Teori Pembelajaran Sebagai Pembangunan Karakter

Teori yang Mendasari Pembelajaran sebagai pembangunan karakter 
Beberapa teori pembelajaran yang menjadi dasar dalam memandang proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebagai upaya pembangunan abjad (character building). 
1 Teori Gestalt 
Teori berguru Gestalt berada pada rumpun aliran kognitivisme. Aliran ini telah memperlihatkan bantuan terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang berguru sebagai acara yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respons, aliran kognitif memandang acara berguru bukanlah sekedar stimulus dan respons yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, acara berguru juga melibatkan acara mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Karena itu, berdasarkan aliran kognitif, berguru ialah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan memakai pengetahuan. Sehingga sikap yang tampak pada insan tidak sanggup diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental menyerupai motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya. Bahkan teori Gestalt melaksanakan pengkajian fungsi motor-visual untuk pengamatan perilaku. 
”Assessment of visual-motor functions is an important of a comprehensive psychological evaluation. The Bender-Gestalt test has provided insight into such problems as mental retardation, learning disabilities, personality dynamics, and brain injury (Decker, 2008: 3). Kendati pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, namun ia tidak selalu menafikan pandangan-pandangan kaum behavioristik. Reinforcement, contohnya yang menjadi prinsip berguru behavioristik, juga terdapat dalam pandangan kognitif perihal belajar. Namun bedanya behavioristik memandang reinforcement sebagai elemen yang penting untuk menjaga dan menguatkan perilaku, sedangkan berdasarkan pandangan kognitif reinforcement sebagai sebuah sumber feedback apakah kemungkinan yang terjadi jika sebuah sikap diulang lagi. Psikologi kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi Gestalt, dengan tokoh-tokohnya menyerupai Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh Gestalt tersebut belum merasa puas dengan penemuan-penemuan para andal sebelumnya yang menyatakan berguru sebagai proses stimulus dan respons serta insan bersifat mekanistik. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh Gestalt lebih menekankan pada persepsi. 

Menurut mereka, insan bukanlah sekedar mahluk yang hanya bisa bereaksi jika ada stimulus yang memengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, insan ialah mahluk individu yang utuh antara rohani dan jasmaninya. Dengan demikian, pada ketika insan bereaksi dengan lingkungannya, insan tidak sekadar merespons, tetapi juga melibatkan unsur subyektivitasnya yang antara masing-masing individu bisa berlainan. Berbeda dengan teori-teori yang dikemukakan oleh para tokoh behavoirisme, terutama Thorndike, yang menganggap bahwa berguru sebagai proses trial and error, teori Gestalt ini memandang berguru ialah proses yang 105 didasarkan pada pemahaman (insight). Karena intinya setiap tingkah laris seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laris tersebut terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan seseorang secara pribadi dalam situasi berguru tersebut akan menghasilkan pemahaman yang sanggup membantu individu tersebut memecahkan masalah. Dengan kata lain, teori Gestalt ini menyatakan bahwa yang paling penting dalam proses berguru individu ialah dimengertinya apa yang dipelajari oleh individu tersebut. 

Oleh lantaran itu, teori berguru Gestalt ini disebut teori berguru insight. Seperti pada eksperimen yang dilakukan kaum behavioristik, Wolfgang Kohler pun menjelaskan teori Gestalt ini melalui percobaan dengan seekor simpanse yang diberi nama Sultan. Dalam eksperimennya, Kohler ingin mengetahui bagaimana fungsi insight sanggup membantu memecahkan masalah, dan pertanda bahwa sikap simpanse dalam memecahkan dilema yang dihadapinya tidak hanya didasarkan stimulus dan respons atau trial dan error saja, tapi juga lantaran ada pemahaman terhadap dilema dan bagaimana memecahkan dilema tersebut (Fudyartanto, 2002:82). Eksperimen yang dilakukan oleh Kohler memperlihatkan pentingnya pembentukan insight dalam proses belajar. Pembentukan insight dalam individu berguru terjadi lantaran ada persepsi terhadap lingkungan atau medan dan menstrukturnya sehingga membentuk menjadi suatu susunan yang bermakna, yaitu terbentuknya insight.

Proses berguru yang memakai insight (insightfull learning) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Suryabrata, 1990:73): 
  1. Insight tergantung pada kemampuan dasar. Kemampuan dasar yang dimiliki individu masing-masing berbeda-beda satu dengan yang lain. Biasanya perbedaan tersebut terletak pada usia, biasanya usia yang muda lebih sukar berguru dengan insight. 
  2. Insight tergantung kepada pengalaman masa lampau yang relevan. Latar belakang turut membantu terbentuknya insight, tetapi tidak menjamin terbentuknya insight. 
  3. Insight tergantung kepada pengaturan situasi yang dihadapi. Belajar insight hanya mungkin terjadi jika situasi berguru diatur sedemikian rupa, sehingga semua aspek yang diharapkan sanggup diobservasi. 
  4. Insight didahului dengan periode mencari dan mencoba-coba. Individu sebelum memecahkan dilema mungkin melaksanakan respons-respons yang kurang relevan terhadap penyelesaian problemnya. 
  5. Solusi problem dengan memakai insight sanggup diulangi dengan mudah, dan akan berlaku secara langsung. 
  6. Jika insight telah terbentuk, maka problem pada situasisituasi yang lain akan sanggup dipecahkan. Insight mempunyai kemampuan untuk ditransfer dari satu dilema ke satu dilema lain, walaupun situasisituasi yang menimbulkan insight berbeda dengan situasi-situasi dan materi hal yang baru, namun realisasi-realisasi dan generalisasinya sama. 
Selain insight, teori Gestalt juga menekankan pentingnya organisasi pengamatan terhadap stimuli di dalam lingkungan dan faktor-faktor yang memengaruhi pengamatan. Melalui penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt, disusunlah hukum-hukum Gestalt yang bekerjasama dengan pengamatan (Fudyartanto, 2002:89) sebagai berikut. 
  1. Hukum Pragnanz, yang merupakan aturan umum dalam psikologi Gestalt. Hukum ini menyatakan bahwa organisasi psikologis selalu cenderung untuk bergerak kearah penuh arti (pragnanz). Menurut aturan ini, jika seseorang mengamati sebuah atau sekelompok obyek, maka orang tersebut akan cenderung memberi arti terhadap obyek yang diamatinya, dengan memperlihatkan kesan sedemikian rupa terhadap obyek tersebut. Kesan yang memperlihatkan arti terhadap obyek mungkin didasarkan pada warna, bentuk, ukuran, dan sebagainya. 
  2. Hukum Kesamaan (the law of similarity), yang menyatakan bahwa hal-hal yang sama cenderung membentuk kesatuan. 
  3. Hukum Keterdekatan (the law of proximity), yang menyatakan bahwa hal-hal yang saling berdekatan cenderung membentuk kesatuan.
  4. Hukum ketertutupan (the law of closure), yang menyatakan bahwa hal-hal yang tertutup cenderung membentuk keseluruhan. 
  5. Hukum Kontinuitas yang menyatakan bahwa hal-hal yang kontinu atau yang merupakan kesinambungan (kontinuitas) yang baik akan mempunyai tendensi untuk membentuk kesatuan. 
2.4.2 Teori Konstruktivisme
 Pendekatan konstruktivistik dalam berguru dan pembelajaran didasarkan pada perpaduan antara beberapa penelitian dalam psikologi kognitif dan psikologi sosial, sebagaimana teknik-teknik dalam modifikasi sikap yang didasarkan pada teori operant conditioning dalam psikologi behavioral. Premis dasarnya ialah bahwa individu harus secara aktif “membangun” pengetahuan dan keterampilannya (Brunner, 1990:87) dan informasi yang ada diperoleh dalam proses membangun kerangka oleh pelajar dari lingkungan di luar dirinya. Membangun kenyataan ialah hal yang ditekankan dalam sosiologi gres pendidikan, menyerupai dinyatakan oleh Young (2008:3): “....

Dalam proses berguru di kelas, berdasarkan Nurhadi dan kawan-kawan (2004:94), siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berkhasiat bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan bisa memperlihatkan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dan teori konstruktivisme ini ialah ide. Siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Dengan dasar itu, maka berguru dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’, bukan ‘menerima’ pengetahuan. Oleh lantaran itu, Slavin (1994:129) menyatakan bahwa dalam proses berguru dan pembelajaran siswa harus terlibat aktif dan siswa menjadi sentra acara berguru dan pembelajaran di kelas. Guru sanggup memfasilitasi proses ini dengan mengajar memakai cara-cara yang menciptakan sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa, dengan memberdayakan metode, media, dan materi asuh secara sinergis. Untuk itu, guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau mengaplikasikan ide-ide mereka sendiri, di samping mengajarkan siswa untuk menyadari dan sadar akan taktik berguru mereka sendiri. Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang besar lengan berkuasa dalam sejarah pendidikan. Perkembangan konstruktivisme dalam berguru tidak terlepas dari perjuangan keras Jean Piaget dan Vygotsky (Banks, J. A. 2003: 132-137). Perkembangan kontruktivisme bisa diterawang dari perspektif “dilemma”-nya Mark Windschitl:

“As more specific phenomena of interest,”dilemmas”are aspects of teachers’intellectual and lived experiences that prevent theoretical ideals of constructivism from being realized in practice in school settings.For frames of reference are used to describe these dilemmas. Conceptual dilemmas are rooted in teachers’attempts to understand the philosophical, psychological, and epistemological underpinnings of constructivism. Pedagogical dilemmas for teachers arise from the more complex approaches to designing curriculum and fashioning learning experiences that constructivism demands. Cultural dilemmas emerge between teacher dilemmas emerge between teachers and students during the radical reorientation of classroom roles and expectations necessary to accommodate the constructivist ethos. Political dilemmas are associated with resistance from various stakeholders in school communities when institutional norm are questioned and routines of privilege and authority are disturbed”. (Windschitl, 2002:132) 

Jean Piaget dan Vygotsky menekankan bahwa perubahan kognitif ke arah perkembangan terjadi ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser lantaran ada sebuah informasi gres yang diterima melalui proses ketidakseimbangan (dissequilibrium). Selain itu, Jean Piaget dan Vygotsky juga menekankan pada pentingnya lingkungan sosial dalam berguru dengan menyatakan bahwa integrasi kemampuan dalam berguru kelompok akan sanggup meningkatkan pegubahan secara konseptual. Dalam orientasi teoritis, berguru kelompok menyiratkan adanya Sociotransformative Constructivism . ” Sociotransformative Constructivism is an orientation that draws form multicultural education (as a theory of social justice) and social constructivism (as a theory of learning) (Zozakiewicz dan Rodriguez, 2007: 401) Menurut Piaget, insan mempunyai struktur pengetahuan dalam otaknya, menyerupai sebuah kotak-kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman gres akan dihubungkan dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak insan (Nurhadi, 2004:73). 

Oleh lantaran itu, pada ketika insan belajar, berdasarkan Piaget, bahu-membahu telah terjadi dua proses dalam dirinya, yaitu proses organisasi informasi dan proses adaptasi. Proses organisasi ialah proses ketika insan menghubungkan informasi yang diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Melalui proses organisasi  inilah, insan sanggup memahami sebuah informasi gres yang didapatnya dengan menyesuaikan informasi tersebut dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga insan sanggup mengasimilasikan atau mengakomodasikan informasi atau pengetahuan tersebut. Proses pembiasaan ialah proses yang berisi dua kegiatan. Pertama, menggabungkan atau mengintegrasikan pengetahuan yang diterima oleh insan atau disebut dengan asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan yang sudah dimiliki dengan struktur pengetahuan baru, sehingga akan terjadi keseimbangan (equilibrium). Dalam proses pembiasaan ini, Piaget mengemukakan empat konsep dasar (Nurhadi, 2004:83), yaitu skemata, asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan. Pertama, skemata. Manusia selalu berusaha mengikuti keadaan dengan lingkungannya. 

Manusia cenderung mengorganisasikan tingkah laris dan pikirannya. Hal itu mengakibatkan adanya sejumlah struktur psikologis yang berbeda bentuknya pada setiap fase atau tingkatan perkembangan tingkah laris dan acara berpikir manusia. Struktur mi disebut dengan struktur pikiran (intellectual scheme). Dengan demikian, pikiran harus mempunyai suatu struktur yaitu denah yang berfungsi melaksanakan pembiasaan dengan lingkungan dan menata lingkungan itu secara intelektual. Secara sederhana skemata sanggup dipandang sebagai kumpulan konsep atau kategori yang dipakai individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungan. Skemata ini senantiasa berkembang. Artinya, ketika kecil seorang anak hanya mempunyai beberapa skemata saja, tetapi sesudah beranjak remaja skematanya secara berangsur-angsur bertambah banyak, luas, beraneka ragam, dan kompleks. Perkembangan ini dimungkinkan oleh stimulus-stimulus yang dialaminya yang kemudian diorganisasikan dalam pikirannya. Piaget menyampaikan bahwa skemata orang remaja berkembang mulai dan skemata anak melalui proses pembiasaan hingga pada penataan dan organisasi. 

Makin bisa seseorang membedakan satu stimulus dengan stimulus lainnya, makin banyak skemata yang dimilikinya. Dengan demikian, skemata ialah struktur kognitif yang selalu berkembang dan berubah. Proses yang mengakibatkan adanya perubahan tersebut ialah asimilasi dan akomodasi. Kedua, asimilasi. Asimilasi merupakan proses kognitif dan perembesan pengalaman gres ketika seseorang memadukan stimulus atau persepsi ke dalam skemata atau sikap yang sudah ada. Misalnya, seorang anak belum pernah melihat ‘seekor ayam’. Stimulus, ayam, yang dialaminya akan diolah dalam pikirannya, dicocok-cocokkan dengan skemata-skemata yang telah ada dalam struktur mentalnya. Mungkin saja skemata yang paling erat dengan ayam ialah ‘burung’, maka ia menyebut ‘ayam’ itu sebagai ‘burung besar’ lantaran stimulus ‘ayam’ diasimilasikan ke dalam skemata ‘burung’. Nanti, ketika dipahaminya bahwa binatang itu bukan ‘burung besar’ melainkan ‘ayam’, maka terbentuklah skemata ‘ayam’ dalam struktur pikiran anak itu. Asimilasi intinya tidak mengubah skemata, tetapi memengaruhi atau memungkinkan pertumbuhan skemata. 

Dengan demikian, asimilasi ialah proses kognitif individu dalam usahanya mengadaptasikan diri dengan lingkungannya. Asimilasi terjadi secara kontinu, berlangsung terus-menerus dalam perkembangan kehidupan intelektual anak. Ketiga, akomodasi. Uraian di atas menyimpulkan bahwa pada kesannya dalam struktur mental anak itu terbentuklah skemata ‘ayam’. Seandainya dalam pikiran anak itu sudah ada skemata yang cocok dengan skemata ‘ayam’ (ayam jenis lain), maka skemata ‘ayam’ itu akan berubah dalam artian akan menjadi lebih luas dan lebih terdiferensiasi. Maksudnya, mungkin pada skemata “ayam’ semula masih tercakup ‘itik’ atau ‘angsa’, tetapi dengan adanya pengalaman gres ini, maka konsep perihal ‘ayam’ menjadi lebih teliti, sempurna atau mantap. Akomodasi ialah suatu proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai dengan pengalaman baru. Proses kognitif tersebut menghasilkan terbentuknya skemata gres dan berubahnya skemata lama. Di sini tampak terjadi perubahan secara kualitatif, sedangkan pada asimilasi terjadi perubahan secara kuantitatif. Jadi, pada hakikatnya fasilitas mengakibatkan terjadinya perubahan atau pengembangan skemata. 

Sebelum terjadi akomodasi, ketika anak mendapatkan stimulus yang baru, struktur mentalnya menjadi goyah atau disebut tidak stabil. Bersamaan terjadinya proses akomodasi, maka struktur mental tersebut menjadi stabil lagi. Begitu ada stimulus gres lagi, maka struktur mentalnya akan kembali goyah dan selanjutnya sesudah terjadi proses fasilitas akan stabil lagi. Begitulah proses asimilasi dan fasilitas terjadi terus-menerus dan menjadikan skemata insan berkembang bersama dengan waktu dan bertambahnya pengalaman. Mula-mula skemata seseorang masih bersifat sangat umum dan global, kurang teliti, bahkan terkadang kurang tepat, tetapi melalui proses asimilasi dan akomodasi, skemata yang kurang sempurna dan kurang teliti tersebut diubah menjadi lebih sempurna dan lebih teliti. Dari uraian di atas sanggup ditarik kesimpulan bahwa dalam asimilasi, individu memaksakan struktur yang ada padanya kepada stimulus yang masuk. Artinya, stimulus dipaksa untuk memasuki salah satu yang cocok dalam struktur mental individu yang bersangkutan. Sebaliknya, dalam fasilitas individu dipaksa mengubah struktur mentalnya biar cocok dengan stimulus yang gres itu. Dengan kata lain, asimilasi bersama-sama dengan fasilitas secara terkoordinasi dan terintegrasi rnenjadi penyebab terjadinya pembiasaan intelektual dan perkembangan struktur intelektual. Keempat, keseimbangan (equilibrium). 

Dalam proses pembiasaan terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai struktur mental atau skemata yang stabil. Stabil dalam artian adanya keseimbangan antara proses asimilasi dan proses akomodasi. Seandainya hanya terjadi asimilasi secara kontinu, maka yang bersangkutan hanya akan mempunyai beberapa skemata global dan ia tidak bisa melihat perbedaan antara banyak sekali hal. Sebaliknya, jika hanya fasilitas saja yang terjadi secara kontinu, maka individu akan hanya mempunyai skemata yang kecil-kecil saja, dan mereka tidak mempunyai skemata yang umum. Individu tersebut tidak akan bisa melihat persamaan-persamaan di antara banyak sekali hal. Itulah sebabnya, ada keserasian di antara asimilasi dan fasilitas yang oleh Jean Piaget disebut dengan keseimbangan (equilibrium).

Berbeda dengan Piaget, Vygotsky (Elliot, 2003, 52) menteorikan bahwa berguru ialah sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, berguru merupakan proses secara biologi sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya. Sehingga, lanjut Vygotsky, munculnya sikap seseorang ialah lantaran intervening kedua elemen tersebut. Pada ketika seseorang mendapatkan stimulus dan lingkungannya, ia akan memakai fisiknya berupa alat inderanya untuk menangkap atau menyerap stimulus tersebut, kemudian dengan memakai saraf otaknya informasi yang telah diterima tersebut diolah. Keterlibatan alat indera dalam menyerap stimulus dan saraf otak dalam mengelola informasi yang diperoleh merupakan proses secara fisik-psikologi sebagai elemen dasar dalam belajar. Pengetahuan yang telah ada sebagai hasil dan proses elemen dasar ini akan lebih berkembang ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan sosial budaya mereka. 

Oleh lantaran itu, Vygotsky sangat menekankan pentingnya tugas interaksi sosial bagi perkembangan berguru seseorang. Vygotsky percaya bahwa berguru dimulai ketika seorang anak dalam perkembangan zone proximal, yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh seorang anak ketika ia melaksanakan sikap sosial. Zone ini juga sanggup diartikan sebagai seorang anak yang tidak sanggup melalukan sesuatu sendiri tetapi memerlukan sumbangan kelompok atau orang dewasa. Dalam belajar, zone proximal ini sanggup dipahami pula sebagai selisih antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan kelompoknya atau dengan sumbangan orang dewasa. Maksimalnya perkembangan zone proximal ini tergantung pada intensifnya interaksi antara seseorang dengan lingkungan sosial. 

Dengan demikian, seorang anak “tidak sendirian” dalam menemukan dunianya sebagai penggalan proses perkembangan kognitifnya. Anak sanggup melaksanakan konservasi dan pembagian terstruktur mengenai dengan sumbangan anggota keluarga, guru, atau kelompok bermainnya. Pada umumnya bimbingan ini dikomunikasikan melalui bahasa. Bruner (1990:271) menyebut sumbangan orang remaja dalam proses berguru anak dengan istilah scaffolding, yaitu sebuah dukungan untuk berguru dan memecahkan problem. Dukungan ini sanggup berupa isyarat-isyarat, peringatanperingatan, dorongan, memecahkan problem dalam beberapa tahap, memperlihatkan contoh, atau segala sesuatu yang mendorong seorang siswa untuk tumbuh dan menjadi pelajar yang berdikari dalam memecahkan problem yang dihadapinya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel