Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat 
Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PNPM Mandiri PISEW) merupakan salah satu aktivitas nasional yang ditujukan untuk mempercepat pembangunan sosial ekonomi masyarakat yang berbasis sumberdaya lokal, mengurangi kesenjangan antarwilayah, pengentasan kemiskinani daerah perdesaan, memperbaiki pengelolaan pemerintahan (local governance) dan penguatan institusi di perdesaan dengan pendekatan pembanagunan kewilayahan di tingkat kabupaten yang telah menerapkan metode yang diamanatkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 perihal Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam pelaksanaannya PNPM berdikari PISEW juga telah menerapkan 5 (lima) pendekatan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 perihal Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yaitu : (i) Politik; (ii) Teknokratik; (iii) Partisipatif; (iv) top-down; dan (v) bottom-up yang diimplementasikan pada tahap perencanaan (T-1) dimana dalam memilih prioritas-prioritas Pemberdayaan Sosial Ekonomi dipertemukan RPJMD Provinsi, RPJMD Kabupaten, Renstra Kecamatan, Rencana Pembangunan Desa (RPJM Desa) dan Perencanaan Partisipatif yang dilaksanakan oleh masyarakat di desa-desa peserta derma program. Melalui proses perencanaan inilah PNPM Mandiri PISEW sebagai salah satu aktivitas penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, disamping telah memprakarsai penerapan 5 (lima) pendekatan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional /SPPM juga telah menerapkan siklus aktivitas sesuai dengan sistem Anggaran Nasional Berdasarkan pengalaman menerapkan motode dan pendekatan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional/ SPPN semenjak digulirkannya PNPM Mandiri PISEW semenjak tahun 2008, seharusnya telah menjadi pembekalan dan pembelajaran bagi para pemangku kepentingan terkait/ Stakeholders di daerah (pemerintah daerah, sektor swasta serta masyarakat) bagaimana seharusnya melaksanakan pembangunan di daerah berbasis pemberdayaan masyarakat yang sekaligus sejalan dengan arah kebijakan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten dalam upaya mendukung pembangunan sosial ekonomi daerah melalui pendekatan pengembangan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) sebagai pusat kegiatan ekonomi di wilayah kabupaten target program. Namun demikian dalam pelaksanaannya masih dirasakan aneka macam kelemahan/ kekurangan, baik dari sisi kesiapan pemerintah daerah maupun pola pendampingan masyarakat selaku peserta manfaat yang mengakibatkan belum sempurnanya pelaksanaan aktivitas PNPM Mandiri PISEW di semua lokasi sasaran. Terutamanya pada aspek penguatan kelembagaan PNPM Mandiri PISEW melalui pemahaman dan kinerja Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) di tingkat desa semoga pasca pelaksanaan aktivitas PNPM Mandiri PISEW, Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) sanggup melanjutkan aktivitas secara berkesinambungan sehingga tercapai peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin di lokasi target sesuai dengan tujuan aktivitas PNPM Mandiri PISEW maupun pembangunan nasional.

2.2 Pengertian Operasi dan Pemeliharaan
Pengertian operasi dan pemeliharaan sarana berdasarkan Perencanaan dan Monitoring Masyarakat Untuk Pelayanan Sarana (Depkes, 2004) yaitu proses memfungsikan dan mengoptimalkannya komponen-komponen sarana yang telah dimanfaatkan. Sedangkan pemeliharaan yaitu upaya-upaya untuk menjaga semoga sarana yang telah dibangun bermanfaat sepanjang waktu, membuat pemakaian maksimum dari seluruh kemudahan yang ada melalui perawatan dan perbaikan serta menjaga pencapaian umur manfaat sarana tanpa rehabilitasi besar-besaran. Operasi dan pemeliharaan sarana yang telah dibangun dilaksanakan oleh masyarakat dan dihitung secara rinci biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk pengoperasian dan pemeliharaan dan tersusun organisasi pengelolanya serta sanggup dibuat tata cara operasi dan pemeliharaan dari sistem yang telah dibangun.

2.3 Pengertian Partisipatif
2.3.1 Definisi Partisipatif
Menurut Perencanaan Partisipatif Masyarakat Untuk Pelayanan Sarana (Depkes, 2004), ada dua alternatif utama dalam penggunaan partisipasi berkisar pada partisipasi sebagai tujuan pada dirinya sendiri atau sebagai alat untuk mengembangkan diri. Logikanya, kedua interpretasi itu merupakan satu kesatuan. Keduanya mewakili partisipasi yang bersifat instrumental dan transformasional. Partisipasi instrumental terjadi ketika partisipasi dilihat sebagai suatu cara untuk mencapai target tertentu. Partisipasi transformasional terjadi ketika partisipasi itu pada dirinya sendiri, dipandang sebagai tujuan yang lebih tinggi, contohnya dalam operasional dan pemeliharaan sarana air higienis yaitu keswadayaan dan sanggup berkelanjutan.

Sebagai suatu tujuan, partisipasi menghasilkan pemberdayaan yaitu setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Partisipasi ditafsirkan sebagai alat untuk mencapai efisiensi dalam manajemen untuk melaksanakan kebijakan.

2.3.2 Paradigma Pembangunan Partisipatif
Dalam rangka pencapaian hasil-hasil pembangunan yang sanggup berkelanjutan, banyak kalangan sepakat bahwa suatu pendekatan partisipatif perlu diambil. J Pretty dan Gujit (Mikkelsen, Britha, Methods for Development Work and Research : A Guide for Practitioners, 1995) menjelaskan implikasi mudah dari pendekatan ini yaitu pendekatan pembangunan partisipatoris harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui perihal sistem kehidupan mereka sendiri. Pendekatan ini harus menilai dan mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan mereka dan memperlihatkan sarana yang perlu bagi mereka supaya sanggup mengembangkan diri. Ini memerlukan perombakan dalam seluruh praktik dan pemikiran, disamping derma pembangunan. Ringkasnya diharapkan suatu paradigma baru. Munculnya paradigma pembangunan partisipatif mengindikasikan adanya dua prespektif :

  • Munculnya pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perancangan, perencanaan dan pelaksanaan serta operasional dan pemeliharaan aktivitas yang akan mewarnai hidup mereka, sehingga sanggup dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap dan pola pikir serta nilai-nilai dan pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh.
  • Membuat umpan balik (feedback) yang pada hakekatnya merupakan serpihan tak terlepaskan dari kegiatan pembangunan.
2.4Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sarana
Pengertian metode partisipatif yaitu mendorong keikutsertaan setiap individu didalam suatu proses kelompok tanpa memandang usia, jenis kelamin, kelas sosial dan latar belakang pendidikan yang tumbuh dari rasa kesadaran dan tanggung jawabnya (Perencanaan Partisipatif Masyarakat Untuk Pelayanan Sarana Air Bersih Dan Sanitasi, Ditjen PPM & PL Depkes 2004). Metode ini terbukti sangat berkhasiat untuk mendorong keikutsertaan perempuan (yang berdasarkan moral setempat biasanya dianggap kurang baik kalau perempuan terlalu banyak bicara atau lantaran tidak bisa baca tulis). Metode partisipatif dirancang untuk membangun rasa percaya diri dan rasa tanggung jawab atas keputusan yang diambilnya. Metode partisipatif mencoba membuat proses pengambilan atas keputusan yang diambilnya. Metode partisipatif mencoba membuat proses pengambilan keputusan sebagai pekerjaan yang gampang dan menyenangkan hati. Para pesertanya berguru antar sesamanya dan mengembangkan rasa saling menghargai atas pengetahuan dan keterampilan sejawatnya.

Metode partisipatif telah terbukti membuahkan keberhasilan. Azas-azas yang mendasarinya yaitu azas pendidikan orang cukup umur yang telah mengalami pengujian lapangan di banyak tempat. Pengalaman lapangan memperlihatkan bahwa metode partisipatif sanggup menuntun pekerja sosial ke pengalaman yang jauh lebih mengesankan. Jika telah sekali mencoba metode ini dan alhasil menggembirakan, para pekerja sosial biasanya tidak lagi akan kembali ke metode yang lama.

2.4.1 Jenis-jenis Partisipasi Masyarakat
Berbagai bentuk keterlibatan masyarakat sanggup berupa :

  1. Sumbangan pikiran/ gagasan/ wangsit yang disampaikan sewaktu rapat-rapat atau pertemuan desa, pertemuan kelompok pemakai sarana didalam membahas perihal operasional dan pemeliharaan termasuk pengembangan air bersih.
  2. Sumbangan keterampilan dan tenaga, sanggup diwujudkan didalam kegiatan bantu-membantu untuk pemeliharaan sarana, perbaikan sarana maupun proteksi dari pencemaran, pola membuat saluran pembuang air limbah. Juga pelaksanaan kegiatan peningkatan kualitas hidup hygienis di masyarakat dan sekolah.
  3. Sumbangan material, wujudnya yaitu ikut serta mengusahakan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pemeliharaan, perbaikan maupun pengembangan sarana air bersih. Contoh : pasir, watu kali, kerikil, sikat lantai, sapu lidi dan sebagainya.
  4. Sumbangan dana/ uang, ini mutlak harus ada, lantaran kegiatan air higienis sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab masyarakat termasuk pembiayaannya untuk operasional dan pemeliharaan (100 %). Dalam hal ini, jika kesulitan mengumpulkan iuran dalam bentuk uang maka sanggup digantikan dengan barang-barang (natura) hasil setempat. Contoh : kelapa, jagung, beras, daun tembakau dan sebagainya. Dikumpulkan oleh pengurus KPS atau petugas yang ditunjuk, setelah terkumpul kemudian dijual, uang sanggup dimanfaatkan untuk biaya operasional dan pemeliharaan. 
2.4.2 Strategi Dalam Menghimpun Partisipasi Masyarakat
Guna menghimpun kiprah serta (partisipasi) masyarakat diharapkan adanya langkah-langkah pendekatan dan manajemen pengelolaan terhadap apa yang sudah disumbangkan secara baik. Sekaligus untuk menumbuhkan rasa mempunyai nantinya. Langkah-langkah pendekatan yang perlu ditempuh :

  1. Memberikan informasi dan klarifikasi perihal untuk apa sarana tersebut dipelihara dan dikembangkan, sehingga akan sanggup diketahui adanya tujuan dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui pertemuan-pertemuan informal (arisan, pengajian, kenduri dan sebagainya) dan rapat formal (musyawarah desa dan sebagainya).
  2. Memberikan klarifikasi perihal siapa saja yang harus bertanggung jawab atas kesinambungan pembangunan sarana tersebut. Tanggung jawab dari masyarakat harus diberi pengutamaan yang jelas.
  3. Menerangkan perihal dari mana biaya untuk mengoperasionalkan, memperbaiki dan merawat sarana tersebut dan juga biaya untuk kegiatan peningkatan kualitas hidup hygienis dan sebagainya.
  4. Melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut jenis kegiatan, sehingga partisipasi dalam semua jenisnya sanggup terwujud untuk operasional, pemeliharaan dan pengembangan sarana. 
2.4.3 Langkah-langkah Mengorganisasikan Gotong Royong Pemeliharaan Sarana
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam mengorganisasikan bantu-membantu didalam pemeliharaan sarana air bersih, urutannya meliputi :

  1. Menginventarisir dan menyepakati jenis kegiatan yang sanggup dilaksanakan secara gotong royong.
  2. Memberikan klarifikasi secara rinci kepada masyarakat, baik melalui kunjungan rumah ke rumah maupun dalam pertemuan-pertemuan (tingkat RT, RW, Dusun dan Desa), perihal arti pentingnya air higienis bagi kesehatan masyarakat serta memperlihatkan pemahaman bahwa pembangunan tidak sinambung apabila tanpa didukung kesediaan masyarakat untuk bergotong royong secara sukarela.
  3. Mengadakan pendekatan kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk memobilisasikan masyarakat dalam pelaksanaan gotong royong, baik waktu kunjungan rumah ke rumah maupun dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri para warganya
  4. Mengorganisasikan kegiatan bantu-membantu secara baik dengan membuat jadwal kerja yang sebelumnya terlebih dahulu disepakati masyarakat maupun pekerjaan yang sifatnya sukarela, tetapi harus diatur secara rapi pembagian tugasnya semoga tidak saling berbenturan/ berebut antara satu dengan yang lainnya dan pemerataan pekerjaan sehingga akan terperinci siapa melaksanakan apa dan kapan.
  5. Ikut ambil serpihan didalam pelaksanaan bantu-membantu baik tokoh masyarakat, tokoh agama maupun pegawapemerintah desa diharapkan sanggup memberi contoh/ menggerakkan kegiatan ini sehingga bisa tumbuh motivasi pada masyarakat untuk melaksanakan gotong royong. 

2.5 Pembentukan Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP)
2.5.1 Prinsip Pembentukan KPP
Menurut panduan teknis Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (Ditjen Cipta Karya Kementrian PU, 2010), sebagaimana prinsip pengorganisasian masyarakat, KPP tetap mengacu pada prinsip :

  1. Partisipatif : pembentukan forum harus melibatkan seluruh warga masyarakat (perempuan, laki-laki, miskin, kaya) yang didasari filosofi : dari-oleh-untuk masyarakat.
  2. Demokrasi : pengambilan keputusan pembentukan forum mempertimbangkan bunyi seluruh warga masyarakat (perempuan, laki-laki, miskin, kaya).
  3. Sensitive gender : pembentukan forum mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat (perempuan, laki-laki).
  4. Sensitive kemiskinan : kelembagaan yang dibuat harus memperhatikan kepentingan dan kemampuan masyarakat golongan bawah (miskin).
2.5.2 Langkah-langkah Pembentukan KPP
Pembentukan Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) dilakukan pada waktu proses perencanaan atau setelah penandatanganan kontrak pekerjaan dan paling lambat sebelum serah terima pekerjaan dari Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Untuk mengefektifkan kinerja KPP, maka dalam pembentukannya perlu dilakukan pendekatan sebagai berikut :

  1. Memanfaatkan kelompok yang sudah ada, baik yang telah dibuat aktivitas lain maupun oleh aktivitas PNPM-PISEW tahun sebelumnya
  2. KPP dibuat di tingkat Desa dengan mengelola seluruh prasarana yang dibangun di desa tersebut dan mempunyai unit pengelola untuk masing-masing prasarana. Satu KPP tidak bisa melintasi 2 desa, mengingat pengakuan pembentukannya oleh kepala desa.
  3. KPP dibuat berdasarkan jenis prasarana yang mempunyai satu kesatuan fungsi struktur bangunan yang sama (prasarana umum), pola Jalan dan Drainase dalam 1 wilayah (desa) menjadi 1 KPP atau Jalan, Jembatan dan Gorong-gorong dalam 1 wilayah (desa) menjadi 1 KPP.
  4. KPP dibuat berdasarkan jenis prasarana yang hanya mempunyai satu fungsi struktur bangunan (prasarana kelompok), pola Air Bersih, MCK, Saluran Irigasi, Posyandu dll sehingga dalam 1 wilayah (desa) bisa lebih dari 1 KPP
  5. Khusus untuk prasarana yang berada atau menempel di instansi terkait maka pemeliharaan diserahkan pada instansi bersangkutan (contoh : Meubeller, Rehab Sekolah, Posyandu, Polindes, dan lain-lain).
Dalam hal prasarana yang dibangun lintas desa, maka KPP tetap dibuat di masing-masing desa. Untuk kepentingan pemeliharaan dan pembiayaannya, maka harus dibuat wadah kolaborasi antar KPP tersebut. Pada dasarnya yang membentuk KPP yaitu warga pemanfaat. Dalam pelaksanaannya, pembentukan KPP difasilitasi oleh Kepala Desa, dibantu oleh Fasilitator Desa (FD), Fasilitator Kecamatan (FK) dan Pokja Kecamatan melalui Musyawarah Desa. Untuk keberlanjutan KPP, pegawapemerintah kecamatan perlu mendukung terwujudnya suasana pembinaan yang aman guna mengembangkan keberadaan KPP di wilayah tersebut.
Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam proses fasilitasi pembentukan KPP sebagai berikut :
1. Melakukan Identifikasi terhadap hal-hal berikut :

  • Prasarana yang telah ada
  • KPP yang telah terbentuk, baik oleh PNPM-PISEW maupun dalam aktivitas lain
  • Pemanfaat (jumlah, tempat tinggal, nama, jenis kelamin)
2. Warga yang akan memanfaatkan dikumpulkan, pertemuan ini diisi dengan aktivitas :

  • Penjelasan perihal perlunya dibuat pengelola prasarana.
  • Penjelasan untung ruginya bila dibuat dan bila tidak dibentuk.
  • Mengambil janji perihal persetujuan pembentukan KPP
3. Setelah warga sepakat melaksanakan pembentukan, maka dilakukan musyawarah pembentukan KPP dengan aktivitas :

  • Pemilihan pengurus
  • Pembahasan aturan KPP, meliputi bidang organisasi, administrasi, pembiayaan, kegiatan serta usaha, dan prosedur pemeliharaan, yang selanjutnya akan dijadikan AD/ART KPP
  • Penyusunan Rencana Kerja, baik planning terkait pengelolaan kelembagaan kelompok maupun pemeliharaan infrastrukur.
4. Pengesahan isu aktivitas pembentukan oleh kepala desa
5. Lakukan pelantikan KPP, bisa mengundang Camat, Tim Teknis Lapangan (FK, TtL), Kepala Desa, Aparat atau Tokoh Masyarakat, semoga keberadaannya sanggup diakui dan diperhatikan.

Identifikasi yang dilakukan sebelum pembentukan KPP meliputi : prasarana, Kelompok pemanfaat yang sudah ada dan jumlah warga pemanfaat. Identifikasi ini dilakukan oleh Kepala Desa dibantu oleh FD. Sumber data yang dipakai yaitu data-data yang ada di Kantor Kepala desa, kemudian FD melaksanakan pengecekan kembali sesuai dengan kondisi terakhir di lapangan. Untuk memudahkan identifikasi, maka prasarana yang diidentifikasi difokuskan pada prasarana dasar saja yang sesuai dengan 6 kategori PNPM PISEW.

2.6 Peran Serta Masyarakat Dalam Mendukung Pengelolaan Sarana
Peran serta masyarakat yaitu pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, konstruksi dan pengoperasian program. Ini termasuk melibatkan masyarakat dalam memilih tujuan program, pengumpulan sumber daya, mendapatkan laba program, menilai apakah aktivitas mencapai tujuannya dan mengelola kelanjutan aktivitas dengan swadaya masyarakat.

Peran serta masyarakat tidak terjadi dengan sendirinya, lantaran masyarakat belum pernah merencanakan suatu program. Kadang-kadang tidak ada kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Salah satu contoh, air higienis yang mereka minum sehari-hari kebanyakan tidak memenuhi syarat. Demikian juga dengan fasilitas-fasilitas kesehatan lainnya yang dipakai sehari-hari. Oleh lantaran itu masyarakat perlu diberi motivasi dan dorongan untuk sanggup berperan aktif pada setiap proyek yang disediakan untuk mereka. Mereka akan turut bertanggung jawab lantaran merasa memiliki. Bila hasil suatu proyek penyediaan air higienis dan sanitasi kurang baik, tidak tepat target atau tidak sanggup berlanjut, perlu diketahui sebab-sebabnya.

Ada beberapa alasannya yang perlu diperhatikan berdasarkan Panduan Untuk Melaksanakan Pendekatan Jender (Depkes, 2004) di antaranya :

  1. Perbedaan pandangan antara masyarakat dan pembuat planning terhadap kemudahan yang akan dibangun.
  2. Titik berat pada derma dan bukan pemakaian kemudahan yang berkesinambungan
  3. Bantuan penunjang yang efektif pada masyarakat sering kurang, terutama setelah proyek selesai.
Agar sanggup berpartisipasi aktif perlu diketahui hal-hal apa yang sanggup menjadi pemicunya. Biasanya kebutuhan dan keadaan yang mendesak akan mendorong masyarakat berperan serta dalam aneka macam proyek bantuan. Misalkan kebutuhan akan air bersih. Air higienis merupakan kebutuhan pokok insan yang sangat penting dan diharapkan setiap hari. Pengertian sanitasi (J. Sugito, 2005) yaitu pengawasan secara fisik terhadap semua faktor lingkungan hidup insan yang sanggup mengakibatkan imbas merusak bagi perkembangan fisik kesehatan dan lingkungan manusia, sedangkan sumber air higienis disebut juga sebagai sumber air baku yaitu merupakan air baku yang sanggup berasal dari sumber air permukaan, air cekungan dari dalam tanah (air tanah) dan air hujan yang memenuhi baku mutu sumber air baku sebagai sumber air bersih/ minum. Secara kualitas fisik air higienis harus tidak berasa, tidak berbau dan harus jernih, adapun secara kimia apakah telah memenuhi baku mutu air higienis berdasarkan ketentuan Permenkes No. 416/ Menkes/Sk/XI/1990.

Masyarakat sangat mengharapkan kemudahan mengakses sumber air higienis dan gampang timbul kesadaran untuk membantu setiap perjuangan dalam membangun fasilitas-fasilitas air bersih. Demikian juga terhadap fasilitas-fasilitas sanitasi. Misalkan dengan terjadinya wabah penyakit menular lantaran kebiasaan yang jelek dari masyarakat, kebutuhan akan fasilitas-fasilitas kesehatan menjadi sangat mendesak. Kondisi-kondisi ibarat itu perlu diperhatikan bagi perencana proyek-proyek derma untuk masyarakat. Dalam hal ini, Pemerintah telah menyediakan perbaikan kesehatan lingkungan, ibarat air untuk minum, mandi, mencuci, kakus maupun perbaikan rumah telah dilaksanakan. Tetapi bagaimanakah pemakaiannya ? Apakah memuaskan penduduk ? Dapatkah mereka mengelola selanjutnya ? Maka penting kiranya memastikan kelangsungan tujuan proyek. Apakah berhenti setelah kemudahan fisik dibangun atau sanggup dimanfaatkan secara berkesinambungan dan sanggup dijadikan pola bagi daerah lainnya. Setelah proyek selesai dan keperluan untuk laporan serta publikasi selesai biasanya kemudahan fisik diserahkan pribadi kepada masyarakat untuk dikelola. Pemanfaatan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas tersebut sering timbul problem mulai dari forum yang akan menangani, biaya operasional, cara pengoperasian alat, hingga kebutuhan akan sparepart alat.

Dari awal masyarakat harus dilibatkan dalam pembentukan forum atau oganisasi yang akan mengelola fasilitas-fasilitas tersebut. Apakah diserahkan kepada perangkat kelurahan, karang taruna, RT setempat, atau dibuat forum gres khusus untuk mengelola. Ini untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama. Setelah forum pengelola terbentuk, masyarakat juga harus dilibatkan untuk menanggung biaya operasional. Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang telah tumbuh akan mempermudah menarik iuran dari masyarakat. Sebelum kemudahan fisik selesai dibangun masyarakat perlu diberi pengetahuan cara-cara untuk mengoperasikan alat-alat yang dipakai ibarat pompa tangan, pompa listrik, tangki septik, jamban, dan lain-lain.

2.7 Pengelolaan Yang Berkesinambungan
Pada masa pemerintahan orde gres banyak dibangun fasilitas-fasilitas untuk masyarakat menengah ke bawah di seluruh pelosok tanah air. Mulai dari penyediaan air bersih, sanitasi, sumur gali, pompa tangan, jalan desa, persampahan dan lain-lain. Tetapi hingga dikala ini hampir semua kemudahan tersebut tidak sanggup dimanfaatkan. Bahkan fasilitas-fasilitas yang dibangun, khususnya untuk penyediaan air higienis dan sanitasi dikenal dengan sebutan "monumen" lantaran tak lagi berfungsi. Banyak dana yang telah dikeluarkan. Sebagian besar dana berasal dari pinjaman luar negeri. Kegagalan proyek atau aktivitas tersebut disebabkan oleh kegunaan yang tidak tepat (teknologi tidak sesuai), tidak ada partisipasi masyarakat dan akhir ketiadaan rasa mempunyai masyarakat.

Sarana air higienis yang berkesinambungan yaitu air higienis yang sanggup memuaskan sebagian besar pengguna termasuk mereka yang berpenghasilan rendah. Pelayanan dianggap memuaskan apabila sanggup dirasakan keuntungannya dan penggunaan yang efektif dan hal ini terjadi lantaran sebagian besar masyarakat mempunyai jalan masuk (paling tidak 80 %). Pelayanan yang sinambung dan penggunaan yang efektif ada kaitannya satu sama lain dengan aktivitas yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini sanggup terjadi kalau dari awal para pengguna dilibatkan dalam perencanaan untuk memperlihatkan bunyi dan mempunyai hak pilih. Selain itu terdapat kesetaraan dalam pengelolaan sarana dan mengembangkan beban kerja serta manfaat. Kesemuanya mensyaratkan partisipasi masyarakat dalam berkontribusi, pengawasan pada pelaksanaan proyek dan mengembangkan tanggung jawab secara transparan.

2.7.1 Aspek-aspek Kesinambungan Pengelolaan
Pelayanan sarana yang berkesinambungan secara efektif yaitu sarana yang sanggup berfungsi terus menerus, sehingga pengguna mendapatkan kepuasan yang tinggi dan bersedia untuk memakai dan memelihara sarana tersebut. Pelayanan sarana air higienis dan sanitasi yang dipakai secara efektif yaitu sarana yang oleh sebagian besar masyarakat dipakai dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan dan melestarikan lingkungan. Berdasarkan Panduan Teknis Pengelolaan Air Bersih Pasca Konstruksi (Ditjen PPM & PL Depkes, 2005), ada 5 (lima) aspek dalam kesinambungan proyek meliputi :
1. Kesinambungan teknis terjadi kalau kemampuan perbaikan sarana dilakukan oleh masyarakat dan mempertimbangkan jenis teknologi yang dimanfaatkan sesuai dengan kondisi masyarakat.

  • Apakah dalam perencanaan oleh masyarakat telah mempertimbangkan jenis teknologi yang ada (disesuaikan) dengan kondisi di masyarakat.
  • Hal ini meliputi perihal keberfungsiannya secara benar dan sanggup mendapatkan amanah terhadap teknologi serta pelayanan sistem air higienis dan sanggup memperlihatkan pelayanan dengan jumlah air yang memadai secara kontinyu dengan kualitas air yang memenuhi standar kesehatan.
  • Equity/ kesetaraan meliputi pelayanan diberikan kepada seluruh kelompok masyarakat dengan prioritas orang miskin.
2. Kesinambungan financial/ keuangan didapatkan jika masyarakat terlibat dalam perencanaan. Selain itu, dalam menetapkan biaya operasi dan pemeliharaan serta iuran telah melibatkan semua kelompok masyarakat (kaya/ miskin, laki/ perempuan). Iuran ditarik berdasarkan tingkat pelayanan yang didapatkan pengguna atau jumlah konsumsi air higienis setiap KK.

  • Apakah dalam perencanaan oleh masyarakat telah mempertimbangkan biaya Operasi dan pemeliharaan dan iuran telah melibatkan semua kelompok strata sosial (kaya/ miskin, laki-laki/ perempuan).
  • Suatu Sistem hanya sanggup berfungsi bila sumber pendanaan/financial paling tidak sanggup memenuhi kebutuhan untuk operasional, pemeliharaan dan perbaikan.
  • Equity/ kesetaraan berafiliasi dengan siapa yang akan menjadi sumber pendanaan, secara adil asal sumber pendanaan ini akan ditanggung secara bersama diantara para pemanfaat yang mempunyai tingkat kesejahteraan yang berbeda.
3. Kesinambungan lingkungan akan terjadi bila perencanaan oleh masyarakat telah memperhatikan aspek lingkungan dalam kaitannya dengan sumber air yang dimanfaatkan dan pembuangan air limbah.

  • Apakah dalam perencanaan oleh masyarakat telah memperhatikan aspek lingkungan terutama sumber air yang ada.
  • Sumber air akan menghadapi banyak ancaman, ibarat terlalu besarnya penyadapan, kontaminasi, penggundulan hutan dan fasilitas/ sarana air higienis dan sanitasi sendiri juga akan menjadikan bahaya terhadap lingkungan ibarat tidak tersedianya drainase yang memadai sehingga minimbulkan genangan yang memungkinkan tempat berkembang biaknya serangga pembawa penyakit ibarat malaria dsb. Hal-hal tersebut diatas yang harus diperhatikan untuk dilaksanakan atau dihindari.
  • Aspek equity/ kesetaraan meliputi pembagian tanggung jawab secara adil diantara pemanfaat untuk melindungi sumber air dan lingkungan
4. Kesinambungan institusi/ kelembagaan merupakan proses pembentukan tubuh pengelola yang telah memperhatikan kesetaraan gender dan pelibatan kelompok miskin, serta mewujudkan nilai-nilai demokrasi dan transparansi.

  • Apakah dalam proses pembentukan tubuh pengelola telah memperhatikan kesetaraan gender dan pelibatan kelompok miskin, serta mewujudkan nilai-nilai demokratis dengan mengembangan kemampuan melalui kelompok miskin dan kesetaraan jender.
  • Kelembagaan yang ada harus mempunyai karakteristik lokal, aturan dan akuntabilitas.
  • Equity/ kesetaraan mempertimbangkan bunyi semua golongan, terutama masyarakat miskin dan perempuan didalam organisasi yang akan mengelola dan mengkontrol sistem. Selain itu dalam kaitannya dengan pengembangan kemampuan melalui training juga harus melibatkan kelompok miskin dan kesetaraan gender, baik dalam memilih jenis training maupun peserta pelatihan.
5. Kesinambungan sosial akan terjadi kalau seluruh kelompok masyarakat diberikan kesempatan menetapkan pilihan teknologi, jenis sarana, tingkat pelayanan, jenis training termasuk kelompok masyarakat yang disertakan dengan memperhatikan nilai-nilai Demand Responsive Approach (DRA). Seluruh kelompok masyarakat telah menyumbangkan suaranya dalam pengambilan keputusan (suara dimaksudkan sebagai kondisi ketika seseorang sanggup mengeluarkan pendapatnya dan didengar) mengenai bentuk dan besarnya kontribusi dan iuran, penetapan prosedur pengelolaan sarana, serta pemilihan anggota tubuh pengelola sarana.

  • Apakah dalam perencanaan seluruh kelompok masyarakat (kaya/ miskin, laki-laki/ perempuan) diberi pilihan ibarat opsi teknologi, jenis sarana, tingkat pelayanan, jenis pelatihan, telah memperhatikan demand responsive approach (DRA) dari masyarakat.
  • Pemanfaat akan mendukung kesinambungan sistem bila impian mereka sanggup terpenuhi, ini berarti bahwa pelayanan yang ada harus gampang mereka akses, pemanfaat diberikan pilihan untuk teknologi pelayanan sesuai dengan kemampuan pembiayaan, budaya dan tata cara keseharian.
  • Aspek equity/ kesetaraan melihat bagaimana laba dari pemanfaatan sistem sanggup dibagi secara adil sesuai dengan perbedaan kondisi sosio-ekonomi, gender dan kemisikinan.
Dengan memakai kelima aspek ini semoga sanggup meningkatkan proses perencanaan yang tanggap pada kebutuhan. Masyarakat sanggup mencocokkan kebutuhannya dengan pilihan teknis, kemampuan dan kemauan untuk membayar di antara kelompok yang berbeda serta menilai tingkat kebutuhannya sendiri.

2.7.2 Penilaian Kesinambungan Pengelolaan 
Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) sebagai wadah masyarakat mengorganisir dirinya. Pada prosesnya akan terjadi perkembangan kelembagaan. Perkembangan diidentifikasi melalui faktor Teknis, Financial/ Keuangan, Lingkungan, Institusi/ Kelembagaan dan Sosial.

Penilaian kesinambungan pengelolaan air higienis indikator-indikator dalam kuestioner penelitian mengacu pada Petunjuk Teknis Pelaksanaan Monitoring Kesinambungan dan Efektifitas Penggunaan Sarana (Outcome and Process Monitoring, Depkes 2004). Adapun evaluasi kesinambungan pengelolaannya memakai skor-skor yang terdapat dalam lembar skor dan catatan monitoring partisipatif masyarakat untuk pelayanan sarana. Dari keseluruhan indikator dilakukan skoring, sehingga nilai rata-rata mencerminkan kesinambungan pengelolaan.
Faktor 
Indikator Penilaian 
Kesinambungan Teknis 

  1. Tingkat perbaikan yang dilakukan oleh KPP. 
  2. Jangka waktu perbaikan dikala terjadi kerusakan. 
Kesinambungan Finansial 

  1. Tanggung jawab masyarakat terhadap iuran. 
  2. Kecukupan biaya yang diterima dari iuran para pengguna. 
  3. Perencanaan keuangan yang telah dilakukan untuk pelayanan. 
  4. Tingkat keterbukaan dalam pembukuan keuangan. 
  5. Kesetaraan biaya dalam sistem iuran. 
  6. Pengalaman ketetapan dalam sistem pembayaran. 
Kesinambungan Lingkungan 

  1. Jenis kontaminasi pada sumber air. 
  2. Kualitas sumber air. 
  3. Pengamatan kondisi drainase. 
Kesinambungan Institusi/ Kelembagaan 

  1. Pelaporan perihal keuangan dan pelaksanaan lainnya. 
  2. Jenis pertemuan pengurus. 
  3. Aturan-aturan perihal pengelolaan sarana. 
Kesinambungan Sosial 

  1. Kesetaraan dalam pengelolaan. 
  2. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan. 
Sedangkan kesinambungan pengelolaan air higienis sanggup diklasifikasikan 3 kategori yaitu :

  1. Tumbuh, apabila nilai rata-rata skor indikator å 50 - 74.
  2. Kembang, apabila nilai rata-rata skor indikator å 75 - 89.
  3. Mandiri, apabila nilai rata-rata skor indicator å 90 - 100.
2.7.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kesinambungan Pengelolaan
Faktor yang mempengaruhi kesinambungan oleh masyarakat tergantung :

  1. Tingkat dimana semua masyarakat (kaya/ miskin, laki-laki/ perempuan) mempunyai jalan masuk dan sesuai dengan kebutuhan terhadap sarana.
  2. Cara dimana beban kerja dan manfaat dari perencanaan, pembangunan sarana dibagi kesemua masyarakat (kaya/ miskin, laki-laki/ perempuan).
  3. Tingkat partisipasi penggunaan yang memperhatikan aspek jender dan kemiskinan dalam pembangunan dan pengelolaan sarana.
  4. Bentuk dukungan kelembagaan yang memperlihatkan kemudahan dalam berpartisipasi bagi masyarakat (kaya/ miskin, laki-laki/ perempuan) dalam pembangunan dan penggunaan sarana.
  5. Dukungan kebijakan atau bentuk sektor kebijakan dalam aktivitas memperlihatkan kemudahan bagi partisipasi masyarakat (kaya/ miskin, laki-laki/ perempuan) dalam pembangunan sarana
2.8 Kebijakan Nasional Pembangunan Air Bersih dan Sanitasi Berbasis Masyarakat
Buruknya pelayanan air higienis dan penyehatan lingkungan merupakan hambatan serius dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Akibatnya masyarakat harus menanggung beban berupa menurunya kualitas lingkungan, mahalnya biaya untuk mendapatkan air higienis dan memburuknya tingkat kesehatan. Dalam hal ini Pemerintah telah mengambil langkah penting dengan menetapkan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Bersih Dan Sanitasi Berbasis Masyarakat. Pada hakikatnya pembangunan sarana air higienis dan sanitasi yaitu untuk masyarakat, tanpa upaya melibatkan mereka dalam tingkat yang cukup signifikan, maka akseptabilitas dan keberlanjutan hasil pembangunan akan sangat sulit dicapai. Sebelas butir Kebijakan Nasional Pembangunan Air Bersih Dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Bappenas, Depdagri, Depkeu, Depkimpraswil dan Depkes, 2004) antara lain :
1. Air merupakan benda sosial dan benda ekonomi
Hingga dikala ini sebagian anggota masyarakat masih berpandangan bahwa air sebagai sumber kehidupan semata-mata merupakan benda sosial (public goods) yang sanggup diperoleh secara cuma-cuma serta tidak mempunyai nilai ekonomi. Dampaknya yaitu masyarakat tidak mempunyai keinginan untuk melestarikan lingkungan dan sumber daya air (kualitas dan kuatitas) dan mengeksploitasi air sebagai benda bebas dan berlebihan serta stagnasi (kemacetan) dalam pengembangan ilmu dan teknologi untuk penggunaan kembali (reuse) dan pendaurulangan (recycle) air. Untuk mengubah pandangan tersebut diharapkan upaya kampanye publik kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa air merupakan benda langka yang mempunyai nilai ekonomi dan memerlukan pengorbanan untuk mendapatkannya, baik berupa uang maupun waktu. Sesuai dengan sifat sebagai benda ekonomi, maka prinsip utama dalam pelayanan air higienis dan sanitasi yaitu pengguna harus membayar atas pelayanan yang diperolehnya.

2. Pendekatan tanggap kebutuhan
Pendekatan tanggap kebutuhan menempatkan masyarakat pada posisi teratas dalam pengambilan keputusan, baik dalam hal pemilihan sistem yang akan dibangun, pola pendanaan, maupun tata cara pengelolaannya. Untuk meningkatkan efektivitas pendekatan tanggap kebutuhan, pemerintah sebagai fasilitator harus memperlihatkan pilihan yang diinformasikan (informed choice) yang menyangkut seluruh aspek pembangunan air higienis dan sanitasi, ibarat aspek tenologi, pembiayaan, lingkungan, sosial dan budaya serta kelembagaan pengelolaan.

3. Pembangunan berwawasan lingkungan
Pembangunan air bersih, mulai dari pengambilan sumber air, pengaliran air baku, pengolahan air bersih, jaringan distribusi air higienis hingga dengan sambungan rumah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kaidah dan norma kelestarian lingkungan. Demikian juga pembangunan prasarana dan sarana sanitasi juga dilaksanakan mengikuti kaidah dan norma kelestarian lingkungan. Dengan demikian diharapkan adanya sinergi antara upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan upaya peningkatan kelestarian lingkungan.

4. Pendidikan sikap hidup higienis dan sehat
Agar pelayanan air higienis dan sanitasi sanggup memperlihatkan manfaat secara berkelanjutan, maka pembangunan air higienis dan sanitasi harus bisa mengubah sikap masyarakat dalam menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan sebagai dasar menuju kualitas hidup yang lebih baik. Upaya yang dilakukan yaitu menjadikan komponen pendidikan sikap hidup higienis dan sehat sebagai komponen utama selain komponen fisik dalam pembangunan air higienis dan sanitasi.

5. Keberpihakan pada masyarakat miskin
Pada prinsipnya seluruh masyarakat Indonesia berhak untuk mendapatkan pelayanan air higienis dan sanitasi yang layak dan terjangkau. Oleh alasannya itu, dengan melihat keterbatasan yang dimiliki maka pembangunan air higienis dan sanitasi harus memperhatikan dan melibatkan secara aktif kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat tidak beruntung lainnya dalam proses pengambilan keputusan sehingga kebutuhan mereka sanggup terpenuhi secara layak, adil dan terjangkau.

6. Peran perempuan dalam pengambilan keputusan
Peranan perempuan untuk memenuhi kebutuhan air higienis dan sanitasi untuk kepentingan sehari-hari sangat dominan, sehingga sudah sewajarnya perempuan diikutsertakan secara aktif dalam pembangunan air higienis dan sanitasi. Pelibatan perempuan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan prasarana dan sarana air higienis dan sanitasi terbukti meningkatkan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana yang dibangun.

7. Akuntabilitas proses perencanaan
Dalam kurun desentralisasi dan keterbukaan maka pembangunan air higienis dan sanitasi harus menempatkan masyarakat target tidak lagi sebagai objek pembangunan namun sebagai subjek pembangunan. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan rasa mempunyai masyarakat terhadap prasarana terbangun serta meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengenali lebih dini sistem pengelolaannya. Untuk itu, pembangunan air higienis dan sanitasi harus lebih terbuka, transparan serta memperlihatkan peluang kepada semua pelaku untuk memperlihatkan kontribusi sesuai dengan kemampuan sumber daya yang ada pada seluruh tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan dan pengembangan pelayanan.

8. Peran Pemerintah sebagai fasilitator
Fasilitasi tidak diartikan sebagai pemberian prasarana dan sarana fisik maupun subsidi langsung, namun pemerintah harus memperlihatkan bimbingan teknis dan non teknis secara terus menerus kepada masyarakat yang sifatnya mendorong dan memberdayakan masyarakat semoga mereka sanggup merencanakan, membangun dan mengelola sendiri prasarana dan sarana higienis dan sanitasi serta melaksanakan secara berdikari kegiatan pendukung lainnya.

9. Peran aktif masyarakat
Seluruh masyarakat harus terlibat secara aktif dalam setiap tahapan pembangunan higienis dan sanitasi. Namun demikian, mengingat keterbatasan ruang dan waktu maka keterlibatan tersebut melalui prosedur perwakilan yang demokratis serta mencerminkan dan merepresentasikan keinginan dan kebutuhan mayoritas masyarakat.

10. Pelayanan optimal dan tepat sasaran
Yang dimaksud dengan optimal yaitu kualitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, pemerataan jalan masuk untuk semua lapisan masyarakat dan kenyamanan dalam mendapatkan pelayanan. Sedangkan tepat target diartikan sebagai cakupan pelayanan prasarana dan sarana air higienis dan sanitasi yang dibangun sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

11. Penerapan prinsip pemulihan biaya
Kapasitas dan kemampuan anggaran pemerintah (pusat dan daerah) yang ada tidak mencukupi untuk terus membangun dan mengelolaprasarana dan sarana air higienis dan sanitasi bagi masyarakat. Untuk menunjang keberlanjutan pelayanan maka pembangunan dan pengelolaan pelayanan air higienis dan sanitasi perlu memperhatikan prinsip pemulihan biaya. Sehubungan dengan hal tersebut, penerapan prinsip pemulihan biaya tersebut harus dikomunikasikan secara terbuka, semoga semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) terutama masyarakat pengguna, semoga mereka mengetahui besarnya investasi dalam pembangunan prasarana dan sarana tersebut. Kebijakan perihal pembangunan air higienis dan sanitasi berbasis masyarakat yang ingin dicapai yaitu bangsa yang maju dan mandiri, sejahtera lahir batin. Salah satu ciri bangsa Indonesia maju yaitu mempunyai derajat kesehatan yang tinggi, lantaran derajat kesehatan mempunyai efek yang sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia. Hanya dengan sumber daya yang sehat akan lebih produktif dan meningkatkan daya saing yang sehat akan lebih produktif dan meningkatkan daya saing bangsa.

2.9 Pelestarian Lingkungan Sumber-sumber Air
2.9.1 Generasi Sekarang Perlu Menjaga Kelestarian Hutan Demi Generasi Mendatang
Tiada kehidupan tanpa hutan lantaran hutan penghasil oksigen terbesar. Maka untuk kehidupan generasi berikutnya, generasi kini perlu menjaga kelestarian hutan tersebut. Demikian pendapat Cecep Kusmana, Dekan Fakultas Kehutanan IPB dalam kesempatan seminar tingkat nasional bertema Realisasi, Rehabilitasi Lingkungan Hidup dan Kemanusian Untuk Masa Depan Indonesia beberapa waktu yang lalu.


Laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 3.8 juta hektar per tahun, ini tergolong parah lantaran dampak lingkungan yang dirasakan ibarat terjadinya banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan asap dan lain-lain. Untuk pemulihan kualitas lingkungan dan mengembalikan fungsi hutan tidak cukup hanya menanam pohon per pohon. Rehabilitasi hutan di daerah tropis intinya yaitu membangun ekosistem dengan melibatkan dan memperhitungkan semua komponen terkait. Ketika merehabilitasi dan mereboisasi perlu diperhatikan hutan sebagai daerah proteksi aspek hidrologi yaitu :

  1. Kondisi curah hujan dan ketersediaan air musiman.
  2. Kepekaan sungai terhadap banjir.
  3. Kepekaan daerah DAS terhadap erosi.
  4. Kepentingan sosial, ekonomi dan kelembagaan.
Dari aspek ekologi, unsur hara terbesar ada di hutan hujan tropis dan tersimpan dalam pohon di atas tanah dalam bentuk biomassa, bukan pada lapisan tanah. Maka hilangnya pohon sama dengan hilangnya gudang hara. Hasil penelitian Fakultas Kehutanan IPB dari tahun 1978 hingga tahun 2004 di aneka macam wilayah dan kondisi memperlihatkan bahwa pengikisan terkecil terdapat di hutan alam yang masih utuh (0.02 - 0.5 ton/ ha/ tahun).

2.9.2 Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup
Menurut Djunardi Djohan Djoekardi (Deputi Bidang Pengembangan Peran Serta Masyarakat Kementrian Lingkungan Hidup), upaya pelestarian lingkungan tidak sanggup dilakukan oleh pemerintah saja tetapi juga masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan. Kerusakan hutan akan diiringi kerusakan fungsi lingkungan yang berasal dari pencemaran udara, air dan tanah serta perubahan alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) telah menyusun taktik pelestarian lingkungan hidup untuk beberapa tahun ke depan, ibarat :

  1. Memberdayakan masyarakat, supaya masyarakat bukan saja sadar tapi juga berperan dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan publik di bidang lingkungan hidup. Misalnya mengajak forum lain yang peduli lingkungan, berpartisipasi mengadakan pembagian bibit tanaman keras. Sehingga mendorong masyarakat semoga turut melestarikan sumber daya air melalui penanaman pohon di lingkungan tempat tinggal masing-masing lantaran tanaman selain berfungsi sebagai produsen oksigen juga berperan penting dalam proses perembesan air.
  2. Meningkatkan kekuatan kepentingan pelestarian lingkungan dengan cara memperkuat dan memperluas aliansi strategis dengan organisasi massa, partai politik dan forum swadaya masyarakat. Pendekatan ke aliansi ini diharapkan sanggup meningkatkan kesadaran perihal pentingnya pelestarian lingkungan dan memunculkan keberpihakan pada pelestarian lingkungan.
  3. Mengembangkan good governance dalam pelestarian lingkungan hidup khususnya di kalangan pemerintah kabupaten dan kota.
  4. Meningkatkan ketaatan melalui instrumen aturan serta instrumen alternatif ibarat Proper, Superkasih. 
  5. Mengembangkan kelembagaan dan meningkatkan kapasitas, contohnya upaya melengkapi peraturan perundang-undangan, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan sistem informasi dan sebagainya. 
DAPTAR PUSTAKA;


  • Pedoman Kesinambungan dan Efektifitas Penggunaan Sarana, Depkes 2004).
  • Pedoman Kesinambungan dan Efektifitas Penggunaan Sarana (Outcome and Process Monitoring, Depkes 2004). 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel