Pengertian, Aksara Dan Istilah Pendidikan Pkn

Pendidikan Kewarganegaraan dan Pembangunan Karakter
1 Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan Dalam Kajian mengenai Pendidikan Kewarganegaraan, terdapat tiga istilah teknis yang banyak digunakan, yakni civics, civic education, dan citizenship education. Istilah civics merupakan istilah yang paling bau tanah semenjak digunakan pertama kalinya oleh Chreshore pada tahun 1886 dalam Somantri (1989:62) untuk memperlihatkan the science of citizenship yang isinya antara lain mempelajari kekerabatan antar warga negara dan kekerabatan antara warga negara dengan negara. Saat ini istilah itu masih digunakan sebagai nama mata pelajaran yang berdiri sendiri atau terintegrasi dalam kurikulum sekolah dasar di Perancis dan Singapura; dan dalam kurikulum sekolah lanjutan di Perancis, Italia, Hongaria, Jepang, Netherlands, Singapura, Spanyol, dan USA (Kerr,1999:152). Di Indonesia istilah civics pernah digunakan dalam kurikulum Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas tahun 1962, kurikulum SD tahun 1968, dan kurikulum PPSP IKIP Bandung tahun 1973. Mulai pada tahun 1900-an di USA diperkenalkan istilah citizenship education dan civic education yang digunakan secara bertukar-pakai, untuk memperlihatkan kegiatan pendidikan karakter, tabiat dan kebajikan (Berst:1960:167) atau pengembangan fungsi dan tugas politik dari warga negara dan pengembangan kualitas langsung (Somantri, 1989:74). Sedangkan Allen (1960:89) dan NCSS (Somantri, 1972:27) menggunakan istilah citizenship education dalam arti yang lebih luas, yakni sebagai produk keseluruhan kegiatan pendidikan atau all positive influences yang tiba dari proses pendidikan formal dan informal.

Kini istilah civic education lebih banyak digunakan di USA serta beberapa negara gres di Eropa timur yang menerima pelatihan profesional dari Center for Civic Education dan Universitas kawan kerjanya di USA, untuk memperlihatkan suatu kegiatan pendidikan di sekolah yang terintegrasi atau suatu mata pelajaran yang berdiri sendiri. Sedangkan di Indonesia istilah civic education masih digunakan untuk label mata kuliah di Jurusan atau Progran Studi PPKN dan nama LSM Center for Indonesian Civic Education. Istilah civic education cenderung digunakan secara spesifik sebagai mata pelajaran dalam konteks pendidikan formal. Sedangkan istilah citizenship education cenderung digunakan dalam dua pengertian. Pertama, digunakan di UK dalam pengertian yang lebih luas sebagai overarching concept yang di dalamnya termasuk civic education sebagai unsur utama (Cogan,1999; Kerr: 1999; dan QCA:1999) disamping kegiatan pendidikaan kewarganegaraan di luar pendidikan formal menyerupai site of citizenship atau situs kewarganegaraan, menyerupai juga dikonsepsikan sebelum itu oleh Alleh (1962:84) dan NCSS (1972:34). Kedua, digunakan di USA, terutama oleh NCSS, dalam pengertian sebagai the essence or core atau inti dari social studies (Barr et. all: 1978; NCSS :1985;1994). Di Indonesia istilah citizenship education belum pernah digunakan dalam tataran formal instrumentasi pendidikan, kecuali sebagai wacana akademis di kalangan komunitas ilmiah pendidikan IPS. Sebagai batasan penulis menerjemahkan civic education dan citizenship education ke dalam istilah yang sama namun berbeda dalam cara penulisannya. Istilah civic education diterjemahkan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (memakai abjad besar di awal) dan citizenship education diterjemahkan menjadi pendidikan kewarganegaraan (semuanya dengan abjad kecil).

Istilah Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada suatu mata pelajaran, sedangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) menunjuk pada kerangka konseptual sistemik kegiatan pendidikan untuk kewarganegaraan yang demokratis. Konsep pendidikan kewarganegaraan disebut juga sistem pendidikan kewarganegaraan (spkn/SPKn) yang sanggup ditulis dengan semuanya abjad besar atau abjad kecil. Cogan (1999:78), dalam artikelnya Developing the Civic Society: The Role of Civic Education, mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives". Sedangkan citizenship education atau education for citizenship oleh Cogan (1999:79) digunakan sebagai istilah yang mempunyai pengertian yang lebih luas yang meliputi "...both these in-school experiences as well as out-of school or nonformal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media, etc which help to shape the totality of the citizen". Quigley (2000:15), Executive Director Center for Civic Education, dalam seminar yang diselenggarakan oleh CICED di Bandung menyatakan bahwa “During the 1990s there appears to have been a rapidly growing interest throughout the world in the development and implementation of educational programs in schools that are designed to help young people become competent and responsible citizens in democratic political sistems. This interest has been most directly focused on civic education programs at the pre-collegiate level although attention is increasingly being focused on students in colleges and universities and in some places in community or adult education.”

Patrick (2005:134), sebagai Directur Eksekutif “Social Studies Development Center” Indiana University di Bloomington, telah mengidentifikasi 8 ekspresi dominan yang mempunyai potensi besar untuk mensugesti pendidikan kewarganegaraan dalam demokrasi konstitusional sebagai berikut:
Trend
1: Conceptualization of civic education in terms of three interrelated components: civic knowledge, skills, and virtues.
Trend
2: Sistematic teaching of mendasar ideas or core concepts. Trend
3: Analysis of case studies. Trend 4: Development of decision-making skills. Trend
5: Comparative and international analysis of government and citizenship. Trend
6: Development of participatory skills and civic virtues through cooperative learning activities. Trend
7: Active learning of civic knowledge, skills, and virtues. Trend
8: The conjoining of content and process in teaching and learning of civic knowledge, skills, and virtues.

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) atau Civic Education didesain dalam kurikulum sebagai implementasi amanat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam pasal 37 Ayat (1) dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat; pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal. Selanjutnya dalam Ayat (2) dinyatakan juga bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib pula memuat; pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa.

Penegasan tersebut merupakan dasar yuridis bahwa pendidikan kewarganegaraan wajib dimuat dalam kurikulum, baik untuk pendidikan dasar dan menengah maupun pendidikan tinggi. Hal itu memperlihatkan bahwa pendidikan kewarganegaraan mempunyai peranan yang strategis untuk “membentuk penerima didik menjadi insan yang mempunyai rasa kebangsaan dan cinta tanah air.” Banyak warta dan tantangan berkaitan dengan pengembangan dan implementasi PKn. Sebagian berupa warta dan tantangan universal dan sebagian lagi berupa warta dan tantangan sesuai dengan konteks spesifik masyarakat Indonesia yang multikultur. Dalam tantangan universal, Pendidikan Kewarganegaraan dihadapkan pada kekuatan banyak sekali efek masyarakat internasional yang seringkali sulit untuk dihindari, menyerupai berkenaan dengan percaturan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan, dan keamanan global. Sedangkan warta dan tantangan spesifik Indonesia antara lain yaitu:
  • hancurnya atau lemahnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat;
  • memudarnya nilainilai kehidupan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat;
  • meningkatnya praktek KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan;
  • kerusakan sistem dan kehidupan ekonomi; kualitas rendah dan disparitas tinggi dalam pendidikan; dan
  • pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Untuk mengantisipasi warta dan tantangan di atas, baik yang bersifat universal maupun spesifik keindonesiaan tersebut diharapkan muatan Pendidikan Kewarganegaan yang tangguh, dinamis, dan antisipatif. Banks menyatakan alasan Pendidikan Kewarganegaraan menyerupai itu sebab :
“Because of growing ethnic, cultural, racial, and religious diversity troughout the world, citizenship education needs to be changed in substantial ways to prepare students to function effectively in the 21st century. (Banks, 2001: 6)

Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk menyebarkan warga negara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai ketika ini bidang itu sudah menjadi cuilan inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka kegiatan pendidikan guru. Keempat, sebagai kegiatan pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatu crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status pertama, kedua, ketiga, dan keempat.

Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di sekolah, pendidikan kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas memperlihatkan bahwa hingga dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics, pendidikan kewargaannegaraan, dan pendidikan IPS. Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai. Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun 1975 untuk semua jenjang persekolahan yang diberlakukan secara sedikit demi sedikit mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, sebagai pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi dan pengalaman berguru mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau "Eka Prasetia Pancakarsa". Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi misi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 wacana Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 (Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s.d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya.

Kurikulum tahun 1984, yang intinya merupakan penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Selanjutnya, di dalam Undang-Undang No 2/1989 wacana Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), antara lain Pasal 39, digariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai materi kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman berguru yang diorganisasikan secara spiral atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Yang dimaksudkan pengorganisasian materi pelajaran secara spiral ialah mempunyai pokok kajian yang sama pada jenjang yang berbeda, akan tetapi dengan tingkat kajian dan keluasan bahasan yang berbeda, sesuai dengan taraf berpikir penerima didik. Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan taktik pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasa warsa (1962-1998) itu, memperlihatkan indikasi bahwa terjadi ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual.

Hal ini berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler. Menurut Kuhn (1970:27) krisis atau dislocation yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pembelajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pembelajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan materi kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pembelajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin pada terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari pengutamaan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.

Tampaknya semua itu terjadi sebab memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran secara konseptual, sebab belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan digunakan secara nasional sebagai acuan konseptual dan operasional. Kini pada kala reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen gres kearah perwujudan harapan dan nilai demokrasi konstitusional yang lebih murni, keberadaan dan jati diri mata pelajaran PPKn kembali dipertanyakan secara kritis. Dalam kepustakaan absurd ada dua istilah teknis yang sanggup diterjemahkan menjadi pendidikan kewargnegaraan yakni civic education dan citizenship Education. Cogan (1998:39) mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives". Atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, biar kelak sesudah remaja sanggup berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan citizenship education atau education for citizenship oleh Cogan digunakan sebagai istilah yang mempunyai pengertian yang lebih luas yang mencakup "...both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media,etc which help to shape the totality of the citizen".

Dalam goresan pena ini istilah pendidikan kewarganegaraan intinya digunakan dalam pengertian yang luas menyerupai "citizenship education" atau "education for citizenship" yang meliputi pendidikan kewarganegaraan di dalam forum pendidikan formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam kegiatan pendidikan guru) dan di luar sekolah baik yang berupa kegiatan penataran atau kegiatan lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari kegiatan lain yang berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai warga negara Indonesia yang cerdas dan baik. Di samping itu, juga konsep pendidikan kewarganegaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran sebagai kegiatan pendidikan demokrasi. Karakteristik suatu mata pelajaran perlu diidentifikasi dalam rangka pengembangan silabus berbasis kompetensi dari mata pelajaran tersebut. Struktur keilmuan suatu mata pelajaran berkenaan dengan dimensi standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pokok atau struktur keilmuan mata pelajaran tersebut.

Hasil identifikasi karakteristik mata pelajaran tersebut bermanfaat sebagai contoh dalam menyebarkan silabus dan rencana pembelajaran. Sebagaimana lazimnya suatu bidang studi yang diajarkan di sekolah, materi keilmuan mata pelajaran Kewarganegaraan meliputi dimensi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan nilai (values). Sejalan dengan ilham pokok mata pelajaran Kewarganegaraan yang ingin membentuk warga negara yang ideal yaitu warga negara yang mempunyai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip Kewarganegaraan. Pada gilirannya, warga negara yang baik tersebut diharapkan sanggup membantu terwujudnya masyarakat yang demokratis konstitusional. Berbagai negara di dunia mempunyai kriteria masing-masing wacana warga negara yang baik, yang sangat berafiliasi dengan pandangan hidup bangsa yang bersangkutan yang tercermin dalam konstitusinya. Bagi bangsa Indonesia warga negara yang baik tersebut tentu saja ialah warga negara yang sanggup menjalankan kiprahnya dalam hubungannya dengan sesama warga negara dan hubungannya dengan negara sesuai dengan ketentuan-ketentuan konstitusi negara (Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945). Sehubungan dengan itu, mata pelajaran Kewarganegaraan meliputi dimensi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai kewarganegaraan, menyerupai nampak pada berikut.

Visualisasi gambar 6 memperlihatkan sebuah kompleksitas dari karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan. Tiga dimensi yang merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dari Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), dimensi keterampilan (civic skills), dan dimensi nilai (civic values). Ketiga dimensi ini secara sinergis membangun core dari PKn yaitu warga negara yang berpengetahuan, terampil, dan berkepribadian. Dimensi nilai akan memperlihatkan bantuan rasa percaya diri dan komitmen dari warga negara, dimensi keterampilan kewarganegaraan memperlihatkan bantuan terbangunnya komitmen dan kopetensi kewarganegaraan, sedangkan dimensi pengetahuan kewarganegaraan akan memperlihatkan bantuan tumbuh kembangnya kompetensi dan rasa percaya diri.

 Oleh sebab itu, warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) dan keterampilan kewarganegaraan (civics skills) akan menjadi seorang warga negara yang berkompeten. Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) serta nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) akan menjadi seorang warga negara yang mempunyai rasa percaya diri, sedangkan warga negara yang telah memahami dan menguasai keterampilan kewarganegaraan (civics skills) serta nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) akan menjadi seorang warga negara yang mempunyai komitmen kuat. Kemudian warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge), memahami dan menguasai keterampilan kewarganegaraan (civics skills), serta memahami dan menguasai nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) akan menjadi seorang warga negara yang berpengetahuan, terampil dan berkepribadian.

Dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) meliputi bidang politik, aturan dan moral. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan wacana prinsip-prinsip dan proses demokrasi, forum pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar aturan (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, sejarah nasional, hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia, hak sipil, dan hak politik.

Dimensi keterampilan kewarganegaraan (civics skills) meliputi keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya: berperan serta aktif mewujudkan masyarakat madani (civil society), keterampilan mensugesti dan monitoring jalannya pemerintahan, dan proses pengambilan keputusan politik, keterampilan memecahkan masalahmasalah sosial, keterampilan mengadakan koalisi, kerja sama, dan mengelola konflik. Dimensi nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) meliputi antara lain percaya diri, komitmen, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur, nilai keadilan, demokratis, toleransi, kebebasan individual, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan proteksi terhadap minoritas.

Mata pelajaran Kewarganegaraan merupakan bidang kajian interdisipliner, artinya materi keilmuan kewarganegaraan dijabarkan dari beberapa disiplin ilmu antara lain ilmu politik, ilmu negara, ilmu tata negara, hukum, sejarah, ekonomi, moral, dan filsafat. Kewarganegaraan dipandang sebagai mata pelajaran yang memegang peranan penting dalam membentuk warga negara yang baik sesuai dengan falsafah bangsa dan konstitusi negara, sekali gus untuk menjawab tantangan perkembangan demokrasi dan integrasi nasional. Oleh sebab itu kehidupan demokratis pun di lingkungan sekolah sanggup dilatihkan melalui mata pelajaran ini. Yamamoto (2007:197) menegaskan bahwa ”post-independence, many countries were confronted with the fact that modern democracy and national integration could not progress smoothly; as a result, a number of criticisms were conducted both inside and outside this schoo”.

Dengan memperhatikan visi dan misi mata pelajaran Kewarganegaraan yaitu membentuk warga negara yang baik, maka selain meliputi dimensi pengetahuan, karakteristik mata pelajaran Kewarganegaraan ditandai dengan dukungan pengutamaan pada dimensi perilaku dan keterampilan civics. Jadi, pertama-tama seorang warga negara perlu memahami dan menguasai pengetahuan yang lengkap wacana konsep dan prinsip-prinsip politik, hukum, dan moral civics. Setelah menguasai pengetahuan, selanjutnya seorang warga negara diharapkan mempunyai perilaku atau karakter sebagai warga negara yang baik, dan mempunyai keterampilan kewarganegaraan dalam bentuk keterampilan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta keterampilan memilih posisi diri, serta kecakapan hidup (life skills). Banks menegaskan mengenai pentingnya warga negara yang mempunyai pemahaman, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan, sebagai berikut:

“Citizens in the new century need the knowledge, attitudes, and skills required to function in their ethnic and cultural communities and beyond their cultural borders and to participate in the construction of a national civic culture that is a moral and just community that embodies democratic ideals and values, such as those embodied in the universal of human right. Student also need to acquire the knowledge and skills needed to become effective citizens in the global community”. (Banks, 2001: 6)

Dalam konteks keindonesiaan, warga negara yang baik ialah yang mempunyai kepribadian Pancasila. Dengan menggunakan kerangka all port, kepribadian Pancasila ialah kepribadian yang mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang memilih berupa sistem neurofisis yang digeneralisasikan dan diarahkan dengan kemampuan untuk menghadapi majemuk perangsang secara Pancasila, menilai dan membimbing tingkah laris dan ekspresi secara Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia (Satmoko, 1993:237).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel