Pengertian Crowdfunding
Thursday, July 16, 2020
Edit
2.1 Pengertian Crowdfunding
Dalam banyak sekali literatur, salah satunya oleh Hemer (2011), terminologi crowdfunding dikatakan sebagai “derivatif” dari tren yang terlebih dahulu muncul yaitu crowdsourcing. Andriansyah, et al. (2009) meyatakan bahwa crowdsourcing sendiri merupakan terminologi yang berasal dari abreviasi “crowd” (masyarakat) dan “outsourcing” (alih daya). Dengan demikian, untuk mendapatkan pengertian menyeluruh akan crowdfunding, maka akan dibahas mulai dari outsourcing, crowdsourcing dan kemudian crowdfunding.
2.1.1 Outsourcing
Istilah outsourcing atau “alih daya” merupakan fenomena yang umum terutama sekitar 15 tahun belakangan ini. Sebagaimana disiratkan oleh namanya, alih daya ialah konsep yang mengalihkan pekerjaan dari suatu perusahaan, institusi atau organisasi ke perusahaan, institusi, organisasi atau individu pihak ketiga lainnya. Sebagai contoh, sekitar tahun 2003, vendor-vendor besar mirip Microsoft, SunMicrosystem, IBM, dan Hewlet-Packard mengalihkan pekerjaan non-critical mirip pengujian dan pendeteksian celah atas produk mereka (bug/loop-hole testing) kepada perusahaan di India dan Cina. Model alih daya ini ditengarai memperlihatkan banyak keuntungan, antara lain mendukung tumbuh dan berkembangnya perusahaan-perusahaan gres yang mempunyai spesialisasi khusus, memungkinkan perusahaan berfokus pada bisnis utamanya (core business proposition), serta memungkinkan penghematan biaya.
Pada awalnya, penerapan alih daya banyak menekankan pada manfaat penghematan biaya. Namun demikian, tatanan global sudah sedemikian terbuka dan kompetitif sehingga bukan hanya biaya yang harus dihemat, melainkan juga harus mengedepankan tingkat penerimaan (acceptability), kesesuaian (compatibility), keandalan (reliability) dan inter-operabilitas. Dengan demikian, efisiensi tidak hanya bersumber dari penghematan biaya namun juga dengan rasio pendapatan perusahaan yang lebih besar lagi serta fokus pada hubungan dengan pasar (market-focus). Karena itu, beberapa konsep yang pada awalnya dipandang sebelah mata mulai dilirik secara lebih serius, antara lain open system, mirip open source atau open standard, serta co-creation. Meskipun tidak diketahui pasti, namun Andriansyah, et al. (2009) memperlihatkan dugaan bahwa kedua konsep alihdaya tersebut turut mengkatalisasi metode sourcing selanjutnya yakni “crowdsourcing”.
2.1.2 Crowdsourcing
Diartikan secara per kata, crowdsourcing terdiri atas dua komponen, yaitu: crowd, yang berarti kerumunan orang, dan sourcing, yang berarti sumberdaya. Bila digabungkan, maka terjemahan bebasnya sanggup diartikan sebagai sesuatu sistem atau konsep sumber daya berbasis kerumunan (Andriansyah, et al., 2009). Secara lebih spesifik, crowdsourcing didefinisikan sebagai suatu aktifitas atau tindakan yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau institusi yang mengambil salah satu fungsi pekerjaan atau kiprah yang seharusnya dilakukan oleh karyawannya menjadi disebarluaskan secara terbuka dan bebas untuk orang banyak atau kerumunan yang terkoneksi dengan jaringan komputer, dalam hal ini Internet (Howe, 2009).
Meskipun crowdsourcing belum banyak dijadikan subjek riset akademis, beberapa riset teknologi informasi menyatakan bahwa crowdsourcing merupakan kepingan dari popularitas komunitas online (virtual communities) dan situs-situs jejaring sosial (Boyd dan Ellison, 2008; Utz 2009). Keseluruhan riset menyatakan bahwa situs jejaring sosial menyediakan jalan masuk bagi masyarakat untuk bergabung dalam sebuah komunitas online (Boyd dan Ellison, 2008) dan dengan demikian menjembatani interaksi sosial yang lebih luas (Utz, 2009).
Untuk memahami konsep crowdsourcing secara lebih komprehensif, pada umumnya literatur membagi pengertian crowdsourcing menjadi dua konsep, yaitu:
a. Konsep Umum
Konsep umum crowdsourcing ialah adanya pelibatan yang tidak terbatas dan tanpa memandang latar belakang pendidikan, kewarganegaraan, agama, amatir atau professional, bagi setiap orang yang ingin memperlihatkan kontribusinya atau solusinya atas suatu permasalahan yang dilemparkan oleh individu, perusahaan atau institusi. Kontributor sanggup dibayar (mendapatkan upah atau reward), mendapatkan royalti, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa kontributor memperlihatkan kontribusi secara cuma-cuma atau tidak dibayar. Ilustrasi dari mekanisme crowdsourcing sanggup dilihat pada Gambar 2.1 di halaman berikut.
Studi masalah sanggup digunakan untuk sanggup memahami konsep crowdsourcing. Salah satu website yang secara nyata mengilustrasikan konsep umum crowdsourcing ialah iStock Photo (www.istockphoto.com). iStockPhoto ialah sebuah laman web penyedia, pemediasi tukar-menukar, serta penjual gambar dan foto yang umumnya dibutuhkan para desainer grafis. Website ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan desainer grafis atas pasokan gambar atau foto yang sanggup menunjang karya mereka, dimana kualitas gambar atau foto yang sanggup diunduh melalui internet umumnya mempunyai resolusi rendah. Sebaliknya, undangan foto kepada fotografer professional membutuhkan biaya yang sangat mahal. iStockPhoto menjawab gap ini dengan menyediakan gambar atau foto dengan resolusi sangat tinggi yang sanggup diunduh dengan kisaran harga USD 1 - 5 per foto. Menariknya, koleksi foto dalam website tersebut berasal dari kurang lebih 22.000 kontributor yang mempunyai banyak sekali latar belakang profesi, bukan hanya fotogafer (baik profesional maupun amatir), melainkan juga mahasiswa, insinyur, dokter, penari, hingga ibu rumah tangga. Konsep iStockPhoto mewakili konsep umum dari crowdsourcing ini, yaitu dimana banyak sekali orang dari banyak sekali latar belakang keahlian, usia, bangsa, negara dan ras berkumpul dan membentuk suatu kelompok “maya” (cyber community) yang saling berinteraksi dan bertransaksi dengan mempublikasikan konten dalam suatu wadah situs web.
Pada beberapa literatur lainnya, mekanisme crowdsourcing juga banyak dicontohkan sebagai media penyebaran konten, dimana kontributor membagikan konten tanpa menerima imbalan apapun, contohnya SourceForge.net, Download.com, 4shared.com atau yang terkenal dari Indonesia, yaitu Indowebster.com.
a. Konsep Khusus
Konsep khusus crowdsourcing ialah suatu perusahaan atau institusi ingin mendapatkan solusi atas permasalahan yang mereduksi birokrasi dengan biaya yang rendah dibandingkan dengan membayar tenaga kerja secara konvensional, sedemikian hingga permasalahan sanggup ditangani secara cepat, sempurna dan hemat biaya, yang pada balasannya baik secara eksklusif maupun tidak eksklusif akan meningkatkan daya saing perusahaan atau institusi tersebut.
Secara sederhana, konsep khusus crowdsourcing diinterpretasikan sebagai suatu perusahaan yang memperkerjakan karyawan gres dari kerumunan tanpa dipusingkan dengan urusan-urusan tambahan, dan memperkerjakan karyawan secara parsial dan temporal sesuai dengan kebutuhan penanganan duduk masalah yang diharapkan baik dalam bentuk kerumunan eksklusif atau disederhakan dalam bentuk kelompok yang lebih kecil (peer) (Andriansyah, et al., 2009).
Dengan demikian, perbedaan utama dari outsourcing dan crowdsourcing terletak pada mekanisme pendelegasiannya. Pada outsourcing, pekerjaan dialihkan kepada kontraktor yang terikat secara kontrak, terang deskripsi kiprah serta tanggungjawabnya, serta terang benefit dan pembayarannya kepada kedua belah pihak. Sebaliknya pada crowdsourcing, pengalihan kiprah diberikan kepada sebuah grup yang besar dan tak terkira, biasa disebut komunitas, melalui undangan terbuka (open call). Dengan demikian, agresi kontribusi ini bermetamorfosis bentuk produksi sekawan (peer production).
Konsep khusus crowdsourcing pada awalnya dilakukan untuk proyek-proyek organisasi nirlaba mirip OpenSource dan Wikipedia, dimana para kontributornya bersedia untuk meluangkan waktu dan wangsit dalam proyek tanpa dibayar. Menariknya, ketika ini banyak pihak-pihak (dan bahkan para professional) yang bersedia untuk terlibat dalam proyek-proyek yang bergotong-royong komersil namun melalui mekanisme crowdsourcing (dimana kontribusi belum tentu dibayar).
Beberapa perusahaan dan institusi multinasional telah memanfaatkan konsep crowdsourcing untuk kepentingan perusahaanya masing-masing. Sebagian akan dibahas dalam rangka memperluas pemahaman ihwal konsep crowdsourcing itu sendiri.
i. Bidang Hiburan
Saluran televisi VH1 dan induknya Viacom memakai crowdsourcing dengan membeli situs web penyimpanan klip video iFilm senilai 49 juta USD dan menggarap viral video, yakni video internet yang melibatkan kerumunan untuk kontennya. Salah satu acara yang berhasil ialah Web Junk Contest yang berhasil mendapatkan 12.000 video klip dari kontestan secara online.
ii. Bidang Riset & Pengembangan
1. InnoCentive
InnoCentive ialah laman web yang bertujuan untuk memeroleh “sumberdaya akal” di luar perusahaan. Pada awalnya InnoCentive berfokus pada bidang farmasi, namun kemudian menentukan fokus yang umum sehingga perusahaan sanggup mem-post masalahnya di situs web InnoCentive biar dicarikan solusinya oleh kerumunan.
Perusahaan mirip Boeing, DuPont, Procter & Gamble (P&G) turut serta mengemukakan permasalahan penting perusahaan di situs InnoCentive untuk dipecahkan oleh kerumunan. InnoCentive akan membayar pemecah duduk masalah antara 10.000 hingga 100.000 USD per solusi, dan perusahaan yang menaruh permasalahannya di InnoCentive juga membayar fee kepada situs tersebut. Sejak pertama kali diluncurkan ke masyarakat, 30% dari duduk masalah yang diposkan ke situs InnoCentive berhasil dipecahkan.
1. Colgate-Palmolive
Produsen peralatan rumah tangga dan kesehatan asal Amerika Serikat ini pernah mengemukakan bahwa pihaknya mempunyai duduk masalah dalam menyuntikkan tepung fluoride ke dalam tabung pasta gigi tanpa menyebar keluar. Permasalahan ini terpecahkan melalui internet oleh seorang ahli, Edward Melcarek, C.E.T., Ph.D, yang mengusulkan penambahan daya listrik pada ketika penyuntikkan.
2. P&G
Pada tahun 2000, Procter & Gamble Company, yang sering disingkat P&G, melaksanakan penilaian terhadap biaya riset perusahaan terhadap peningkatan penjualan produk. Hasilnya, biaya riset meninggi sedangkan penjualan cenderung tetap. Sebagai langkah improvisasi produk, administrasi memutuskan untuk mencoba crowdsourcing dimana kritik dan saran konsumen diolah menjadi penemuan produk. Dengan adanya mekanisme crowdsourcing, persentasi penemuan P&G mengingkat dari 15% menjadi 50%. Enam tahun sehabis melibatkan crowdsourcing, 35% komponen kritis produk berasal dari inisiatif pihak luar perusahaan dan peningkatan produktifitas meningkatkan produktifitas riset dan pengembangannya menjadi 60%.
2.1.1.1 Kelebihan dan Kekurangan Crowdsourcing
Menurut Adriansyah et. al. (2009), terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan crowdsourcing,
2.1.1 Crowdfunding
2.1.1.1 Sejarah
Terminologi “crowdfunding” pertama kali digagaskan oleh Michael Sullivan, spesialis eksperimen digital (digital experimenter), pada tahun 2006. Saat itu, Sullivan sedang meluncurkan proyek portal videoblog yang diberi nama “fundavlog”. Proyek ini mempunyai bagan pendanaan sederhana berbasis web yang dideskripsikan sebagai “pendanaan berdasarkan timbal-balik (reciprocity), transparansi, kepentingan bersama (shared-interest) dan, di atas semuanya, berasal dari khalayak masyarakat” (Gobble, 2012). Tiga tahun setelahnya, terminologi ini gres dikenal luas dan digunakan oleh media Amerika sehabis keberhasilan Kickstarter.com pada tahun 2009.
2.1.1.2 Definisi
Terminologi crowdfunding belum secara baku diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia ditandai dengan belum dimilikinya padanan kata ini dalam Bahasa Indonesia. Dalam portal crowdfunding Patungan.net, crowdfunding diterjemahkan sebagai “pendanaan oleh khalayak” sedangkan situs Patungan.net menentukan untuk menerjemahkan crowdfunding sebagai “urun daya”.
Mengacu pada konsep Sullivan pada sub kepingan 2.1.3.1, maka crowdfunding atau pendanaan oleh khalayak atau urun daya sanggup diartikan sebagai suatu inisiatif pengumpulan dana yang diajukan oleh individu/tim/organisasi/entitas untuk mewujudkan suatu proyek. Ciri khas dari crowdfunding ialah pengumpulan dana bernominal kecil hingga sedang dari banyak orang untuk suatu kepentingan yang umumnya menggoda banyak orang (Ordanini, 2009). Pengertian yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Barrette (2011) yang mendefinisikan crowdfunding sebagai pendekatan keuangan kolektif yang memungkinkan individu-individu mengumpulkan sumberdaya yang dimiliki untuk mendanai suatu proyek yang diminati.
Disamping definisi yang bersifat umum sebagaimana di atas, terdapat peneliti dan praktisi yang mendefinisikan crowdfunding ke dalam perspektif yang lebih spesifik, yaitu melihat crowdfunding terutama sebagai produk dari kemajuan teknologi Web 2.0 dan media sosial. Definisi yang lebih spesifik ini disebut sebagai working definition, atau definisi yang berkembang pada suatu fenomena baru, yang umumnya diajukan oleh peneliti ataupun praktisi. Penelitian Hemer (2011), merekomendasikan definisi Lambert/Schwienbacher (2010) terhadap crowdfunding, yaitu:
[…] “Crowdfunding involves an open call, essentially through the Internet, for the provision of financial resources either in form of donations (without rewards) or in ex-change for some form of reward and/or voting rights in order to support initiatives for specific purposes.”
Hal senada disampaikan oleh Wade (2013), yang menyatakan definisi crowdfunding sebagai:
[…] proses pengumpulan modal, biasanya melalui internet, untuk mendanai perjuangan pribadi dengan mengumpulkan sejumlah kecil uang dari beberapa penyandang dana yang menyebarkan minat dan ideologi yang sama.
Kedua definisi di atas memperlihatkan pengutamaan khusus pada kiprah internet dalam crowdfunding. Dalam definisi praktisi, kiprah internet dalam definisi crowdfunding semakin nyata. Canada Media Fund (2012) memperlihatkan definisi crowdfunding dengan pengutamaan kepada kiprah sosial media, sebagai berikut:
[…] Crowdfunding is the raising of funds through the collection of small contributions from the general public (known as the crowd) using the Internet and social media.
Firma audit dan konsultan keuangan berbasis di Inggris, Deloitte Touche Tohmatsu, semakin spesifik mengasosiasikan crowdfunding sebagai produk dari teknologi Web 2.0, yaitu sebagai “website yang memungkinkan banyak individu memberi pinjaman finansial bagi suatu proyek, dimana individu pendukung memperlihatkan kontribusi kecil, biasanya kurang dari 1% dari total dana terkumpul” (Deloitte, 2013). Dengan demikian, sebagaimana juga dikatakan oleh Hemer (2011), makna “crowd” dalam crowdsourcing maupun crowdfunding merujuk pada masyarakat yang memakai internet (internet community).
2.1.1.3 Jenis-Jenis Crowdfunding
Meskipun media dan literatur ilmiah banyak berfokus pada kiprah crowdfunding sebagai alternatif dari forum pembiayaan (venture capital) tradisional, terdapat lebih banyak konsep mengenai crowdfunding yang perlu ditelusuri. Faktanya, terdapat empat kategori khas (distinct categories) dari crowdfunding, dilihat dari tipe portal dan dana yang dikumpulkan. Penelitian Massolution (2013) dan Deloitte (2013) membagi kategori crowdfunding sesuai dengan karakteristik bisnisnya sebagai berikut-size:12.0pt;line-height:150%;font-family:"Times New Roman","serif"; color:black'>). iStockPhoto ialah sebuah laman web penyedia, pemediasi tukar-menukar, serta penjual gambar dan foto yang umumnya dibutuhkan para desainer grafis. Website ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan desainer grafis atas pasokan gambar atau foto yang sanggup menunjang karya mereka, dimana kualitas gambar atau foto yang sanggup diunduh melalui internet umumnya mempunyai resolusi rendah. Sebaliknya, undangan foto kepada fotografer professional membutuhkan biaya yang sangat mahal. iStockPhoto menjawab gap ini dengan menyediakan gambar atau foto dengan resolusi sangat tinggi yang sanggup diunduh dengan kisaran harga USD 1 - 5 per foto. Menariknya, koleksi foto dalam website tersebut berasal dari kurang lebih 22.000 kontributor yang mempunyai banyak sekali latar belakang profesi, bukan hanya fotogafer (baik profesional maupun amatir), melainkan juga mahasiswa, insinyur, dokter, penari, hingga ibu rumah tangga. Konsep iStockPhoto mewakili konsep umum dari crowdsourcing ini, yaitu dimana banyak sekali orang dari banyak sekali latar belakang keahlian, usia, bangsa, negara dan ras berkumpul dan membentuk suatu kelompok “maya” (cyber community) yang saling berinteraksi dan bertransaksi dengan mempublikasikan konten dalam suatu wadah situs web.
a. Basis Pinjaman (Consumer Lending atau Lending-based)
Crowdfunding berbasis pinjaman sangatlah mirip dengan mekanisme pinjaman pada umumnya, dimana individu sanggup meminjam uang kepada suatu proyek dengan ekspektasi pengembalian. Bentuk-bentuk crowdfunding basis pinjaman yang umum adalah:
1. Perjanjian Pinjaman Tradisional (Traditional Lending Agreement)
Pada crowdfunding jenis ini terdapat termin standar dan tingkat bunga. Mekanisme crowdfunding ini sanggup dikatakan sangat mirip dengan mekanisme institusi keuangan dimana perusahaan meminjamkan sejumlah uang (bernominal kecil) dengan tingkat bunga yang cukup tinggi bagi debiturnya. Beberapa situs crowdfunding jenis ini juga serupa dengan payday lending companies yang memperlihatkan pinjaman kepada pelanggan dengan sejarah kredit yang buruk. Di Indonesia sendiri, praktik ini mirip dengan praktik rentenir (dikelola oleh individual dan dalam sektor informal) sedangkan bila dikelola oleh sektor keuangan formal, praktik ini mirip dengan personal loan.
