggup memacu degradasi lahan; (4). Penggunaan materi agrokimia yang tidak sempurna sanggup mengakibatkan akumulasi bahan-bahan toksik dalam air dan tanah; (5). Perubahan atmosferik tanggapan ulah insan sanggup berdampak jelek terhadap sistem produksi pertanian; (6). Konsumsi energi oleh sistem produksi pertanian dengan hasil-tinggi harus lebih dicermati. Kendala sosial-ekonomi dan tatanan legal yang juga mempe ngaruhi stategi jangka panjang yang berkelanjutan adalah: (1). Infrastruktur yang lemah sehingga sangat membatasi di namika transportasi dan komunikasi; (2). Program finansial dan administratif seringkali bias ke arah tempat urban; (3). Sistem penguasaan lahan (land tenure)

DAFTAR PUSTAKA
  • Arsyad, S. , A. Priyanto, dan L.I. Nasoetion. 1985. Konsepsi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Makalah disajikan pada Lokakarya Program Studi Pengelolaan DAS pada FPS IPB, 14 Januari 1985. 
  • Dent, J.B. dan J.R. Anderson. 1971. Systems Analysis in Agricultural Management. John Wiley & Sons Australasia PTY LTD,. Sydney. 
  • Eriyatno. 1990. Permodelan Sistem. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 15 halaman. 
  • Eriyatno. 1990a. Sistem Penunjang Keputusan. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 23 hal 
  • FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin No. 32/I/ILRI Publ. No. 22. FAO, Rome. 
  • Ignizio, J.P. 1978. Goal Programming and Extensions. D.C. Health and Company, Lexington, Mass. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel