Etika Politik Dalam Islam

ETIKA POLITIK DALAM ISLAM
Abstrak : Dalam dunia politik praktis, terkesan tidak ada etikanya. Karena yang dikejar yaitu tercapainya tujuan politik dengan segala cara. Namun dalam Islam, ada etika politik yang telah dibangun oleh para pemikir muslim, menyerupai Ibn Abi Rabi’ al-Farabi al-Mawardi Ibn Taymiyyah, sanggup dijadikan sebagai materi renungan, acuan, dan penilaian terhadap kehidupan politik yang ada, tak terkecuali kehidupan berpolitik di Indonesia, sekaligus diterapkan secara riil dalam panggung politik, dengan multi-interpretasinya. Dengan beretika dalam politik, dibutuhkan kehidupan politik yang ada menjadi lebih santun dan membawa kemaslahatan bagi rakyat.
Keyword : etika, politik, al-siyâsah, ahl al-‘aqd wa al-hal
A. Pendahuluan
Sebuah pemerintahan akan berjalan efektik, jika dipegang oleh pemimpin-pemimpin yang amanah. Baik pemerintah daerah maupun pusat. Dalam kontek ke-Indonesia-an, pemimpin dipilih oleh rakyat melalui prosedur pemilu. Dengan harapan, pemilihan umum tersebut akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat, yang lebih mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan kelompok atau dirinya sendiri.

Idealnya, calon pemimpin yang jadi yaitu orang yang berkualitas secara keilmuan dan pengalaman dalam memimpin. Namun realitas berbicara lain. Siapa yang sanggup mendapatkan dukungan bunyi yang paling banyak dan memenuhi persyaratan batas atas minimal perolehan suara-lah yang mendapatkan jatah bangku tersebut. Meskipun, dalam proses perolehan bunyi itu terdapat intrik-intrik money politic atau yang lain, tidak terlalu dipersoalkan. Padahal, jika pemimpin lahir dari proses pemilihan yang mengeluarkan banyak dana, maka sanggup dipastikan, kelak ia pasti ingin mengembalikan modal yang telah ia keluarkan dan cenderung koruptif.

Belum lagi adanya kampanye hitam (black campaign) pun seolah dilegalkan, demi mengalahkan kandidat lain dan mendapat simpati dari rakyat. Aturan-aturan proses penjaringan calon kandidat pun, konon juga sanggup di-setting sesuai dengan yang diinginkan oleh pihak-pihak tertentu.

Dengan melihat realitas politik yang ada di atas, seakan-akan etika politik sudah tidak berlaku lagi, bahkan sanggup dikatakan tidak ada. Etika politik hanya dibicarakan dalam tataran teori saja. Dalam politik, seolah-olah, yang ada yaitu tujuan politik tercapai dengan segala cara, bahkan menghalalkan segala cara. Benarkah demikian? Tulisan ini akan mencoba mengabstraksikan beberapa pemikiran etika politik dalam Islam, yang terfokus pada pemikiran politik klasik dan pertengahan awal, dan relevansinya dengan kondisi perpolitikan di Indonesia berakal balig cukup akal ini.

B. Batasan dan Ruang Lingkup Etika Politik 
Untuk mengetahui lebih terang ihwal definisi etika politik, ada baiknya jika kita jelaskan dahulu, apa itu etika dan apa itu politik. 

Istilah etika, berasal dari bahasa Yunani kuno. Dalam bentuk tunggal, kata Yunani ethos mempunyai banyak arti, yakni : tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Arti terakhir inilah, yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah ‘etika’, yang oleh Aristoteles (384-322 SM) – filosof besar Yunani – sudah digunakan untuk memperlihatkan filsafat moral. Dari arti etimologis etika di atas, maka etika sanggup diartikan sebagai ilmu ihwal apa yang biasa dilakukan atau ilmu ihwal budbahasa kebiasaan.[2]

Adapun kata yang erat maknanya dengan etika yaitu ‘moral’. Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak : mores), yang sanggup berarti kebiasaan atau adat. Sehingga kedua kata tersebut, secara etimologis, mempunyai arti yang sama, yakni budbahasa kebiasaan. Hanya saja, asal usul kedua kata tersebut berbeda. Kata etika berasal dari bahasa Yunani, sedang kata moral berasal dari bahasa Latin.[3]

Sedangkan secara terminologis – sebagaimana diungkapkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia – kata etika sanggup dibedakan menjadi tiga arti, yaitu : 1) ilmu ihwal apa yang baik dan apa yang buruk, dan ihwal hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat.[4]

Sejalan dengan statemen di atas, John L. Esposito mengungkapkan, bahwa term ethic (etika) merupakan studi yang berkaitan dengan practical justification. Focus etika yaitu mengabstraksikan dan mengevaluasi reason personal atau kelompok tertentu, yang memberikan judgment kepada mereka, ihwal benar-salah, atau baik-buruk, yang biasanya berkaitan dengan perbuatan insan (human act), sikap (attitudes) dan kepercayaan (belief) mereka.[5]

Kemudian kata moral, secara terminologis, berdasarkan Bertens, sama dengan etika – meskipun mempunyai arti lain – yaitu : nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.[6]

Namun ada juga yang membedakan kedua istilah tersebut (etika dan moral). Moral selalu dikaitkan dengan kewajiban khusus, dihubungkan dengan norma sebagai cara bertindak yang berupa tuntutan, baik bersifat relatif maupun mutlak. Moral merupakan wacana normatif dan imperatif yang diungkapkan dalam kerangka yang baik dan yang buruk, yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transenden, yakni seluruh kewajiban-kewajiban kita. Sehingga kata moral mengacu pada baik-buruknya manusia, yang berkaitan dengan tindakan, sikap, cara mengungkapkannya. Moral ingin menjawab “apa yang harus saya lakukan?”. Jadi, konsep moral mengandung dua makna. Pertama, keseluruhan aturan dan norma yang berlaku, yang diterima oleh masyarakat tertentu sebagai arah atau pegangan dalam bertindak, dan diungkapkan dalam kerangka yang baik dan yang buruk. Kedua, disiplin filsafat yang merefleksikan aturan-aturan tersebut, dalam rangka mencari pendasaran dan tujuan atau finalitasnya. Arti ke dua inilah yang lebih erat dengan konsep etika.[7]

Sedangkan etika, biasanya dipahami sebagai refleksi filosofis ihwal moral. Etika lebih merupakan wacana normatif, tetapi tidak selalu imperatif, alasannya yaitu juga bisa hipotesis, yang membicarakan kontradiksi antara yang baik dan yang buruk, yang dianggap sebagai nilai relatif. Etika ingin menjawab pertanyaan “bagaimana hidup yang baik?”. Sehingga etika lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarah kepada kebahagiaan dan puncaknya yaitu kebijakan.[8]

Selanjutnya, istilah politik biasa memperlihatkan pada masyarakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan dianggap bersifat politis, apabila keputusan tersebut diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat keseluruhan. Suatu tindakan disebut politis, apabila menyangkut masyarakat secara keseluruhan. Politisi yaitu seseorang yang mempunyai profesi mengenai masyarakat sebagai keseluruhan.[9]

Sedangkan dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, kata politik diartikan sebagai berikut ; 
  • (ilmu) pengetahuan ihwal ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti sistem pemerintah, dasar-dasar pemerintah); 
  • segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; dalam dan luar negeri. Kedua negara itu bekerja sama di bidang ekonomi dan kebudayaan, partai atau organisasi; 
  • kebijakan; cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani masalah).[10]
Dalam bahasa arab, kata politik biasa disebut dengan al-siyâsah. Al-siyâsah merupakan bentuk mashdar dari kata kerja sâsa-yasûsu, yang pelakunya disebut sâ’is. Secara etimologis, kata al-siyâsah sanggup berarti mengatur, mengurus, dan memerintah.[11] Siyâsah juga bisa berarti pemerintahan dan politik atau menciptakan kebijaksanaan.[12]

Secara terminologis, siyâsah yaitu mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemashlahatan;[13] atau menciptakan kemashlahatan insan dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siyâsah yaitu ilmu pemerintahan untuk mengendalikan kiprah dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam negeri dan politik luar negeri serta kemasyarakatan, yakni mengatur kehidupan umum berdasarkan keadilan dan istiqamah.[14] Atau mudahnya, siyâsah artinya kewajiban menangani sesuatu yang mendatangkan kemashlahatan; mengatur dan menangani urusan rakyat dan mendatangkan kemashlahatan bagi mereka.[15]

Dari banyak sekali definisi etika dan politik yang telah penulis jelaskan di atas, maka sanggup dikatakan, bahwa etika politik artinya kumpulan nilai yang berkenaan dengan akhlak, untuk mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemashlahatan. Dan etika politik itu merupakan filsafat moral ihwal dimensi politis kehidupan manusia.[16]

Dalam masyarakat, fungsi etika politik terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan dan menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab; tidak berdasarkan emosi, prasangka, dan apriori, tetapi secara rasional, obyektif, dan argumentatif.

Manfaat etika politik tidaklah bersifat praktis. Ia tidak bertugas mengkhutbahi para politisi atau untuk pribadi mempertanyakan legitimasi moral banyak sekali keputusan. Tetapi, etika politik menuntut semoga segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Etika politik sanggup memberikan patokan-patokan orientasi dan pegangan normative bagi mereka yang memang mau menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia.[17] Karenanya, inti permasalahan etika politik yaitu masalah legitimasi etis kekuasaan yang sanggup dirumuskan dalam pertanyaan : dengan hak moral apa seseorang atau kelompok orang memegang dan mempergunakan kekuasaan yang mereka miliki. Setiap penguasa selalu dihadapkan dengan tuntutan untuk mempertanggung jawabkannya. Dan apabila pertanggung balasan itu tidak diberikan, maka kekuasaan itu tidak lagi dianggap sah.[18]

Etika politik tidak hanya menyangkut masalah sikap politikus, tetapi juga bekerjasama dengan praktik institusi social, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik, ekonomi. Karena, sikap politikus hanya salah satu dimensi etika politik. Sebuah kehendak yang baik, perlu didukung institusi yang adil. Dan kehendak baik berfungsi mempertajam makna tanggung jawab, sedangkan institusi (hukum, aturan, kebiasaan, forum sosial) berperan mengorganisir tanggung jawab.[19]

Atau dengan kata lain, etika politik mengandung aspek individu dan aspek sosial. Satu sisi, etika politik yaitu etika individu dan etika social sekaligus. Disebut etika individu, alasannya yaitu ia membahas masalah kualitas moral pelaku; dan disebut etika sosial, alasannya yaitu ia merefleksikan masalah hukum, tatanan sosial, dan institusi yang adil. Di sisi lain, etika politik yaitu etika institusional dan etika keutamaan sekaligus. Institusi dan keutamaan merupakan dua dimensi etika yang saling mendukung. Keutamaan merupakan faktor stabilisasi tindakan yang berasal dari dalam diri pelaku; sedangkan institusi menjamin stabilitas dari luar diri pelaku.[20]

Selain itu, etika politik ini mempunyai tiga dimensi : pertama yaitu tujuan politik; ke dua bekerjasama dengan masalah pilihan sarana; ke tiga berhadapan dengan agresi politik, yang terkait pribadi dengan sikap politikus.

Dimensi tujuan, terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup hening yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan. Atau dengan kata lain, tujuan etika politik yaitu mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil.[21] Dan hambatan utama dalam masalah ini yaitu upaya penerapan kebijakan umum (policy) dalam manajemen publik. Berdasarkan kebijakan umum ini, wakil rakyat dan kelompok-kelompok masyarakat sanggup menciptakan penilaian pelaksanaan kinerja pemerintah dan menuntut pertanggungjawaban. Kejelasan tujuan yang tertuang dalam kebijakan publik tersebut, memperlihatkan ketajaman visi sang pemimpin dan kepedulian suatu partai politik terhadap aspirasi masyarakat. Dan dimensi moralnya yaitu terletak pada kemampuan menentukan arah yang terang terhadap kebijakan umum dan akuntabilitasnya.[22]

Dimensi sarana – yang memungkinkan pencapaian tujuan – meliputi system dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan yang mendasari institusi-institusi sosial, yang ikut menentukan pengaturan sikap masyarakat dalam menghadapi masalah-masalah dasar. Pola-pola tersebut mengandung imperatif normatif yang disertai sangsi. Dimensi sarana (polity) ini, mengandung dua pola normatif. Pertama, tatanan politik (hukum dan institusi) harus mengikuti prinsip solidaritas dan subsidiaritas, penerimaan pluratitas; struktur sosial ditata secara politik berdasarkan prinsip keadilan. Karena itu, asas kesamaan dan masalah siapa yang diuntungkan atau siapa yang dirugikan oleh aturan atau institusi tertentu, relevan untuk dibahas. Ke dua, kekuatan-kekuatan politik ditata sesuai dengan prinsip timbal balik. Dimensi moral pada tingkat sarana ini, terletak pada kiprah etika dalam menguji dan mengkritisi legitimasi keputusan-keputusan, institusi-institusi dan praktik-praktik politik.[23]

Sedangkan dalam dimensi agresi politik, pelaku memegang kiprah sebagai penentu rasionalitas politik, yang terdiri dari rasionalitas tindakan dan keutamaan (kualitas moral pelaku). Sebuah tindakan politik sanggup dikatakan rasional, apabila pelakunya mempunyai orientasi situasi dan paham permasalahan. Hal ini sangat tergantung pada kemampuan pelakunya, untuk mempersepsi kepentingan-kepentingan yang dipertaruhkan, berdasarkan peta kekuatan politik yang ada. Dan disposisi kekuasaan ini membantu untuk memperhitungkan kemampuan dan dampak agresi politiknya. Karenanya, penguasaan manajemen konflik yaitu syarat agresi politik yang etis. Dan aksi, mengandaikan keutamaan; penguasaan diri dan keberanian memutuskan serta menghadapi risikonya; fair dan adil dalam hubungan dengan yang lain. Pada dimensi agresi ini, etika identik dengan tindakan yang rasional dan bermakna. Politik mempunyai makna, alasannya yaitu memperhitungkan reaksi yang lain; menyerupai harapan, protes, kritik, persetujuan, atau penolakan. Dan makna etis akan semakin dalam, ketika tindakan politikus didasari oleh pembelaan dan keberpihakan kepada kaum yang lemah atau korban.[24]

C. Pemikiran Etika Politik Dalam Islam
Dunia ilmu pengetahuan, pada masa pemerintahan Abbasiyah, mengalami zaman keemasannya, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun kekuasaan dinasti ini. Khalifah ke tujuh, Makmun, sangat besar perhatiannya kepada pengembangan ilmu pengetahuan, yang yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan social maupun ilmu pasti dan ilmu alam. Dia juga dikenal pengagum ilmu-ilmu Yunani, termasuk filsafat. Untuk melengkapi dan mendukung kebutuhan keilmuan, ia mendirikan perpustakaan Bait al-Hikmah, dengan buku-buku aneh juga buku-buku Islam. Dari sinilah, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran Yunani semakin meluas dan mendalam, yang pada saatnya nanti akan menimbulkan hasrat sarjana-sarjana Islam untuk mempelajari msalah-msalah kenegaraan secara rasional. Maka lahirlah pemikir-pemikir muslim yang mengemukakan konsepsi politiknya melalui karya-karyanya.[25] Dalam pembahasan pemikiran etika politik ini, penulis batasi hanya pada pemikiran politik pada masa klasik dan pertengahan awal.[26]

a. Pemikiran Ibn Abi Rabi’
Nama lengkapnya yaitu Syihab al-Din Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abi Rabi’. Pemikirin politiknya terlihat dalam karyanya yang berjudul suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik (perilaku raja dalam pengelolaan kerajaan-kerajaan), yang ditulis untuk memenuhi undangan khalifah al-Mu‘tashim, khalifah ke delapan dinasti Abbasiyyah, yang memerintah periode IX Masehi.[27]

Menurut Ibn Abi Rabi’, asal mula tumbuhnya kota atau terbentuknya negara, berasal dari ketidak berdayaan insan untuk hidup sendiri dalam mencukupi segala kebutuhan hidupnya, tanpa sumbangan orang lain. Ketergantungan kepada orang lain inilah, mendorong insan untuk saling membantu dan berkumpul, serta menetap di satu tempat. Dari sinilah, tumbuh sebuah komunitas kota, yang akhirnya bermetamorfosis sebuah negara.[28]

Kekuasaan kepala negara, bagi Ibn Abi Rabi’, yaitu bersumber dari Tuhan. Hal ini sanggup dipahami dari statemennya, bahwa Allah mengangkat penguasa-penguasa bagi masyarakat. Penguasa-penguasa ini mendapat pancaran Ilahi dan dikukuhkan dengan karamah-Nya. Hanya saja, ia tidak menjelaskan, dikukuhkan melalui pemilihan atau penunjukan. Sehingga sumber kekuasaan kepala negara yaitu bukan berasal dari rakyat, tetapi dari Allah yang diberikan kepada orang pilihan-Nya. Dan kiprah pemimpin negara itu yaitu mengelola urusan rakyatnya dan bertindak sebagai hakim untuk menuntaskan perselisihan di antara mereka.[29]

Lebih lanjut Ibn Abi Rabi’ menjelakan, bahwa Allah telah memberi keistimewaan kepada para penguasa, dengan memuliakannya, memberi kedudukan penting di negaranya, dan disegani hamba-hamba Allah. Allah pun juga mewajibkan kepada para ulama untuk mengagungkan, memuliakan dan menghormati raja, sebagaimana Allah mewajibkan orang-orang yang beriman untuk mentaati para penguasa.[30]

Pemimpin masyarakat atau negara, demikian Ibn Abi Rabi’, haruslah seorang insan utama. Baginya, insan utama yaitu mereka yang memenuhi criteria sebagai berikut :
  1. mempunyai kemampuan untuk mewujudkan kebahagiaan.
  2. sehat tubuhnya.
  3. mempunyai pemahaman dan penelaahan yang baik terhadap pendapat ulama yang mengetahui kandungan kitab suci.
  4. daya ingatnya baik (kuat) dan tidak melupakan ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya.
  5. memiliki tingkat kecerdasan dan ketajaman berfikir yang baik, ketika menghadapi suatu masalah.
  6. berkemampuan olah vokal dengan baik.
  7. mencintai ilmu dan suka belajar, serta mengambil pelajaran dari setiap kejadian.
  8. tidak mempunyai karakteristik yang jelek dan membenci sesuatu, yang sanggup mengakibatkan jelek bagi dirinya.
  9. berjiwa besar, menyayangi kemuliaan dan menjaga dirinya dari segala sesuatu yang membawa keburukan.
  10. mencintai keadilan, kejujuran, dan orang-orang yang adil dan jujur; serta benci kepalsuan dan kebohongan.
  11. percaya diri untuk merealisasikan cita-citanya, tidak takut mati, dan tidak punya jiwa yang lemah.
  12. memandang rendah dunia dan hal-hal yang membawa kepada nilai-nilai keduniaan yang fana.[31]
Bentuk pemerintahan yang terbaik, masih berdasarkan Ibn Abi Rabi’, yaitu bentuk pemerintahan monarkhi, yakni pemerintahan yang berpusat pada satu individu, yaitu seorang raja.[32] Hal ini didasarkan dengan pertimbangan, dengan banyaknya pemimpin, akan sanggup melumpuhkan politik pemerintahan dan menimbulkan kekacauan. Karenanya, sebuah kota / negara atau masyarakat perlu dipimpin oleh seorang pemimpin yang kuat.[33] Selain itu, sebuah negara perlu dipimpin seorang pemimpin, juga didasarkan dengan beberapa pertimbangan lain, menyerupai semoga penguasa mempunyai kesempatan yang besar untuk menegakkan keadilan di antara warga negara; sanggup menolak kezhaliman terhadap orang-orang yang mungkin dianiaya; mendorong warga negara untuk mewujudkan tujuannya yang luhur, sehingga setiap orang sanggup bekerja untuk kepentingan dirinya dan kepentingan masyarakat. Bagi Ibn Abi Rabi’, sebuah negara cukup dipimpin seorang penguasa yang mengelola dan merencanakan, semoga tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara warga masyarakat. Hal ini dimaksudkan, semoga tiap-tiap anggota masyarakat sanggup bekerja dan menghasilkan suatu produksi yang bermanfaat bagi kepentingan dirinya dan kepentingan orang lain.[34]

Sebuah negara sanggup tegak, tegas Ibn Abi Rabi’, jika komponen-komponen penting diperhatikan, yaitu : raja, rakyat, keadilan dan pengelolaan pemerintahan (administrasi negara).

Seorang raja setidaknya harus memenuhi 6 kriteria sebagai berikut : 
  1. dari segi keturunan, ia harus berasal dari keluarga raja dan erat hubungan kekerabatannya dengan raja sebelumnya; 
  2. mempunyai impian yang tinggi, yang sanggup dibina melalui pendidikan akhlaq; 
  3. berpendirian tegas, yang bias dibina melalui penelaahan dan pembahasan ihwal pola-pola pengelolaan negara yang dilakukan oleh para raja sebelumnya; 
  4. tegar ketika menghadapi kesulitan; 
  5. memiliki sumber finansial yang cukup; 
  6. dan mempunyai pembantu-pembantu yang jujur.[35]
Berkaitan dengan keadilan, secara garis besar sanggup dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu : keadilan yang bekerjasama dengan perbuatan seorang hamba yang berkenaan dengan hak Allah; keadilan yang bekerjasama dengan perbuatan seseorang yang berkenaan dengan hak-hak terhadap sesamanya; dan keadilan yang bekerjasama dengan perbuatan seseorang terhadapat hak-hak para pendahulu mereka.

Adapun indicator seseorang sanggup dikatakan bersikap adil yaitu  menepati janji dan amanah, serta sanggup dipercaya; 
  1. bersifat penyayang dan terbebas dari sikap penipu; 
  2. memelihara dan memperhatika janji-janjinya kepada orang lain; 
  3. jujur dalam segala tindakannya; 
  4. tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku; 
  5. menempatkan segala seuatu pada tempatnya dan memberikan amanat pada yang berhak menerimanya.[36]
Selanjutnya, semoga kekuasaan dan pengelolaan pemerintah berjalan secara efektif dan efesien, penyelenggara negara – masih berdasarkan Ibn Abi Rabi’ – harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) tidak mengangkat pejabat negara yang tidak mempunyai integritas kepribadian yang memadai dan membahayakan kerajaan; 2) tidak meminta fatwa atau saran kepada orang yang tidak sanggup dipercaya, yang sanggup membawa kehancuran negara; 3) tidak menyimpan atau memberikan belakang layar kepada orang yang tidak sanggup dipercaya; 4) tidak minta sumbangan kepada orang yang tidak mempunyai kemandirian, yan sanggup merusak urusannya; 5) tidak meremehkan pejabat-pejabat negara, yang memperlihatkan kelemahan pemikirannya; 6) tidak memberi kiprah kepada orang-orang yang kurang pintar atau tidak mampu, yang sanggup berakibat buruk.[37]

b. Pemikiran al-Farabi 
Nama lengkapnya yaitu Abu Nashr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Uzalagh Ibn Tharkhan al-Farabi. Lahir di kota kecil berjulukan Wasij, wilayah Farab, termasuk daerah Turkisan, tahun 257 H/870 M, dari pasangan ayah yang berkebangsaan Persia dan ibu berkebangsaan Turki. Wafat tahun 339 H/950 M. Pemikiran-pemikiran politiknya sanggup dilihat dalam karya-karyanya, antara lain : Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fadlîlah (pandangan-pandangan para penghuni negara yang utama), Tahshil al-Sa‘adah (jalan mencapai kebahagiaan), dan al-Siyâsah al-Madaniyyah (politik kenegaraan).[38]

Sebagaimana Ibn Abi Rabi’, berkaitan dengan asal usul kota atau sebuah negara, al-Farabi juga berpendapat, bahwa insan yaitu makhluk sosial, yang secara alami mempunyai kecenderungan untuk hidup bermasyarakat. Karena, untuk memenuhi kebutuhannya, ia membutuhkan sumbangan dan kolaborasi dengan pihak lain. Dan tujuan bermasyarakat ini, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup ini saja, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup bagi kebahagiaan manusia.[39]

Dari kecenderungan alami insan untuk bermasyarakat, lahirlah banyak sekali macam masyarakat; ada yang tepat (al-kâmilah) dan ada yang tidak tepat (ghayr al-kâmilah).

Masyarakat yang sempurna, berdasarkan al-Farabi, terbagi menjadi tiga macam, yaitu : masyarakat tepat besar, masyarakat tepat sedang, dan masyarakat tepat kecil. Adapun masyarakat tepat besar yaitu adonan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama; atau sanggup diistilahkan dengan perserikatan bangsa-bangsa. Masyarakat tepat sedang yaitu masyarakat yang terdiri dari satu bangsa yang menghuni satu wilayah di bumi ini; atau sanggup disebut dengan negara nasional. sedangkan masyarakat tepat kecil yaitu masyarakat yang terdiri dari para penghuni satu kota; atau diistilahkan dengan negara-kota.[40]

Adapun masyarakat yang tidak tepat yaitu kehidupan social di tingkat desa, kampung lorong dan keluarga, dan di antara tiga pergaulan yang tidak atau belum tepat itu. Karenanya, kehidupan social dalam rumah atau keluarga yaitu masyarakat yang paling tidak sempurna. Keluarga merupakan kepingan dari masyarakat lorong; masyarakat lorong merupakan kepingan masyarakat kampung; dan masyarakat kampung merupakan kepingan dari masyarakat negara-kota. Hanya bedanya, kampung merupakan kepingan negara-kota, sedangkan desa hanya merupakan pemanis untu melayani kebutuhan negara-kota.[41] Dari sini nampak, al-Farabi tidak menganggap tiga unit pergaulan social tersebut sebagai masyarakat yang sempurna, alasannya yaitu tidak cukup berpengaruh untuk berswasembada dan berdikari dalam rangka memenuhi kebutuhan para warganya, baik berkaitan dengan masalah ekonomi, social, budaya maupun spiritual.[42]

Selanjutnya, kepala negara, lanjut al-Farabi, haruslah seorang pemimpin yang arif dan bijaksana, yang mempunyai dua belas kualitas luhur, yang sebagian telah ada sewaktu lahir sebagai watak yang alami atau watak yang fitri, namun yang lain perlu dikembangkan melalui pengajaran yang terarah, pendidikan serta latihan yang menyeluruh. Baginya, pemimpin negara tidak harus seorang filsuf yang mendapat kemakrifatan atau kearifan melalui pikiran dan rasio, tetapi juga sanggup seorang nabi yang mendapat kebenaran lewat wahyu. Adapun kedua belas syarat pemimpin itu antara lain : 
  1. lengkap anggota tubuhnya; 
  2. mempunyai kemampuan pemahaman yang baik; 
  3. kuat hafalannya dan tinggi intelegensianya; 
  4. pandai mengemukakan pendapatnya dan gampang dimengerti uraiannya; 
  5. mencinta pendidikan dan gemar mengajar; 
  6. tidak rakus terhadap masakan dan masakan serta wanita; 
  7. mencinta kejujuran dan membenci kebohongan; 
  8. berjiwa besar dan berbudi luhur; 
  9. tidak memandang penting terhadap kekayaan dan kesenangan-kesenangan dunia;
  10.  mencintai keadilan dan membenci kezhaliman; 
  11. tanggap dan tidak sukar, bila diajak menegakkan keadilan, dan sulit bila diajak untuk melaksanakan atau menyetujui tindakan keji dan kotor; 
  12. kuat pendiriannya terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme, tidak penakut atau berjiwa lemah.[43]
Karena untuk mendapatkan orang yang mempunyai semua kualitas luhur tersebut yaitu sangat sulit dan jarang, maka – masih berdasarkan al-Farabi – jika terdapat lebih dari satu, maka yang diangkat menjadi kepala negara yaitu seorang saja. Tetapi jika tidak terdapat sama sekali yang memenuhi criteria di atas, maka pimpinan negara sanggup dipikul secara kolektif antara sejulah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.[44]

c. Pemikiran al-Mawardi 
Nama lengakap al-Mawardi yaitu Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri al-Mawardi (364 H/975 M – 450 H/1059 M). Ia yaitu seorang pemikir Islam terkenal, tokoh terkemuka madzhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada masa pemerintahan Abbasiyyah. Setelah menjalani hidup dengan cara berpindah-pindah, dari satu kota ke kota lainnya sebagai hakim, akhirnya ia kembali dan menetap di Baghdad, dan mendapat kedudukan terhormat pada pemerintahan khalifah Qadir.[45]

Diantara pemikiran politik al-Mawardi yang populer yaitu ihwal khilafah atau imâmah.[46] Baginya, imâmah diartikan sebagai pengganti kedudukan Nabi, yang melestarikan agama dan menyelenggarakan kepentingan duniawi.[47]

Dan eksistensi imâmah, bagi al-Mawardi, yaitu penting dan wajib. Hanya saja, kewajiban itu, apakah berdasarkan nalar atau syara’ masih dalam perdebatan di kalangan para ulama’. Ada yang mengatakan, imâmah wajib berdasarkan pertimbangan rasionalitas. Artinya, adanya imâmah yaitu untuk menjaga ketertiban dan stabilitas keamanan, serta menghindarkan dari tindakan-tindakan anarkis dan kontradiksi dan permusuhan. Namun ada juga yang berpendapat, kewajiban itu yaitu ditetapkan oleh syara’, berdasarkan QS. al-Nisa’ ayat 59.[48]

Lembaga imâmah ini, berdasarkan al-Mawardi, mempunyai kiprah dan tujuan umum, yaitu : 
  1. memelihara dan mempertahankan syari’at berdasarkan prinsip-prinsip yang ditetapkan dan sesuatu yang menjadi ijma’ oleh generasi awal umat Islam; 
  2. melaksanakan ketentuan hokum di antara oknum-oknum yang sedang bersengketa atau berselisih, dan mewujudkan keadilan antara yang teraniaya maupun yang menganiaya; 
  3. melindungi wilayah Islam dan memelihara kehormatan rakyat, semoga mempunyai kemerdekaanjiwa dan harta mereka; 
  4. memelihara hak-hak rakyat dan hokum Tuhan; 
  5. mengkonsolidasikan kekuatan untuk melawan musuh; 
  6. berjihad terhadap orang-orang yang menentang Islam, setalah ada dakwah atau seruan, semoga mereka mengakui eksistensi Islam; 
  7. memungut pajak dan sedekah berdasarkan ketentuan syari’at, nash dan ijtihad; 
  8. mengatur pemanfaatan harta baitul mal secara efektif; 
  9. minta nasehat dan pandangan dari tokoh-tokoh masyarakat yang terpercaya; 
  10. dalam mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah bersama kepala negara harus pribadi menangani dan meneliti keadaan yang sesungguhnya.[49] Selain itu, forum ini juga bertugas mewujudkan kemaslahatan-kemaslahan dan sarana-sarana yang sanggup mewujudkan kemaslahatan tersebut.[50]
Seorang imam sanggup dipilih melalui dua cara, yaitu : melalui pemilihan sebuah tubuh yang disebut ahl al-‘aqd wa al-hal atau ahl al-ikhtiyâr dan melalui pilihan imam sebelumnya.[51]

Badan yang menentukan imam di atas, setidaknya harus memenuhi tiga kriteria, yaitu : 
  1. berlaku adil (al-‘adâlah) dengan segala persyaratannya dalam segala sikap dan tingkah lakunya; 
  2. memiliki pengetahuan, yang dengannya sanggup mengetahui siapa yang berhak menjadi kepala negara, berdasarkan kualifikasi yang ditentukan; 
  3. memiliki wawasan dan kearifan (al-ra’y wa al-hikmah), yang sanggup digunakan untuk menentukan imam yang bisa dan layak mengelola urusan negara dan rakyat. Dan anggota-anggotanya tidak harus terdiri dari mereka yang hanya berada dalam negara imam atau ibukota.[52]
Adapun calon imam yang layak dipilih, lanjut al-Mawardi, harus memenuhi syarat-syarat berikut ini: 
  • sikap adil (al-‘adâlah) dengan segala persyaratannya; 
  • memiliki pengetahuan yang sanggup dipergunakan untuk mengambil ijtihad atau keputusan dalam mengahadapi problematika negara; 
  • sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; 
  • utuh anggota-anggota badannya; 
  • mempunyai kebijaksanaan (al-ra’y al-mufdli) dalam mengatur kehidupan rakyat dan kepentingan umum; 
  • mempunyai keberanian untuk memerangi musuh; 
  • berketurunan suku Quraisy.[53]
d. Pemikiran Ibn Taymiyyah 
Nama lengkapnya yaitu Taqî al-Dîn Abû al-‘Abâs Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm Ibn ‘Abd al-Salâm Ibn ‘Abd Allah Ibn Taimiyyah al-Harânî al-Hanbalî. Lahir di kota Harran Mesopotamia Utara, pada hari Senin, tanggal 10 Rabî‘ul Awal tahun 661 H., bertepatan dengan 22 Januari 1263 M., dan meninggal di Damaskus pada tanggal 20 Dzulqa‘dah 728 H., bertepatan dengan 26 September 1328 M[54]. Ayahnya yaitu seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di masjid jami‘ Damascus. Ia bertindak sebagai khatib dan imam di masjid itu, sekaligus sebagai muallim pelajaran tafsir dan hadis. Disamping itu ia juga sebagai eksekutif Madrasah Dar al-Hadis al-Sukkariyyah, salah satu forum pendidikan mazhab Hanbali yang tergolong sangat maju dan bermutu pada waktu itu. Di sinilah Abdul Halim mendidik Ibn Taimiyyah.[55] Dan pemikiran politiknya terlihat dalam karyanya yang berjudul al-Siyâsah al-Syar‘iyyah fi Ishlâh al-Râ‘i wa al-Ra‘iyyah (politik yang berdasarkan syari’ah bagi perbaikan penggembala dan gembala).

Orientasi pemikiran politik Ibn Taymiyyah yaitu bersendikan agama. Hal ini terlihat dari judul buku di atas atau pun isi mukaddimahnya, yang mendasarkan teori etik politiknya dengan ayat al-Qur’an, surat al-Nisa’ ayat 58-59.[56] Dari dua ayat tersebut, setidaknya ada empat pesan yang terkandung di dalamnya : 
  1. perintah menunaikan amanat; 
  2. perintah berlaku adil dalam memutuskan hokum; 
  3. perintah taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri; dan 
  4. perintah menuntaskan perselisihan dengan mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya.[57]
Namun di lain tempat, Ibn Taymiyyah menyatakan, bahwa perintah menunaikan amanat dan perintah berlaku adil merupakan dua prinsip etik utama dan paling mayoritas dalam al-siyâsah-nya.[58]

Tentang istilah amanat, berdasarkan Ibn Taymiyyah, meliputi dua konsep, yaitu kekuasaan (politik) dan harta benda (ekonomi).[59] Kekuasaan merupakan amanat yang harus ditunaikan. Dan karenanya, seorang pemimpin juga harus mempunyai sifat amanah. Dia dituntut untuk berlaku amanah dalam melaksanakan kiprah dan menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya.[60]

Berkaitan dengan kekuasaan politik, amanah menuntut keharusan menunaikan amanat sebagai bentuk tanggung jawabnya, baik amanat itu berasal dari Tuhan ataupun dari sesama manusia. Sedangkan amanah yang bekerjasama dengan harta benda ekonomi, amanah berarti keharusan mengelola kekayaan negara secara proporsional dan bertanggung jawab untuk kemashlahatan rakyat.[61]

Dalam beberapa kepingan tulisannya dalam al-Siyâsah, Ibn Taymiyyah mengungkapkan beberapa kezhaliman ekonomi yang secara substantif mengindikasikan masalah etis.
  • Pertama, pemerintah tidak boleh merampas atau mengambil harta benda rakyat, yang bukan haknya. Namun bila ada harta benda rakyat yang diperoleh dengan cara yang tidak halal, maka harus dikembaikan oleh pemerintah kepada pemiliknya.[62]
  • Kedua, para pejabat hendaknya tidak mendapatkan hadiah dari siapapun, ketika melaksanakan tugas. Karena hadiah itu sanggup menimbulkan dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan.[63]
  • Ketiga, harta benda yang sudah terlanjur disita oleh negara secara illegal, dan sudah diketahui, bahwa harta itu tidak ada pemiliknya, maka harta dimaksud harus digunakan untuk kepentingan umum, menyerupai untuk sektor pertahanan keamanan dan pembayaran honor tentara.[64]
  • Keempat, dalam pembangunan, yang harus diperhatikan yaitu asas kemaslahatan secara tepat dan menekan seminimal mungkin timbulnya kerusakan.[65]
Tentang prinsip keadilan, bagi Ibn Taymiyyah, merupakan prinsip mendasar sebuah pemerintahan. Karena pentingnya keadilan ini, Ibn Taymiyyah sampai berpendapat, bahwa pemerintah yang adil, walaupun dipimpin oleh seorang kafir yaitu lebih baik daripada pemerintahan muslim tetapi berlaku zhalim. Karena, keadilan walaupun disertai dengan kekafiran, masih memungkin adanya kesinambungan kehidupan dunia, tetapi sebaliknya, kezhaliman meskipun dengan keislamannya, akan sulit mempertahankan kehidupan dunia.[66]

D. Etika Politik : Antara Normatifitas dan Realitas
Politik riil yang terjadi yaitu pertarungan antar kekuatan masing-masing partai. Seringkali filsafat politik ataupun etika politik dianggap dunia ideal yang tidak mencerminkan realitas politik yang ada, atau pun sebaliknya.

Berbagai insiden kekerasan, politik uang dan korupsi, sangat mendominasi kehidupan politik di Indonesia. Peristiwa tragis juga pernah terjadi, kerusuhan disertai penjarahan, penganiayaan dan pelecehan seksual (Mei 1998). Kekerasan yang lebih kejam berlangsung dalam konflik antar etnis dan antar agama (pontianak, Sampit, Ambon, Poso). Semua itu meninggalkan korban, trauma psikologis, pengungsian, dan penderitaan berkepanjangan. Serentetan insiden itu, tidaklah terjadi secara impulsif atau insiden insidental belaka. Namun di balik insiden itu, tidak lepas dari praktek politik kekuasaan kelompok tertentu.

Adalah sangat sulit, jika tragedi-tragedi itu tidak dikaitkan dengan pertarungan elit politik untuk memperebutkan kekuasaan. Meskipun demikian, rekayasa politik tidak akan memancing kekerasan dengan mudah, jika tidak ada masalah-masalah yang melilit mereka sebelumnya. Seperti masalah ketidak adilan dan kebencian korban ketidakadilan yaitu konkrit adanya, yang menciptakan mereka semakin termarjinalkan. Kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin terlalu jauh; persoalan-persoalan sosial yang semakin komplek dan berimbas pada kebijakan yang tidak populis, menyerupai banyaknya anak putus sekolah, pengangguran, kemiskinan, dan penggusuran. Bentuk marginalisai ini, pada saatnya akan memancing radikalisme dalam menuntut keadilan. Dan radikalisasi menjadi kuat, alasannya yaitu kesadaran yang semakin berpengaruh pada diri mereka sebagai korban. Identitas korban akan semakin mengkristal, ketika agama memberikan pendasaran ideologis. Situasi putus asa semacam ini diperparah oleh kebencian antara pemeluk agama, yang sungguh ada dan sanggup dirasakan. Prasangka jelek terhadap pemeluk agama lain sering kali muncul dan sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu yang akan memanfaatkan setiap ada chaos (kekacauan), walaupun tidak sedikit yang menjalin hubungan secara serasi dan membangun dialog.[67]

Ketika banyak sekali bentuk insiden kekerasan itu mulai mereda, yang mencuat ke permukaan kini yaitu politik uang dan korupsi. Adanya praktek politik uang, biasa digunakan untuk meraih kekuasaan, atau untuk melanggengkan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dalam proses pilkada di daerah-daerah, yang sarat dengan politik uang, walaupun sulit dibuktikan secara empiris. Meskipun akhir-akhir ini, KPK sering menangani kasus tangkap tangan ketika terjadi penyuapan kepala daerah dan anggota dewan. Untuk melanggengkan kekuasaan itu, dibutuhkan banyak sekali akomodasi penopangnya, terutama ekonomi. Korupsi itu sendiri merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh oknumnya. 

Demikian halnya, ketika para caleg atau calon kepala daerah berkampanye, tindak money politic pun terlihat di sana dengan banyak sekali bentuk yang beragam. Hal itu bisa dilihat, contohnya dari cara kampanye para caleg yang membagi-bagikan tas atau kaos bergambar caleg yang bersangkutan sebagai bentuk ‘hadiah’ atau ‘kenang-kenang’; atau membagi-bagi uang kepada para calon pemilih di daerah pemilihannya. Demikian halnya dengan para calon kepala daerah. Saat berkampanye, banyak di antara mereka yang mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan, baik pendidikan formal atau tradisional, yang nota bene banyak masanya. Saat berkunjung pun, tak segan-segan, mereka mengeluarkan banyak duit, untuk ‘menyumbang’ atau sekedar memberi ‘hadiah’ kepada sang kiai atau pimpinan forum tersebut. Lebih-lebih, jika kiai tersebut yaitu pimpinan tarekat, yang mempunyai banyak masa, maka antusiasme para calon kepala daerah untuk mendekatinya sangat terlihat. Namun di balik pendekatan dan pemberian ‘bantuan’ tersebut, terselip pesan sponsor politis, “pilihlah saya…”. Begitulah kira-kira kondisi perpolitikan Indonesia berakal balig cukup akal ini.

Jika melihat realitas politik yang demikian memilukan ini, seakan-akan berbicara politik dalam tataran normatif, sebagaimana etika politik, memberi kesan naïf dan absurd. Karena kehidupan politik, intinya merupakan pertarungan kekuatan antar kelompok politik tertentu dan mempunyai kecenderungan untuk menghalalkan segala cara, asal tujuan tercapai. Dan sebagaimana kita ketahui, dalam kehidupan politik, kepentingan-kepentingan politik sesaat, yang menguntungkan kelompok tertentu (penguasa) – walaupun merugikan kepentingan rakyat – kerap kali terjadi, tanpa menghiraukan kritik dan koreksi orang lain.

Manuver-manuver politik yang dilakukan oleh para elit politik, sering tidak sejalan dengan etika politik yang telah dibangun oleh para pakarnya. Karena, politik sangat fleksibel sifatnya, sehingga seolah tidak ada tatanan normatif politik yang baku, kecuali aturan undang-undang yang kerapkali mengundang banyak kontroversi interpretasi. 

Namun tidak harus mengalah begitu saja. Adanya tindak kekerasan, politik uang dan korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan, yang sangat menempel dengan praktek kekuasaan, hendaknya justru semakin menyadarkan kita, betapa pentingnya penerapan etika politik secara teoritik ke dalam kehidupan politik secara riil, walaupun aplikasinya masih dalam proses, untuk tidak menyampaikan tidak mungkin.

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa etika politik bukanlah akan mengkhutbahi para politikus secara langsung, namun setidaknya, adanya etika politik yang ada, sebagaimana pemikiran politik yang telah dibangun oleh para pemikir muslim klasik dan pertengahan di atas, sanggup dijadikan sebagai materi renungan untuk membangun iklim politik yang lebih etis dan mengevaluasi kinerja pemerintahan yang sedang berlangsung, yang akan sanggup dijadikan sebagai tolok ukur untuk menentukan pemimpin masa yang akan datang. Dengan pemahaman etika politik yang ada, dibutuhkan masyarakat akan menjadi lebih berakal balig cukup akal dalam hal politik.

E. Penutup
Secara general, etika politik yang telah diungkapkan dan dibangun oleh para pemikir muslim di atas, sangatlah ideal dalam kehidupan berpolitik, meskipun ada beberapa pemikiran, yang apabila diterapkan di negara Indonesia – negara demokrasi, bukan negara Islam – tidak sanggup dilaksanakan, atau membutuhkan reinterpretasi ulang. Namun, dari banyak sekali syarat yang diajukan oleh mereka bagi seorang pemimpin, misalnya, rasanya sangat sulit untuk diwujudkan atau dimiliki oleh satu orang. Karenanya, penulis oke dengan pemikiran al-Farabi yang memberi solusi, semoga kepemimpinan dipegang secara kolektif, dengan mempertimbangkan kapabilitasnya masing-masing.

Dalam etika politik di atas, setidaknya ada beberapa konsep umum yang sangat ideal untuk diterapkan dalam kehidupan politik. Yakni ; kapabilitas pribadi pemimpin, keadilan, kejujuran, penyampaian amanat pada haknya, apresiasi terhadap keilmuan dan membela kepentingan rakyat banyak (yang tertindas) di atas kepentingan pribadi dan golongan. Setiap pemerintahan, dimanapun dan kapanpun, yang tidak menghiraukan etika-etika politik, pasti kehancuran akan selalu menghantuinya. 

Jika dalam setiap agresi politik, yang berkaitan erat secara pribadi dengan sikap politikus, selalu mempertimbangan dan memakai nilai-nilai etika politik, maka kehidupan panggung politik yang ada, akan membentuk budaya politik yang lebih santun, yang hasilnya sanggup dirasakan oleh rakyatnya secara langsung.

Daftar Pustaka
  • Abu Zahrah, Muhammad, t.th., Ibn Taimiyyah, Hayûtuh wa ‘Ashruh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Bairut 
  • Bertens, K., 2000, Etika, Gramedia, Jakarta, cet. V
  • Esposito, John L, (Ed), 1995, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Oxford University Press, New York, vol. 1
  • Al-Farabi, 1906, Kitab Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fadlîlah, Mathba‘ah al-Sa‘adah, Mesir, cet. I
  • Haryatmoko, 2004, Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, cet. II
  • Ibn Abi Rabi’, 1983, Sulûk al-Mâlik fi Tadbîr al-Mamâlik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rabi’, Dar al-Sya‘b, Kairo 
  • Ibn Manzhûr, Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram al-Anshârî, 1968, Lisân al-‘Arab, Dâr al-Masyriq, Bairut
  • Ibn Taimiyyah dan Muhammad Ibn Abd al-Wahâb, 1991, Majmû‘ah al-Tauhîd, Dar al-Fikr, Bairut
  • ---------, 1387, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah fi Ishlâh al-Ra‘i wa al-Ra‘iyyah, al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, Kairo
  • Khallâf, Abd al-Wahhâb, 1977, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, Dâr al-Anshâr, Kairo 
  • Lewis, B., et. al. (edit), 1965, The Encyclopaedia of Islam, E.J. Brill, Leiden
  • Ma‘lûf, Luwîs, 1986, al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lâm, Dâr al-Masyriq, Bairut
  • Al-Mawardi, t.th., al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut 
  • ----------, t.th., Adâb al-Dun-yâ wa al-Dîn, Dâr al-Fikr, Bairut 
  • Nasution, Harun, 1985, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, UI-Press, Jakarta, cet. V
  • Pulungan, Suyuthi, J., 1999, Fiqih Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Raja Grafindo, Jakarta, cet. IV
  • Al-Qardhawi, Yusuf, 1999, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, terj. Kathur Suhardi, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, cet. II
  • Salim, Arskal, GP. M., 1999, Etika Intervensi Negara, Perspektif Etika Politik Ibn Taimiyah, Logos, Jakarta
  • Sjadzali, Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V
  • Suseno, Franz Magnis, 2003, Etika Politik, Gramedia, Jakarta, cet. VII
  • Syaraf, Muhammad Jalal, 1978, al-Fikr al-Siyâsî fî al-Islâm; Syakhshiyyah wa Madzâhib,Dar al-Jam‘iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria
  • Syamsuddin, Din, 2001, Islam dan Politik Era Orde Baru, Logos, Jakarta, cet. I 
  • Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, jakarta : Balai Pustaka, 1988, cet. 
[1] Penulis yaitu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang. Email : m.inamuzzahidin@yahoo.co.id. Hp : 08156624004 
[2] K. Bertens, 2000, Etika, Gramedia, Jakarta, cet. V, hlm. 4 
[3] K. Bertens, 2000, Etika, Gramedia, Jakarta, cet. V, hlm. 5 
[4] K. Bertens, 2000, Etika, Gramedia, Jakarta, cet. V, hlm. 5-6; Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988, Kamus Besar bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, cet. I, hlm. 237 
[5] John L Esposito (Ed), 1995, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Oxford University Press, New York, vol. 1, hlm. 442 
[6] K. Bertens, 2000, Etika, Gramedia, Jakarta, cet. V, hlm. 7 
[7] Haryatmoko, 2004, Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, cet. II, hlm. 187 
[8] Haryatmoko, 2004, Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, cet. II, hlm. 187 
[9] Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik, Gramedia, Jakarta, cet. VII, hlm. 19-20 
[10] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988, Kamus Besar bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, cet. I, hlm. 694 
[11] Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram al-Anshârî Ibn Manzhûr, 1968, Lisân al-‘Arab, juz VI, Dâr al-Masyriq, Bairut, hlm. 108; Luwîs Ma‘lûf, 1986, al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lam, Dâr al-Masyriq, Bairut, hlm. 362 
[12] Abd al-Wahhâb Khallâf, 1977, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, Dâr al-Anshâr, Kairo, hlm. 4 
[13] Ibn Manzhûr, 1968, Lisân al-‘Arab, juz VI, Dâr al-Masyriq, Bairut, hlm. 108 
[14] Luwîs Ma‘lûf, 1986, al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lam, Dâr al-Masyriq, Bairut, hlm. 362 
[15] Yusuf al-Qardhawi, 1999, ,Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, terj. Kathur Suhardi, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, cet. II, hlm. 34-35; J. Suyuthi Pulungan, 1999, Fiqih Siyasah, Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Raja Grafindo, Jakarta, cet. IV, hlm. 22-23 
[16] Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik, Gramedia, Jakarta, cet. VII, hlm. 8 
[17] Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik, Gramedia, Jakarta, cet. VII, hlm. 2-5 
[18]Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik, Gramedia, Jakarta, cet. VII, hlm. 22-30 
[19] Harymoko, 2004, Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, cet. II, hlm. 25 
[20] Haryatmoko, 2004, Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, cet. II, hlm. 25 
[21] Haryatmoko, 2004, Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, cet. II, hlm. 204 
[22] Haryatmoko, 2004, Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, cet. II, hlm. 25-27
[23] Haryatmoko, 2004, Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, cet. II, hlm. 27 
[24] Haryatmoko, 2004, Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, cet. II, hlm. 28 
[25] Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V, hlm. 41 
[26] Harun Nasution membagi sejarah Islam menjadi 3 bagian, yaitu : kelompok periode Klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), dan periode Modern (1800 M). lihat Harun Nasution, 1985, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid I, UI-Press, Jakarta, hlm. 56-88 
[27] Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V, hlm. 42 
[28] Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V, hlm. 43-44; Muhammad Jalal Syaraf, 1978, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam‘iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 209 
[29] Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rabi’, Dar al-Sya‘b, Kairo, hlm. 101 
[30] Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rabi’, Dar al-Sya‘b, Kairo, hlm. 406; Jalal Syaraf, 1978, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam‘iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 218 
[31] [31] Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rabi’, Dar al-Sya‘b, Kairo, hlm. 313
[32] [32] Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rabi’, Dar al-Sya‘b, Kairo, hlm. 103; Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V, hlm. 46 
[33] [33] Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rabi’, Dar al-Sya‘b, Kairo, hlm. 104; Jalal Syaraf, 1978, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam‘iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 215 
[34] Jalal Syaraf, 1978, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam‘iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 215; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah (Pemikiran Politik Ibn Abi Rabi’), Seri Tesis, PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 115-116 
[35] Ibn Abi Rabi’, 1983, Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, ditahqiq oleh Hamid ‘Abd Allah Rabi’, Dar al-Sya‘b, Kairo, hlm. 407; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah (Pemikiran Politik Ibn Abi Rabi’), Seri Tesis, PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 118-119 
[36] Jalal Syaraf, 1978, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam‘iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 228-229; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah (Pemikiran Politik Ibn Abi Rabi’), Seri Tesis, PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 125 
[37] Jalal Syaraf, 1978, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam; Syakhshiyyah wa Madzahib, Dar al-Jam‘iyyah al-Mishriyyah, Iskandaria, hlm. 229-230; Supardi, 1997, Negara dan Pemerintah (Pemikiran Politik Ibn Abi Rabi’), Seri Tesis, PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 126-127 
[38] Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V, hlm. 49 
[39] Al-Farabi, 1906, Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah, Mathba‘ah al-Sa‘adah, Mesir, cet. I, hlm. 77-78; Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V, hlm. 50-51 
[40] Al-Farabi, 1906, Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah, Mathba‘ah al-Sa‘adah, Mesir, cet. I, hlm. 78; Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V, hlm. 51
[41] Al-Farabi, 1906, Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah, Mathba‘ah al-Sa‘adah, Mesir, cet. I, hlm. 78; Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V,. hlm. 52 
[42] Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V,. hlm. 52 
[43] Al-Farabi, 1906, Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah, Mathba‘ah al-Sa‘adah, Mesir, cet. I, hlm. 87-88; Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V,. hlm. 56 
[44] Al-Farabi, 1906, Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah, Mathba‘ah al-Sa‘adah, Mesir, cet. I, hlm. 88-89; Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V,.hlm. 56 
[45] Munawir Sjadzali, 1993, Islam dan Tata Negara, ajaran, sejarah dan pemikiran, UI-Press, Jakarta, cet. V, hlm. 58 
[46] Kata imâmah sering digunakan dalam pemikiran politik Islam secara bergantian dan secara sinonim, dengan kata khalifah. Menurut Mikhail, sebagaimana dikutip oleh Din Syamsuddin, pilihan al-Mawardi dan para penulis sunni lain, yang lebih condong memakai kata imâmah daripada khalifah, berawal dari kenyataan, bahwa kaum sunni menulis untuk merespons kaum syiah yang lebih menentukan memakai term imâmah daripada khilafah, untuk menunjuk pada pemimpin-pemimpin agung politik-keagamaan mereka. John H. Mikhail, 1968, Mawardi : A Study in Islamic Political Thaought, Seri Disertasi Ph.D, Harvard University, hlm. 32; Din Syamsuddin, 2001, Islam dan Politik Era Orde Baru, Logos, Jakarta, cet. I, hlm. 95 
[47] Al-Mawardi, t.th., al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut, hlm. 5 
[48] Al-Mawardi, t.th., al-Ahkâm al-Sulthaniyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut, hlm. 5 Arti ayat tersebut yaitu : “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kau berlainan pendapat ihwal sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” 
[49] Al-Mawardi, t.th., al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut, hlm. 15-16 
[50] Al-Mawardi, t.th., Adâb al-Dun-yâ wa al-Dîn, Dar al-Fikr, Bairut, hlm. 139 
[51] Al-Mawardi, t.th., al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut, hlm. 6-7 
[52] Al-Mawardi, t.th., al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut, hlm. 6 
[53] Al-Mawardi, t.th., al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut, hlm. 6 
[54] Ibn Taimiyyah dan Muhammad Ibn Abd al-Wahâb, 1991, Majmû‘ah al-Tauhîd, Dar al-Fikr, Bairut, hlm. 325; Muhammad Abu Zahrah, t.th., Ibn Taimiyyah, Hayûtuh wa ‘Ashruh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Bairut, hlm. 10; B. Lewis, et. al. (edit), 1965, The Encyclopaedia of Islam, E.J. Brill, Leiden, Jilid III, hlm. 951 
[55] B. Lewis, et. al. (edit), 1965, The Encyclopaedia of Islam, E.J. Brill, Leiden, Jilid III, hlm. 951 
[56] Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kau memberikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila memutuskan aturan di antara insan supaya kau memutuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah yaitu Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(58) Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kau berlainan pendapat ihwal sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(59); Ibn Taymiyyah, 1387, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah fi Ishlâh al-Râ‘i wa al-Ra‘iyyah, al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, Kairo, hlm. 3-4 
[57] lihat juga M. Arskal Salim GP, 1999, Etika Intervensi Negara, Perspektif Etika Politik Ibn Taimiyah, Logos, Jakarta, hlm. 76 
[58] Ibn Taymiyyah, 1387, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah fi Ishlâh al-Râ‘i wa al-Ra‘iyyah, al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, Kairo, hlm. 5 
[59] Ibn Taymiyyah, 1387, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah fi Ishlâh al-Râ‘i wa al-Ra‘iyyah, al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, Kairo, hlm. 6 
[60] M. Arskal Salim GP999, Etika Intervensi Negara, Perspektif Etika Politik Ibn Taimiyah, Logos, Jakarta, hlm. 77 
[61] M. Arskal Salim GP999, Etika Intervensi Negara, Perspektif Etika Politik Ibn Taimiyah, Logos, Jakarta, hlm. 77 
[62] Ibn Taymiyyah, 1387, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah fi Ishlâh al-Râ‘i wa al-Ra‘iyyah, al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, Kairo, hlm. 42-44 
[63] Ibn Taymiyyah, 1387, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah fi Ishlâh al-Râ‘i wa al-Ra‘iyyah, al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, Kairo, hlm. 44-47 
[64] Ibn Taymiyyah, 1387, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah fi Ishlâh al-Râ‘i wa al-Ra‘iyyah, al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, Kairo, hlm. 48 
[65] Ibn Taymiyyah, 1387, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah fi Ishlâh al-Râ‘i wa al-Ra‘iyyah, al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, Kairo, hlm. 49; lihat juga M. Arskal Salim GP, 1999, Etika Intervensi Negara, Perspektif Etika Politik Ibn Taimiyah, Logos, Jakarta, hlm. 77-78 
[66] M. Arskal Salim GP, 1999, Etika Intervensi Negara, Perspektif Etika Politik Ibn Taimiyah, Logos, Jakarta, hlm. 80 
[67] Haryatmoko, 2004, Etika Politik dan Kekerasan, Kompas, Jakarta, cet. II, hlm. x

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel