Pengertian Tipologi Kemiskinan

1 Pengertian Tipologi 
Tipologi atau typology berasal dari kata Yunani, tupos"(kadang ditrasliterasikan "typos" kata darimana kata Inggris "type" berasal) dan "logos". Tipologi atau typology yaitu studi perihal tipe-tipe. Dalam penelitian ini memakai pendekatan tipologi, lantaran beberapa penelitian perihal kemiskinan sebelumnya, hanya melihat kemiskinan secara umum. Pengkajian tipologi kemiskinan ini diharapkan mengangkat suatu realitas kemiskinan yang sebelumnya tidak tersentuh sehingga lahir pengkajian yang lebih mendalam dan lebih erat dengan realitas. 
2 Teori dasar kemiskinan dan teori pengentasannya 
Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak bisa mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Untuk memahami pengertian perihal kemiskinan ada sebagai pendapat yang dikemukakan. Menurut Suparlan (1995), kemiskinan sanggup didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara eksklusif tampak pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin. Sedangkan berdasarkan Bank Dunia kemiskinan yaitu apabila pendapatan seseorang kurang dari US$1 per hari (setara Rp8.500,00 per hari). 

Menurut Biro Pusat Statistik (BPS): tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa masakan yaitu kurang dari 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi masakan sesuai janji nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). 

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2009) menjelaskan kemiskinan yaitu situasi serba kekurangan yang terjadi bukan lantaran dikehendaki oleh si miskin, melainkan lantaran tidak sanggup dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Pendapat lain dikemukakan oleh Ala dalam Setyawan (2009) yang menyatakan kemiskinan yaitu adanya gap atau jurang antara nilai-nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan akan nilai-nilai tersebut secara layak. 

Amartya Sen (Arif: 1998) menjelaskan bahwa duduk kasus kemiskinan bukan sekedar duduk kasus lebih miskin daripada orang lain dalam masyarakat, melainkan duduk kasus tidak dimilikinya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan material secara lain,kegagalan mencapai “tingkat kelayakan minimun tertentu,” hal ini disebabkan lantaran kemiskinan dipahami sebagai kegagalan mencapai tingkat kelayakan minimum, maka kriteria kelayakan minimum haruslah ditentukan secara absolut, dengan jumlah yang sama antara suatu masyarakat dengan masyarakat lain. 

Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti saluran yang rendah terhadap aneka macam ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diharapkan untuk sanggup memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, saluran yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh lantaran itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap. 

Hall dan Midgley (2004), menyatakan kemiskinan sanggup didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang mengakibatkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat. Sementara John Friedman (1979), mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada) modal yang produktif (misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lainnya) sumber-sumber keuangan, organisasi sosial dan politik yang sanggup digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang; pengetahuan, keterampilan yang memadai dan informasi yang berguna. 

Dalam World Summit for Social Development, dipahami bahwa kemiskinan mempunyai wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan, kelaparan dan kekurangan gizi, rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya saluran kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya, kondisi tak masuk akal dan kematian jawaban penyakit yang terus meningkat, kehidupan bergelandangan dan tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi dan keterasingan sosial. Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya. (Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2008). 

Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, mereka tidak hanya didekati sebagai objek (gejala yang diamati), tetapi harus dipandang sebagai subjek atau pelaku yang dikelompokkan dalam golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah (GMBR). Mereka yaitu pelaku yang berperan sepenuhnya untuk memutuskan tujuan, mengendalikan sumber daya, mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Oleh lantaran itu, dalam kerangka memahami potensi keluarga miskin, paling tidak terdapat tiga bentuk potensi yang diamati, yakni kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, tinjauan perihal kemampuan dalam memenuhi kebutuhan akan dilihat dari aspek pengeluaran keluarga, human capital atau kemampuan menjangkau tingkat pendidikan dasar formal yang ditamatkan, dan security capital atau kemampuan menjangkau proteksi dasar. Kemudian kemampuan dalam pelaksanaan kiprah sosial yaitu tinjauan perihal kemampuan kiprah sosial akan dilihat dari kegiatan utama dalam mencari nafkah, kiprah dalam bidang pendidikan, kiprah dalam bidang perlindungan, dan kiprah dalam bidang kemasyarakatan. Dan yang terakhir yaitu kemampuan dalam menghadapi permasalahan yaitu tinjauan perihal kemampuan dalam menghadapi permasalahan, akan dilihat dari upaya mereka lakukan untuk mempertahankan diri dari tekanan ekonomi dan non ekonomi. 

Konsekuensi dari kemiskinan yaitu tidak adanya pilihan bagi penduduk miskin (poverty givingmost people no option) untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti: kebutuhan pendidikan, kebutuhan kesehatan, dan kebutuhan ekonomi atas kepemilikan alat-alat produksi yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan. 

Kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar kebutuhan hidup minimum, yang meliputi masakan dan non-makanan. Nilai standar kebutuhan minimum masakan mengacu pada harga dan tingkat konsumsi dari 52 jenis masakan yang menghasilkan energi 2100 kalori sedangkan non-makanan terdiri 27 paket komoditi untuk perkotaan dan 25 komoditi untuk pedesaan yang dalam hal ini mewakili pola konsumsi penduduk kelas bawah. Nilai standar kebutuhan minimum digunakan sebagai garis batas kemiskinan atau garis kemiskinan non makanan. Batas kecukupan masakan ditetapkan sebesar nilai pengeluaran untuk masakan yang bisa menghasilkan energi sebesar 2.100 kalori per-kapita per-hari. 

Batas kecukupan non masakan yaitu sebesar nilai rupiah yang dikeluarkan penduduk kelas bawah untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum non masakan yaitu perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan aneka barang serta jasa lainnya. Menurut Kuncoro (1997), ada tiga hal yang menjadi penyebab munculnya kemiskinan, yakni ketidaksamaan kepemilikan sumber daya yang menjadikan distribusi pendapatan yang timpang; kemiskinan muncul jawaban perbedaan kualitas sumber daya manusia; dan kemiskinan muncul jawaban adanya perbedaan dalam mengakses modal. 

Sumodiningrat (2001), mengidentifikasikan penyebab kemiskinan yang sangat kompleks dan saling terkait, yaitu kualitas sumber daya insan yang rendah, baik motivasi, maupun penguasaan manajemen, dan teknologi; kelembagaan yang belum bisa menjalankan dan mengawal pelaksanaan pembangunan; prasarana dan sarana yang belum merata dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan; minimnya modal; dan berbelitnya mekanisme dan peraturan yang ada. 

Ada dua pendekatan untuk mengukur kemiskinan antara lain, ukuran kemiskinan absolut, ialah konsep sewenang-wenang memberi indikator mengenai keadaan perekonomian suatu tempat yang sebagian penduduk mendapat nafkah yang hanya sanggup digunakan untuk memenuhi taraf kehidupan minimum dan ukuran kemiskinan relatif yang didasarkan pada tingkat kesepadanan pendapatan dan lingkungan sekitar. Penentuan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum memakai kriteria Sayogyo, yaitu tingkat konsumsi ekuivalen beras perkapita sebagai indikator kemiskinan, dengan membedakan tingkat ekuivalen tempat pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang 240 Kg perkapita pertahun, maka mengkonsumsi ekuivalen digolongkan sangat miskin, sedangkan untuk tempat perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 Kg perkapita pertahun. 

Kemiskinan sewenang-wenang dan relatif yaitu konsep kemiskinan yang mengacu pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup seseorang/keluarga. Kedua istilah itu merujuk pada perbedaan sosial (social distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari distribusi pendapatan. Perbedaannya yaitu pada kemiskinan sewenang-wenang ukurannya sudah terlebih dahulu ditentukan dengan angka-angka konkret dan atau indikator atau kriteria yang digunakan, sementara pada kemiskinan relatif, kategorisasi kemiskinan ditentukan berdasarkan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan antar penduduk. Kategori ini sanggup digunakan untuk mengukur kemiskinan konsumsi maupun kemiskinan keterbelakangan yang bersifat multidimensi. 

Dalam kemiskinan absolut, standar kemiskinan dihitung berdasarkan nilai uang yang dibutuhkan untuk membayar jumlah kalori minimal yang dibutuhkan untuk hidup sehat dan kebutuhan non-makanan tertentu; Tingkat pendidikan yang dianggap tertinggal ditetapkan berdasarkan kemampuan membaca/menulis (melek huruf) atau kelulusan dari sekolah dasar. Standar-standar ini tidak akan berubah meskipun tingkat kemakmuran masyarakat berubah. Standar kemiskinan sewenang-wenang digunakan untuk menganalisis angka kemiskinan oleh dunia dengan memutuskan garis kemiskinan $ 1 per orang per hari dan angka kemiskinan yang dihitung Badan Pusat Statistik (BPS). 

Kemiskinan relatif memandang kemiskinan berdasarkan kondisi riil tingkat kemakmuran masyarakat. Garis kemiskinan ditetapkan sebesar 20% dari rata-rata pendapatan penduduk di suatu daerah; Ketertinggalan pendidikan diukur berdasarkan rata-rata usang sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas. 

Dalam penanggulangan duduk kasus kemiskinan melalui jadwal pemberian eksklusif tunai (BLT), BPS pun telah memutuskan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin, menyerupai yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika (2009), rumah tangga yang mempunyai ciri rumah tangga miskin, yaitu: luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang; jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan; jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester; tidak mempunyai akomodasi buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain; sumber penerangan rumah tangga tidak memakai listrik; sumber air minum berasal dari sumur /mata air tidak terlindung/sungai/air hujan; materi bakar untuk memasak sehari-hari yaitu kayu bakar/arang/minyak tanah; hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu; hanya membeli satu stel pakaian gres dalam setahun; hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari; tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik; sumber penghasilan kepala rumah tangga yaitu petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan; pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga yaitu tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD hingga SLTP; serta tidak mempunyai tabungan/barang yang gampang dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. 

Nasikun (1995), menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu: Policy induces processes yaitu proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya yaitu kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitasnya justru melestarikan; Socio-economic dualism yaitu negara ekskoloni mengalami kemiskinan lantaran pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal lantaran tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor; Population growth yaitu perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa pertambahan penduduk menyerupai deret ukur sedang pertambahan pangan menyerupai deret hitung; Recources management and the environment yakni adanya unsur mismanagement sumber daya alam dan lingkungan, menyerupai administrasi pertanian yang asal tebas akan menurunkan produktivitas; Natural cycles and processes yaitu kemiskinan terjadi lantaran siklus alam. Misalnya tinggal di lahan kritis, di mana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika demam isu kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus. 

The marginalization of woman yaitu peminggiran kaum wanita lantaran wanita masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga saluran dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki; Cultural and ethnic factors yaitu bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta moral istiadat yang konsumtif dikala upacara moral atau keagamaan; Exploitative intermediation yaitu keberadaan penolong yang menjadi penodong, menyerupai rentenir (lintah darat); Internal political fragmentation and civil stratfe yaitu suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu tempat yang fragmentasi politiknya kuat, sanggup menjadi penyebab kemiskinan; International processes yaitu bekerjanya sistemsistem internasional (kolonialisme dan kapitalisme) menciptakan banyak negara menjadi semakin miskin. 

Pekerjaan sosial melihat bahwa kelompok target dalam menangani kemiskinan harus meliputi tiga kelompok miskin secara simultan.Dalam kaitan ini, maka seringkali orang mengklasifikasikan kemiskinan berdasarkan “status” atau “profil” yang menempel padanya yang kemudian disebut Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Gelandangan, pengemis, anak jalanan, suku terasing, jompo terlantar, penyandang cacat (tubuh, mental, sosial) dll yaitu beberapa teladan PMKS yang sering diidentikan dengan target pekerjaan sosial di Indonesia. Belum ada hasil penelitian yang komprehensif apakah mereka ini tergolong pada kelompok destitute, poor atau vulnerable. Namun sanggup diasumsikan bahwa PMKS bisa berada diantara ketiga kategori kemiskinan di atas.Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, seni administrasi penanganan kemiskinan pekerjaan sosial terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat target perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. 

Prinsip ini dikenal dengan pendekatan “person-in-environment dan person-in-situation”. Pada pendekatan pertama, pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer group), maupun masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan (institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk PROKESOS yang telah dan sedang dikembangkan oleh Depsos sanggup disederhanakan menjadi: Pendekatan pertama yaitu pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh panti-panti social dan Program jaminan, proteksi dan asuransi kesejahteraan social.Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya, seni administrasi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism yang melihat si miskin secara individual yang mempunyai duduk kasus dan kemampuan unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini diubahsuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapinya. 

PROKESOS penanganan kemiskinan yang pada prinsipnya memadukan pendekatan neoliberal dan sosial demokrat ini sanggup dikategorikan kedalam beberapa strategi: yaitu seni administrasi kedaruratan. Misalnya, pemberian uang, barang dan tenaga bagi korban peristiwa alam,strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, pemberian stimulan untuk usaha-usaha hemat produktif.strategi pemberdayaan. Misalnya, jadwal training dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja,serta seni administrasi “penanganan penggalan yang hilang”. 

Strategi yang oleh Caroline Moser disebut sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap sanggup memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, jadwal KUBE atau Kelompok Usaha Bersama. 

3. Studi Empiris 
Syaifuddin (2007), membagi cara berpikir yang memandang kemiskinan sebagai tanda-tanda absolut; dan, sebagai tanda-tanda relatif. Cara berfikir (model) mengenai kemiskinan sebagai tanda-tanda sewenang-wenang memandang kemiskinan sebagai kondisi serba berkekurangan materi, hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak mempunyai sarana untuk mendukung kehidupan sendiri. Cara pandang relativistik ini terdiri atas dua cara pandang, yakni cara pandang (model) kebudayaan, dan cara pandang (model) struktural. Kemudian, bermula pada tahun 1990-an, terjadi perkembangan gres dalam pendekatan terhadap kemiskinan, yakni memandang kemiskinan sebagai proses. Pendekatan proses mengenai kemiskinan gres saja dikenal di Indonesia. Untuk sebagian besar, pendekatan yang digunakan di ruang ilmiah maupun mudah masih didominasi pendekatan kebudayaan dan struktural sebagaimana dibicarakan di atas. Kedudukan dan otoritas peneliti - dan pemerintah dalam konteks mudah - lebih banyak didominasi dalam pendekatan kebudayaan (lihat, Lewis 1961, 1966) dan struktural (lihat, Valentine 1968) mengenai kemiskinan. Dengan kata lain, “orang miskin” dalam kedua model kemiskinan ini dilihat sebagai obyek, baik sebagai target penelitian maupun sebagai target jadwal kebijakan. 

Mubyarto (2009) dalam tulisannya perihal “Mencari Akar Kemiskinan di Indonesia”, dijelaskan bahwa kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh kemiskinan sewenang-wenang atau kemiskinan relatif. Pernyataan menarik dari Mubyarto ialah “Mengapa kita miskin padahal negeri kita kaya akan sumber daya alam?” Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan di atas, salah satunya adalah: “Kemiskinan disebabkan ketidakmampuan negara dalam mengelola sumber daya alam. Jika memang kemiskinan disebabkan ketidakmampuan negara dalam mengelola sumber daya alam, tentu duduk kasus tersebut telah usang sanggup diselesaikan dengan masuknya investor asing. 

Mereka para investor absurd tiba membawa modal dan teknologi untuk mengelola sumber daya alam Indonesia dengan “baik”. Hasilnya, kemiskinan tetap menjadi sahabat bagi mayoritas penduduk Indonesia. Jawaban lain atas pertanyaan di atas adalah: “Kemiskinan disebabkan kesalahan dalam distribusi sumber daya alam, sehingga kekayaan (yang diperoleh dari sumber daya alam) tidak sanggup dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya beredar atau dikuasai oleh segelintir orang.” 

DAFTAR PUSTAKA
  • Arif, Sritua. 2006. Negeri Terjajah: Menyingkap Ilusi Kemerdekaan, Yogyakarta Resist Book
  • Baswir, Revrisond. 2006. Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia. Yoyakarta:Pustaka Pelajar
  • Biro Pusat Statistik,” Sulawesi Selatan Dalam Angka,” 1996-2006.Sulawesi Selatan.
  • Chomsky, Noam. 2005. Memeras Rakyat, Neoliberalisme dan Tantangan Global. Jakarta. Profetik Anggota IKAPI
  • .............2005.Buku Putih Pengkaderan Lembaga Kemahasiswaan.(Kerjasama SEMA FE-UH,HIMAJIE,IMMAJ,IMA)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel