Persamaan Filsafat Dengan Agama Islam
Friday, October 2, 2020
Edit
A. Persamaan Antara Filsafat Dan Dunia Islam (Agama Islam)
pada hakikatnya terdapat persamaan antara tujujan filsafat dan agama, sebagaimana para filosof Islam berpendirian bahwa keduanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan melalui kepercayaan yang benar dan perbuatan-perbuatan yang baik. Adapun berdasarkan mereka pembahasan agama dan filsafat yakni satu juga, lantaran keduanya membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini. Hal ini mirip dalam pengertian filsafat yaitu ilmu perihal wujud-wujud melalui sebab-sebabnya yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin dan hingga pada sebab-sebabnya sesuatu.[9]
Diantara para filosof diatas, Al-Farabi yang dikenal dengan tokoh besar Islam, juga mengungkapkan bahwa tujuan filsafat dan agama ialah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat-filsafat menggunakan dalil-dalil yang diyakini dan ditujukan kepada golongan tertentu sedang agama menggunakan cara Iqna’i (pemuasan perasaan) yang kiasan-kiasan serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa dan negara.[10]
Selain itu berdasarkan beliau, bahwa tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat yakni mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi alasannya yakni yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilan.[11]
B. Konstribusi Filsafat Terhadap Dunia Islam
Walau filsafat diperselisihkan dalam dunia Islam, akan tetapi filsafat menunjukkan dukungan yang tidak sanggup diremehkan dalam kerja pikiran kemanusiaan dan memiliki daerah sendiri dalam dunia Islam.
Sebagai mana arti dalam filsafat yakni hasil kerja berpikir dalam mencari hakekat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universalitas. Dan untuk merasionalkan wahyu yang membicarakan keberadaan Tuhan, maka filsafat sangat diharapkan dalam dunia Islam lantaran kebanyakan filsafat menggunakan argumentasi logika yang tentunya sanggup diterima oleh banyak kalangan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh filosof bahwa untuk memadukan agama dan filsafat sanggup dikerjakan dengan dua cara: Pertama, dengan menjelaskan ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-pikiran filsafat yang telah terurai. Contohnya sanggup didapati dalam buku Fushus-Ul-hikam (permata filsafat) oleh Al-Farabi dan lain-lain. Kedua, dengan menakwilkan kebenaran-kebenaran (ketentuan-ketentuan agama) dengan takwilan yang sesuai dengan pikiran-pikiran filsafat, atau dengan perkataan lain penundukan ketentuan agama kepada pikiran-pikiran filsafat.[12]
Karena filsafat ini yakni ilmu yang lahir di dunia Islam tanpa membedakan etnis dan bahasa, apalagi fatwa Islam sendiri telah menunjukkan motivasi yang berpengaruh terhadap perkembangan filsafat. Maka ilmu disini disebut sebagai filsafat Islam. Selain sanggup melahirkan filsafat Islam di kalangan muslimin, dengan adanya filsafat juga melahirkan filosof-filosof besar Islam, mirip Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi yang sanggup berbagi keintelektualan di Dunia Islam.
Akan tetapi, walau konstribudi filsafat terhadap Dunia Islam tidak sanggup diremehkan. Agama yang kesudahannya menjadi barometer terhadap pemikiran filsafat yang melenceng dari kebenaran.
C. Pendapat Sebagian Filosof Yang Menyetujuai Pemaduan Agama Dan Filsafat
Semangat pemaduan sebagai jalan tengah yang dilakukan oleh filosof-filosof Islam dalam mempertemukan antara agama yang dipercayai kebenarannya, dengan filsafat yang didasarkan atas ketentuan dan dalil-dalil pikiran semata. Hal mirip ini sanggup diwakili oleh pandangan Al-Kindi dan Ibnu Rusyd sebagaimana berikut:
1. Al-Kindi
Al-kindi mempertemukan agama dan filsafat atas dasar pertimbangan bahwa filsafat ialah ilmu perihal kebenaran dan agama juga yakni ilmu perihal kebenaran pula, oleh kerana itu maka tidak ada perbedaan antara keduanya.
Menurutnya, kita dilarang aib mengakui kebenaran dan mengambilnya dari manapun datangnya, meskipun tiba dari bangsa lain. Karena tidak ada yang lebih utama bagi orang yang mencari kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri. Memang adakala terdapat perlawanan dalam lahirnya, antara hasil-hasil pemikiran filsafat dengan ayat-ayat Al-Qur’an, yang menimbulkan filsafat ditentang. Pemecahan Al-Kindi dalam soal ini yakni bahwa kata-kata dalam bahasa Arab sanggup memiliki arti yang sebetulnya (hakiki) dan arti mazasi (kiasan) yang dilakukan dengan jalan takwil (penafsiran) dengan syarat dilakukan oleh andal agama dan andal pikir.
Sesuai dengan pendiriannya bahwa filsafat harus dimiliki, maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan menguraikan dengan sebaik-baiknya.[13]
2. Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd mengadakan pemaduan antara agama dan filsafat, lantaran sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi Aristoteles, ia harus membalas serangan yang dilakukan oleh Al-Ghozali dalam bukunya Tahafuth Al-Falasifah. Yang berisi serangan pedas terhadap para filsafat dan filosof sebelumnya.
Dalam menguraikan perlunya pemaduan tersebut, ia menguraikan empat persoalan. Pertama, keharusan berfilsafat berdasarkan syara’. Kedua, pengertian lahir dan pengerian bathin, serta keharusan takwil. Ketiga, aturan-aturan takwil. Keempat, pertalian logika dan wahyu.
a. Pertama, Keharusan Berfilsafat Menurut Syara’
Menurut Ibnu Rusyd, fungsi filsafat tidak lebih daripada mengadakan penyelidikan perihal alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan zat yang membuatnya. Al-Qur’an berkali-kali memerintahkan demikian, antara lain dalam surah Al-A’raf, ayat 185: ”Apakah mereka tidak memikirkan perihal (Yandhuru Fi) alam langit dan bumi dan segala sesuatu yang dijadikan oleh Tuhan?”. Juga dalam surah Al-Hasjr ayat 2, disebutkan sebagai berikut: ”Hendaknya kau mengambil mirip (I’tibar, mengadakan qias = sillogisme), wahai orang-orang yang memiliki pandangan.”
Ayat terakhir ini dengan terang mengharuskan kita untuk mengambil qias-aqli (silogisme) yaitu pengambilan suatu aturan yang belum diketahui dari sesuatu aturan yang sudah diketahui (maklum) yang pada dasarnya harus mengarahkan pandangan pada alam wujud ini dengan qias-aqli. Karena itu penyelidikan yang bersifat filosofis menjadi suatu kewajiban.
b. Kedua, Keharusan Takwil
Filosof-filosof Islam setuju bahwa logika dan wahyu kedua-duanya menjadi sumber pengetahuan dan alat untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi dalam Qur’an maupun Hadits banyak nash-nash yang berdasarkan lahirnya berlawanan dengan filsafat. Bagi Ibnu Rusyd, nash-nash itu sanggup ditakwilkan sepanjang aturan-aturan takwil dalam bahasa Arab, mirip halnya kata-kata dari syara’ sanggup ditakwilkan pula dari segi aturan fiqih. Penafsiran (penakwilan) semacam ini digunakan juga oleh ulama-ulama fiqih dan ulama-ulama filsafat.
c. Ketiga, Aturan-aturan Takwil.
Setelah menjelaskan perihal keharusan takwil di atas Ibnu Rusyd meletakkan beberapa aturan sebagai pegangan dalam melaksanakan takwil, yaitu: pertama, setiap orang harus mendapatkan dasar-dasar (prinsip-prinsip) syara’ dan mengikutinya. Kedua, yang berhak melaksanakan takwil hanya golongan filosof semata, bahkan filosof-filosof tertentu saja yaitu mereka yang mendalam ilmunya. Ketiga, hasil penakwilan hanya sanggup dikemukakan pada golongan pemakai qias Burhani, jelasnya filosof-filosof, bukan kepada orang awam, lantaran orang awam tidak memahami penakwilan tersebut. Keempat, diperbolehkannya Menjelaskan hasil penakwilan kepada orang-orang awam, lantaran adanya keadaan yang memaksa yaitu dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan pada penyebaran hasil-hasil penakwilan sebelumnya.
Kelima, kedudukan wahyu dan pertalian dengan akal
Ibnu Rusyd menganggap bahwa wahyu sebagai suatu keharusan untuk semua orang dan kekuatan logika dalam mencari kebenaran yang berada di bawah kekuatan wahyu.[14]
D. Faktor-Faktor Pendorong Pemaduan Filsafat Dan Dunia Islam
Selain jawaban yang diberikan oleh Al-Kindi dan Ibnu Rusyd dalam masalah pemaduan filsafat dan dunia Islam, ada beberapa faktor yang mendorong filosof Islam untuk memadukan keduanya yaitu:
- adana jurang pemisah antara Islam dengan Filsafat Aristoteles dalam banyak sekali persoalan, mirip sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri khasnya,tentang masalah gres atau khodimnya alam, relasi alam dan Tuhan dan lain-lain.
- Banyaknya serangan yang dilakukan oleh tokoh agama terhadap pikiran-pikiran filsafat, yang kadangkala menjadikan tekanan-tekanan oleh rakyat dan penguasa pada ahli-ahli pikir, yang sebetulnya tidak membawa hasil yang sesuai dengan dogma agama.
- Adanya hasrat para filosof untuk menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan itu supaya sanggup hidup damai dan tidak terlalu nampak perlawanannya kepada agama.[15]