Contoh Makalah Taktik Pembelajaran Mipa

STRATEGI PEMBELAJARAN MIPA 
KATA PENGANTAR
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 12 Ta-hun 2007 wacana Standar Pengawas Sekolah/Madrasah berisi standar kualifi-kasi dan kompetensi pengawas sekolah. Standar kualifikasi menjelaskan per-syaratan akademik dan nonakademik untuk diangkat menjadi pengawas seko-lah. Standar kompetensi menjelaskan seperangkat kemampuan yang harus di-miliki dan dikuasai pengawas sekolah untuk sanggup melaksanakan kiprah pokok, fungsi, dan tanggung jawabnya. 

Ada enam dimensi kompetensi yang harus dikuasai pengawas sekolah yakni: 
(a) kompetensi kepribadian, 
(b) kompetensi supervisi manajerial, 
(c) kompetensi supervisi akademik, 
(d) kompetensi penilaian pendidikan, 
(e) kom-petensi penelitian dan pengembangan, dan 
(f) kompetensi sosial. 

Dari hasil uji kompetensi di beberapa tempat memperlihatkan kompetensi pengawas seko-lah masih perlu ditingkatkan terutama dimensi kompetensi supervisi manaje-rial, supervisi akademik, penilaian pendidikan, dan kompetensi penelitian dan pengembangan. Untuk itu dibutuhkan adanya diklat peningkatan kompetensi pengawas sekolah baik bagi pengawas sekolah dalam jabatan, terlebih lagi bagi para calon pengawas sekolah.

Materi dasar untuk semua dimensi kompetensi sengaja disiapkan semoga sanggup dijadikan rujukan oleh para instruktur dalam melaksanakan diklat pening-katan kompetensi pengawas sekolah di mana pun training tersebut dilakana-kan. Kepada tim penulis materi diklat kompetensi pengawas sekolah yang ter-diri atas dosen LPTK dan widya iswara dari LPMP dan P4TK kami ucapkan terima kasih. Semoga goresan pena ini ada manfaatnya. 

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tugas pengawas satuan pendidikan tidak hanya melaksanakan supervisi manajerial kepala sekolah, namun juga membina guru melalui supervisi aka-demik. Dalam pembinaan guru tentu harus mengacu pada kompetesi guru, ter-utama kompetensi profesional berkaitan dengan proses pembelajaran. Sejalan dengan perkembangan teknologi serta teori-teori pembelajaran, maka guru pun dituntut bisa menguasai dan menentukan seni administrasi pembelajaran yang te-pat, sehingga menimbulkan siswa aktif, kreatif, dan berguru dalam suasana se-nang serta efektif.

Menghadapi kiprah tersebut pengawas tentu harus menguasai strategi/ metode/teknik pembelajaran/bimbingan yang up to date. Bila pengetahuan pengawas sudah ketinggalan, apa lagi hanya mengandalkan pengalaman tan-pa didukung teori-teori, maka pengawas tidak akan mandapatkan respek dari para guru yang dibinanya. Paling tidak, untuk jenjang pendidikan menengah pengawas harus memahami garis besar seni administrasi pembelajaran mata pelajaran utama antara lain: Matematika, IPA, IPS, bahasa Indonesia, dan bahasa Ing-gris Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan, serta Pendidikan Seni dan Budaya.

Materi training ini dimaksudkan memperlihatkan wawasan bagi pengawas dalam melaksanakan kiprah supervisi akademik untuk mata pelajaran Matema-tika dan Ilmu Pengetahuan Alam di sekolah menengah.

B. Dimensi Kompetensi
Dimensi kompetensi yang diharapkan dibuat pada selesai Diklat ini ialah dimensi Kompetensi Supervisi Akademik.

C. Kompetensi yang Hendak Dicapai
Setelah mengikuti training ini pengawas diharapkan sanggup membim-bing guru dalam menentukan dan memakai strategi/metode/teknik pembe-lajaran/bimbingan yang sanggup membuatkan potensi siswa melalui mata-mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah.

D. Indikator Pencapaian 
Setelah menuntaskan materi ini, pengawas diharapkan mampu:
1. Memahami konsep umum pembelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
2. Memahami prinsip-prinsip pembelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 
3. Memahami pendekatan dan metode pembelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 
4. Memilih media pembelajaran Matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam 
5. Membimbing guru menentukan seni administrasi pembelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 
6. Membimbing guru memutuskan model penilaian pembelajaran Matemati-ka dan Ilmu Pengetahuan Alam 

F. Skenario Pelatihan
1. Perkenalan
2. Penjelasan wacana dimensi kompetensi, indikator, alokasi waktu dan ske-nario pendidikan dan training seni administrasi pembelajaran MIPA. 
3. Pre-test
4. Eksplorasi pemahaman penerima berkenaan dengan seni administrasi pembelajaran MIPA melalui pendekatan andragogi.
5. Penyampaian Materi Diklat:
a. Menggunakan pendekatan andragogi, yaitu lebih mengutamakan pe-ngungkapan kembali pengalaman penerima pelatihan, menganalisis, me-nyimpulkan, dan mengeneralisasi dalam suasana diklat yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan bermakna. Peranan pela-tih lebih sebagai fasilitator.
b. Diskusi wacana indikator keberhasilan seni administrasi pembelajaran MIPA. 
c. Praktik/Simulasi penyusunan langkah-langkah pembinaan/supervisi guru dalam pemilihan seni administrasi pembelajaran MIPA. 
6. Post test.
7. Refleksi bersama antara penerima dengan instruktur mengenai jalannya pelatih-an seni administrasi pembelajaran MIPA. 
8. Penutup 

BAB II
STRATEGI PEMBELAJARAN
A. Pengantar
Pada awalnya, istilah “strategi” dikenal dalam dunia militer terutama terkait dengan perang, namun demikian makna itu telah meluas tidak hanya dalam kondisi perang tetapi juga damai, dan dalam banyak sekali bidang antara lain ekonomi, sosial, pendidikan, dsb. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998: 203) ada beberapa pengertian dari seni administrasi yakni: (1) ilmu dan seni memakai semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai, (2) planning yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus, sedangkan metode ialah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud. 

Soedjadi (1999: 101) menyebutkan seni administrasi pembelajaran ialah suatu siasat melaksanakan kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengubah suatu kea-daan pembelajaran sekarang menjadi keadaan pembelajaran yang diharapkan. Un-tuk mengubah keadaan itu sanggup ditempuh dengan banyak sekali pendekatan pem-belajaran. Lebih lanjut Soedjadi menyebutkan bahwa dalam satu pendekatan sanggup dilakukan lebih dari satu metode dan dalam satu metode sanggup diguna-kan lebih dari satu teknik. Secara sederhana sanggup dirunut sebagai rangkaian: teknik ® metode ® pendekatan ® strategi.

Strategi pembelajaran ialah suatu planning kegiatan pembelajaran yang dirancang secara seksama sesuai dengan tuntutan kurikulum sekolah untuk mencapai hasil berguru siswa yang optimal, dengan menentukan pendekatan, me-tode, media dan keterampilan-keterampilan tertentu contohnya membelajarkan, bertanya, dan berkomunikasi. Secara ringkas seni administrasi pembelajaran merupa-kan cara pandang dan pola pikir guru semoga siswa bisa belajar. Faktor-fak-tor yang harus menjadi pertimbangan dalam menyusun seni administrasi pembelajaran adalah: 
(1) mengaktifkan siswa, dalam bentuk kiprah kelompok, melaksanakan curah pendapat dalam proses pembelajaran dan melaksanakan tanya jawab ter-buka; 
(2) membangun peta konsep (sistematika materi materi ajar); 
(3) meng-gali informasi dari banyak sekali media; dan 
(4) membandingkan dan mensintesis-kan informasi

Untuk memperoleh hasil pembelajaran yang optimal, salah satu tugas
guru yang sangat penting ialah membuat persiapan pembelajaran, yang me-nuntut sejumlah kemampuan seperti: 
  1. (1) menguasai materi pelajaran (bahan ajar) dan karakteristiknya; 
  2. (2) merumuskan tujuan pembelajaran; (
  3. 3) menentukan materi pelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajaran dan alat evaluasi-nya;
  4.  (4) merancang pengalaman berguru siswa; 
  5. (5) menguasai banyak sekali pende-katan dan teori belajar;
  6.  (6) menguasai banyak sekali metode dan media pembela-jaran; 
  7. (7) menentukan & mengkombinasikan materi pelajaran, metode, media de-ngan pengalaman berguru yang sesuai dengan tujuan dan evaluasi; dan 
  8. (8) pe-nunjang keberhasilan proses pembelajaran lainnya
Agar proses pembelajaran berjalan secara optimal guru perlu membuat strategi, yaitu “Strategi Belajar Mengajar” (SBM). SBM atau seni administrasi pembe-lajaran (teaching strategy) berdasarkan Arthur L. Costa (1985) merupakan pola kegiatan pembelajaran yang berurutan yang diterapkan dari waktu ke waktu dan diarahkan untuk mencapai suatu hasil berguru siswa yang diinginkan. 

Pada kegiatan merancang persiapan mengajar, guru perlu menyusun seni administrasi pembelajaran yang berupa pemilihan dan penetapan bentuk pengala-man berguru siswa. Dalam hal ini guru harus memutuskan pendekatan, meto-de, media, situasi kelas, dan segala sesuatu yang mendukung keberhasilan proses pembelajaran. 

B. Tugas Guru dalam Pembelajaran
Dalam menjalankan tugasnya, seorang pengawas harus tahu persis tu-gas dan kiprah guru dalam Proses Belajar Mengajar (PBM). Tugas seorang guru meliputi mendidik, membelajarkan siswa, dan memperlihatkan latihan-la-tihan. Tugas mendidik berarti membuatkan nilai-nilai dalam kehidupan, kiprah membelajarkan berarti mendorong dan memperlihatkan peluang, serta men-ciptakan situasi yang aman semoga siswa sanggup berguru sebaik-baiknya, se-dangkan kiprah memperlihatkan latihan berarti membuatkan keterampilan-keterampilan siswa.

Ketiga kiprah tersebut harus terwujud dalam pelaksanaan PBM semoga pe-laksanaannya optimal, meliputi kegiatan: 
(1) membuat persiapan mengajar;
 (2) melaksanakan KBM; dan 
(3) melaksanakan penilaian hasil berguru dan me-manfaatkan umpan balik.

1. Persiapan Mengajar
Pada tahap ini guru harus benar-benar mengkonsentrasikan diri untuk mempersiapkan materi (bahan ajar), seni administrasi pembelajaran, serta cara dan bentuk penilaian yang akan dilakukan. Beberapa langkah yang harus dilaku-kan guru dalam persiapan, yaitu:
a. Merumuskan tujuan pembelajaran, dalam pelaksanaan KTSP diwujudkan dalam bentuk indikator. Indikator pencapaian kompetensi dikembangkan oleh sekolah, diadaptasi dengan lingkungan setempat, dan media serta lingkungan berguru yang ada di sekolah. Semua ini ditujukan semoga guru sanggup lebih aktif, kreatif, dan melaksanakan penemuan dalam pembelajaran tan-pa meninggalkan isi kurikulum.
b. Merumuskan alat evaluasi/asesmen, baik bentuk, cara, waktu, dan model penilaian yang akan dilakukan. Evaluasi ini bisa berupa formatif (evaluasi untuk memperbaiki pembelajaran) maupun sumatif (evaluasi untuk me-lihat keberhasilan berguru siswa). 
c. Memilih materi pelajaran yang esensial untuk dikuasai dan dikembang-kan dalam seni administrasi pembelajaran. Materi pelajaran yang dipilih terutama berkaitan dengan prinsip, yang berisi sejumlah konsep dan konten yang menjadi alat untuk mendidik dan membuatkan kemampuan siswa. Di samping itu guru juga harus bisa menentukan karakteristik materi (ba-han ajar) tersebut.
d. Berdasarkan karakterisktik materi (bahan ajar) maka guru menentukan strate-gi pembelajaran sebagai proses pengalaman berguru siswa. Pada tahap ini guru harus menentukan metoda, pendekatan, model, dan media pembela-jaran, serta teknik pengelolaan kelas (laboratorium).

2. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
Dengan bekal persiapan mengajar yang telah dirancang secara matang dan operasional, guru melaksanakan KBM. Pada KBM yang terjadi sanggup melibatkan beberapa interaksi. 

Interaksi berguru mengajar merupakan komunikasi antara guru dan sis-wa dalam proses pembelajaran, dan pada hakikatnya bertujuan mengantarkan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran dengan pola tertentu. Pola inter-aksi berguru mengajar sanggup terjadi searah, dua arah ataupun multi arah. Bila guru memberikan materi pelajaran tanpa memakai media maka inter-aksi berguru mengajar berlangsung searah atau dua arah. 

Jika guru menyajikan materi dibantu dengan media dan metode yang dipakai kerja kelompok, maka interaksi berguru mengajar sanggup berlang-sung multi arah. Pada kegiatan pembelajaran model ini guru lebih cenderung berperan sebagai fasilitator. Perhatikan gambar berikut ini!

Kelompok berguru siswa Kelompok berguru siswa
Perlu diperhatikan bahwa pola pembelajaran yang direncanakan guru harus relevan dengan tujuan, materi dan metode yang dipilih. Masih banyak pola pembelajaran yang sanggup diterapkan pada pembelajaran, untuk itu sanggup dicari pada sumber bacaan lain semoga sanggup lebih memperkaya pengetahuan tersebut.

3. Melaksanakan Evaluasi Hasil Belajar dan Memanfaatkan Umpan Balik
Alat penilaian untuk mengukur ketercapaian tujuan/indikator telah diran-cang pada dikala persiapan. Alat penilaian ini sebelum dipakai perlu divalida-si sehingga alat penilaian tersebut benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur. Setelah divalidasi alat penilaian ini perlu diujicobakan kepada siswa yang telah mengikuti pembelajaran materi yang bersangkutan. Uji coba ini dilakukan untuk mengetahui reliabilitas (keajegan atau konsistensi) daya pembeda (kemampuan membedakan siswa yang memahami dan tidak mema-hami) dan tingkat kesukaran alat penilaian tersebut. Pada sebuah perangkat penilaian (pokok uji) tingkat kesukarannya harus proporsional, artinya kompo-sisi antara pokok uji yang sukar, sedang, dan gampang tidak menumpuk pada salah satu. Biasanya komposisi yang baik pada sebuah perangkat pokok uji ialah sukar 25 %, bahagia 50 %, dan gampang 25%. 

Evaluasi yang dilakukan bisa berupa penilaian proses pembelajaran atau pun hasil belajar. Evaluasi peoses berguru sanggup dilakukan melalui portofolio yang menggambarkan upaya siswa dalam memahami materi pelajaran atau pun proses latihan menguasai suatu keterampilan. Di samping itu, penilaian juga sanggup dilakukan secara ekspresi maupun tulisan, sanggup dilakukan sebelum, pada saat, dan sehabis proses pembelajaran. 

C. Peran Guru dalam Pembelajaran 
Sebagai konsekuensi dari PBM yang berpusat pada siswa, guru sanggup berperan sebagai: 
Penyampai (Sumber) Informasi 

Guru sanggup berperan sebagai sumber informasi dituntut untuk mengua-sai materi pelajaran dan mempunyai wawasan yang luas, sehingga seorang guru dituntut untuk terus belajar, tidak berhenti hingga menguasai. Seorang guru dituntut harus bisa menginformasikan materi tersebut semoga sanggup dikuasai oleh siswanya. Karena itu seorang guru harus sanggup memanfaatkan banyak sekali media dan sumber berguru untuk memperjelas informasi yang disampaikan kepada siswa. Berperannya guru sebagai sumber informasi porsinya sangat tergantung pada tingkatan pendidikan. Pada SD (SD) guru hampir 100% bertindak sebagai sumber informasi. Bertambahnya tingkatan kelas dan tingkatan pendidikan, kiprah guru sebagai sumber informasi ini semakin berkurang. 

Pada pembelajaran MIPA siswa sanggup pribadi melihat fenomena alam, sehingga seorang guru MIPA harus siap dengan pengetahuan dan wawasan pemanis yang memadai.

2. Pengelola Lingkungan Belajar
Peran guru ialah sebagai pengelola lingkungan berlajar, alasannya ialah itu gu-ru harus bisa membuat lingkungan berguru yang aman semoga siswa sanggup berguru secara optimal. Lingkungan berguru yang secara resmi menjadi tanggung jawab guru MIPA tidak hanya meliputi kelas dengan batas-batas berupa dinding kelas atau laboratorium, tetapi juga lingkungan sekitar/alam jagat raya. 

3. Fasilitator Pembelajaran
Guru sebagai fasilitator pembelajaran, artinya guru tersebut harus sanggup menjembatani interaksi berguru antar siswa. Di samping itu guru juga sanggup memperlihatkan banyak sekali kemudahan lainnya yang dibutuhkan bagi siswa, antara lain berupa alat antu atau media pembelajaran yang menunjang, serta melengka-pi kemudahan yang dibutuhkan untuk terjadinya pembelajaran yang optimal, mi-salnya pada pembelajaran MIPA, terdapat kegiatan eksperimen yang dilaku-kan di laboratorium, maka guru harus menyiapkan fasilitas-fasilitas untuk ke-berlangsungan kegiatan eksperimen.

4. Evaluator
Guru harus bisa menyiapkan alat evaluasi, melaksanakan evaluasi, me-ngolah data penilaian dan sekaligus mengambil keputusan dan kebijakan dari hasil penilaian yang dilakukan. Evaluasi yang dilakukan berupa penilaian untuk perbaikan proses pembelajaran maupun penilaian untuk mengetahui keberha-silan berguru siswanya. 

D. Pendekatan dan Metode dalam Pembelajaran
Penentuan pendekatan dan metode yang dipilih tergantung pada tujuan pembelajaran dan sifat materi yang akan disajikan. Artinya suatu materi tidak hanya sanggup disajikan dengan satu pendekatan atau metode saja. Pembelajar-an dengan memakai banyak metode akan menunjang pembelajaran yang lebih bermakna. 

Pendekatan (approach) lebih menekankan pada seni administrasi dalam perenca-naan, sedangkan metode (method) lebih menekankan pada teknik pelaksana-annya. Kemampuan seorang guru menentukan pendekatan dan metode yang se-suai untuk suatu proses pembelajaran tidak terlepas dari penguasaan guru ter-sebut terhadap materi yang akan diajarkan dan pemahamannya terhadap sifat dari pendekatan dan metode yang akan digunakan. 

BAB III
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
A. Pengertian Matematika
Metode mencari kebenaran dalam matematika berbeda dengan IPA ma-upun dengan ilmu pengetahuan pada umumnya. Metode mencari kebenaran dalam matematika ialah metode deduktif, sedangkan pada IPA ialah me-tode induktif yang umumnya diawali dengan eksperimen. Namun dalam men-cari kebenaran matematika bisa dimulai dengan cara induktif, tetapi seterus-nya harus sanggup dibuktikan secara deduktif. 

Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana hingga pada konsep yang paling kompleks. Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasya-rat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya.

Fungsi mata pelajaran matematika sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan. Ketiga fungsi matematika tersebut hendaknya dijadikan contoh dalam pembelajaran matematika di sekolah. 

Menurut konstruktivis secara substantif, berguru matematika ialah pro-ses pemecahan masalah (Cobb, 1991). Dalam hal ini fokus utama berguru ma-tematika ialah memberdayakan siswa untuk berfikir mengkonstruk penge-tahuan matematika yang pernah ditemukan oleh hebat sebelumnya. Evaluasi dalam pembelajaran matematika secara konstruktivis terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going assesment)

Menurut NCTM (1990), data kemampuan siswa dalam matematika ha-rus memasukkan pengetahuan wacana konsep matematika, mekanisme matema-tika, kemampuan problem solving, reasoning dan komunikasi. Sedangkan Nisbet (1985) menyatakan bahwa “tak ada cara tunggal yang sempurna untuk be-lajar dan tak ada cara terbaik untuk mengajar. Namun demikian seorang guru sanggup menerapkan salah satu pendekatan yang cocok dengan mempertimbang-kan kondisi siswa.

B. Paradigma Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika 
Ada perbedaan yang sangat berarti antara pembelajaran matematika de-ngan paradigma konstruktivisme dan konvensional. Dalam paradigma kons-truktivisme peranan guru bukan pemberi tanggapan selesai atas pertanyaan sis-wa, melainkan memfasilitasi siswa untuk memperoleh struktur matematika melalui konstruksi pengetahuan. Sedangkan dalam paradigma konvensional, guru mendominasi pembelajaran dengan menjawab setiap pertanyaan siswa tanpa memberi kesempatan siswa untuk menyusun struktur pengetahuan ma-tematikanya.

Menurut Tim MKPBM Matematika UPI (2001), sebagai akhir dari pe-nerapan konstruktivisme dalam pembelajaran matematika, guru harus siap bernegosiasi dengan siswa bukan memperlihatkan tanggapan yang telah jadi. Ne-gosiasi dalam hal ini sanggup berupa pengajuan pertanyaan-pertanyaan kembali, atau mengungkapkan pernyataan yang menantang siswa untuk berpikir lebih lanjut sehingga struktur ilmu matematika yang diperoleh siswa akan semakin kuat. 

Penerapan paradigma konstruktivisme dalam pembelajaran matematika di antaranya sanggup dilakukan dengan pendekatan pemecahan masalah dan pendekatan realistik.

C. Pendekatan Pemecahan Masalah dalam Matematika
Pemecahan masalah merupakan potongan dari kurikulum matematika yang sangat penting alasannya ialah dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman memakai pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Melalui kegiatan ini aspek-aspek kemam-puan matematika yang penting ibarat penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematika dan lain-lain sanggup dikembangkan secara lebih baik. 

Sebagaimana tercantum dalam kurikulum matematika sekolah bahwa tujuan diberikannya matematika antara lain semoga siswa bisa menghadapi perubahan keadaan yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur dan efektif. Tun-tutan tersebut mustahil tercapai bila pembelajaran hanya berbentuk ha-falan, latihan pengerjaan soal yang rutin, serta proses pembelajaran yang “teacher centered” yang tidak menuntut siswa untuk mengoptimalkan daya fikirnya. Menurut Gagne (1970), keterampilan intelektual tingkat tinggi dapatdikembangkan melalui pemecahan masalah.

Menurut Polya (1957), ada empat langkah dalam pemecahan masalah, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menuntaskan masa-lah sesuai rencana, dan melaksanakan pengecekan kembali terhadap semua lang-kah yang telah dikerjakan. Pada pelaksanaan keempat langkah tersebut, kiprah utama guru ialah membantu dan memfasilitasi siswa untuk sanggup mengopti-malkan kemampuannya mencapai terselesaikannya masalah yang dihadapi secara logis, terstruktur, cermat, dan tepat.

Pada pelajaran matematika untuk memudahkan dalam pemilihan soal perlu dilakukan pembedaan antara soal rutin dan soal tidak rutin. Soal rutin biasanya meliputi aplikasi suatu mekanisme matematika yang sama atau ibarat dengan hal yang pernah dipelajari. Sedangkan dalam masalah tidak rutin un-tuk hingga pada mekanisme yang benar dibutuhkan analisis dan proses pemikir-an yang lebih mendalam. 

Berdasarkan hasil penelitian, kegiatan pemecahan masalah harus dikem-bangkan untuk situasi yang lebih bersifat riil atau alamiah, dengan tema per-masalahan yang diambil dari kejadian sehari-hari yang akrab dengan kehidu-pan siswa. Dengan cara ini diharapkan siswa lebih tertarik pada pelajaran. Selain itu, proses pemecahan masalah sebaiknya dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga memberi peluang untuk berdiskusi dan saling ber-tukar pendapat yang sanggup membuatkan kemampuan berkomunikasi.

D. Pendekatan Realistik dalam Matematika
Dengan memakai filosofi realistik, kepada siswa diberikan tugas-tugas konsep matematika yang bekerjasama dengan kenyataan, sehingga da-pat memperluas wawasan siswa wacana kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Freudenthal (1991) yang menyatakan bahwa “Mathematics is human activity”, alasannya ialah itu pembelajaran matematika disarankan berangkat dari ak-tivitas manusia.

Terdapat lima prinsip utama dalam “kurikulum” matematika realistik:
1. Pengajuan masalah-masalah dalam konteks nyata, baik sebagai sumber sebagai terapan konsep atematika.
2. Pelaksanaan pembelajaran memperhatikan pengembangan model-model, ituasi, skema, dan simbol-simbol.


3. Siswa dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran, sehingga siswa dapat 


membuat pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif. 


4. Karakteristik dari proses pembelajaran matematika yang dilakukan bersi-


fat interaktif, baik berupa korelasi antar siswa maupun korelasi siswa- 


guru.


5. Terbentuk jalinan konsep antar topik atau antar pokok bahasan dalam pe-


nyelesaian permasalahan yang nyata.


Dalam falsafah realistik, dunia nyata dipakai sebagai titik pangkal dalam pengembangan konsep-konsep dan gagasan matematika.

E. Metode dalam Pembelajaran Matematika
1. Metode Penemuan Terbimbing
Sebagai suatu metode pembelajaran dari sekian banyak metode pembe-lajaran yang ada, penemuan terbimbing menempatkan guru sebagai fasilita-tor, guru membimbing siswa jika diperlukan. Dalam metode ini, siswa dido-rong untuk berpikir sendiri, menganalisis sendiri, sehingga sanggup ‘menemu-kan’ prinsip umum berdasarkan materi atau data yang telah disediakan guru. Sampai seberapa jauh siswa dibimbing, tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari. 

Dengan metode ini, siswa dihadapkan kepada situasi untuk mengusut secara bebas dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi, dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan. Guru bertindak sebagai penunjuk ja-lan, ia membantu siswa semoga mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang baru. Pengajuan pertanyaan yang sempurna oleh guru akan merangsang kre-ativitas siswa dan membantu mereka dalam ‘menemukan’ pengetahuan yang gres tersebut. 

Metode ini memerlukan waktu yang relatif banyak dalam pelak-sanaannya, akan tetapi hasil berguru yang dicapai tentunya sebanding dengan waktu yang digunakan. Pengetahuan yang gres akan menempel lebih usang apa-bila siswa dilibatkan secara pribadi dalam proses pemahaman dan ‘meng-konstruksi’ sendiri konsep atau pengetahuan tersebut. Metode ini bisa dilaku-kan baik secara perseorangan maupun kelompok. Beberapa materi ibarat menemukan rumus luas lingkaran, dalil Phytagoras, volume tabung, dan se-bagainya sangat terbantu dalam menanamkan konsep matematika. Dengan metode Penemuan Terbimbing guru bisa meminimalisir bentuk-bentuk ’pe-ngumuman’ saja dari rumus tersebut, tetapi lebih pada upaya siswa yang dia-rahkan menemukan konsep itu dibawah bimbingan guru. 

Banyak bimbingan 
  • Menyatakan persoalan
  • Memberikan bimbingan 
  • Mengikuti petunjuk
  • Menemukan penyelesaian 
Agar pelaksanaan Metode Penemuan Terbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru Matematika ialah sebagai berikut:
  • Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data se-cukupnya. Perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbul-kan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah.
  • Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorga-nisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru da-pat diberikan sejauh yang dibutuhkan saja. Bimbingan ini sebaiknya me-ngarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS.
  • Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukan-nya.
  • Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat oleh siswa tersebut di-periksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai. 
  • Apabila telah diperoleh kepastian wacana kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan kepada siswa untuk me-nyusunnya. Di samping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menja-min 100% kebenaran konjektur.
  • Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal pemanis untuk mengusut apakah hasil penemuan itu benar.
2. Metode Pembelajaran Kooperatif
Posamentier (1999: 12) secara sederhana menyebutkan cooperative learning atau berguru secara kooperatif ialah penempatan beberapa siswa dalam kelompok kecil dan memperlihatkan mereka sebuah atau beberapa tugas. 

Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika siswa bekerja dalam ke-lompok ialah sebagai berikut:
  • Setiap anggota dalam kelompok harus merasa potongan dari tim dalam pen-capaian tujuan bersama. 
  • Setiap anggota dalam kelompok harus menyadari bahwa masalah yang mereka pecahkan ialah masalah kelompok, berhasil atau gagal akan di-rasakan oleh semua angota kelompok.
  • Untuk pencapaian tujuan kelompok, semua siswa harus bicara atau disku-si satu sama lain.
  • Harus terang bahwa setiap kerja individu dalam kelompok mempunyai imbas pribadi terhadap keberhasilan kelompok.
Dengan demikian bukanlah suatu cooperative environment meskipun beberapa siswa duduk bersama namun bekerja secara individu dalam menye-lesaikan tugas, atau seorang anggota kelompok menuntaskan sendiri kiprah kelompoknya. Cooperative learning lebih merupakan upaya pemberdayaan sobat sejawat, meningkatkan interaksi antar siswa, serta korelasi yang sa-ling menguntungkan antar mereka. Siswa dalam kelompok akan berguru men-dengar pandangan gres atau gagasan orang lain, berdiskusi oke atau tidak setuju, mena-warkan, atau mendapatkan kritikan yang membangun, dan siswa merasa tidak terbebani ketika ternyata pekerjaannya salah. 

Kelman (1971) menyatakan bahwa dalam kelompok terjadi saling pe-ngaruh secara sosial. Pertama, imbas itu sanggup diterima seseorang alasannya ialah ia memang berharap untuk menerimanya. Kedua, ia memang ingin mengadop-si atau memalsukan tingkah laris atau keberhasilan orang lain atau kelompok terse-but alasannya ialah sesuai dengan salah satu sudut pandang kelompoknya. Ketiga, ka-rena imbas itu kongruen dengan sikap atau nilai yang ia miliki. Ketiganya mempengaruhi, sejauh kerja kooperatif tersebut sanggup dikembangkan.

Sementara itu, Slavin (1991) menyatakan bahwa dalam berguru koopera-tif, siswa bekerja dalam kelompok saling membantu untuk menguasai materi ajar. Lowe (1989) menyatakan bahwa berguru kooperatif secara nyata sema-kin meningkatkan pengembangan sikap sosial dan berguru dari sobat seke-lompoknya dalam banyak sekali sikap positif. Keduanya memperlihatkan citra bahwa berguru kooperatif meningkatkan sikap sosial yang positif dan kemam-puan kognitif yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

a. Langkah Pmbelajaran Kooperatif 
Terkait dengan metode pembelajaran ini, Ismail (2003: 21) menyebut-kan 6 (enam) langkah dalam Model Pembelajaran Kooperatif yakni:
  • Fase ke - 
  • Indikator 
  • Tingkah laris Guru 
1. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa 
Guru memberikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar 

2. Menyajikan informasi 
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat materi bacaan 

3. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok -kelompok belajar 
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok berguru dan membantu setiap kelompok semoga melaksanakan transisi secara efisien 

4. Membimbing kelompok bekerja dan belajar 
Guru membimbing kelompok – kelompok berguru pada dikala mereka mengerjakan tugas 

5. Evaluasi 
Guru mengevaluasi hasil berguru wacana materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya 

6. Memberikan penghargaan 
Guru mencari cara-cara untuk menghargai upaya atau hasil berguru individu maupun kelompok 

b. Beberapa Tipe Pembelajaran Kooperatif 
Banyak macam kegiatan berguru berkelompok atau kerja kelompok. Dis-kusi dan pengembangan komunikasi untuk saling berguru dan memberikan pendapat merupakan hal yang dituntut dan sekaligus dipelajari. Kegiatan ter-sebut merupakan kegiatan yang mengakar di masyarakat, tetapi tanpa pendi-dikan dan training hasil yang secara intuitif tentulah tidak sebanyak yang direncanakan. Beberapa tipe pembelajaran kooperatif/kelompok yang dike-mukakan oleh beberapa hebat antara lain Slavin (1985), Lazarowitz (1988), atau Sharan (1990) ialah sebagai berikut: 
  1. Circle learning/learning together (belajar bersama)
  2. Investigation group (grup penyelidikan)
  3. Jigsaw
  4. NHT (Numbered Heads Together)
  5. TAI (Team Assissted Individualization)
  6. STAD (Student Teams – Achievement Division)
  7. TGT (Teams Games Tournament)
3. Metode Missouri Mathematics Project (MMP)
Sebelum melihat MMP, ada baiknya kita mengingat dahulu Struktur Pengajaran Matematika (SPM) alasannya ialah antara MMP dan SPM hampir sama. 

Secara sederhana tahapan kegiatan dalam SPM ialah sebagai berikut:
  • Pendahuluan (7’): apersepsi, revisi, motivasi, introduksi.
  • Pengembangan (10’): pembelajaran konsep/prinsip.
  • Penerapan (23’): training penggunaan konsep/prinsip, pengembangan, skill, evaluasi
  • Penutup (5’): penyusunan rangkuman, penugaan.
Adapun Metode MMP yang secara empiris melalui penelitian, dikemas dalam struktur yang hampir sama dengan SPM dengan urutan langkah ialah sebagai berikut (Winarno, 2000):

Langkah 1: Review
- meninjau ulang pelajaran yang lalu
- membahas PR 

Langkah 2: Pengembangan 
- penyajian pandangan gres baru, ekspansi konsep matematika terdahulu
- penjelasan, diskusi, demostrasi dengan contoh konkret yang sifatnya piktorial dan simbolik

Langkah 3: Latihan Terkontrol
- Siswa merespon soal 
- Guru mengamati
- Belajar kooperatif

Langkah 4: Seatwork
- Siswa bekerja sendiri untuk latihan 
- atau ekspansi konsep pada langkah 2

Langkah 5: PR
- Tugas PR Soal Review

4. Metode Pengajaran Langsung
Metode Pengajaran Langsung (MPL) kadang juga disebut sebagai Pe-ngajaran Aktif ( Good & Crows, 1985), Mastery Teaching (Hunter, 1982), dan Explicit Instruction (Rosenshine & Stevens, 1986). meskipun tidak sino-nim kuliah atau ceramah, dan resitasi bekerjasama erat dengan metode pe-ngajaran pribadi ini.

Muhammad Nur (2001) menyebutkan bahwa pembelajaran pribadi khusus dirancang untuk membuatkan berguru siswa wacana pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif, yang sanggup diajarkan dengan pola se-langkah demi selangkah. Lebih lanjut disebutkan pula, pengetahuan deklara-tif (yang sanggup diungkapkan dengan kata-kata) ialah pengetahuan wacana sesuatu, sedangkan pengetahuan prosedural ialah pengetahuan wacana ba-gaimana melaksanakan sesuatu. Objek Matematika sekolah terdiri atas fakta, prinsip, konsep, dan mekanisme yang memungkinkan metode ini bisa diguna-kan.

Secara garis besar ada 5 (lima) langkah dalam pengajaran langsung. Pa-da model ini masih berpusat pada guru, meliputi: 
  1. fase persiapan, 
  2. de-monstrasi, 
  3. pelatihan terbimbing, 
  4. umpan balik, dan 
  5. pelatihan lanjut (mandiri). 
Dilihat kiprah guru, maka Sintaks Metode Pengajaran Langsung ialah sebagai berikut: 
  • FASE 
  • PERAN GURU 
1. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa 
Guru menjelaskan TPK, informasi latar bela-kang pelajaran, pentingnya pelajaran, mem-persiapkan siswa untuk belajar 

2. Mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan 
Guru mendemonstrasikan ketrampilan dengan benar, atau menyajikan inforemasi tahap demi tahap 

3. Membimbing pelatihan 
Guru merencanakan dan memberi bimbingan training awal. 

4. Mengecek pemahaman dan memperlihatkan umpan balik 
Mengecek apakah siswa telah berhasil mela-kukan kiprah dengan baik, memberi umpan ba-lik. 

5. Memberikan kesempatan untuk training lanjutan dan penerapan 
Guru mempersiapkan kesempatan melaksanakan training lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dalam kehidupan sehari-hari. 

BAB IV
PEMBELAJARAN IPA
A. Pengantar 
Kecenderungan pembelajaran IPA/sains di Indonesia:
  1. Pembelajaran hanya beriorientasi pada tes/ujian.
  2. Pengalaman berguru yang diperoleh di kelas tidak utuh dan tidak berorien-tasi pada tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar.
  3. Pembelajaran lebih bersifat teacher-centered, guru hanya memberikan IPA sebagai produk dan penerima didik menghafal informasi faktual. 
  4. Peserta didik hanya mempelajari IPA pada domain kognitif yang terendah, penerima didik tidak dibiasakan untuk membuatkan potensi berpikirnya. 
  5. Cara berpikir yang dikembangkan dalam kegiatan berguru belum menyen-tuh domain afektif dan psikomotor. Alasan yang sering dikemukakan oleh para guru ialah keterbatasan waktu, sarana, lingkungan belajar, dan jum-lah penerima didik per kelas yang terlalu banyak.
  6. Evaluasi yang dilakukan hanya berorientasi pada produk berguru yang ber-kaitan dengan domain kognitif dan tidak menilai proses.
B. Pengertian IPA
IPA ialah studi mengenai alam sekitar, dalam hal ini berkaitan dengan cara mencari tahu wacana alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Cain & Evans (1990) menyatakan bahwa IPA mengandung empat hal yaitu: kon-ten atau produk, proses atau metode, sikap, dan teknologi. 

IPA sebagai konten dan produk mengandung arti bahwa di dalam IPA terdapat fakta-fakta, hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan teori-teori yang su-dah diterima kebenarannya. IPA sebagai proses atau metode berarti bahwa IPA merupakan suatu proses atau metode untuk mendapatkan pengetahuan. IPA sebagai sikap berarti bahwa IPA sanggup berkembang alasannya ialah adanya sikap tekun, teliti, terbuka, dan jujur. IPA sebagai teknologi mengandung pengerti-an bahwa IPA terkait dengan peningkatan kualitas kehidupan. Jika IPA me-ngandung keempat hal tersebut, maka dalam pendidikan IPA di sekolah seyo-gyanya siswa sanggup mengalami keempat hal tersebut, sehingga pemahaman siswa terhadap IPA menjadi utuh dan sanggup dipakai untuk mengatasi per-masalahan hidupnya.

C. Pembelajaran IPA
Pembelajaran IPA di sekolah diharapkan sanggup menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar. Pendidikan IPA mene-kankan pada pemberian pengalaman pribadi untuk membuatkan kompe-tensi semoga siswa bisa menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmi-ah. Pendidikan IPA diarahkan untuk “mencari tahu” dan “berbuat” sehingga sanggup membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam wacana alam sekitar. Karena itu, pendekatan yang diterapkan dalam menyaji-kan pembelajaran IPA ialah memadukan antara pengalaman proses IPA dan pemahaman produk serta teknologi IPA dalam bentuk pengalaman pribadi yang berdampak pada sikap siswa yang mempelajari IPA.

1. Fungsi Mata Pelajaran IPA 
Fungsi Mata Pelajaran IPA dalam Depdiknas (2004) adalah: 
  • Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
  • Mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai ilmiah.
  • Mempersiapkan siswa menjadi warganegara yang melek IPA dan teknologi.
  • Menguasai konsep IPA untuk bekal hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
2. Tujuan Pembelajaran IPA
Tujuan pembelajaran IPA ialah sebagai berikut:
  • Menanamkan keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa ber-dasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
  • Memberikan pemahaman wacana banyak sekali macam tanda-tanda alam, prinsip dan konsep IPA, serta keterkaitannya dengan lingkungan, teknologi, dan masyarakat.
  • Memberikan pengalaman kepada siswa dalam merencanakan dan mela-kukan kerja ilmiah untuk membentuk sikap ilmiah.
  • Meningkatkan kesadaran untuk memelihara dan melestarikan lingkungan serta sumber daya alam.
  • Memberikan bekal pengetahuan dasar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
Lebih jauh diungkapkan bahwa pendekatan yang dipakai dalam pem-belajaran IPA berorientasi pada siswa. Peran guru bergeser dari menentukan “apa yang akan dipelajari” ke “bagaimana menyediakan dan memperkaya pe-ngalaman berguru siswa”. Pengalaman berguru diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksplorasi lingkungan melalui interaksi aktif dengan te-man, lingkungan, dan nara sumber lain. 

Ada enam pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran IPA, yaitu:
  • Empat pilar pendidikan (belajar untuk mengetahui, berguru untuk berbuat, berguru untuk hidup dalam kebersamaan, dan berguru untuk menjadi diri-nya sendiri).
  • Inkuiri IPA.
  • Konstruktivisme.
  • Sains (IPA), lingkungan, teknologi, dan masyarakat (Salingtemas).
  • Penyelesaian Masalah.
  • Pembelajaran IPA yang bermuatan nilai.
Makara seorang guru IPA seharusnya terbiasa memperlihatkan peluang seluas-luasnya semoga siswa sanggup berguru lebih bermakna dengan memberi respon yang mengaktifkan semua siswa secara positif dan edukatif.

Seiring dengan pendekatan yang seharusnya dilakukan, maka penilaian wacana kemajuan berguru siswa seharusnya dilakukan selama proses pembe-lajaran. Penilaian tidak hanya dilakukan pada selesai periode tetapi dilakukan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran dalam arti kemajuan berguru dinilai dari proses, bukan hanya hasil (produk). Penilaian IPA didasarkan pada penilaian otentik yang sanggup dilakukan dengan banyak sekali cara seperti: tes perbuatan, tes tertulis, pengamatan, kuesioner, skala sikap, portofolio, hasil proyek. Dengan demikian, lingkup penilaian IPA sanggup dila-kukan baik pada hasil berguru (akhir kegiatan) maupun pada proses perolehan hasil berguru (selama kegiatan belajar). 

C. Strategi Pembelajaran IPA
Beberapa pendekatan yang dianjurkan untuk dipakai dalam pembela-jaran IPA diantaranya ialah sebagai berikut.

1. Pendekatan Inkuiri
Pembelajaran IPA berbasis inkuiri dideskripsikan dengan mengajak sis-wa dalam kegiatan yang akan membuatkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA sebagaimana para saintis mempelajari dunia alamiah. 

Trowbridge, et al. (1973) mengajukan tiga tahap pembelajaran berbasis inkuiri. Tahap pertama ialah berguru diskoveri, yaitu guru menyusun masa-lah dan proses tetapi memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi hasil alterna-tif. Tahap kedua inkuiri terbimbing (guided inquiry), yaitu guru me-ngajukan masalah dan siswa menentukan penyelesaian dan prosesnya. Tahap ketiga, ialah inkuiri terbuka (open inquiry), yaitu guru hanya memperlihatkan konteks masalah sedangkan siswa mengindentifikasi dan memecahkannya. 

Menurut NRC (1996) pembelajaran berbasis inkuiri meliputi kegiatan observasi, mengajukan pertanyaan, mengusut buku-buku dan sumber-sum-ber lain untuk melihat informasi yang ada, merencanakan penyelidikan, me-rangkum apa yang sudah diketahui dalam bukti eksperimen, memakai alat untuk mengumpulkan, menganalisis dan interpretasi data, mengajukan jawaban, penjelasan, prediksi, serta mengkomunikasikan hasil. Dari pandangan pedagogi, pengajaran IPA berorientasi inkuiri lebih mencerminkan model berguru konstruktivis. Belajar ialah hasil perubahan mental yang terus menerus sebagaimana kita membuat makna dari pengalaman kita. 

Menurut NSTA & AETS (1998) jantungnya inkuiri ialah kemampuan mengajukan pertanyaan dan mengidentifikasi penyelesaian masalah. Karena itu dalam pembelajaran seharusnya guru lebih banyak mengajukan pertanya-an open ended dan lebih banyak merangsang diskusi antar siswa. Keterampil-an bertanya dan mendengarkan secara efektif penting untuk keberhasilan me-ngajar. 

Selain itu inkuiri memerlukan keterampilan dalam menganalisis data dan menilai hasil untuk mendapatkan kesimpulan yang valid dan masuk akal. Sis-wa IPA seharusnya diberi kesempatan untuk menganalisis data selama pembe-kalannya. Mereka seharusnya memperoleh tingkat kecakapan yang memadai dalam mengumpulkan dan menganalisis data dalam banyak sekali format (terbuka dan tertutup) dan sanggup memakai kriteria ilmiah untuk membedakan ke-simpulan yang valid dan tidak valid.

Dalam konteks inkuiri, assesmen yang dilakukan ialah berbasis kelas dengan keinginan sanggup mengambil pandangan yang luas dari pengalaman be-lajar siswa. Assesmen dalam pembelajaran berbasis inkuiri berbeda dari as-sesmen tradisional (NRC, 2000). Untuk memahami kemampuan siswa dalam berinkuiri dan memahami prosesnya sanggup dilakukan baik berdasarkan pada analisis kinerja di dalam kelas maupun pada hasil kerja mereka. Kemampuan siswa yang seharusnya dinilai ialah kemampuan dalam mengajukan perta-nyaan yang sanggup diteliti, merencanakan investigasi, melaksanakan planning penelitiannya, membuatkan klarifikasi yang mungkin, memakai da-ta sebagai bukti untuk menjelaskan atau untuk menolak penjelasan, dan la-poran penelitiannya (NRC, 2000).

Pada dikala siswa melaksanakan kegiatan inkuiri guru melaksanakan observasi untuk setiap kinerja siswa, ibarat presentasi siswa di kelas, interaksi dengan teman, penggunaan komputer, penggunaan alat-alat laboratorium. Guru juga mempunyai hasil kerja siswa secara individual meliputi draft pertanyaan pe-nelitian, kritik dari siswa-siswa lain, dan jurnal siswa. Observasi kinerja sis-wa dan hasilnya ialah sumber data yang kaya untuk guru membuat inferensi wacana setiap pemahaman siswa wacana inkuiri ilmiahnya (NRC, 1996). 

2. Pendekatan Salingtemas
Untuk mewujudkan sekolah sebagai potongan dari masyarakat dan ling-kungan, pembelajaran IPA dikembangkan dengan pendekatan sains, lingkung-an, teknologi dan masyarakat (salingtemas). Dalam proses pembelajarannya, IPA tidak hanya mempelajari konsep-konsep tetapi juga diperkenalkan pada aspek teknologi dan bagaimana teknologi itu berperan di masyarakat serta bagaimana jadinya pada lingkungan. 

Pembelajaran sains dengan pendekatan yang meliputi aspek teknologi dan masyarakat mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara konvensional. Perbedaan tersebut meliputi: kaitan dan aplikasi materi pe-lajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Dengan mengka-itkan serta mengaplikasikan materi pelajaran sains ke teknologi dan masyara-kat, diharapkan siswa sanggup menghubungkan materi yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari, serta perkembangan teknologi dan relevansinya. De-ngan pengkaitan dan pengaplikasian tersebut kreativitas siswa untuk lebih ba-nyak bertanya dan mengidentifikasi kemungkinan penyebab dan imbas dari ha-sil observasi makin meningkat. Selain itu sikap siswa dalam bentuk kesadar-an akan pentingnya mempelajari sains untuk menuntaskan masalah yang di-hadapi melalui proses sains yang benar juga meningkat (Poedjiadi, 2000).

3. Pendekatan Pemecahan Masalah
Menurut The National Science Teachers Association (NSTA) tahun 1985, pemecahan masalah merupakan kemampuan yang sangat penting yang harus dikembangkan dalam pembelajaran sains. Pemecahan masalah ialah hasil aplikasi pengetahuan dan mekanisme kepada suatu situasi masalah. Ada empat tingkatan dalam pemecahan masalah, yaitu: (1) definisi masalah, (2) seleksi informasi yang tepat, (3) penggabungan bagian-bagian informasi yang terpi-sah-pisah, dan (4) menilai pemecahan masalah.

Untuk memecahkan suatu masalah pada dasarnya dibutuhkan pengeta-huan deklaratif, pengetahuan prosedural dan pengetahuan struktural (Gagne, 1977). Pengetahuan deklaratif ialah pengetahuan yang sanggup dikomunikasi-kan, contohnya fakta, konsep, aturan, dan prinsip. Pengetahuan prosedural menggambarkan tahap penampilan seseorang dalam menuntaskan kiprah ter-tentu. Pengetahuan struktural merupakan interaksi antara pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural dalam situasi memecahkan masalah.

Salah satu cara menilai pemecahan masalah dalam pendidikan sains di-lakukan dengan memakai analisis kiprah prosedural (Barba & Rubba, 1992). Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa tahapan pemecahan masalah identik dengan tahapan memperoleh pengetahuan yang dipakai oleh para perenca-na sistem pengajaran. Analisis kiprah prosedural (procedural task analysis atau task analysis atau task hierarchi analysis), dipakai untuk memecahkan kiprah menjadi beberapa komponen, mengorganisasikan korelasi antara ma-sing-masing kiprah dan untuk menghasilkan penyelesaian kiprah dengan tepat. 

Cara penilaian penyelesaian masalah dalam pembelajaran dengan anali-sis kiprah adalah: (1) dibuat prosedural tertulis, untuk menentukan pengetahu-an deklaratif atau pengetahuan prosedural yang dipakai subyek dalam me-mecahkan masalah; (2) dibuat rekaman dengan audio/videotape dikala subJek memecahkan masalah; (3) dibuat catatan observasi/interview, transkrip dan dicatat variabel-variabel dikala pemecahan masalah dilakukan, berdasarkan tu-gas yang menjadi acuan; dan (4) dibuat analisisis akhir.

4. Pendekatan Keterampilan Proses Sains (KPS)
Pendekatan KPS merupakan pendekatan pembelajaran yang berorienta-si kepada proses IPA, berupa keterampilan-keterampilan yang dimiliki para ilmuwan IPA untuk menghasilkan produk IPA yang satu sama lain sebenar-nya tak sanggup dipisahkan. Keterampilan-keterampilan yang dimaksud dijelas-kan berikut ini (Rustaman, 2003).

a. Mengamati
Untuk sanggup mencapai keterampilan mengamati siswa harus mengguna-kan sebanyak mungkin inderanya, yaitu indera penglihat, pembau, pen-dengar, lidah dan peraba. Dengan demikian ia sanggup mengumpulkan dan memakai fakta-fakta yang relevan dan memadai. 

b. Menafsirkan pengamatan (interpretasi)
Untuk sanggup menafsirkan pengamatan, siswa harus sanggup mencatat setiap pengamatan, kemudian menghubung-hubungkan pengamatannya sehingga di-temukan pola atau keteraturan dari suatu seri pengamatan.

c. Mengelompokkan (klasifikasi)
Dalam proses pengelompokan tercakup beberapa kegiatan ibarat mencari perbedaan, mengontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membanding-kan, dan mencari dasar penggolongan.

d. Meramalkan (prediksi)
Keterampilan prediksi meliputi keterampilan mengajukan asumsi wacana sesuatu yang belum terjadi atau belum diamati berdasarkan suatu kecenderungan atau pola yang sudah ada. 

e. Berkomunikasi
Untuk mencapai keterampilan berkomunikasi, siswa harus sanggup berdis-kusi dalam kelompok tertentu serta menyusun dan memberikan lapor-an wacana kegiatan yang dilakukannya secara sistematis dan jelas. Siswa juga harus sanggup menggambarkan data yang diperolehnya dalam bentuk grafik, tabel atau diagram.

f. Berhipotesis
Berhipotesis sanggup berupa pernyataan korelasi antar variabel atau me-ngajukan asumsi penyebab terjadinya sesuatu. Dengan berhipotesis terungkap cara melaksanakan pemecahan masalah, alasannya ialah dalam rumusan hipotesis biasanya terkandung cara untuk mengujinya.

g. Merencanakan percobaan atau penelitian
Agar siswa sanggup merencanakan percobaan, ia harus sanggup menentukan alat dan materi yang akan digunakan. Selanjutnya siswa harus sanggup me-nentukan variabel yang dibuat tetap dan variabel yang berubah, menentu-kan apa yang sanggup diamati, diukur atau ditulis, serta menentukan cara dan langkah-langkah kerja. Selain itu siswa juga harus sanggup menentukan cara mengolah data sebagai materi untuk menarik kesimpulan.

h. Menerapkan konsep atau prinsip
Dengan memakai konsep yang telah dimiliki, siswa seharusnya da-pat menerapkan konsep tersebut pada kejadian atau pengalaman gres yang terkait dengan cara menjelaskan apa yang terjadi.

i. Mengajukan pertanyaan
Pertanyaan yang diajukan dalam membuatkan keterampilan ini sanggup meminta klarifikasi wacana apa, mengapa, bagaimana atau menanyakan latar belakang hipotesis. Pertanyaan wacana latar belakang hipotesis me-nunjukkan bahwa siswa mempunyai gagasan atau asumsi untuk menguji atau memeriksanya. Dengan mengajukan pertanyaan diharapkan siswa tidak hanya sekedar bertanya tetapi melibatkan proses berpikir.

5. Pendekatan Terpadu (Integrated Approach)
Pendekatan ini pada dasarnya ialah memadukan dua unsur pembelajaran atau lebih dalam suatu kegiatan pembelajaran dengan prinsip keterpaduan terten-tu. Unsur pembelajaran yang sanggup dipadukan sanggup berupa konsep dan pro-ses, konsep dari satu mata pelajaran dengan konsep mata pelajaran lain, atau suatu metode dengan metode lain. Dengan prinsip keterpaduan antar unsur pembelajaran diharapkan terjadi peningkatan pemahaman ilmu yang lebih bermakna serta peningkatan wawasan dalam memandang suatu permasalahan.

Prinsip keterpaduan sanggup diciptakan melalui jembatan berupa tema sen-tral sebagai fokus yang akan ditinjau dari beberapa konsep dalam satu atau beberapa bidang ilmu. Selain itu sanggup pula melalui jembatan berupa sasaran sikap atau keterampilan tertentu yang dibutuhkan bukan hanya oleh satu disiplin ilmu saja. 

Keragaman unsur yang dilibatkan dalam pembelajaran sanggup memper-kaya pengalaman berguru siswa, kegiatan berguru menjadi lebih dinamis dan menarik serta sanggup meningkatkan motivasi berguru siswa. Selain itu apabila pendekatan terpadu ini dilakukan secara sistematis sanggup mengefisienkan penggunaan waktu.

D. Metode Pembelajaran IPA
Beberapa metode yang sanggup dipakai dalam pembelajaran IPA dije-laskan sebagai berikut.

1. Metode Ceramah
Metode ini paling umum dijumpai di sekolah-sekolah di Indonesia, ka-rena gampang dilaksanakan dan tidak membutuhkan alat bantu khusus serta ti-dak perlu merancang kegiatan siswa. Selain itu metode ceramah dianggap cu-kup efektif untuk dipakai pada kelas yang jumlah siswanya banyak, serta bila dituntut untuk menuntaskan materi pelajaran dalam waktu yang singkat. 

Pada metode ceramah guru memperlihatkan penerangan secara ekspresi kepa-da sejumlah siswa, siswa mendengarkan dan mencatat seperlunya, dan pada umumnya siswa bersifat pasif. Karena itu, pada umumnya metode ceramah kurang merangsang siswa untuk membuatkan kreatifitas, mengemukakan pendapat, serta mencari dan mengolah informasi. 

Untuk mengatasi kelemahan pada metode ceramah, biasanya guru me-ngajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat siswa berpikir. Selain itu pe-nyajian materi bimbing harus disampaikan secara sistematis memakai bantu-an media yang sanggup menarik perhatian siswa.

2. Metode Demonstrasi
Pada metode demonstrasi diperlihatkan suatu proses kejadian atau cara kerja suatu alat kepada siswa. Peragaan suatu proses sanggup dilakukan oleh gu-ru sendiri, dibantu beberapa siswa, atau dilakukan oleh sekelompok siswa. Pada pelaksanaannya metode ini tidak hanya memperlihatkan sesuatu sekedar untuk dilihat, tetapi banyak dipergunakan untuk membuatkan suatu pe-ngertian, mengemukakan suatu masalah, memperlihatkan penggunaan suatu prinsip, menguji kebenaran suatu aturan yang diperoleh secara teoretis dan untuk memperkuat suatu pengertian. Metode ini sanggup membuat pelajaran menjadi lebih terang dan konkrit, sehingga diharapkan sanggup difahami secara lebih mendalam dan bertahan usang dalam pikiran siswa.

Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum metode ini dilakukan di antaranya: materi yang didemonstrasikan harus diujicoba terlebih dahulu, tu-juan yang ingin dicapai harus ditetapkan dengan terang serta demonstrasi yang dilakukan harus sanggup dilihat dengan terang oleh semua siswa.

3. Metode Eksperimen
Mempelajari IPA kurang sanggup berhasil bila tidak ditunjang dengan ke-giatan percobaan di laboratorium. Laboratorium IPA tidak hanya sebatas ru-angan khusus yang dibatasi dinding, tetapi sanggup lebih luas meliputi labora-torium terbuka berupa alam semesta. Dalam proses pembelajaran dengan me-tode ini siswa diberi kesempatan untuk mengalami atau melaksanakan percoba-an sendiri baik secara individual maupun kelompok kecil. 

Ada dua istilah berbeda yang sering dipakai berkaitan dengan meto-de eksperimen ini, yaitu praktikum (practical work) dan eksperimen. Prakti-kum lebih cenderung untuk membangun keterampilan memakai alat-alat IPA atau mempraktikkan suatu teknik/prosedur tertentu. Sedangkan eksperi-men bertujuan untuk mengetahui/menyelidiki sesuatu yang gres mengguna-kan alat-alat sains tertentu. Baik praktikum maupun eksperimen memegang peranan yang penting dalam pendidikan sains, alasannya ialah sanggup memperlihatkan la-tihan metode dan sikap ilmiah bagi siswa.

Dalam menyusun petunjuk praktikum/eksperimen, guru harus sanggup me-nyajikan lembar kerja siswa (LKS) yang mengajak siswa berpikir dalam me-laksanakan kiprah prakteknya. Perlu dihindarkan Lomba Kompetensi Siswa yang berbentuk cookbook, yang petunjuknya begitu lengkap sehingga siswa hanya bekerja ibarat mesin dan tidak ada peluang untuk melatih kemampuan berpikir, bersikap dan ber-tindak yang ilmiah dan efektif.

4. Metode Diskusi
Metode ini sangat baik untuk membuatkan keterampilan siswa da-lam berkomunikasi. Dalam pelaksanaannya terjadi interaksi siswa dengan gu-ru maupun siswa dengan siswa. Menurut Webb (1985), metode diskusi seba-gai pilihan mengajar bertujuan untuk: (1) meningkatkan interaksi antara sis-wa-siswa serta siswa-guru; (2) meningkatkan korelasi personal; dan (3) me-ningkatkan keterampilan siswa dalam berpikir, serta berbicara memberikan pendapat di muka umum.

Diskusi sanggup dibedakan menjadi diskusi kelompok dan diskusi kelas. Biasanya diskusi terjadi dengan diawali adanya permasalahan. Permasalahan yang akan didiskusikan sanggup dilontarkan guru secara ekspresi pada awal pembe-lajaran atau dalam bentuk tertulis dalam LKS. Permasalahan yang diberikan sanggup sama untuk semua kelompok ataupun berbeda-beda. Hasil diskusi ke-lompok umumnya didiskusikan dalam diskusi kelas.

Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam penggunaan metode dis-kusi, sebaiknya guru menelaah terlebih dahulu tujuan yang ingin dicapai me-lalui pelaksanaan diskusi, serta menentukan topik-topik yang sekiranya sanggup di-kembangkan melalui metode ini. Selain itu sumbangan dan perhatian guru pa-da pelaksanaan diskusi sanggup berupa menyiapkan suasana kelas untuk pelak-sanaaan diskusi yang efektif serta menyiapkan dan memakai format pe-nilaian dalam pelaksanaaan diskusi.

5. Metode Proyek
Metode ini dipakai untuk menyalurkan minat siswa yang berbeda-beda. Dalam pelaksanaannya sekelompok anak mendapat kiprah untuk menye-lesaikan proyek yang dipilihnya sendiri sehabis dikonsultasikan ke gurunya. Tugas guru ialah memberi petunjuk mengenai segala sesuatu yang perlu di-pelajari, dibaca, serta dicari keterangannya.

Suatu proyek harus direncanakan dengan baik meliputi langkah kerja, jadwal penggunaan waktu, dan pembagian kiprah dalam kelompok. Penyele-saian suatu proyek dilakukan secara kolaboratif. 

Untuk mencapai hasil yang optimal, guru dalam hal pelaksanaan meto-de ini selalu mengevaluasi ketercapaian dari sasaran yang telah dijadwalkan. Pada selesai suatu periode guru harus berusaha memfasilitasi kelompok siswa untuk memamerkan hasil kerjanya kepada kelompok lain, kelas lain atau ling-kungan yang lebih luas lagi.

6. Metode Karyawisata
Lingkungan dan masyarakatnya sanggup dipakai untuk area berguru sis-wa, jadi siswa tidak hanya berguru di dalam kelas. Melaksanakan karyawisata ialah suatu cara untuk memperluas pengalaman siswa, berupa kunjungan yang direncanakan ke suatu objek untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memperoleh informasi yang diperlukan.

Suatu karyawisata akan berhasil mencapai tujuan yang diharapkan apa-bila guru mempersiapkan sebaik-baiknya. Untuk itu guru perlu mengetahui apa yang akan dilihat siswa dan informasi apa yang akan didapat. Jika me-mungkinkan guru sebaiknya mengadakan survey awal ke objek karyawisata yang akan dikunjungi, untuk mendapatkan informasi seperlunya mengenai hal-hal yang sanggup dimanfaatkan siswa untuk dipelajari. Setelah itu guru me-ngadakan perencanaan pengaturan waktu, jumlah siswa yang akan diikutser-takan, peralatan yang diperlukan, serta bentuk kiprah yang diberikan ketika siswa melaksanakan karyawisata. Bentuk kiprah tersebut sanggup diperuntukkan bagi individual ataupun kelompok.

Hasil dari pelaksanaan karyawisata selain dilaporkan dalam bentuk kar-ya tulis, sebaiknya dibahas dalam diskusi kelas sehingga menghasilkan suatu persepsi yang benar dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Persepsi tersebut terutama merupakan materi penunjang yang sanggup memperluas wa-wasan siswa terkait dengan konten dalam materi pembelajaran.

7. Metode Penugasan
Pembelajaran memakai metode penugasan berarti guru memberi kiprah tertentu semoga siswa melaksanakan kegiatan berguru secara mandiri. Belajar berdikari ini sanggup dilakukan secara individual maupun kelompok. Selain ke-mandirian, metode ini juga merangsang siswa untuk berguru lebih banyak dari banyak sekali sumber, membina disiplin dan tanggung jawab siswa, serta membi-na kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi. 

Pemberian kiprah yang dilakukan guru harus terdeskripsikan dengan je-las dan terevaluasi dengan benar. Setelah kiprah dievaluasi, guru dituntut un-tuk memperlihatkan timbal balik yang sanggup memperbaiki pemahaman ataupun cara penyelesaian masalah yang dimiliki siswa. Apabila kiprah harus diselesai-kan secara berkelompok, sebaiknya guru juga mendeskripsikan kiprah untuk anggota kelompok semoga terhindar adanya siswa yang tidak turut ambil potongan dalam pelaksanaan kiprah kelompok. 

Dengan metode pemberian tugas, sumber berguru bagi siswa tidak hanya berasal dari guru. Selain itu sumber belajar, khususnya berupa buku pegang-an seharusnya dioptimalkan penggunaannya oleh siswa untuk berguru berdikari melalui kiprah berguru yang dikontrol oleh guru.

DAFTAR PUSTAKA
  • Arifin, M., dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar Kimia. Bandung: JICA-UPI 
  • Bloom, B.S. 1971. Taxonomy of Educational Objective. The Classification of 
  • Educational Goals, New York: David Mc Clay Company.
  • Committee on Development of a Addendum to the National Science Educational 
  • Education Standards of Scientific Inquiry. 2000. Inquiry and the National Science Education Standards. Washington DC: National Acaemy Press
  • Costa, A.L. 1985. Developing Mind. Alexandria: ASCD
  • Dahar, R.W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga
  • Diknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Balitbangdik-nas.
  • Firman H. 2000. Penilaian Hasil Belajar Dalam Pengajaran Kimia. Bandung: UPI
  • Gagne, R.M. 1970. The Conditions of Learning. New York: Rinehart & Winston Inc.
  • Ismail. 2003. Media Pembelajaran (Model-model Pembelajaran). Dit.PLP-Dikdasmen
  • National Science Teachers Association in Collaboration with the Association for the Education of Teachers in Science. 2003. Standards for Science Teacher Preparation.
  • Nur, Mohamad dan Kardi, Soeparman. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Program Pascasarjana Unesa, University Press.
  • Posamentier, Alfred S dan Stepelman, Jay. 1999. Teaching Secondary 
  • Mathematics: Techniques and Enrichment Units. New Jersey: Prentice Hall
  • Poedjiadi, A. 2005. Sains Teknologi Masyarakat. Bandung: PT. Remaja Ros-dakarya
  • Polya, G. 1957. How to Solve It. Princeton: Princeton University Press.
  • Ruseffendi, E.T. 1979. Pengajaran Matematika Modern. Bandung: Tarsito
  • Rustaman, N.Y., dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: JICA-UPI 
  • Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI
  • Wartono. 2003. Strategi Belajar Mengajar Fisika. Malang: JICA-UM
  • Winarno. 2000. Pembelajaran Matematika Aktif Efektif. Yogyakarta: PPPG Matematika.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel