Hubungan Filsafat Dan Dunia Islam
Thursday, October 1, 2020
Edit
BAB I
PENDAHULUAN
Masuknya dunia filsafat dalam dunia islam sebenarnya telah ada pada periode pertengahan hijriah, yaitu melalui dua madzhab, Neo Platonisme yang masuk kepada dunia tasawuf, dan madzhab Paripatetik yang kelihatan lebih banyak masuk kedalam bentuk skalastisisme ortodoks (kalam).[1] Akan tetapi yang lebih ditekankan yaitu masuknya filsafat melalui jalur Ilmu Kalam. Yaitu dikala Ilmu Kalam menjadi kasus yang sangat pelik antara beberapa kelompok, mirip Mu’tazilah ataupun Ibnu Hambal dan Asy’aryiah. Kendatipun demikian Ilmu Kalam tetap menjadi nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam penggunaanya dalil-dalil nalar melebihi penggunaan dalil naqli yang nampak pada perbincangan Mutakallimin. Atas dasar itulah para pakar memasukan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat.[2]
Walaupun obyek dan metode kedua ilmu tersebut (Fisafat dan Ilmu Kalam) berbeda, tapi keduanya saling melengkapi dalam memahami islam dan pembentukan aqidah muslim. Filsafat mengawali pembuktiannya dengan argumen akal, kemudian pembenarannya melalui wahyu, sedangkan Ilmu Kalam mengawali pembicaraan dengan wahyu, barulah kemudian didukung oleh argumen akal.[3]
Adapun pada perkembangannya, perhatian terhadap filsafat sudah dimulai dengan penterjamahan buku-buku kedalam bahasa Arab pada masa permulaan Daulah Umayah, yang kemudian jaman keemasannya terjadi pada masa Daulah Abbasiyah yan berpusat di Baghdad, terutama pada masa Al-ma’mun (813-833 M), putra Harun al-Rasyid, yang dikenal dengan jaman penterjemahan.[4]
Walau sebenarnya, pada masa Abbasiyah aktivitas penterjemahan dimulai oleh Khalifah Al-Mansur, akan tetapi kemajuan yang lebih faktual sanggup dicapai pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Ia termasuk seorang intelektual yang gandrung kepada ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia mendirikan Bait al-Hikmah, yaitu sebuah perguruan yang tidak hanya berfungsi sebagi wadah penterjemahan, tetapi juga menjadi sentra pengembangan filsafat dan sains. Yang dipimpin oleh seorang nasrani yang andal bahasa Yunani, Hurain ibnu Ishak (809-873 M.). Selain itu khalifah Al-Ma’mun juga mengirimkan utusan ke seluruh kerajaan Byzantium untuk mencari buku-buku Yunani wacana banyak sekali sobyek. Dan membayar setiap buku yang diterjemahkan dari bahasa abnormal ke bahasa Arab dengan emas seberat buku yang diterjemahkan, diantara buku-buku itu yaitu Thaetitus, Cratylus, Parmenides, dan lain-lain sebagainya. [5]
Di samping kota Baghdad, juga ada kota-kota lain yang dijadikan sebagai sentra pengembangan Sains dan Filsafat yaitu kota Marwa (Persia tengah), Jundishyapur dan Harran. Dengan adanya penterjemahan itu, umat Islam secara singkat sanggup menguasai keintelektualan dari ketiga kebudayaan yang sangat maju pada waktu itu yaitu Yunani, Persia, India. Yang kemudian dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam menjadi kebudayaan yang lebih maju yang tergambarkan dalam banyak sekali bidang ilmu dan mazhab filsafat yang bermacam-macam. Namun sayangnya, kejayaan filsafat dan ilmu tersebut hanya sanggup berlangsung hingga periode XIII M. Kemudian orang-orang Barat memindahkan sentra ilmu pengetahuan tersebut ke negaranya.[6]
BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan filsafat dan dunia Islam sesungguhnya terjadi permasalahan-permasalahan dengan jawaban yang berbeda pula, lantaran pertanyaan yang timbul yaitu ’’bagaimana agama sebagai wahyu Tuhan, sumber perintah-perintah dan larangan-larangan sanggup bertemu dengan filsafat yang hanya didasarkan atas alasan-alasan pikiran?’’
Dengan adanya pertanyaan tersebut, jadinya ada tiga pengelompokan yang memberi jawaban akan hal tersebut. Pertama, kelompok yang memegang teguh agama dan menolak filsafat secara ekstrem (Fuqaha). kedua, kelompok yang mendapatkan filsafat secara moderat (para tokoh Teologi atau Kalam). Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan antara filsafat dan agama berdasarkan cara tertentu dan cara inilah yang ditempuh oleh para filosof yang mukmin dan memegang teguh akidah-akidah agama.[7]
Akhirnya dengan adanya filsafat dalam dunia Islam atau yang lebih dikenal dengan filsafat Islam sanggup memadukan antara wahyu dan akal, antara doktrin dan hikmah, antara agama dan filsafat, dan berupaya menjelaskan bahwa:
- Wahyu tidak bertentangan dengan akal
- Akidah dengan diterangi dengan sinar filsafat akan menetap di dalam jiwa dan kokoh di hadapan lawan.
- Agama jika bersaudara dengan filsafat akan menjadi filosofis sebagaimana filsafat menjadi religius.[8]
Untuk lebih mensistematiskan dalam pembahasan ini, maka tema hubungan filsafat dan dunia Islam lebih menekankan pada perpaduan antara filsafat dan agama Islam. Yaitu persamaan antara filsafat dan dunia Islam (Agama Islam), apa saja konstribusi filsafat terhadap dunia Islam? Serta bagaimana jawaban sebagian filosof yang mengambil jalan tengah untuk memadukan antara filsafat dan agama Isalam?, dan apa faktor-faktor yang mendorong ke arah pemaduan filsafat dan agama?
A. Persamaan Antara Filsafat Dan Dunia Islam (Agama Islam)
pada hakikatnya terdapat persamaan antara tujujan filsafat dan agama, sebagaimana para filosof Islam berpendirian bahwa keduanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan melalui kepercayaan yang benar dan perbuatan-perbuatan yang baik. Adapun berdasarkan mereka pembahasan agama dan filsafat yaitu satu juga, lantaran keduanya membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini. Hal ini mirip dalam pengertian filsafat yaitu ilmu wacana wujud-wujud melalui sebab-sebabnya yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin dan hingga pada sebab-sebabnya sesuatu.[9]
Diantara para filosof diatas, Al-Farabi yang dikenal dengan tokoh besar Islam, juga mengungkapkan bahwa tujuan filsafat dan agama ialah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat-filsafat menggunakan dalil-dalil yang diyakini dan ditujukan kepada golongan tertentu sedang agama menggunakan cara Iqna’i (pemuasan perasaan) yang kiasan-kiasan serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa dan negara.[10]
Selain itu berdasarkan beliau, bahwa tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat yaitu mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi alasannya yaitu yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilan.[11]
B. Konstribusi Filsafat Terhadap Dunia Islam
Walau filsafat diperselisihkan dalam dunia Islam, akan tetapi filsafat menunjukkan santunan yang tidak sanggup diremehkan dalam kerja pikiran kemanusiaan dan memiliki daerah sendiri dalam dunia Islam.
Sebagai mana arti dalam filsafat yaitu hasil kerja berpikir dalam mencari hakekat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universalitas. Dan untuk merasionalkan wahyu yang membicarakan keberadaan Tuhan, maka filsafat sangat diharapkan dalam dunia Islam lantaran kebanyakan filsafat menggunakan argumentasi nalar yang tentunya sanggup diterima oleh banyak kalangan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh filosof bahwa untuk memadukan agama dan filsafat sanggup dikerjakan dengan dua cara: Pertama, dengan menjelaskan ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-pikiran filsafat yang telah terurai. Contohnya sanggup didapati dalam buku Fushus-Ul-hikam (permata filsafat) oleh Al-Farabi dan lain-lain. Kedua, dengan menakwilkan kebenaran-kebenaran (ketentuan-ketentuan agama) dengan takwilan yang sesuai dengan pikiran-pikiran filsafat, atau dengan perkataan lain penundukan ketentuan agama kepada pikiran-pikiran filsafat.[12]
Karena filsafat ini yaitu ilmu yang lahir di dunia Islam tanpa membedakan etnis dan bahasa, apalagi fatwa Islam sendiri telah menunjukkan motivasi yang berpengaruh terhadap perkembangan filsafat. Maka ilmu disini disebut sebagai filsafat Islam. Selain sanggup melahirkan filsafat Islam di kalangan muslimin, dengan adanya filsafat juga melahirkan filosof-filosof besar Islam, mirip Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi yang sanggup menyebarkan keintelektualan di Dunia Islam.
Akan tetapi, walau konstribudi filsafat terhadap Dunia Islam tidak sanggup diremehkan. Agama yang jadinya menjadi barometer terhadap pemikiran filsafat yang melenceng dari kebenaran.
C. Pendapat Sebagian Filosof Yang Menyetujuai Pemaduan Agama Dan Filsafat
Semangat pemaduan sebagai jalan tengah yang dilakukan oleh filosof-filosof Islam dalam mempertemukan antara agama yang dipercayai kebenarannya, dengan filsafat yang didasarkan atas ketentuan dan dalil-dalil pikiran semata. Hal mirip ini sanggup diwakili oleh pandangan Al-Kindi dan Ibnu Rusyd sebagaimana berikut:
1. Al-Kindi
Al-kindi mempertemukan agama dan filsafat atas dasar pertimbangan bahwa filsafat ialah ilmu wacana kebenaran dan agama juga yaitu ilmu wacana kebenaran pula, oleh kerana itu maka tidak ada perbedaan antara keduanya.
Menurutnya, kita dihentikan aib mengakui kebenaran dan mengambilnya dari manapun datangnya, meskipun tiba dari bangsa lain. Karena tidak ada yang lebih utama bagi orang yang mencari kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri. Memang adakala terdapat perlawanan dalam lahirnya, antara hasil-hasil pemikiran filsafat dengan ayat-ayat Al-Qur’an, yang menimbulkan filsafat ditentang. Pemecahan Al-Kindi dalam soal ini yaitu bahwa kata-kata dalam bahasa Arab sanggup memiliki arti yang sebenarnya (hakiki) dan arti mazasi (kiasan) yang dilakukan dengan jalan takwil (penafsiran) dengan syarat dilakukan oleh andal agama dan andal pikir.
Sesuai dengan pendiriannya bahwa filsafat harus dimiliki, maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan menguraikan dengan sebaik-baiknya.[13]
2. Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd mengadakan pemaduan antara agama dan filsafat, lantaran sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi Aristoteles, ia harus membalas serangan yang dilakukan oleh Al-Ghozali dalam bukunya Tahafuth Al-Falasifah. Yang berisi serangan pedas terhadap para filsafat dan filosof sebelumnya.
Dalam menguraikan perlunya pemaduan tersebut, ia menguraikan empat persoalan. Pertama, keharusan berfilsafat berdasarkan syara’. Kedua, pengertian lahir dan pengerian bathin, serta keharusan takwil. Ketiga, aturan-aturan takwil. Keempat, pertalian nalar dan wahyu.
a. Pertama, Keharusan Berfilsafat Menurut Syara’
Menurut Ibnu Rusyd, fungsi filsafat tidak lebih daripada mengadakan penyelidikan wacana alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan zat yang membuatnya. Al-Qur’an berkali-kali memerintahkan demikian, antara lain dalam surah Al-A’raf, ayat 185: ”Apakah mereka tidak memikirkan wacana (Yandhuru Fi) alam langit dan bumi dan segala sesuatu yang dijadikan oleh Tuhan?”. Juga dalam surah Al-Hasjr ayat 2, disebutkan sebagai berikut: ”Hendaknya kau mengambil menyerupai (I’tibar, mengadakan qias = sillogisme), wahai orang-orang yang memiliki pandangan.”
Ayat terakhir ini dengan terperinci mengharuskan kita untuk mengambil qias-aqli (silogisme) yaitu pengambilan suatu aturan yang belum diketahui dari sesuatu aturan yang sudah diketahui (maklum) yang pada dasarnya harus mengarahkan pandangan pada alam wujud ini dengan qias-aqli. Karena itu penyelidikan yang bersifat filosofis menjadi suatu kewajiban.
b. Kedua, Keharusan Takwil
Filosof-filosof Islam setuju bahwa nalar dan wahyu kedua-duanya menjadi sumber pengetahuan dan alat untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi dalam Qur’an maupun Hadits banyak nash-nash yang berdasarkan lahirnya berlawanan dengan filsafat. Bagi Ibnu Rusyd, nash-nash itu sanggup ditakwilkan sepanjang aturan-aturan takwil dalam bahasa Arab, mirip halnya kata-kata dari syara’ sanggup ditakwilkan pula dari segi aturan fiqih. Penafsiran (penakwilan) semacam ini digunakan juga oleh ulama-ulama fiqih dan ulama-ulama filsafat.
c. Ketiga, Aturan-aturan Takwil.
Setelah menjelaskan wacana keharusan takwil di atas Ibnu Rusyd meletakkan beberapa aturan sebagai pegangan dalam melaksanakan takwil, yaitu: pertama, setiap orang harus mendapatkan dasar-dasar (prinsip-prinsip) syara’ dan mengikutinya. Kedua, yang berhak melaksanakan takwil hanya golongan filosof semata, bahkan filosof-filosof tertentu saja yaitu mereka yang mendalam ilmunya. Ketiga, hasil penakwilan hanya sanggup dikemukakan pada golongan pemakai qias Burhani, jelasnya filosof-filosof, bukan kepada orang awam, lantaran orang awam tidak memahami penakwilan tersebut. Keempat, diperbolehkannya Menjelaskan hasil penakwilan kepada orang-orang awam, lantaran adanya keadaan yang memaksa yaitu dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan pada penyebaran hasil-hasil penakwilan sebelumnya.
Kelima, kedudukan wahyu dan pertalian dengan akal
Ibnu Rusyd menganggap bahwa wahyu sebagai suatu keharusan untuk semua orang dan kekuatan nalar dalam mencari kebenaran yang berada di bawah kekuatan wahyu.[14]
D. Faktor-Faktor Pendorong Pemaduan Filsafat Dan Dunia Islam
Selain jawaban yang diberikan oleh Al-Kindi dan Ibnu Rusyd dalam kasus pemaduan filsafat dan dunia Islam, ada beberapa faktor yang mendorong filosof Islam untuk memadukan keduanya yaitu:
- adana jurang pemisah antara Islam dengan Filsafat Aristoteles dalam banyak sekali persoalan, mirip sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri khasnya,tentang kasus gres atau khodimnya alam, hubungan alam dan Tuhan dan lain-lain.
- Banyaknya serangan yang dilakukan oleh tokoh agama terhadap pikiran-pikiran filsafat, yang kadangkala menjadikan tekanan-tekanan oleh rakyat dan penguasa pada ahli-ahli pikir, yang sebenarnya tidak membawa hasil yang sesuai dengan doktrin agama.
- Adanya hasrat para filosof untuk menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan itu semoga sanggup hidup hening dan tidak terlalu nampak perlawanannya kepada agama.[15]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapatlah diambil kesimpulan, sebenarnya filsafat dan dunia Islam memiliki persamaan tujuan yaitu mencari kebenaran, dan keduanya merupakan ilmu yang membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud.
Selain itu disadari atau tidak, filsafat menunjukkan konstribusi yang sangat besar terhadap perkembangan keintelektualan dalam dunia Islam, lantaran pada dasarnya filsafat menunjukkan argumen nalar terhadap wahyu yang tiba semoga sanggup disosialisasikan kepada masyarakat luas.
DAPTAR PISTAKA;
[1] Rasihan Anwar, Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),36.
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999),5
[3] Ibid,6
[4] Ibid,11-12
[5] Ibid, 11-13
[6] Ibid. 13
[7] Ahmad Hanafi, pengantar filsafat Islam, (Yogyakarta:Bulan Bintang, 1982) 87
8 Ibrahim Madkaour, filsafat islam metode dan penerapan, (jakarta:Rajawali Pers, 1987), 8
[9] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 11-16
[10] Ibid, 17
[11] Ibid, 18
[12] Ibid, 82-85
[13] Ibid, 89-90
[14] Ibid, 90-100
[15] Ibid, 88-89