Pengertian Perilaku Berdasarkan Ahli
Thursday, February 24, 2022
Edit
1 Pengertian Sikap
Konsep ihwal sikap telah berkembang dan melahirkan banyak sekali macam pengertian diantara andal psikologi (Widiyanta, 2002). Sikap, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai kesiapan untuk bertindak. Sedangkan berdasarkan Oxford Advanced Learner Dictionary (dalam Ramdhani, 2008), sikap merupakan cara menempatkan atau membawa diri, merasakan, jalan pikiran, dan perilaku.
Masri, dalam Widiyanta (2002), mendefinisikan sikap sebagai suatu kesediaan dalam menanggapi atau bertindak terhadap sesuatu. Allport, dalam Widayanta (2002), mengartikan sikap sebagai suatu keadaan siap yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap objek tertentu yang mengarah pada arah yang mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable).
Azwar, dalam Ananda (2009), menggolongkan definisi sikap ke dalam tiga kerangka pemikiran. Pertama, sikap merupakan suatu bentuk reaksi atau penilaian perasaan. Dalam hal ini, sikap seseorang terhadap suatu objek tertentu yaitu memihak maupun tidak memihak. Kedua, sikap merupakan kesiapan bereaksi terhadap objek tertentu, Ketiga, sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi satu sama lain.
Menurut Allport, sikap merupakan suatu proses yang berlangsung dalam diri seseorang yang didalamnya terdapat pengalaman individu yang akan mengarahkan dan memilih respon terhadap banyak sekali objek dan situasi (Sarwono, 2009). Zanna dan Rempel (dalam Voughn & Hoog, 2002) menjelaskan sikap merupakan reaksi evaluatif yang disukai atau tidak disukai terhadap sesuatu atau seseorang, memperlihatkan kepercayaan, perasaan, atau kecenderungan sikap seseorang (Sarwono, 2009).
Thurstone (dalam Edwards, 1957), menyatakan bahwa sikap merupakan suatu tingkatan afeksi, baik yang bersifat positif maupun negatif, yang berafiliasi dengan objek-objek psikologis. Afeksi yang positif merupakan afeksi yang menyenangkan dan sebaliknya afeksi yang negatif merupakan afeksi yang tidak menyenangkan. Dengan demikian objek sanggup menyebabkan banyak sekali macam sikap, dan banyak sekali macam tingkatan afeksi pada seseorang (Walgito, 2003).
Dalam Widiyanta (2002), Assael (1984) dan Hawkins (1986), menjelaskan sikap mempunyai beberapa karakteristik, antara lain: arah, intensitas, keluasan, konsistensi, dan spontanitas. Karakteristik arah memperlihatkan bahwa sikap mengarah pada baiklah atau tidak setuju, mendukung atau menolak terhadap objek tertentu. Karakteristik intensitas mengarah pada perbedaan derajat kekuatan sikap setiap individu. Karakteristik keluasan sikap menunjuk pada cakupan luas tidaknya aspek dari objek sikap. Karakteristik spontanitas memperlihatkan sejauh mana kesiapan individu dalam merespon atau menyatakan sikapnya secara spontan.
Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan, sanggup disimpulkan bahwa sikap merupakan suatu bentuk penilaian perasaan untuk bereaksi secara bipolar yakni positif maupun negatif terhadap objek tertentu yang dibuat dari interaksi antara komponen kognitif, afektif, dan konatif.
2 Komponen Sikap
Banaji dan Heiphetz, dalam Bernstein (2010), menjelaskan tiga komponen sikap yang saling menunjang satu sama lain. Pertama, komponen kognisi. Komponen kognisi meliputi penerimaan informasi yang ditangkap oleh panca indera, yang kemudian diproses dan dipersepsikan, dibandingkan dengan data / informasi yang telah dimiliki, diklasifikasikan, kemudian disimpan dalam ingatan dan digunakan dalam merespon rangsangan.
Sarwono dan Meinarno (2009) menambahkan bahwa komponen kognisi berisi pemikiran, ide-ide, maupun pendapat yang berkenaan dengan objek sikap. Pemikiran tersebut meliputi hal-hal yang diketahui individu mengenai objek sikap, sanggup berupa keyakinan atau tanggapan, kesan, atribusi, dan penilaian terhadap objek sikap.
Kedua, komponen afeksi berafiliasi dengan perasaan atau emosi individu yang berupa bahagia atau tidak bahagia terhadap objek sikap.
Ketiga, komponen konasi yang merujuk kepada kecenderungan tindakan atau respon individu terhadap objek sikap yang berasal dari masa lalu. Respon yang dimaksud sanggup berupa tindakan yang sanggup diamati dan sanggup berupa niat atau intensi untuk melaksanakan perbuatan tertentu sehubungan dengan objek sikap (Sarwono dan Meinarno, 2009).
Haddock & Maio (2005), menjelaskan bahwa komponen afeksi dan kognisi memegang peranan paling penting dalam pembentukan sikap. Berbeda dengan komponen afeksi dan kognisi, sikap sebagai komponen sikap yang sanggup diamati seringkali menjadi perdebatan para andal terkait konsistensinya dengan sikap individu.
2.2 Definisi Klitoridektomi
2.1 Pengertian Klitoridektomi
Khitan berasal dari kata Khatana, yang berarti memotong prepuce belahan genital laki-laki. Sedangkan khitan perempuan, dalam buku Fiqih Perempuan, merupakan pemotongan sedikit kulit labia minora (Gani, 2008).
Menurut WHO (dalam Amriel, 2010), khitan pada perempuan diidentikkan dengan istilah “mutilasi” atau lebih dikenal dengan Female Genital Mutilation (FGM). Istilah ini diperkenalkan oleh WHO pada tahun1991 dan semenjak itu kata “mutilasi” digunakan sebagai pengganti kata khitan (circumcision). Definisi FGM berdasarkan WHO yaitu segala bentuk mekanisme penghilangan sebagian atau keseluruhan belahan luar alat kelamin perempuan atau pencederaan atas organ genital perempuan untuk alasan budaya maupun alasan diluar medis lainnya.
Menurut Kontoyannis dan Katsetos (2010), FGM merupakan suatu mekanisme penghilangan sebagian maupun keseluruhan alat kelamin luar wanita. Sedangkan berdasarkan Kluge (2007), sunat perempuan atau female circumcision merupakan suatu ungkapan yang mengacu pada tiga praktek terkait tetapi berbeda yakni klitoridektomi atau pemotongan klitoris, sunat perempuan (female circumcision), dan infibulasi (infibulation) atau disebut juga sunat Firaun (Pharaonic circumcision). Menurut Shandall (1996) klitoridektomi merupakan penghilangan klitoris, sedangkan berdasarkan Toubia (1993) sunat perempuan atau female circumcision yaitu penghilangan klitoris dan juga pemotongan labia minora, dan berdasarkan Hicks (1993) infabulasi yaitu penghilangan keseluruhan labia minora dan labia majora dan terkadang melibatkan juga penghilangan klitoris.
2.2 Etiologi Klitoridektomi
Obaid, dalam situs UNFPA (2011), mengungkapkan alasan terkait dilakukannya khitan pada perempuan :
1. Sosiologis dan budaya
Khitan perempuan dilihat sebagai inisiasi perempuan menuju kedewasaan dan juga dianggap sebagai belahan dari budaya masyarakat yang sudah turun-menurun. Beberapa mitos juga beranggapan bahwa khitan yang dilakukan pada perempuan sanggup meningkatkan kesuburan dan apabila tidak dikhitan maka klitoris akan tumbuh menjadi sebesar penis. Hal-hal tersebut yang menciptakan khitan pada perempuan tetap dilakukan.
2. Kebersihan dan keindahan
Pada beberapa komunitas belahan luar alat genital perempuan dianggap kotor dan bentuknya tidak bagus. Oleh alasannya itu belahan luar tersebut harus dihilangkan biar higienis dan indah.
3. Sosio-ekonomi
Pada beberapa komunitas khitan perempuan dianggap sebagai syarat untuk menikah dan mendapat harta warisan. Khitan perempuan juga merupakan sumber pendapatan bagi praktisi medis.
4. Agama
Khitan perempuan dianggap sebagai ketaatan dalam beragama.
2.2.3 Tipe-tipe Klitoridektomi
Selain pengertian diatas, WHO juga mengklasifikasikan tipe-tipe FGM yang terbagi menjadi empat tipe, yakni :
- Tipe 1, yaitu Clitoridectomy, didefinisikan sebagai pembuangan sebagian maupun keseluruhan klitoris maupun tudung klitoris.
- Tipe 2, yaitu Excision, merupakan pembuangan sebagian maupun keseluruhan klitoris dan labia minora, baik dengan pengirisan ataupun tanpa pengirisan labia majora.
- Tipe 3, yaitu Infibulation, mempersempit lubang vagina dengan cara menciptakan lapisan yang dibuat dengan cara memotong belahan luar atau dalam dari labia minora dan disertai atau tanpa pembuangan klitoris.
- Tipe 4, yakni segala bentuk praktik yang didalamnya termasuk menusuk, menggores, maupun aben belahan genital luar yang tidak berafiliasi dengan medis.
2.2.4 Dampak Klitoridektomi
Dari sejumlah literatur ada beberapa dampak yang ditimbulkan praktik khitan pada perempuan. Dampak tersebut sanggup berupa dampak fisik dan psikis. Dampak fisik dibagi lagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek berdasarkan Obaid dalam situs UNFPA (2011) sanggup berupa sakit amat-sangat, benjol pada luka, shock, pendarahan, benjol terusan urin, tetanus, retensi urin, sepsis (ditandai dengan terjadinya peradangan diseluru badan tanggapan benjol atau keracunan dalam darah), luka pada jaringan-jaringan sekitar organ kelamin perempuan, HIV dan hepatitis tanggapan penggunaan alat bersama untuk beberapa orang tanpa sterilisasi sesuai mekanisme dan sanggup menyebabkan ajal yang disebabkan lantaran benjol dan pedarahan. Sedangkan berdasarkan Kontoyannis & Katsetos (2010) sanggup berupa ajal lantaran terkejut, pendarahan, dan benjol lantaran alat-alat yang digunakan tidak steril.
Dampak jangka panjang, berdasarkan data WHO (2010), yang ditimbulkan oleh khitan perempuan yaitu berupa pendarahan, kista, ketidaksuburan, meningkatkan resiko komplikasi pada kelahiran dan resiko bayi meninggal pada ketika melahirkan. Sedangkan berdasarkan Obaid dalam situs UNFPA (2011) yaitu berupa dispareunia (rasa sakit ketika berafiliasi seksual), hipersensitivitas pada tempat kelamin. Infibulasi berdasarkan Obaid sanggup menyebabkan kesulitan untuk buang air kecil dan benjol terusan kemih, gangguan menstruasi, dan ketidaksuburan.
Dampak jangka pendek psikologis yang ditimbulkan praktik khitan berdasarkan UNFPA (2011) antara lain disfungsi seksual, kauterisasi elektrik klitoris sanggup besar lengan berkuasa pada psikis yang sanggup menghilangkan impian untuk masturbasi, trauma, dan hilangnya rasa percaya diri. Sedangkan dampak jangka panjang antara lain timbul perasaan tidak sempurna, depresi, dan frigiditas yakni keadaan perempuan yang sulit terangsang bahkan tidak sanggup menikmati kekerabatan seksual.
Penelitian yang dilakukan oleh Hinse-Martin, Echeozo, dan Killian (2009) juga memperlihatkan dampak psikologis tanggapan kegiatan khitan pada perempuan yaitu stress berat terhadap insiden yang berafiliasi dengan seksual, munculnya rasa tidak berdaya, dan merasa tertekan. Ketika perempuan yang dikhitan ketika masih kecil lantaran tuntutan norma sosial, sehabis cukup umur mereka mempunyai kecenderungan untuk menyuruh atau mengizinkan anak perempuan mereka untuk dikhitan juga. Penelitian yang dilakukan oleh Berhrendt dan Moritz (2005) dan Abor (2006) telah memperlihatkan adanya dampak negatif yang besar lengan berkuasa terhadap psikis perempuan yang dikhitan antara lain PTSD, hilangnya memori, disasosiasi, kekhawatiran (anxiety), dan affective disorder (Hinse-Martin, Echeozo, & Killian, 2009). Fakta lainnya ihwal dampak psikologis yang ditimbulkan oleh khitan pada perempuan berdasarkan Lax (dalam Amriel, 2010) yaitu depresi, hilangnya kepercayaan pada orang lain, perasaan tidak utuh secara fisik, dan guncangan pasca trauma.
2.3 Definisi Tenaga Ahli Medis
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1996 ihwal Tenaga Kesehatan, definisi tenaga kesehatan yaitu setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta mempunyai pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melaksanakan upaya kesehatan.
Tenaga kesehatan dibagi menjadi tujuh jenis yakni tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi; tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan; tenaga kefarmasian meliputi apoteker, ajudan apoteker dan analis farmasi; tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, direktur kesehatan dan sanitarian; tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien; tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara; dan tenaga keteknisian medis meliputi radiographer, radioterapis, teknisi gigi, analis kesehatan, dll.
Penelitian ini berfokus pada tenaga medis yakni dokter yang dispesifikan lagi menjadi dokter umum.
2.3.1 Definisi Dokter Umum
Fujianti (2005) menjelaskan bahwa dokter umum yaitu dokter yang dalam praktiknya menampung semua problem yang dimiliki pasien tanpa memandang jenis kelamin, status sosial, jenis penyakit, golongan usia ataupun sistem organ.
2.4 Definisi Profesi Psikolog Klinis
Menurut buku Kode Etik Psikologi Indonesia (2010), Psikolog yaitu lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan aktivitas pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) system kurikulum usang atau yang mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2) Pendidikan Magister Psikologi (Profesi Psikolog).
Halida (2009) menjelaskan bahwa kiprah dari seorang psikolog tergantung dari profesi yang dijalani oleh psikolog tersebut. Salah satunya yaitu psikolog klinis. Psikolog klinis bekerja di klinik atau rumah sakit dan mempunyai kiprah untuk melaksanakan upaya penyembuhan maupun pencegahan terhadap gangguan jiwa. Peran lainnya dari seorang psikolog klinis yaitu membentuk sikap sehat secara individu maupun kelompok, serta meningkatkan perkembangan jiwa dan meningkatkan kualitas individu dan kelompok. Masalah menyerupai kecemasan, tidak percaya diri, kenakalan remaja, atau problem anak merupakan kasus-kasus yang sanggup ditangani oleh psikolog..
Dalam menjalankan tugasnya, psikolog menggunakan cara yang sederhana yakni dengan mengajak klien berbicara. Inilah yang disebut dengan konsultasi, dimana seseorang tiba ke psikolog lantaran sedang menghadapi suatu masalah, maka psikolog akan mendengarkan dan memahami keadaan klien serta gotong royong mencari jalan keluar atas problem yang sedang dihadapi klien. Ketika sedang menangani problem klien psikolog juga terkadang menggunakan beberapa alat tes dalam rangka melengkapi data ihwal pasien. Psikolog juga sanggup menawarkan penyuluhan atau seminar kepada masyarakat ihwal masalah-masalah yang ada di sekitar lingkungan masyarakat (Halida, 2009).
2.5 Kerangka Berpikir
Khitan atau sunat lazimnya dilakukan pada laki-laki, tetapi pada kenyataanya khitan kerap kali dilakukan juga pada perempuan. Alasan dilakukannya khitan pada perempuan hanya berdasarkan tuntutan budaya dan keyakinan dalam beragama.
Selain dilakukan di beberapa Negara di dunia, khitan perempuan juga turut dilakukan di beberapa tempat di Indonesia. Kegiatan tersebut umumnya dilakukan oleh tenaga medis menyerupai dokter, bidan dan juga non-medis menyerupai dukun bayi dan dukun sunat.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, terbukti bahwa khitan pada perempuan tidak berkontribusi apapun terhadap kesehatan fisik maupun psikis perempuan. Sebaliknya, kegiatan tersebut justru mendatangkan efek negatif bagi kesehatan fisik maupun psikis perempuan.
Dengan serta mempertimbangkan efek negatif pada fisik dan psikis, serta masih adanya tenaga medis yang melaksanakan kegiatan khitan pada perempuan, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh profesional kesehatan yakni dokter umum dan psikolog klinis terhadap khitan perempuan.