2. Forgivable Loan
Dana dikembalikan kepada lender (pemberi pinjaman) hanya bila satu dari dua kondisi telah terpenuhi: (a) jika dan ketika proyek mulai menghasilkan pendapatan atau (b) jika dan ketika proyek mulai memperoleh laba.
3. Pre-Sales (Pre-Selling atau Pre-Ordering)
Dalam model ini, pencari dana meminta dana sebagai modal untuk memproduksi sesuatu. Dana dikembalikan kepada donor dalam bentuk produk selesai yang dijanjikan sesuai dengan nominal dana yang diberikan. Umumnya, semakin besar dana yang diberikan, maka semakin banyak atau semakin berkualitas produk selesai yang diberikan.
Menurut Massolution (2013), consumer lending atau lending-based crowdfunding global berhasil menjaring dana sebesar USD 522 Juta pada tahun 2011. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa kampanye proyek-proyek crowdfunding basis pinjaman memperoleh kesuksesan dua kali lebih cepat dibandingkan dengan crowdfunding basis ekuitas (lebih cepat memperoleh sasaran dana). Pada tahun 2013, Deloitte memprediksi pinjaman melalui crowdfunding meningkat menjadi 1.4 Milyar USD, atau meningkat sebesar 50% dibandingkan tahun 2012. Contoh dari crowdfunding basis pinjaman adalah: www.somolend.com, www.lendingclub.com, www.prospector.com
a. Basis Donasi (Donation-based)
Sebagaimana tersirat pada namanya, crowdfunding basis bantuan ialah jenis crowdfunding yang dilandaskan oleh donasi, filantropi, dan sponsorship dimana tujuan utamanya ialah mencari sumbangan. Jenis ini sering disebut sebagai micro-patronage. Dalam crowdfunding jenis ini, para donatur berkontribusi dalam suatu proyek tanpa mempunyai ekspektasi pengembalian dana yang telah dikontribusikannya. Portal crowdfunding yang menjalankan model bantuan umumnya memperlihatkan penghargaan (reward), hadiah (gift), atau cinderamata (token) untuk menstimulasi individu biar menyumbang pada suatu proyek. Dengan demikian, tidak jarang pengertiannya tumpang-tindih (overlapping) dengan crowdfunding basis hadiah (reward-based).
Dari segi nominal, program-program crowdfunding basis bantuan meminta kontribusi yang sangat kecil dari para donaturnya (kurang dari USD 10 pada portal crowdfunding internasional atau minimal Rp. 10.000,- pada portal crowdfunding Indonesia). Karena jumlahnya yang kecil, maka donatur biasanya tidak mengharapkan pengembalian atas donasinya tersebut. Meskipun tidak diwajibkan memperlihatkan imbalan, umumnya portal crowdfunding basis bantuan memperlihatkan ucapan terimakasih kepada para donatur secara langsung. Sebagai contoh ialah kartu ucapan terimakasih, plakat berisi nama-nama para penyumbang, lukisan karya pasien rumah sakit, dan sebagainya.
Crowdfunding basis bantuan ialah bentuk paling umum ditemui di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, terutama dikarenakan oleh peraturan pemerintah dan peraturan pasar modal yang tidak melegalkan kegiatan keuangan melalui internet. Deloitte (2013) memprediksi bahwa pasar ini sanggup mengumpulkan USD 500 Juta pada tahun 2013.
a. Basis Hadiah (Reward-based)
Jenis crowdfunding basis hadiah sering dioperasikan bersamaan dengan crowdfunding basis donasi. Pada jenis ini, jumlah kontribusi yang akan diberikan individu telah dipaketkan sesuai dengan hadiah yang akan diberikan. Hadiah sanggup berupa pencantuman nama pada kredit proyek, penamaan (acknowledgements) pada merchandise, kesempatan untuk bertemu dengan creator proyek, undangan untuk menghadiri acara khusus yang berkaitan dengan proyek, contohnya pesta peluncuran atau penayangan premier film, dan sebagainya.
Pemberian hadiah ini bervariasi dan umumnya semakin besar sumbangan yang diberikan, semakin banyak atau semakin berkualitas hadiah yang diberikan. Contoh dari crowdfunding basis hadiah adalah: www.rockethub.com, www.wujudkan.com (juga basis donasi). Deloitte Touche Tohmatsu memprediksi bahwa kategori ini sanggup mengumpulkan lebih dari 700 juta USD pada tahun 2013.
a. Basis Ekuitas (Equity-based)
Kegiatan crowdfunding basis ekuitas mirip kegiatan investasi ekuitas umum, dimana seorang individu memperoleh kepemilikan (ekuitas) pada sebuah entitas sebagai imbalan atas dana yang diberikannya. Meskipun mempunyai market-share yang paling kecil, baik dari segi dana terkumpul maupun penetrasi pasarnya, kategori inilah yang paling banyak mendapatkan perhatian media (Lee, et al., 2013). Canada Media Fund (2012) menyimpulkan terdapat dua sub-kategori standar dari crowdfunding basis ekuitas:
1. Model Investasi Surat Berharga (Securities Investment Model)
Sebagaimana saham perusahaan dibeli oleh investor, maka pada model ini kontributor membeli kepemilikan pada perusahaan induk atau hak pada suatu proyek.
2. Model Bagi Hasil (Profit or Revenue-sharing Model
Berbeda dengan model sebelumnya, pada model ini kontributor memperoleh “share” (perolehan bagi-hasil) dari pendapatan atau keuntungan proyek dan bukannya “share” (saham) pada perusahaan persangkutan. Model ini sering disebut sebagai “Skema Investasi Kolektif” (Collective Investment Scheme).
Dibawah model crowdfunding basis ekuitas, investasi yang dimiliki investor umumnya bersifat pasif daripada aktif. Artinya, investor membeli kepemilikan atau profit shares tetapi tidak mempunyai peranan aktif dalam pengambilan keputusan manajemen. Contoh masalah yang paling sesuai untuk menggambarkan mekanisme crowdfunding basis ekuitas ialah pendanaan perusahaan gres (start-up). Secara tradisional, perusahaan start-up tahap awal (early stage start-up companies) biasanya didanai oleh kartu kredit dan tabungan pemiliknya ditambah suntikan dana dari teman dan keluarga dekat. Biasanya, dana "tradisional" yang berhasil terkumpul ini berkisar antara 200.000-250.000 USD. Apabila dibutuhkan dana yang lebih besar, start-up akan mencari modal awal (seed capital) pemanis kepada investor individu (biasa diistilahkan sebagai angel investors) atau perusahaan pembiayaan yang telah berdiri (established venture capitalist). Umumnya dana pemanis ini ialah sebesar 500.000 USD ke atas.
Hingga penelititan ini dilakukan, crowdfunding basis ekuitas ialah illegal dilakukan di Indonesia dikarenakan perundang-undangan pasar modal (Bapepam-LK). Banyak negara juga belum memperlihatkan lampu hijau bagi kegiatan crowdfunding basis ekuitas, contohnya Kanada.
Ilegalnya crowdfunding basis ekuitas diakibatkan oleh beberapa gosip utama menyangkut keamanan dan keterandalan. Pertama, crowdfunding mempunyai faktor risiko yang tinggi, dimana penyelenggara crowdfunding tidak sanggup menjamin kepastian pengembalian modal (tergantung dari terkumpulnya dana yang ditargetkan atau tidak). Dengan demikian, mekanisme atas kepastian pengembalian investasi dianggap tidak andal. Kedua, portal crowdfunding tidak mengeluarkan laporan keuangan yang teraudit (audited financial statements).
Amerika Serikat menjadi penggerak ratifikasi crowdfunding basis ekuitas dengan disahkannya Jumpstart Our Business Start-Ups (JOBS Act) oleh pengadilan tinggi Amerika Seikat dan ditandatangani oleh Presiden Amerika Serikat Barrack Obama pada tanggal 5 April 2012. United States’ Securities and Exchange Commission (US SEC) selaku otoritas pengawasan pelaksanaan dari peraturan perdagangan imbas dan ekuitas Amerika Serikat diberi kesempatan untuk mengevaluasi undang-undang ini hingga bulan Desember 2012 dan per Januari 2013, undang-undang ini diberlakukan secara umum. Hingga ketika ini, SEC terus mengawasi perkembangan kebijakan ini di pasar.
JOBS Act mempunyai misi menyederhanakan birokrasi dan memperlihatkan iklim yang aman bagi para usahawan baru. Inti dari undang-undang ini menyatakan bahwa “emerging growth companies” (perusahaan yang gres didirikan dan bertumbuh) diperkenankan mengumpulkan dana secara online hingga satu juta dolar Amerika Serikat (USD 1.000.000) dari maksimal dua ribu (2.000) investor tanpa memenuhi peraturan keuangan tradisional (misalnya menerbitkan laporan keuangan teraudit, dan sebagainya).
sebuah laman web penyedia, pemediasi tukar-menukar, serta penjual gambar dan foto yang umumnya dibutuhkan para desainer grafis. Website ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan desainer grafis atas pasokan gambar atau foto yang sanggup menunjang karya mereka, dimana kualitas gambar atau foto yang sanggup diunduh melalui internet umumnya mempunyai resolusi rendah. Sebaliknya, undangan foto kepada fotografer professional membutuhkan biaya yang sangat mahal. iStockPhoto menjawab gap ini dengan menyediakan gambar atau foto dengan resolusi sangat tinggi yang sanggup diunduh dengan kisaran harga USD 1 - 5 per foto. Menariknya, koleksi foto dalam website tersebut berasal dari kurang lebih 22.000 kontributor yang mempunyai banyak sekali latar belakang profesi, bukan hanya fotogafer (baik profesional maupun amatir), melainkan juga mahasiswa, insinyur, dokter, penari, hingga ibu rumah tangga. Konsep iStockPhoto mewakili konsep umum dari crowdsourcing ini, yaitu dimana banyak sekali orang dari banyak sekali latar belakang keahlian, usia, bangsa, negara dan ras berkumpul dan membentuk suatu kelompok “maya” (cyber community) yang saling berinteraksi dan bertransaksi dengan mempublikasikan konten dalam suatu wadah situs web.
2.1.1.1 Manfaat dan Kelemahan Crowdfunding
Alan (2013) menyatakan bahwa crowdfunding sanggup memecahkan duduk masalah utama yang dimiliki perjuangan kecil, wirausaha start-up, inventor, dan pekerja kreatif untuk membiayai operasinya, yaitu dengan:
1. Menempatkan investor atau donatur yang potensial dan yang faktual dalam mekanisme yang cost-effective
Banyak orang mengalami kesulitan mencari dana untuk bisnis dan/atau proyek yang dijalaninya, terutama para wirausahawan muda yang belum mempunyai banyak hubungan dengan entitas bisnis atau kepada para angel investor. Dengan adanya crowdfunding, maka baik kreator/wirausahawan maupun investor/donatur secara gampang sanggup dipertemukan melalui portal crowdfunding. mengakibatkan penempatan investor atau donatur lebih efisien dari segi waktu dan biaya.
2. Crowdfunding menjadi “outlet for capital” gres bagi konsumen, investor, atau donatur online.
Secara spesifik, masyarakat modern banyak menghabiskan waktunya di Internet. Dengan demikian, crowdfunding sanggup menjadi outlet for capital baru, dimana para donatur, funder, atau investornya ialah masyarakat yang menghabiskan banyak waktunya pada jaringan internet. Dengan demikian, portal crowdfunding sekaligus menjadi “toko” dan biro pemasaran yang baik. Dimana dengan kapabilitas Web 2.0 yang menempel pada crowdfunding, dimungkinkan interaksi eksklusif antara kreator dengan donatur. Selain itu, pemasaran melalui jejaring sosial juga dimungkinkan.
3. Crowdfunding memungkinkan wirausahawan atau kreator proyek mengidentifikasi investor atau donatur.
Crowdfunding sanggup menjadi sarana “proposal terbuka” dan tidak jarang suatu proyek mendapatkan perhatian dari investor yang tertarik dengan proyek yang diajukan. Dengan demikian, kreator atau wirausahawan tidak harus selalu menjual wangsit mereka kepada pelaku venture capital.
4. Crowdfunding mempunyai potensi untuk menstimulasi ekonomi.
Crowdfunding menyediakan mekanisme pendanaan yang efisien kepada bisnis kecil (small businesses). Pasca krisis ekonomi, bisnis kecil ditengarai mempunyai kapasitas sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi (engine of economic growth). Di Amerika Serikat, misalnya, portal crowdfunding IndieGoGo.com diundang sebagai partisipan acara Startup America, yakni suatu inisiatif yang dilakukan White House untuk menghadirkan bisnis kecil sebagai penggerak dari pemulihan ekonomi (driver of economic recovery) Amerika Serikat pasca krisis tahun 2008.
Hadir sebagai fenomena baru, crowdfunding juga mempunyai beberapa kelemahan, antara lain:
1. Kurangnya transparansi dan menghadirkan manfaat yang intangible
Sebagai salah satu model bisnis berbasis internet (internet business model) yang secara dinamis berimprovisasi, crowdfunding berpotensi menjadi kurang transparan dan menghadirkan manfaat yang lebih intangible kepada donatur bahkan kepada regulator. Para pelaku crowdfunding ialah masyarakat yang sangat luas, seringkali kebenaran identitasnya tidak sanggup dijamin, baik dari segi kreator maupun donatur atau investor.
2. Potensi akan adanya kecurangan (concern for fraud)
Internet ialah media (common vehicle) yang sangat rentan akan terjadinya kecurangan. Meskipun sejauh ini praktik crowdfunding mempunyai tingkat kecurangan yang sangat kecil, beberapa masalah telah terjadi, dimana pencari dana membuat proposal proyek palsu dan kemudian “menjualnya” melalui crowdfunding. Setelah sasaran dana tercapai, si kreator tidak sanggup mempertanggungjawabkan dana yang telah terkumpul tersebut.
ah. Sebaliknya, undangan foto kepada fotografer professional membutuhkan biaya yang sangat mahal. iStockPhoto menjawab gap ini dengan menyediakan gambar atau foto dengan resolusi sangat tinggi yang sanggup diunduh dengan kisaran harga USD 1 - 5 per foto. Menariknya, koleksi foto dalam website tersebut berasal dari kurang lebih 22.000 kontributor yang mempunyai banyak sekali latar belakang profesi, bukan hanya fotogafer (baik profesional maupun amatir), melainkan juga mahasiswa, insinyur, dokter, penari, hingga ibu rumah tangga. Konsep iStockPhoto mewakili konsep umum dari crowdsourcing ini, yaitu dimana banyak sekali orang dari banyak sekali latar belakang keahlian, usia, bangsa, negara dan ras berkumpul dan membentuk suatu kelompok “maya” (cyber community) yang saling berinteraksi dan bertransaksi dengan mempublikasikan konten dalam suatu wadah situs web.
2.1.1.1 Mekanisme Crowdfunding Secara Umum
Aktor utama dalam mekanisme crowdfunding ialah individu pencari dana, portal crowdfunding sebagai penghubung (intermediary), dan masyarakat sebagai donatur. Proses crowdfunding dimulai dengan individu pencari dana melaksanakan pendaftaran pada portal crowdfunding secara online. Setelah melaksanakan registrasi, pencari dana mengajukan proposal kepada portal crowdfunding. Portal crowdfunding bersama dengan melaksanakan seleksi atas proposal yang dikirimkan. Apabila diterima, maka proyek akan ditampilkan pada halaman portal dan individu pencari dana tersebut dinamakan kreator. Selama periode proyek tersebut ditampilkan pada halaman portal crowdfunding (umumnya antara 30-90 hari), baik pihak portal crowdfunding dan kreator melaksanakan kampanye dan sosialisasi melalui media sosial. Masyarakat yang tertarik sanggup berpartisipasi dengan menjadi donatur. Dana kemudian dikirimkan dengan cara transfer bank ke rekening milik portal crowdfunding. Metode penyaluran dana pada crowdfunding di Indonesia gres mengenal dan memanfaatkan metode transfer bank. Apabila sasaran dana terkumpul, maka dana akan ditransfer oleh portal crowdfunding kepada kreator proyek dan sebaliknya, bila dana tidak mencapai target, maka akan dikembalikan kepada donatur atau donatur diberikan pilihan untuk mengalihkan dana kepada proyek lain yang juga sedang ditampilkan pada halaman portal crowdfunding.
2.1.1.1 Crowdfunding dan Fundraising
Dari definisi umum, crowdfunding tidaklah berbeda dengan penggalangan dana tradisional (atau dikenal sebagai fundraising). Bahasa Indonesia semenjak usang mempunyai istilah “patungan” atau “urunan” untuk menyebut proses pengumpulan dana bernominal kecil dari banyak individu. Baru pada working definition-lah terlihat perbedaan crowdfunding dengan fundraising.
Sesungguhnya yang gres dari crowdfunding bukanlah konsepnya, melainkan kemampuannya mengeksploitasi kapabilitas dari teknologi Web 2.0 dan jejaring sosial, terutama menyangkut fungsi “jaringan dan pemasaran mengular” (viral networking and marketing), yang mendayakan mobilisasi pengguna dalam jumlah besar dari komunitas web spesifik dalam waktu yang relative singkat. Prinsipnya, siapa saja yang terhubung melalui internet sanggup mengakses web crowdfunding dan mengumpulkan dana untuk suatu proyek yang mewakili common interest yang sama.
Pengumpulan dana patungan dan urunan umumnya dilakukan dalam skala kecil, yaitu di lingkungan yang terbatas dimana para pengumpul dana umumnya saling mengenal atau berada di bawah institusi yang sama (misalnya: satu kantor, satu kawasan ibadah, dan sebagainya). Dari segi proses, model pengumpulan dana patungan dan urunan biasanya juga dilakukan secara tradisional, contohnya dikumpulkan di kantung atau amplop dan dikelola oleh seorang penanggungjawab.
Hal tersebut berbeda dengan crowdfunding. Secara skala, crowdfunding sanggup meraih masa yang lebih luas. Sebagaimana karakteristik crowdsourcing secara umum, terdapat kemungkinan yang besar bahwa para donatur tidak saling mengenal dan berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Laporan Deloitte (2013) menyatakan bahwa pendukung crowdfunding biasanya mengkontribusikan sebesar persentase yang kecil (umumnya kurang dari 1%) dari total dana terkumpul namum proyek crowdfunding umumnya didukung oleh ribuan pendukung. Dalam urunan atau patungan tradisional, maka skalanya lebih kecil.
2.1.2 Crowdsourcing dan Crowdfunding
Dalam pembahasannya, baik crowdsourcing maupun crowdfunding umumnya sering dibahas bergantian bahkan terkadang terjadi overlapping. Kleemann et al. (2008), contohnya, berfokus pada fenomena crowdsourcing namun membahas sedikit mengenai crowdfunding. Baik pada crowdsourcing maupun crowdfunding, masyarakat berkontribusi secara kolektif kepada beberapa aspek dalam proses produksi dan/atau memperlihatkan solusi atas perancangan atau duduk masalah lainnya. Meskipun mempunyai banyak kesamaan, terdapat perbedaan signifikan antara crowdsourcing dan crowdfunding.
Menurut Howe (2006), pada crowdsourcing, suatu kiprah dialihdayakan dalam bentuk undangan terbuka (open call) kepada kelompok masyarakat yang besar tanpa persyaratan tertentu (large but undefined group of people). Leimester et al. (2009) menyatakan bahwa faktor-faktor yang memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi pada crowdsourcing ialah pembelajaran, kompensasi langsung, promosi diri, dan keuntungan sosial. Model crowdfunding, sebaliknya, tidak membutuhkan partisipasi dalam bentuk kontribusi pengetahuan namun lebih kepada kiprah promosional dan kiprah investasi sebagai pinjaman terhadap inisiatif crowdfunding. Partisipasi yang lebih ekstensif ini cenderung dimotivasi oleh faktor-faktor lainnya yang akan dicoba untuk dianalisis pada penelitian ini.
2.1.2.1 Crowdfunding bagi Sistem Informasi dan Akuntansi
Pertumbuhan crowdfunding "matters" (penting) setidaknya lantaran dua alasan: Pertama, proyek-proyek crowdfunding memperlihatkan mekanisme pendanaan bagi inovator-inovator baru. Kedua, portal crowdfunding sendiri merupakan "jenis baru" dari mekanisme portal internet. Dengan demikian, secara tidak langsung, crowdfunding menandai babak gres dalam bidang teknologi dan keuangan, dua bidang yang mempunyai efek besar pada periode ini.
2.2 World Wide Web (WWW
World Wide Web, yang bisa disingkat sebagai Web saja, ialah sebuah sistem yang berisi dokumen-dokumen hypertext yang saling terinterkoneksi (interlinked hypertext documents) yang sanggup diakses melalui internet.WWW berbentuk suatu ruang informasi yang digunakan oleh pengenal global yang disebut Uniform Resource Identifier atau URI. WWW sering dianggap sama dengan Internet secara keseluruhan, walaupun bergotong-royong ia hanyalah kepingan daripada Internet (Darma, 2009). Melalui web, para pengguna sanggup mengakses informasi-informasi yang tidak hanya berupa teks tetapi bisa juga berupa gambar, suara, video dan animasi yang ternavigasi melalui hyperlink.
WWW ditemukan oleh insinyur berkebangsaan Inggris, Sir Tim Berners-Lee. Pada bulan Maret 1989, Sir Tim Berners-Lee mengajukan proposal sistem hypertext yang pernah ia kembangkan sebelumnya kepada CERN, sebuah organisasi riset Eropa yang bermarkas di Geneva. Pada tahun 1990, Berners-Lee bersama rekannya, seorang ilmuwan komputer asal Belgia, Robert Cailliau, memprakarsai hadirnya hypertext yang sanggup "menyambungkan dan memberi jalan masuk atas informasi selayaknya jaring node dimana pengguna sanggup mencarinya sekehendak hati”.
Pada 30 April 1993, CERN mengumumkan bahwa World Wide Web sanggup digunakan secara gratis oleh siapapun. Sejarah inilah yang memprakarsai penggunaan WWW sebagaimana berakal balig cukup akal ini.
2.2.1 Web Page
Web Page ialah sebuah dokumen, umunya ditulis dalam bentuk teks polos (plain text) yang diselingi dengan kode formatting Hypertext Markup Language (HTML, XHTML). Web Pages diakses dan ditransportasikan melalui Hypertext Transfer Protocol (HTTP), yang biasanya diperlengkapi dengan enkripsi (HTTP Secure, HTTPS) untuk menjamin kerahasiaan bagi pengguna webpage.
2.2.2 Web Site
Web Site, atau sering disingkat site, ialah sekumpulan dari web page yang saling berkaitan. Sebuah website minimal di-host oleh satu server web yang sanggup diakses melalui jaringan internet atau private local area network. Semua web site yang sanggup diakses oleh publik mendasari World Wide Web.
2.2.3 Web 2.0
Web 2.0 meliputi aplikasi dan teknologi yang memungkinkan pengguna untuk membuat (create), mengubah (edit), dan mendistribusikan isi (distribute content). Dengan kemampuannya tersebut, Web 2.0 dikenal dengan sebutan media umum (Laudon dan Traver, 2012). Web 2.0 termasuk komunitas berbasis web (web-based communities), situs jejaring sosial (social networking sites), situs menyebarkan video (video-sharing sites), blog, wiki, dan banyak bentuk lainnya. Web 2.0 menjadi kepingan yang tidak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat periode ke-21 ini (Salman, et al., 2013). Tidak mirip tahun-tahun sebelumnya, media umum ketika ini dianggap sebagai kepingan penting dalam keberlangsungan perusahaan. Van der Meulen (2012) menyatakan bahwa perkembangan Web 2.0 merupakan satu dari 10 prioritas utama bagi para Chief Information Officer (CIO).
2.3 Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Coporate Governance)
2.3.1 Sejarah GCG
Konsep Tata Kelola Perusahaan yang Baik atau Good Corporate Governance (GCG) muncul atas reaksi para pemegang saham di Amerika Serikat pada tahun 1980-an yang terancam kepentingannya (Budiati, 2012). Pada ketika itu, Amerika Serikat mengalami gejolak ekonomi dimana banyak perusahaan melaksanakan restrukturisasi dengan merebut kendali atas perusahaan lain melalui merger dan akuisisi. Tindakan ini mengakibatkan protes keras dari masyarakat atau publik lantaran banyak merger dan akuisi tersebut yang merugikan para pemegang saham akhir kesalahan administrasi dalam pengambilan keputusan. Publik menilai bahwa administrasi mengabaikan kepentingan-kepentingan para pemegang saham sebagai pemilik modal perusahaan dalam mengelola perusahaan.
Di Indonesia, konsep GCG mulai dikenal semenjak krisis ekonomi tahun 1998. Budiati (2012) menyatakan bahwa selain faktor politik, krisis yang berkepanjangan tersebut dinilai lantaran tidak dikelolanya perusahaan-perusahaan secara bertanggungjawab, mengabaikan regulasi, serta sarat dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada tahun 1998, pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepakatan (Letter of Intent) dengan International Monetary Fund (IMF) untuk mendorong terciptanya iklim yang lebih aman bagi penerapan GCG melalui Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Nomor: KEP-31/M.EKUIN/06/2000. Berdasarkan keputusan tersebut, Pemerintah Indonesia mendirikan forum khusus, yaitu Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang mempunyai kiprah pokok dalam merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan nasional mengenai GCG, serta memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang corporate governance di Indonesia.
Pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia memperluas kiprah KNKCG melalui surat keputusan Menteri Koordinator Perekonomian RI No. KEP-49/M.EKON/II/TAHUN 2004 ihwal pembentukan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang memperluas cakupan kiprah sosialisasi Governance bukan hanya di sektor korporasi tetapi juga di sektor publik. KMKG pada tahun 2006 menyempurnakan pedoman GCG yang sebelumnya diterbitkan pada tahun 2001 oleh KMKCG. Pedoman yang gres ini memberi pengutamaan kepada pengungkapan dan transparansi serta memperjelas kiprah tiga pilar pendukung (negara, dunia usaha, dan masyarakat).
Sejauh ini, penegakan aturan untuk penerapan CGG belum memutuskan hukuman bagi perusahaan yang belum menerapkan maupun yang sudah menerapkan tetapi tidak sesuai standar pelaksanaan GCG. Meskipun demikian, penerapan GCG memberi nilai tambah bagi perusahaan. Perusahaan yang melaksanakan peningkatan pada kualitas GCG pertanda peningkatan penilaian pasar, sedangkan perusahaan yang mengalami penurunan kualitas GCG, cenderung pertanda penurunan pada penilaian pasar (Cheung, 2011).
2.3.2 Definisi
Menurut Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG), Konsep Corporate Governance sanggup didefinisikan sebagai serangkaian mekanisme yang mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan biar operasional perusahaan berjalan sesuai dengan impian para pemangku kepentingan atau stakeholders (IICG, 2009). Good Corporate Governance sanggup didefinisikan sebagai struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh pihak-pihak internal maupun eksternal yang berkaitan dengan perusahaan sebagai upaya untuk memperlihatkan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.
Good memperlihatkan tingkat pencapaian terhadap suatu hasil upaya yang memenuhi persyaratan, memperlihatkan kepatutan dan keteraturan operasional perusahaan sesuai dengan konsep corporate governance. Struktur ialah susunan atau rangka dasar administrasi perusahaan yang didasarkan pada pendistribusian hak-hak dan tanggung jawab di antara pihak-pihak dalam perusahaan (dewan komisaris, direksi, dan pemegang saham) serta stakeholder lainnya, dan aturan-aturan maupun prosedur-prosedur untuk pengambilan keputusan dalam hubungan perusahaan. Sistem ialah mekanisme formal dan informal yang mendukung struktur dan taktik operasional dalam suatu perusahaan. Proses ialah kegiatan mengarahkan dan mengelola bisnis yang direncanakan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan, menyelaraskan sikap perusahaan dengan ekspektasi dari masyarakat, serta mempertahankan akuntabilitas perusahaan kepada pemegang saham. Dari definisi tersebut sanggup disimpulkan bahwa GCG merupakan:
- Suatu struktur yang mengatur pola hubungan serasi ihwal kiprah dewan komisaris, direksi, pemegang saham, dan para stakeholder lainnya.
- Suatu sistem pengawasan dan keseimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang sanggup membatasi munculnya dua peluang, yaitu pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
- Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut dengan pengukuran kinerjanya.
Dengan demikian, maka tata kelola perusahaan yang baik merujuk pada seperangkat mekanisme dan proses yang membantu memastikan bahwa perusahaan diarahkan dan dikelola untuk membuat nilai bagi pemiliknya sementara secara bersamaan memenuhi tanggung jawab kepada para pemangku kepentingan lain, contohnya karyawan, pemasok, serta masyarakat pada umumnya (Merchant, 2007).
2.3.3 Teori GCG
Dua teori utama yang terkait dengan corporate governance berdasarkan Shaw (2003) ialah stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat insan yakni bahwa insan pada hakekatnya sanggup dipercaya, bisa bertindak dengan penuh tanggung jawab, mempunyai integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Dengan kata lain, stewardship theory memandang administrasi sebagai sanggup mendapatkan amanah untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder. Teori ini sering disandingkan dengan literatur mengenai stakeholders theory, dimana suatu perusahaan tidak hanya memandang bahwa stakeholders ialah investor dan kreditor saja, melainkan antara lain pemerintah, pelanggan, pemasok, karyawan (tenaga kerja), masyarakat, dan lingkungan. Teori ini menitikberatkan kiprah penting stakeholders pada suatu entitas bisnis. Dengan demikian, suatu entitas harus bisa memperlihatkan kepuasan terhadap stakeholders, dimana perusahaan dituntut untuk sanggup memenuhi semua tuntutan stakeholders biar sanggup mendukung pencapai tujuan perusahaan. Dalam tesisnya, Sarwako (2003) menyimpulkan salah satu cara yang sanggup digunakan untuk mengelola tuntutan stakeholders ialah dengan menerapkan GCG secara efektif.
Sementara itu, agency theory dikembangkan pertama kali pada tahun 1976 oleh Jensen dan Meckling. Teori ini memandang administrasi perusahaan sebagai biro bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham. Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory menerima respon lebih luas dibandingkan teori stewardship lantaran dipandang mencerminkan kenyataan yang terjadi di korporasi (terutama korporasi berakuntabilitas publik).
2.3.4 Pilar Utama GCG
Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar utama yang saling melengkapi, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia perjuangan sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk (Zarkasyi, 2008).
Peran dasar yang dilaksanakan masing – masing pilar adalah:
1. Negara dan Perangkatnya
Negara dan perangkatnya membuat peraturan perundang – undangan yang menunjang iklim perjuangan yang sehat, efisien, dan transparan, serta menjalankan penegakkan aturan secara konsisten (consistent law enforcement). Peranan negara sanggup dijelaskan lebih lanjut antara lain:
- Melakukan koordinasi secara efektif antar penyelenggara negara dalam penyusunan peraturan perundang-undangan berdasarkan sistem aturan nasional dengan memprioritaskan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dunia perjuangan dan masyarakat. Untuk itu regulator harus memahami perkembangan bisnis yang terjadi untuk sanggup melaksanakan penyempurnaan atas peraturan perundang-undangan secara berkelanjutan.
- Mengikutsertakan dunia perjuangan dan masyarakat secara bertanggungjawab dalam penyusunan peraturan perundang-undangan (rule-making rules)
- Menciptakan sistem politik yang sehat dengan penyelenggara negara yang mempunyai inttegritas dan profesionalitas yang tinggi
- Melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan aturan secara konsisten.
- Mencegah terjadinya korupsi, kongkalikong dan nepotisme (KKN).
- Mengatur kewenangan dan koordinasi antar-instansi yang terang untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dengan integrasi yang tinggi dan mata rantai yang singkat serta akurat dalam rangka mendukung terciptanya iklim perjuangan yang sehat, efisien dan transparan.
- Memberlakukan peraturan perundang-undangan untuk melindungi saksi dan pelapor (whistleblower) yang memperlihatkan informasi mengenai suatu masalah yang terjadi pada perusahaan. Pemberi informasi sanggup berasal dari manajemen, karyawan perusahaan atau pihak lain
- Mengeluarkan peraturan untuk menunjang pelaksanaan GCG dalam bentuk ketentuan yang sanggup membuat iklim perjuangan yang sehat, efisien dan transparan.
- Melaksanakan hak dan kewajiban yang sama dengan pemegang saham lainnya dalam hal negara juga sebagai pemegang saham perusahaan.
2. Dunia Usaha
Dunia perjuangan sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha. Peranan dunia perjuangan dalam pelaksanaan GCG antara lain:
- Menerapkan adat bisnis secara konsisten sehingga sanggup terwujud iklim perjuangan yang sehat, efisien dan transparan.
- Bersikap dan berperilaku yang memperlihatkan kepatuhan dunia perjuangan dalam melaksanakan peraturan perundang – undangan
- Mencegah terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
- Meningkatkan kualitas struktur pengelolaan dan pola kerja perusahaan yang didasarkan pada asas GCG secara berkesinambungan.
- Melaksanakan fungsi ombudsman untuk sanggup menampung informasi ihwal penyimpangan yang terjadi pada perusahaan. Fungsi ombudsman sanggup dilaksanakan bersama pada suatu kelompok perjuangan atau sektor ekonomi tertentu.
3. Masyarakat (Publik)
Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia perjuangan serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, memperlihatkan kepedulian dan melaksanakan kontrol sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung jawab. Peranan masyarakat dalam pelaksanaan GCG, antara lain:
- Melakukan kontrol sosial dengan memperlihatkan perhatian dan kepedulian terhadap pelayanan masyarakat yang dilakukan penyelenggara negara serta terhadap kegiatan dan produk atau jasa yang dihasilkan oleh dunia usaha, melalui penyampaian pendapat secara obyektif dan bertanggung jawab.
- Melakukan komunikasi dengan penyelenggara negara dan dunia perjuangan dalam mengekspresikan pendapat dan keberatan masyarakat.
- Mematuhi peraturan perundang – undangan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
2.3.5 Prinsip-Prinsip GCG
Sistem yang mengatur keseimbangan dalam pengelolaan perusahaan perlu dituangkan dalam bentuk prinsip-prinsip yang harus dipatuhi untuk menuju tata kelola perusahaan yang baik. Dengan demikian, suatu entitas sanggup memperlihatkan kepastian atas penerapan prinsip atau asas GCG di setiap aspek bisnisnya. Berdasarkan Keputusan Menteri nomor: KEP-117/MMBU/2002 serta berdasarkan Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), prinsip-prinsip GCG terdiri dari transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. Prinisp-prinsip ini diharapkan untuk mencapai kesinambungan perjuangan (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders). Prinsip-prinsip tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Transparansi (Transparency)
Transparansi bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Prinsip dasar: untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang gampang diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Pedoman pokok pelaksanaannya:
- Perusahaan harus sanggup menyediakan informasi secara sempurna waktu, memadai, jelas, akurat serta gampang diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.
- Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, diam-diam jabatan, dan hak-hak pribadi.
- Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan sehingga diketahui resiko yang mungkin terjadi dan keuntungan yang sanggup diperoleh dalam melaksanakan transaksi dengan perusahaan sekaligus ikut serta dalam mekanisme pengawasan dalam perusahaan.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas ialah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terealisasi secara efektif. Prinsip dasar: Perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan para pemangku kepentingan. Dengan demikian, penyajian informasi secara transparan, akurat dan reliabel perlu terlebih dahulu dijamin mengingat akuntabilitas tidak sanggup ditegakkan tanpa adanya transparansi, akurasi dan reliabilitas informasi. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diharapkan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
Menurut Sadjiarto (2003), akuntabilitas sanggup dipandang dari banyak sekali perspektif antara lain:
a. Perspektif Akuntansi,
American Accounting Association menyatakan bahwa akuntabilitas terbagi menjadi empat kelompok, yaitu: (1) akuntabilitas terhadap sumber daya finansial, (2) kepatuhan terhadap aturan aturan dan kebijakan administratif, (3) efisiensi dan ekonomisnya suatu kegiatan, dan (4) hasil acara dan kegiatan pemerintah yang tercermin dalam pencapaian tujuan, manfaat dan efektivitas.
b. Perspektif Fungsional
Menurut perspektif fungsional, akuntabilitas dilihat sebagai suatu tingkatan dengan lima tahap yang berbeda, diawali dengan tahap yang lebih banyak membutuhkan ukuran-ukuran obyektif ke tahap yang membutuhkan lebih banyak ukuran-ukuran subyektif. Tahapan-tahapan tersebut antara lain: (1) akuntabilitas probitas dan legalitas, (2) akuntabilitas proses, (3) akuntabilitas performa, (4) akuntabilitas program, dan (5) akuntabilitas kebijakan.
c. Sistem Akuntabilitas
Berdasarkan perspektif sistem akuntabilitas, karakteristik pokok sistem akuntabilitas adalah: (1) berfokus pada hasil (outcomes), (2) memakai beberapa indikator yang telah dipilih untuk mengukur kinerja, (3) menghasilkan informasi yang mempunyai kegunaan bagi pengambilan keputusan atas suatu acara atau kebijakan, (4) menghasilkan data secara konsisten dari waktu ke waktu, serta (5) melaporkan hasil (outcomes) dan mempublikasikannya secara teratur.
Pedoman pokok pelaksanaannya:
- Praktek audit internal yang efektif untuk memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan.
- Kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab dalam anggaran dasar perusahaan dan sasaran pencapaian perusahaan di masa depan.
- Meyakini bahwa semua komponen perusahaan dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan kiprah keduanya dalam pelaksanaan GCG.
- Memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan nilai-nilai perusahaan, sasaran utama dan taktik perusahaan, serta mempunyai sistem penghargaan dan sanksi.
- Dalam melaksanakan kiprah dan tanggung jawabnya, setiap komponen perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada adat bisnis dan pedoman sikap (code of conduct) yang telah disepakati.
3. Responsibilitas (Responsibility)
Responsibilitas atau pertanggungjawaban ialah kesesuaian dan kepatuhan di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku termasuk yang berkaitan dengan duduk masalah pajak, hubungan industrial, proteksi lingkungan hidup, kesehatan atau keselamatan kerja, standar penggajian, dan persaingan yang sehat. Prinsip dasar: perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga sanggup terpelihara kesinambungan perjuangan dalam jangka panjang dan menerima pengakuan sebagai good corporate citizen. Pedoman pokok pelaksanaannya:
- Pihak-pihak perusahaan yang berkepentingan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws).
- Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
4. Independensi (Independency)
Independensi atau kemandirian ialah suatu keadaan ketika perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan efek atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Prinsip dasar: untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak sanggup diintervensi oleh pihak lain. Pedoman pokok pelaksanaannya:
- Masing-masing pihak perusahaan yang bersangkutan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala efek atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan sanggup dilakukan secara obyektif.
- Masing-masing karyawan perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Kesetaraan dan kewajaran sanggup didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Fairness juga meliputi adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem aturan dan penegakkan peraturan yang melindungi hak-hak investor khususnya pemegang saham minoritas dari banyak sekali bentuk kecurangan. Fairness diharapkan membuat seluruh asset perusahaan dikelola secara baik dan hati-hati, sehingga muncul proteksi kepentingan pemegang saham secara jujur dan adil. Juga diharapkan sanggup memperlihatkan proteksi kepada perusahaan terhadap praktek korporasi yang merugikan serta keadilan juga harus dirasakan oleh para karyawan dan masyarakat lingkungannya. Fairness memerlukan syarat biar bisa diberlakukan secara efektif, yaitu adanya peraturan perundangundangan yang jelas, tegas dan konsisten dan sanggup ditegakkan secara efektif. Pedoman pokok pelaksanaannya:
- Perusahaan harus memperlihatkan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memperlihatkan masukan dan memberikan pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka jalan masuk terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.
- Perusahaan harus memperlihatkan perlakuan yang setara dan masuk akal kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan.
- Perusahaan harus memperlihatkan kesempatan yang sama dalam penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.
2.3.6 GCG bagi Perusahaan Kecil dan Menengah
Melihat sejarahnya, GCG merupakan suatu konsep manajerial yang diarahkan untuk segmen korporasi (corporate) atau organisasi yang telah mempunyai struktur dan sistem internal yang baik. Hal ini juga terlihat dengan lebih berkembangnya agency theory dibandingkan dengan stewardship theory pada implementasi GCG di perusahaan. Dengan demikian, beberapa literatur mempertanyakan relevansi penerapan konsep GCG pada sektor perjuangan kecil menengah.
Secara konseptual, prinsip GCG mergandung nilai luhur (value) yang berlaku bagi pelaku bisnis manapun, tentunya bagi mereka yang masih berpegang pada adat bisnis. Prinsip transparansi mendorong entitas bisnis biar secara transparan tanpa berupaya menutup-nutupi banyak sekali hal yang memang semestinya menjadi hak publik. Prinsip akuntabilitas memberi pedoman ihwal bagaimana perjuangan dijalankan secara terarah, terukur, dan bersiklus secara baik. Prinsip responsibilitas memperlihatkan rambu-rambu atas pertanggungjawaban yang harus diemban perusahaan. Sedangkan prinsip fairness memperlihatkan pedoman bagaimana perjuangan bisa memperlihatkan nilai tambah positif yang sanggup dinikmati oleh semua pihak secara fair dan proporsional.
Kita tentunya sepakat bahwa ketiga nilai yang terkandung dalam konsep GCG tersebut merupakan nilai universal yang semestinya menjadi teladan dan pegangan bagi semua entitas bisnis, baik perjuangan besar maupun kecil dengan satu tujuan meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak (stakeholders).
Iyuk Wahyudi (2008) mengemukakan beberapa kondisi riil dari entitas perjuangan kecil dan menengah:
- Model pengelolaan administrasi UKM yang lebih banyak didominasi masih one man show atau single fighter.
- Belum dikenal pemilahan antara aset dan kepentingan pribadi dengan bisnis.
- Sebagian besar struktur modal UKM masih di dominasi modal pendiri.
- Transparansi dan pengelolaan keuangan secara profesional belum menjadi suatu kebutuhan.
- Pola pikir jangka pendek, gampang puas, dan tanpa perencanaan perjuangan yang matang dan terarah.
Kelima kondisi di atas menghambat efektifitas penerapan konsep GCG di sektor perjuangan kecil-menegah mengingat kondisi tersebut berlawanan dengan lingkungan yang disyaratkan untuk terlaksananya prinsip GCG secara baik. Contoh yang paling utama adalah, untuk mewujudkan nilai transparansi, akuntabilitas, dan fairness, konsep GCG menghendaki adanya pembagian fungsi dan kewenangan antara komisaris dan manajemen. Bila tidak, maka efektifitas kerja akan terganggu dan memungkinkan terjadinya conflic of interest diantara kedua fungsi yang memang berbeda itu. Meskipun demikian, pada sektor UKM, kedua fungsi dan kiprah tersebut sering kali dilakukan oleh satu individu. Seseorang bisa menjabat sebagai eksekutif sekaligus pemilik perusahaan, bahkan tak jarang fungsi-fungsi yang lain pun dirangkapnya. Contoh lain yang signifikan, hampir sebagian besar sektor kecil dan menengah belum memberi perhatian khusus untuk menerapkan sistem keuangan yang standar dalam perusahaan.
Iyuk Wahyudi (2008) mengemukakan beberapa peluang untuk “melegitimasi” dimungkinkannya prinsip GCG bagi sektor kecil dan menengah, diantaranya:
- Sektor perjuangan kecil dan menengah sangat concern dan responsif terhadap banyak sekali gosip sosial yang secara eksklusif maupun tidak eksklusif disebabkan oleh keberadaan usahanya. Bagi pengusaha UKM, yang ditakutkan bukan hukuman aturan formal, melainkan hukuman sosial yang terkadang justru dirasakan lebih “kejam”.
- Motif sektor kecil dan menengah lebih bersifat social-entrepreneurship, sehingga umumnya tidak melaksanakan praktik perjuangan yang melanggar hukum. Dengan skala usahanya yang kecil, maka prinsip GCG mirip fairness, keterbukaan informasi, jujur, dan integritas umumnya dilakukan dengan sangat baik. Sebenarnya selama ini sektor kecil dan menengah telah menerapkan sebagian dari prinsip-prinsip GCG.
2.4 Structural Equity Modeling (SEM)
Berbeda dengan penelitian dalam bidang eksak, salah satu duduk masalah utama dalam penelitian sosial, prikologi, dan ekonomi ialah bagaimana mengukur suatu objek untuk memperoleh data yang akurat dan informatif sehingga sanggup mengambil keputusan yang benar dan sanggup dipercaya. Structural Equation Modeling (SEM) ialah salah satu analisis statistik terkenal yang banyak digunakan dalam lingkup penelitian sosial, psikologi, ekonomi, dan bidang lainnya tersebut. SEM sanggup digunakan untuk mengukur besarnya hubungan (pengaruh) di antara serangkaian (kompleks) variabel, baik efek eksklusif maupun tidak eksklusif yang dilakukan secara simultan. Pada sub-bab ini, beberapa istilah umum yang berkaitan dengan SEM akan diuraikan.
2.4.1 Jenis Penelitian
Sugiyono (2009) menyatakan bahwa jenis penelitian sanggup dikelompokkan berdasarkan bidang, tujuan, metode, tingkat klarifikasi (level of explanation) dan waktu. Secara spesifik dari segi waktu, suatu penelitian sanggup dibagi menjadi:
1. Penelitian cross-sectional
Penelitian cross-sectional (cross-sectional research) ialah penelitian yang melibatkan observasi terhadap populasi atau sampel yang dilakukan dalam satu waktu tertentu. Penelitian ini hanya digunakan dalam waktu yang tertentu dan tidak akan dilakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan.
2. Penelitian longitudinal
Penelitian longitudinal (longitudinal research) ialah jenis penelitian yang mengamati perubahan subjek penelitian dalam periode waktu yang lama. Umumnya, penelitian jenis ini digunakan untuk penelitian jangka panjang. Karakteristik dan cakupan utama dari penelitian longtudinal meliputi:
- Data dikumpulkan untuk setiap variabel pada dua atau lebih periode waktu tertentu.
- Subjek atau masalah yang dianalisis sama, atau setidaknya sanggup diperbandingkan antara satu periode dengan periode berikutnya.
- Analisis melibatkan perbandingan data yang sama dalam satu periode dengan antar metode yang berbeda.
2.4.2 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan duduk masalah penelitian (Sugiyono, 2009). Oleh lantaran itu rumusan duduk masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara lantaran jawaban yang diberikan gres didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi, hipotesis juga sanggup dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan duduk masalah penelitian, belum jawaban yang empirik (Sugiyono, 2009).
2.4.3 Skala Data
Dalam ilmu statistik dikenal empat skala dilihat dari jenis data yang digunakan dalam penelitian sebagaimana dituliskan oleh Kurniawan dan Yamin (2009), yaitu:
1. Skala Nominal
Skala ini sering juga disebut sebagai skala kategori atau skala atribut. Dalam skala nominal, data hanya sanggup dibedakan berdasarkan sifat fisiknya. Sebagai contoh: data jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dan data warna (merah, kuning, hijau, dan sebagainya). Apabila skala nominal dikonversikan menjadi angka, contohnya 1 untuk pria dan 0 untuk perempuan, maka tidak menjadikan bahwa 1 lebih besar daripada 0. Pemberian angka yang diberikan hanya bersifat sebagai label saja.
2. Skala Ordinal
Skala ini sering disebut juga sebagai skala peringkat atau skala tingkatan. Contoh dari skala ordinal ialah data tingkat pendidikan atau tingkat preferensi/persetujuan. Dalam tingkat pendidikan, terdapat SD, SMP, SMA, dan Sarjana, sedangkan dalam tingkat preferensi/persetujuan terdapat Sangat Tidak Setuju, Tidak Setuju, Netral, Setuju, dan Sangat Setuju. Angka yang diberikan untuk skala ordinal memperlihatkan nilai peringkat dari objek. Misalnya, 1 untuk Sangat Tidak Setuju, 2 untuk Tidak Setuju, 3 untuk Netral, 4 untuk Setuju, dan 5 untuk Sangat Setuju.
3. Skala Interval
Skala interval ialah suatu pemberian angka kepada set dari objek yang mempunyai sifat-sifat ukuran ordinal dan ditambah sifat lainnya, yaitu jarak yang sama. Pengukuran skala interval memperlihatkan jarak yang sama dari ciri atau objek yang diukur. Sebagai contoh ialah data frekuensi, yaitu 1x, 2x, 3x, 4x, dan seterusnya.
4. Skala Rasio
Skala rasio ialah ukuran yang meliputi semua ukuran di atas ditambah satu sifat lagi, yaitu skala yang diukur memperlihatkan keterangan ihwal nilai sewenang-wenang dari objek yang diukur. Ukuran rasio mempunyai titik nol, sehingga ukuran rasio ini sanggup dilakukan perkalian ataupun pembagiann. Angka pada skala rasio memperlihatkan nilai bergotong-royong dari objek yang diukur. Contoh dari ukuran ratio: ukuran timbangan berat badan, ukuran tinggi badan, dan lain-lain.
2.4.4 Analisis Faktor
Analisis Faktor (Factor Analysis) ialah salah satu keluarga statistik multivariat yang bertujuan untuk meringkas atau mereduksi variabel amatan secara keseluruhan menjadi beberapa variabel atau dimensi baru, namun variabel atau dimensi gres yang terbentuk tetap bisa merepresentasikan variabel utama (Kurniawan dan Yamin, 2009). Analisis Faktor memungkinkan untuk menyidik interrelasi diantara variabel-variabel yang banyak jumlahnya dan menjelaskannya berdasarkan dimensi. Analisis Faktor digunakan ketika seorang peneliti berusaha untuk memahami struktur interrelasi diantara variabel dalam sebuah kumpulan data. Terdapat dua pendekatan utama dalam Analisis Faktor, yaitu:
1. Explanatory Factor Analysis
Menggunakan teknik multivariat untuk menguji sebuah hubungan yang belum diketahui. Explanatory factor analysis digunakan jika jumlah faktor yang akan terbentuk tidak ditentukan terlebih dahulu melainkan berkembang selama periode penelitian (Kurniawan dan Yamin, 2009).
2. Confirmatory Factor Analysis
Yaitu analisis faktor yang melibatkan pengujian secara empirik bagi signifikansi dan ketidaksignifikansian satu atau banyak variabel yang telah ditentukan sebagai penganalisis suatu hipotesis. Confirmatory factor analysis digunakan bila faktor yang terbentuk telah ditetapkan terlebih dahulu. Pada aplikasinya, SEM memakai confirmatory factor analysis.
2.4.4.1 Dimensi
Dalam praktiknya, para peneliti sosial, psikologi, dan ekonomi mengembangkan suatu dimensi-dimensi yang digunakan untuk mengukur suatu objek amatan. Dimensi didefinisikan sebagai alat ukur yang memenuhi kriteria valid, reliabel, praktis, dan ekonomis. Dimensi sebaiknya merupakan suatu alat ukur yang baik dan bisa memperlihatkan informasi yang benar, baik secara logis maupun teoritis.
2.4.4.2 Konstrak
Menurut Kurniawan dan Yamin (2009), konstrak ialah konsep yang sanggup didefinisikan secara konseptual namun tidak sanggup diukur secara eksklusif oleh peneliti sehingga harus diukur dengan asumsi dalam bentuk indikator. Konstrak ialah dasar pembentukan hubungan kausal (sebab-akibat). Dalam praktik penelitian berbasis kuesioner, sebuah konstrak didefinisikan sebagai suatu hipotesis permasalahan yang akan diteliti. Sebagai contoh, peneliti meneliti hubungan kualitas proyek terhadap motivasi donatur crowdfunding untuk menyumbang. Mengingat hubungan ini tidak sanggup diukur secara langsung, maka didefinisikan sebagai suatu konstrak atau konstrak laten. Kurniawan dan Yamin (2009) mendefinisikan variabel konstrak laten sebagai operasionalisasi suatu konstrak dalam model persamaan struktural dimana sebuah konstrak laten tidak sanggup diukur secara eksklusif tetapi sanggup direpresentasikan atau ditentukan oleh satu atau lebih indikator.
2.4.4.3 Variabel Manifest (Indikator)
Kurniawan dan Yamin (2009) mengutip definisi Hair et al. (1995) mengenai variabel manifest yaitu sebagai suatu nilai observasi untuk kepingan spesifik yang dipertanyakan, baik dari responden yang menjawab pertanyaan (misalnya melalui kuesioner) maupun observasi yang dilakukan oleh peneliti. Dalam teori statistik, variabel manifest lebih umum disebut sebagai indikator. Meskipun demikian, buku-buku mengenai SEM lebih umum menyebutnya sebagai variabel manifest. Berhubungan dengan sub-bab sebelumnya yang membahas mengenai konstrak, diketahui bahwa suatu konstrak laten tidak sanggup diukur secara eksklusif sehingga membutuhkan indikator-indikator untuk mengukurnya. Dalam format kuesioner, variabel manifest merupakan item-item pertanyaan dari setiap variabel yang dihipotesiskan.
2.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang dijadikan teladan untuk penelitian ini ialah penelitian yang dilakukan oleh Berglin dan Strandberg (2013) serta Ordanini, Miceli, Pizzetti, dan Pasuraman (2011). Atas penelitian kualitatif yang dilakukan Ordanini, Miceli, Pizzetti, dan Pasuraman (2011), dilakukan penelitian kuantitaitf oleh Berglin dan Strandberg (2013). Penelitian ini kemudian menguji kembali secara kuantitatif variabel penelitian Berglin dan Strandberg (2013) tersebut, sebagai berikut: