Kemungkinan Bentuk Penyesuaian Dalam Suatu Proses Penyesuaian Lingkungan
Wednesday, July 1, 2020
Edit
Kemungkinan Bentuk Penyesuaian Dalam Suatu Proses Adaptasi Lingkungan
1. Pendahuluan
Perubahan fisik lingkungan sanggup dipandang sebagai suatu tekanan bagi keluarga atau masyarakat untuk melaksanakan penyesuaian sehingga kebutuhan keluarga/masyarakatdapat secara layak terpenuhi. Umumnya penyesuaian ini dinyatakan dalam bentuk penyesuaian yang dilakukan di tempat dan penyesuaian dengan berpindah tempat tinggal. Tingkat pertambahan penduduk kota yang tinggi memerlukan penanganan yang memadai sehingga kota sanggup hidup dan berkembang secara berkelanjutan. Khususnya di Indonesia, petambahan penduduk dan tekanan peningkatan kegiatan kota cenderung mengarah ke perkembangan yang tidak berlanjut sehingga banyak kota Indonesia mulai menurun kualitas dan kuantitas pelayanannya. Umumnya setiap kota memiliki permasalahan dalam penyediaan tempat tinggal. Beberapa serpihan kota menyediakan tempat tinggal dibawah standard layak dan belum sanggup ditangani oleh pemerintahan kota. Kebanyakan tempat tinggal ini masih belum memiliki sarana dan prasarana kesehatan lingkungan yang layak, serta secara fisik bangunan rumahnya juga dibawah standard.
Kualitas lingkungan lokal daerah tempat tinggal kebanyakan dipelihara dan ditangani pribadi oleh penduduk kota semakin dan usang semakin menurun kualitasnya lantaran adanya:
- Pembangunan daerah gres biasanya akan menggangu keadaan fisik dan sosial setempat
- Penyediaan kemudahan dan utilitas kota tidak setara dengan kebutuhannya akhir perkembangan pembangunan yang tidak terkontrol dengan baik
Pertumbuhan kota yang tidak sanggup dikendalikan dengan baik mengakibatkan adanya pelebaran wilayah kota sehingga kadang kala kota tidak bisa untuk mengelolanya. Pertumbuhan kelompok-kelompok permukiman yang terlepas satu dengan lainnya mengakibatkan kemampuan kota untuk melayani wialyahnya menjadi menurun. Sedangkan di dalam daerah dalam kota masih banyak permasalahan yang belum tertangani. Rencana kota seharusnya sanggup dijadikan sebagai alat pengendali pembangunan kota, akan tetapi dikala ini dokumen planning kota belum digunakan secara efektif.
Dengan sasaran tingkat pertumbuhan kota yang tinggi, maka pendekatan pembangunan ekonomi kota biasanya cenderung membuat kawasan-kawasan pabrik dan pembangunan pusat-pusat perdagangan. Tempat-tempat ini menjadi daya tarik yang berpengaruh bagi masyarakat untuk berpindah mendekati lokasi-lokasi tersebut. Untuk masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah, keputusan untuk mencari tempat tinggal di akrab pusat ekonomi kota sudah menjadi suatu keputusan yang wajar. Adanya kelemahan dalam pengelolaan daerah kota, maka di banyak sekali tempat terbentuk kawasan-kawasan kumuh yang memiliki kualitas lingkungan tempat tinggal yang rendah. Akibatnya, kemampuan daya tahan kota untuk menangani perubahan-perubahan fisik, sosial dan ekonomi menjadi rendah. Kota menjadi rentan terhadap perubahan-perubahan yang sanggup diperkirakan ataupun yang tidak diperkirakan (bencana).
Kemampuan menanggapi perubahan konstelasi fisik kota akan sangat berkurang jika kemampuan pengelolaan kota rendah. Disisi lain, masyarakat/penduduk kota memiliki kecenderungan untuk menangani perubahan kota dengan mengorganisasikan perubahan ini tanpa melibatkan pemerintahan kota. Sebagi contoh, di banyak sekali kawasan, pembangunan jalan lingkungan harus dilakukan oleh penduduk setempat. Untuk masalah di daerah kumuh, penanganan genangan air dan banjir dilakukan oleh penduduk setempat. Untuk menaggulangi kekurangan air keperluan rumah tangga yang layak, banyak masyarakat menggunkan air sungai pribadi tanpa ada perlakuan khusus.
Kemampuan mengikuti keadaan terhadap tantangan alam ini bahu-membahu sudah inheren ada pada masyarakat penduduk kota, terutama dalam keadaan pelayanan kota sangat minim, sedangkan tekanan kebutuhan cenderung mendesak. Setiap keluarga secara terus menerus akan mengevaluasi keadaan tempat tinggalnya untuk memilih apakah tempat tinggalnya masih sesuai dengan norma keluarganya atau norma kulturalnya. Jika keadaan tempat tinggalnya tidak sesuai dengan norma keluarga dan kulturalnya, maka ada tiga kemungkinan tanggapan dari keluarga tersebut[1]), yaitu:
- berpindah (residential mobility)
- merubah tempat tinggalnya (residential adaptasi)
- merubah kebutuhan dan keperluan keluarga (family adaptation)
2. Dampak Kenaikan Permukaan Laut
Hampir di seluruh dunia, penduduk dan kegiatannya terkonsentrasi di daerah pantai dan dataran rendah. Permukiman di pantai lebih berkembang dari permukiman di pedalaman. Di Indonesia, permukiman perkotaan tumbuh dan berkembang di tempat yang termasuk dalam jalur pelayaran tradisional. Kawasan-kawasan yang mengarah ke Laut Jawa banyak yang berkembang. Masalah linkungan tempat tinggal di daerah kota pantai tidak berbeda jauh dengan kota lainnya. Hampir seluruh aspek lingkungan belum tertangani dengan baik sehingga permasalahan lingkungan terlihat lebih menonjol.
Di beberapa Permukiman nelayan masih terlihat sebagai daerah yang kurang layak huni dan cenderung menunjukkan gambaran kemiskinan. Di kota pantai permasalahan banjir hingga dikala ini masih sulit untuk ditangani. Akan tetapi, masyarakat setempat memiliki cara-cara tertentu untuk menjawab permasalahan banjir ini dengan keterbatasannya sendiri.
Dengan memperhatikan skenario kenaikan muka air bahari akhir pemanasan global (global warming), maka dampak terhadap daerah permukiman kota tidak hanya terjadi di kota-kota yang pribadi berhadapan dengan pantai, akan tetapi kota-kota yang di pedalaman tetapi masih terpengaruh oleh sifat-sifat laut. Dampak yang sanggup diperkirakan adalah[2] :
- Genangan di lahan rendah dan rawa
- Erosi Pantai
- Gelombang besar dan banjir
- Kenaikan muka air sungai
- Intrusi air garam sungai dan air tanah
- Kenaikan muka air sungai
- Perubahan deposit sendimen
- Perubahan pasang dan ombak
Secara umum dampak ini sanggup digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
3. Proses Adaptasi terhadap lingkungan
Tanggapan terhadap adanya tekanan-tekanan fisik, sosial dan ekonomi terhadap suatu kelompok/individu sanggup diuraikan dengan memperhatikan dua norma yang saling mensugesti yaitu[3] :.
- norma keluarga dan
- norma kultural
Norma kultural (cultural norm) sanggup diartikan sebagai norma yang terbentuk dalam kehidupan sehari-hari secara impulsif dan nyata. Norma ini sanggup diukur dari:
- tolok ukur yang terhipotesakan dalam bentuk-bentuk pernyataan-pernyataan yang diakui kebenarannya
- dokument tertulis dan
- pengaruh-pengaruh sikap atau sepak terjang (behavior)
Perlu diperhatikan bahwa norma kultural ini tidak selalu menunjukkan keinginan sesungguhnya dari suatu masyarakat. Masyarakat yang tinggal di daerah kumuh tidak selalu memiliki sikap-sikap yang tersesuiakan dengan keadaan fisik kawasan. Mereka kadang kala tidak ingin tinggal di tempat tersebut. Akan tetapi lantaran tekanan external, maka keputusan yang diambil yaitu tinggal di tempat kumuh.
Norma kultural ini sanggup juga digunakan sebagai dasar untuk mengukur kebutuhan standard lingkungan permukiman. Suatu contoh yang terlihat dengan terang bahwa untuk daerah permukiman kelas menengah memiliki norma kultural untuk berbelanja di suatu bentuk pasar yang dikemas dengan nama “super market”. Kebutuhan atas supermarket ini yang awalnya merupakan norma kultural penduduk kelas menegah keatas, sanggup dijadikan sebagai suatu standard kelayakan bagi permukiman yang diperuntukan untuk kelas menengah.
Norma keluarga yaitu suatu norma internal dalam aturan-aturan dan cara pandang keluarga. Norma ini hanya efektif kedalam keluarga keluarga inti maupun dalam arti luas. Unit keluarga inti yang dikenal dengan “bapak-ibu-anak” sanggup diperluas dengan ukuran lebih lebar ialah tetangga terdekat. Kemudian berurutan hingga keluarga dalam ukuran kota negara dan dunia. Batas-batas ini sanggup diartikan sebagai suatu batas lingkungan kekeluargaan yang sanggup digabarkan sebagai berikut[4]):
Secara menerus penilaian yang dilakukan oleh keluarga akan selalu diubahsuaikan dengan norma-norma keluarga yang dipakai. Keputusan yang mungkin dilakukan untuk penyesuaian norma ini ialah dengan melaksanakan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dalam bentuk berpindah atau tetap ditempat di tempat tinggal semula. Keputusan ini akan bergantung juga kepada kemampuan keluarga/masyarakat untuk mengikuti keadaan dengan keadaan setempat.
Penyelidikan yang dinilai klasik dari Rossi[5] (1955) yang memeriksa alasan-alasan penduduk kota berpindah tempat tinggal dengan dasar karakteristik tempat tinggal dan lingkungan sosial ekonomi terdekat menyatakan bahwa perpindahan disebabkan oleh adanya
- alasan dari luar keluarga (pindah kerja, kawin atau diusir)
- tidak puas dengan keadaan tempat tinggal lama
- mencari tempat tinggal yang sesuai dengan keinginan
- keamanan
- tempat lain lebih menarik
- lebih murah.
Selanjutnya Golledge and Stimson (1987) menyimpulkan dari banyak sekali penyelidikan terhadap pola perpindahan tempat tinggal yang mengungkapkan tempat-tempat diharapkan oleh penduduk kota yang diuraikan sebagai berikut:
- tempat-tempat fungsional yang sangat diharapkan oleh masyarakat
- kualitas lingkungan fisik dan kualitas estetik dari lingkungan tetangga
- fasilitas sosial dan kemudahan umum yang tersedia
- faktor lingkungan sosial (prestige, socio-economic status, ethnicity dll)
- tahapan dalam siklus kehidupan/keluarga yang berafiliasi dengan kebutuhan tempat tinggal
- pengenalan akan lokasi tempat tinggal, dan karakrakteristiknya.
Suatu proses pengambilan keputusan berpindah tempat atau tetap tinggal di daerah yang usang akan bergantung apakah keinginan dan keinginan yang ada sanggup terlayani oleh daerah tersebut atau tidak. Tekanan-tekanan yang ada selama tinggal di daerah tersebut sebagai dasar pola suatu keputusan tinggal atau pindah. Ada 4 bentuk umum dari tekanan (stressor) lingkungan yang dinyatakan oleh Pacione[6] (1990)
- kejadian bencana
- kejadian tekanan hidup
- gangguan sehari hari
- gangguan atau tekanan yang terjadi terus menerus (ambient stressor)
Kepuasan terhadap kualitas lingkungan tempat tinggal sanggup diukur dengan :
- alat ukur objective menyerupai jumlah pelayanan, tingkat kejahatan, jumlah polusi bunyi dll
- perbedaan antara komposisi keluarga dengan karakteristik tempat tinggal.
Alat ukur yang pertama biasanya dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dengan mengukur banyak sekali variabel yang akan menggangu dan akan menunjukkan kenyamanan pada penduduk. Alat ukur kedua melihat kebutuhan keluarga dalam suatu komposisi keluarga tertentu baik secara kuantitatif (jumlah anak, jumlah keluarga, jumlah tanggungan pendapatan keluarga dll) dengan karakteristik (kualitatif maupun kuantitatif) dari tempat tinggal. Pengukuran kedua akan melibatkan ukuran-ukuran yang aktual dan ajaib (persepsi, keinginan, harapan, kepercayaan, mistis dll).
Kemampuan untuk mengikuti keadaan berbeda dari tiap individu/kelompok dalam suatu daerah tertentu. Batas ambang toleransi terhadap tekanan lingkungan (kemudian disebut stressor) menunjukkan kemampuan untuk mengikuti keadaan dan menangani stressor. Setiap individu/masyarakat memiliki tingkat vulnerable yang berbeda dari berjenis stressor.
Suatu kelompok masyarakat dengan banyak sekali tingkat sosial, teknologi, lingkungan geografi, dan ketersediaan sumberdaya alam memiliki kemampuan tersendiri dalam mendapatkan tempat tinggal yang sesuai. Hal-hak ini menjadi dasar masyarakat dalam mengartikan dan memilih kebutuhan tempat tinggal yang dimiliki dan yang akan diusahakan. Kebutuhan tempat tinggal yang masuk akal akan setara dengan norma kultural tempat tinggal yang dipakai. Kebutuhan tempat tinggal tidak hanya bergantung kepada kebutuhan minimum rumah sebagai tempat beteduh atau minimum kesehatan atau keamanan dalam arti yang absolut, tetapi didasari pengertian standard kultural terhadap tempat tinggal yang kini ditempati. Tekanan untuk melaksanakan perubahan kualitas dan kuantitas tempat tinggal sanggup dilihat dari penilaian ketidak sesuaian dan kesesuaian terhadap tempat tinggal yang ada sekarang. Secara skematis[7] sanggup ditunjukan sebagai mana terlihat pada diagram dibawah ini.
Dimensi dari ukuran pesesuaian tempat tinggal tidak hanya terlihat dari kondisi fisik lingkungan saja akan tetapi akan berafiliasi dengan kondisi sosial kemasyarakatan setempat. Adalah suatu kenyataan di banyak sekali kota di Indonesia terdapat daerah kota yang termasuk dalam katagori permukiman kumuh. Secara pandangan fisik daerah ini tidak layak untuk ditinggali. Beberapa masalah kesehatan fisik dan kesehatan jiwa terjadi di daerah ini yang dianggap sanggup menunjukkan tingkat kualitas hunian yang rendah. Ukuran lainnya yang biasa digunakan ialah ukuran tingkat pelayanan kota yang tidak memadai . Di banyak sekali daerah kota sering terdengar adanya kekurangan air bersih, pelayanan pembuangan sampah yang tidak memadai, kemudahan mendapatkan listrik atau saluran telepon yang tidak jelas, jalan untuk trasportasi tidak ada yang memadai dan seterusnya.
Akan tetapi, banyak sekali penyelidikan di daerah tersebut selalu menunjukkan adanya dorongan untuk tinggal lebih usang di daerah kumuh tersebut dan mereka sudah juga melaksanakan modifikasi-modifikasi lingkungan sehingga sanggup mempertinggi tingkat kesesuaian kebutuhan dan keinginannya (satisfaction level).
Kasus permukiman di beberapa daerah yang terpengaruh oleh air (antara lain Palembang, Ujung Pandang, Semarang) menunjukkan bahwa daerah yang selalu tergenang sudah tidak menjadi masalah bagi kebanyakan penduduk yang sudah usang tinggal di tempat tersebut. Beberapa tempat genangan ini membawa dan mengendapkan banyak sekali bentuk sampah padat sehingga diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya gangguan kesehatan. Di daerah yang memiliki kontak pribadi dengan sungai, air sungai digunakan untuk keperluan domestik, walupun secara kasat mata air tersebut tidak layak untuk digunakan langsung. Berbagai polutan (bau, udara, dll) akan kontak pribadi dengan penduuk yang diperkirakan akan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Untuk melihat tingkat keseuaian dengan lingkungan tempat tinggal Pacone[8] (1990) juga menyimpulkan banyak sekali dimensi kesesuaian tempat, sebagai berikut:
- Visual dan kenyamanan terhadap suar
- Jenis penguasaan lahan
- Keadaan fisik alam sekitar
- Kemudahan ke pelayangan umum dan sosial
- Factor pribadi penhuni (pengalaman bertempat tinggal, pola pribadi, sikap terhadap lingkungan dan tradisi/budaya)
- Karakteristik dari rumah, tetangga, daerah permukiman
Dasar-dasar perencanaan dan perancangan fisik daerah kota ialah mengidentifikasikan keadaan fisik kawasan/kota yang memiliki kemungkinan besar sanggup memuaskan penduduknya. Tujuan utama dari perancang dan perencana daerah ialah mengorganisasikan ruang fisik untuk melayani bentuk-bentuk tertentu dari sifat dan sikap pengguna serta membuat keadaan yang sanggup memenuhi kebutuhan manusia. Menurut Pacione[9] (1990) yang menyarikan dari pendapat Zeisel (1975, 1981) menyatakan bahwa pendekatan behavioral untuk perancangan kota mengelompokan kebutuhan penduduk kota menjadi enam (6) kelompok, sebagai berikut:
- Keamanan (secrurity), suatu perasaan kondusif dalam lingkungan permukiman
- Kejelasan (clarity), gampang untuk bergerak dan lingkungan tersebut gampang dimengerti
- Interaksi sosial (social interaction), lingkungan yang sanggup menampung kegiatan sosial yang melayani kebutuhan interaksi antar penduduk
- Kenyamanan (convenience), kemudahan untuk melaksanakan kegiatan dalam skala domestik (keluarga) teangga dan skala kota
- Jatidiri (identity) hubungan antara pribadi dan lingkungan yang terbungkus dalan bentuk kesadaran akan lokasi.
4. Adaptasi lingkungan
Adaptasi lingkungan sanggup dikelompokan berdasarkan unit besaran keterlibatan masyarakat/individu dalam suatu daerah atau wilayah. Pengelompokan secara sederhana yaitu sebagai berikut:
- Kawasan setingkat kota
- Kawasan setingkat lingkungan
- Kawasan setingkat keluarga
Secara umum dalam lingkup kota pembiasaan lingkungan selalu sanggup dilakukan oleh penduduk kota. Beberapa kota pantai menunjukkan pertambahan daerah secara menerus dari tahun ketahun, walupun adanya tekanan-tekanan fisik alam, sosial maupun ekonomi. Sebagai contoh kota Jakarta dan Kota Tokio yang tumbuh menyerupai amuba walaupun banyak sekali permasalahan fisik terjadi dari tahun ke tahun.
Kota Semarang yang memiliki lahan tumbuh kearah pantai, hingga dikala ini lahan t\umbuh tersebut digunakan untuk permukiman dengan bermacam-macam kegiatan, walaupun diawal pembangunan permukiman sudah dikenal adanya genangan-genangan air yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Daerah-daerah genangan di Jakarta sanggup ditangani dengan pembuatan kana-kanal untuk mengalirkan air. Pertumbuhan kota Jakarta dari tahun-ketahun bergerak mengarah ke daratan. Keadaan ini juga terjadi pada kota-kota pantai di dunia
Sebagai penyesuaian terhadap lingkungan sekiranya, beberapa daerah melaksanakan penimbunan lahan-lahan yang berair dan tergenang. Contoh masalah kota Palembang yang menimbun beberapa daerah yang tergenang dan rawa dengan bahan-bahan dari Sungai Musi sewaktu pengerukan. Beberapa daerah yang tadinya tergenang air dikala ini sudah kering dan terbangun banyak sekali prasarana lingkungan.
Kasus kota Semarang dengan pembangunan kolam penampungan air untuk menghindari tergenangnya sarana umum (Stasiun Tawang Semarang) dengan memakai sistem pompa. Dengan teknologi pompa, diharapkan beberapa genangan yang terjadi sanggup tertangani, walaupun ada banyak sekali duduk kasus atas kesinambungan penggunaan pompa tersebut.
Dalam lingkup rumah tangga, pembiasaan lingkungan dilakukan dengan keterbatasan setempat. Pola permukiman tradisional dengan bentuk rumah panggung merupakan salah satu cara untuk mengatasi genangan air. Sejalan dengan perkembangan kawasan, maka ruang dibawah panggung digunakan untuk kegiatan domestik terbatas contonya gudang, garasi dan lainnya. Beberapa bangunan panggung sudah dirubah menjadi bangunan tidak panggung lantaran kolong panggung sudah digunakan untuk kkegiatan domestik secara penuh. Beberapa masalah rumah tinggal tidak panggung membangun tanggul-tanggul tetap dan atau sementara untuk menghindari genangan air masuk ke dalam rumah.
Bentuk pembiasaan sosial, masyarakat setempat menunjukkan sudah sanggup mendapatkan bentukan-bentukan interaksi sosial yang dibatasi oleh genangan air. Genangan air sanggup dijadikan sebagai tempat bermain anak-anak-anak. Beberpa lantai panggung dibangun bersama untuk tempat pertemuan sosial diluar rumah. Sampah yang terbawa oleh fatwa air dan mengendap di sekitar rumah sudah tidak menjadi gangguan terhadap kualitas visual dan fisik. Adaptasi sosial ini terjadi hampir di banyak sekali tempat di perkotaan yang kawasannya dipengaruhi oleh air.
5. Penutup
Manusia memiliki kemampuan pembiasaan dengan alam. Teknologi yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual insan diharapkan sanggup memanfaatkan alam sebaik mungkin. Pemanfaat alam untuk kehidupan insan bergantung dari kemapuan insan tersebut menanggapi alam.
Perubahan alam akan mensugesti cara hidup dan cara pandang insan terhadap alam. Pengelolaan pembangunan kota yang tidak mempertimbangkan sistem lingkungan alam yang ada akan mengakibatkan bebagai persoalan-persoalan baru. Cara pandang pesimistik menganggap bahwa kerusakan alam akan lebih menyengsarakan insan lantaran adanya keterbatasan dari insan itu sendiri. Akan tetapi pandangan optimistik menunjukkan gambaran yang berbeda. Karena insan serpihan dari alam, maka perubahan alam akan juga merubah manusia. Dengan kemampuan pembiasaan yang dimiliki oleh manusia, maka permasalahan-permasalahan alam akan sanggup ditangani oleh manusia.
Teknologi memberi tugas yang signifilan dalam pengelolaan alam. Peradaban insan berjalan dengan perkembangan teknologi yang sanggup ditangani oleh insan itu sendiri. Kesulitan akan timbul jika terjadi perbedaan jenjang antara kemampuan menangani teknologi dengan kebutuhan akan tenologi untuk mengahadapi alam. Akan tetapi teknologi yang tercipta oleh insan masih sanggup dipelajari dan dipergunakan oleh manusia, sehingga yang diharapkan yaitu suatu teknologi yang sempurna sesuai dengan keadaan lingkungan alam dan kemampuan manusia.
Pendekatan optimis, insan merupakan serpihan dari alam yang paling sanggup mengikuti keadaan terhadap alam, merubah alam dan memanfaatkan alam.
SUMBER ARTIKEL;
[1] Morris, Earl W., (1975), A Theory of Family Housing Adjustment”, Journal of Marriage and the Family, February: 79-88
[2] ………………., (2000) , Data Book of Sea Level Rise 2000, Center for Global Environment Research, NIES, Environment Agency of Japan, hal:28-29
[3] Morris, Earl W., (1975),
[4] Samyahardja, Puthut (1994), Residential Attitudes and Gradual Residential Improvement: A case Study in Bandung, Indonesia, Unpublished Thesis, School of Town Planning, UNSW, Sydney, Australia.
[5] Tercantum dalam Golledge, R.G. dan Stimson R.J. (1987), Analytical Behavioural Geography, Croom Helm, London, 1987, hal 285-286
[6] Pacione, Michael, (1990), Urban Liveability: A Review, Urban Geography, Vol. 11,1: 1-30
[7] Golledge, R.G. dan Stimson R.J.(1987), Analytical Behavioural Geography, Croom Helm, London, 1987, hal:276
[8] Pacione, Michael, (1990
[9] Pacione, Michael, (1990)