Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Dan Putusan
Friday, October 16, 2020
Edit
PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN PUTUSAN
Pendahuluan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan tubuh peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata perjuangan negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan forum negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan wacana hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib menunjukkan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wapres berdasarkan Undang-Undang Dasar.
Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu forum gres yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat berdikari yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta sikap hakim. Akibat perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 wacana Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dilakukan perubahan secara komprehensif dengan dibentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 wacana Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam aturan dan dalam mencari keadilan. Selain itu diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, derma hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk menunjukkan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial tubuh peradilan di bawah Mahkamah Agung maka diatur dalam ketentuan peralihan.
Selain diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 wacana Kekuasaan Kehakiman, badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman diatur dalam beberapa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 wacana Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 wacana Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 wacana Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 wacana Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 wacana Komisi Yudisial, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 wacana Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 wacana Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 wacana Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 wacana Pengadilan HAM, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 wacana Pengadilan Pajak.
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001 membawa konsekuensi harus dibentuknya sebuah Mahkamah Konstitusi. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR memutuskan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Keempat. dewan perwakilan rakyat dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang wacana Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, dewan perwakilan rakyat dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 wacana Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.
Mahkamah Konstitusi (MK) semenjak periode Nopember 2003 hingga dengan Maret 2007 telah memutuskan 16 permohonan judicial review Undang-Undang yang terkait dengan pengaturan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Keenam belas Putusan MK tersebut ialah sebagai berikut:
- Pengujian Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 wacana Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 wacana Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 wacana Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 wacana Pengadilan Pajak terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 dan Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 wacana Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 wacana Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 wacana Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 wacana Komisi Yudisial;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 wacana Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 wacana Mahkamah Agung terhadap Undang Undang Dasar 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 wacana Kekuasaan Kehakiman Bab VI Pasal 36 Ayat (1), (2), (3), (4) dan Pasal 11 Ayat (4) terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Pasal 74 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor1 Tahun 1987 wacana Kamar Dagang & Industri terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 43 ayat (1) Tentang Pengadilan HAM terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 wacana Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, khususnya Pasal 36 menyangkut Penasehat aturan terhadap Undang-Undang Nomor18 Tahun 2003 wacana Advokat khususnya Pasal 12 terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 74 Tentang Mahkamah Konstitusi;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 wacana Pengadilan Pajak;
- Pengujian Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
- Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 wacana Mahkamah Agung.
Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim MK sangat bervariasi mulai dari dikabulkan, dikabulkan sebagian, ditolak, hingga tidak sanggup diterima. Tentunya putusan MK tersebut berimplikasi yuridis dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman disini ialah sebagaimana dimaksud dalam BAB IX Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 berikut peraturan perundang-undangan organiknya yang menjadi dasar pengaturan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Pajak.
Pembahasan
Telaah yang mendalam wacana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ialah sangat mempunyai kegunaan untuk merekonstruksi kekuasaan kehakiman berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dibangun dari proses identifikasi tingkat konsistensi antar isi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terhadap kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Dengan demikian diperlukan akan diperoleh manfaat mudah bagi pemecahan masalah implementasi putusan Mahkamah Konstitusi di bidang kekuasaan kehakiman. Selain itu diperlukan pula sanggup membangun sistem ketatanegaraan yang bisa membuat checks and balances system demi pengembangan penegakan sepremasi hukum.
Implikasi putusan MK yang cukup mendasar dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman ialah atas kasus Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepertinya telah menimbulkan problem gres yaitu polemik mengenai pengadilan korupsi di masa depan. Dalam Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dinyatakan bahwa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 wacana Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 53 UU KPK berbunyi, “Dengan Undang-Undang ini dibuat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang menyelidiki dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.” Pemohon mendalilkan, jika ketentuan Pasal 1 Angka 3 dihubungkan dengan Pasal 53 UU KPK dan konsiderans UU KPK abjad b yang menyatakan, “bahwa forum pemerintah yang menangani kasus tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”, maka undang-undang a quo telah menempatkan Pengadilan Tipikor sebagai pecahan dari fungsi pemberantasan tindak pidana korupsi yang merupakan fungsi eksekutif, bukan pecahan dari kekuasaan yudikatif. Dengan demikian, berdasarkan Pemohon, Pengadilan Tipikor sulit diperlukan sanggup menjalankan fungsinya secara merdeka, berdikari dan imparsial. Jika memang Pengadilan Tipikor merupakan pecahan dari kekuasaan yudikatif, ia seharusnya dibuat dengan undang-undang yang terpisah dari undang-undang yang mengatur wacana suatu forum negara tertentu, sebagaimana yang berlaku selama ini. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat: pertama, bahwa pelaku kekuasaan kehakiman, berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, ialah sebuah Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan yang berada di empat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung) dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Kedua, bahwa badan-badan peradilan dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ialah badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Keempat, bahwa dengan demikian pula, pembentukan pengadilan-pengadilan khusus, sepanjang masih berada dalam salah satu dari empat lingkungan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, dimungkinkan. Kelima, bahwa selanjutnya, Pasal 24A Ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan aturan program Mahkamah Agung serta tubuh peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.” Pengertian frasa “diatur dengan undang-undang” dalam Pasal 24A Ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut berarti pembentukan tubuh peradilan di bawah Mahkamah Agung harus dilakukan dengan undang-undang. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 wacana Kekuasaan Kehakiman sebagai implementasi dari Pasal 24A Ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 15 Ayat (1) tersebut berbunyi, “Pengadilan khusus hanya sanggup dibuat dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang“. Penjelasan ayat tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, ialah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata perjuangan negara”. Meskipun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 wacana Kekuasaan Kehakiman dibuat lebih kemudian dari UU KPK, akan tetapi ketentuan yang sama telah tercantum dalam Pasal 10 Ayat (1) (beserta Penjelasannya) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 wacana Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Bunyi ketentuan Pasal 10 Ayat (1) tersebut adalah, “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara.” Sementara itu, Penjelasannya berbunyi, “Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan mencakup Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, alasannya mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum ialah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik kasus perdata, maupun kasus pidana. Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, contohnya dalam Peradilan Umum sanggup diadakan pengkhususan berupa Pengadilan kemudian lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-undang.” Di samping itu, frasa yang berbunyi “diatur dengan undang-undang” yang tersebut dalam Pasal 24A Ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 juga berarti bahwa susunan, kedudukan, keanggotaan, dan aturan program Mahkamah Agung serta tubuh peradilan di bawahnya itu tidak boleh diatur dengan bentuk peraturan perundang-undangan lain selain undang-undang.
Dengan demikian maka Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 wacana Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan aturan mengikat. Namun demikian MK memandang bahwa peralihan dampak aturan dari putusan harus smoot/halus sehingga diputuskan bahwa Pasal 53 tetap mempunyai kekuatan aturan mengikat hingga diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung semenjak putusan diucapkan.
Berdasarkan Putusan MK atas Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 wacana Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, struktur forum kekuasaan kehakiman di Indoesia telah berubah.
Draft sementara dari Tim Perumus Undang-Undang Pemberantasan Korupsi justru bisa berimplikasi pada hilangnya pengadilan khusus korupsi sebagaimana kita kenal sekarang. Begitu pula eksistensi hakim ad hoc korupsi. Pada gilirannya juga memandulkan fungsi KPK. Wajar saja, jika putusan MK mengenai hal ini diwarnai perbedaan persepsi.
Ada yang berpendapat, putusan ini membuat eksistensi Pengadilan Korupsi dan KPK (bahkan eksistensi pemberantasan korupsi) terancam. Karena jika dalam waktu tiga tahun pemerintah dan dewan perwakilan rakyat gagal melahirkan Undang-Undang Pengadilan Korupsi maka kasus korupsi akan diadili di pengadilan biasa, yang selama ini telah melahirkan putusan-putusan kontroversial. Itu berarti pada 19 Desember 2009 sudah harus ada Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang menyatukan sistem peradilan tindak pidana korupsi. Jika pada tanggal itu tak terbentuk, Pengadilan Tipikor yang ada kini kehilangan dasar hukumnya. Akibat lanjutan jika pengadilan korupsi hilang alasannya tidak adanya Undang-Undang Pengadilan Korupsi maka ketajaman KPK dalam memberantas korupsi pun akan hilang. KPK lebih banyak akan bertindak secara preventif dan melaksanakan pendidikan anti korupsi dan sebagainya. Justru tindakan represif dari KPK yang menyidik dan menuntut kasus korupsi ke pengadilan korupsi lah yang selama ini menjadi sentra apresiasi masyarakat. Sementara itu, mungkin ada pandangan berbeda yang menyatakan, putusan MK menimbulkan ketidakpastian dimana di satu sisi pengadilan Tipikor dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 tetapi putusannya tidak eksklusif berlaku dan masih memberi kesempatan tiga tahun lagi. (Topo Santoso: 2007)
Putusan lain contohnya wacana uji materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 wacana Kekuasaan Kehakiman yang dinyatakan tidak sanggup diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya pasal 16 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Bunyi pasal 16, "Peradilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu kasus yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau belum terang melainkan wajib untuk menyelidiki dan mengadili. Menurut pemohon, hal ini berakibat putusan peradilan menjadi tidak konsisten dan menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya terhadap masalah yang menimpa kliennya. Namun Mahkamah Kontitusi beropini pasal tersebut tidak bertentangan sama sekali dengan jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh kepastian hukum. Sebaliknya asas ini justru mengukuhkan ratifikasi jaminan proteksi dan kepastian aturan yang adil, ibarat yang termuat dalam pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Bila memang pemohon dirugikan dengan putusan peradilan bukan alasannya berlakunya pasal 16, melainkan perbedaan penafsiran dan penerapan aturan yang dilakukan peradilan sehingga tidak terbukti adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan.
Dalam Putusan Perkara Nomor 066/PUU-II/2004 dinyatakan bahwa Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 wacana Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 wacana Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) tidak mempunyai kekuatan aturan mengikat.
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 wacana Mahkamah Konstitusi memutuskan undang-undang yang sanggup dimohonkan untuk diuji ialah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga telah menghambat konstitusionalitas dan merugikan hak konstitusi Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan merugikan hak konstitusi Pemohon dalam memperjuangkan hak untuk memajukan diri secara kolektif membangun masyarakat, bangsa dan negara dalam organisasi Kamar Dagang dan Industri Usaha Kecil Menengah, maka Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar RI 1945. Apabila tetap konsisten berpegang pada Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, akan tercipta tolak ukur ganda dalam sistem aturan Indonesia dengan tetap membiarkan berlaku sahnya suatu undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 in casu Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 yang berbunyi “dengan undang-undang ini ditetapkan adanya satu Kamar Dagang dan Industri yang merupakan wadah bagi pengusaha Indonesia baik yang tidak bergabung maupun yang bergabung dalam organisasi pengusaha dan/atau organisasi perusahaan”, yang jelas-jelas merugikan hak konstitusi Pemohon beserta puluhan ribu anggota untuk membentuk organisasi yang sebanding dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia tersebut. Namun demikian MK menolak permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 wacana Kamar Dagang dan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3346).
Berdasarkan putusan tersebut maka telah terjadi ekspansi kewenangan salah satu forum kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Putusan Perkara Nomor 067/PUU-II/2004 dinyatakan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 wacana Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 wacana Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 wacana Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 wacana Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan aturan mengikat.
Pasal 36 UU Nomor 5 Tahun 2004 sebagai perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa: "Mahkamah Agung dan Pemerintah melaksanakan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris" diangap bertentangan dengan ketentuan, semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 24 ayat (1) dan (3). Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan: "Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan". Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan:"Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan Kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Didalilkan Pemohon, Ketentuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 dimaksud seharusnya dengan berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003 wacana Advokat sebagai undang-undang yang khusus di mana isinya kontradiktif. Artinya ada dua tubuh yang melaksanakan pengawasan terhadap Advokat. Dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 2004 wacana Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 khusus pada Pasal 36 beserta Penjelasannya (selanjutnya disebut UU Nomor 5 Tahun 2004 juncto Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985) yang sama sekali tidak dirubah, sehingga masih tetap berlaku ketentuan bahwa “Mahkamah Agung dan Pemerintah melaksanakan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris” di satu pihak, sedangkan berdasarkan Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003 bahwa pengawasan terhadap Advokat dilakukan Organisasi Advokat. Bahwa dengan adanya dua tubuh pengawasan yang diatur dengan undang-undang yang berlainan terhadap suatu materi muatan ayat yang sama, maka timbullah dualisme aturan dan terjadinya kontradiksi antara dua undang-undang yang berlaku. Akibatnya telah terjadi ketidakpastian aturan dalam pengawasan terhadap Pemohon dan Advokat umumnya.
Dengan demikian putusan-putusan Mahkamah Konstitusi khususnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sanggup berimplikasi merubah konfigurasi pengaturan kehakiman sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan alasannya dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan ada pula yang justru menguatkan pengaturan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang ada.
Beberapa Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diuraikan tersebut tentunya perlu dipandang dalam konteks kekuasaan kehakiman yang merdeka dan kebebasan hakim.
Konsep yuridis “Kekuasaan kehakiman yang merdeka” secara konstitusional meliputi:
1. Larangan terhadap upaya campur tangan (intervensi) pihak lain di luar kekuasaan kehakiman (termasuk eksekutif) kecuali campur tangan itu dibolehkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam hal ini, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) secara limititatif memutuskan wewenang “intervensi” direktur terhadap urusan peradilan hanya menyangkut grasi, rehabilitasi, amnesti, serta abolisi. Wewenang ini disebut “Wewenang Pseudo Yudisial.” Dalam bentuk aturan hukum, konsepsi “Kekuasaan kehakiman yang merdeka” dituangkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 wacana Kekuasaan Kehakiman. Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 1, “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Dalam “Penjelasan” Pasal 1 a quo dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung pengertian “kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.” Untuk mengafirmasi ketentuan Pasal 1 a quo, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 mengancam setiap orang yang dengan sengaja mengintervensi kekuasaan kehakiman dengan bahaya pidana. (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 4 ayat (4)).
2. Pembentukan “Kekuasaan kehakiman satu atap (one roof system)”.
Munculnya pandangan gres one roof system berdasarkan Montesquieu untuk mencegah munculnya kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang. Montesquieu beropini setiap percampuran di satu tangan antara legislatif, eksekutif, dan yudisial dipastikan akan menimbulkan kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang. Untuk mencegah kesewenang-wenangan, tubuh (alat kelengkapan) organisasi negara harus dipisahkan satu sama lain. Yang satu independen terhadap yang lain. Implikasi yuridis pembentukan “Kekuasaan kehakiman satu atap” ialah adanya borders (tapalbatas) terhadap wewenang cabang kekuasaan, oleh alasannya itu, hanya organ-organ kekuasaan kehakiman sajalah yang berhak melaksanakan tindakan-tindakan untuk menegakkan aturan dan keadilan. Secara kontrario, tindakan organ direktur dalam proses penegakan aturan dan keadilan merupakan intervensi yang dihentikan oleh konstitusi. (Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, halaman 120-121).
Menurut Jur. A. Hamzah dengan mengutip pendapat Paulus E. Lotulong, kekuasaan kehakiman merdeka atau independen itu sudah bersifat universal. Ketentuan universal yang terpenting ialah The Universal Declaration of Human Rights, Pasal 10 mengatakan:
"Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligation of any criminal charge agains him. "
(Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tak memihak, dalam hal memutuskan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya).
Sehubungan dengan itu, Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
"Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for act violating the mendasar rights granted him by the constitution or by law."
(Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberitakan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang).
Undang-Undang Dasar 1945 Ayat (1) setelah amandemen ketiga berbunyi: "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan." Ayat (2) mengatakan:
"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan tubuh peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata perjuangan negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi."
Perbedaan dengan Pasal 24 usang ialah kekuasaan kehakiman yang merdeka sudah disebut dalam rumusan bukan hanya dalam penjelasan. Juga dirinci peradilan dibawah Mahkamah Agung, termasuk yang gres yaitu Mahkamah Konstitusi.
Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana hakim dalam mengikuti yurisprudensi. Kebebasan hakim dalam menemukan aturan tidaklah berarti ia membuat hukum, Wirjono Prodjodikuro menolak pendapat orang yang menyampaikan hakim membuat hukum. Menurut dia hakim hanya merumuskan hukum. Pekerjaan hakim katanya mendekati pembuatan undangundang tetapi tidak sama. Beliau beropini bahwa walaupun Ter Haar menyatakan isi aturan watak gres tercipta secara resmi dianggap ada apabila ada beberapa putusan dari penguasa terutama para hakim, ucapan Ter Haar itupun tidak sanggup dianggap bahwa dengan putusan hakim dan lain penguasa itu terciptalah aturan adat, tetapi hanya merumuskan aturan watak itu.
Untuk menemukan hukum, hakim sanggup bercermin pada yurisprudensi dan pendapat mahir aturan populer (doktrin). Mengenai yurisprudensi, van Apeldoorn beropini sejajar dengan Wirjono Prodjodikuro tersebut di muka. Di negeri Belanda katanya, hakim tidak terikat kepada putusan hakim-hakim lain dan juga tidak kepada hakim yang lebih tinggi. Apabila suatu peraturan dalam putusan hakim diterima secara tetap dan konkret menjadi keyakinan aturan umum, atau dengan kata lain dalam suatu masalah aturan telah terbentuk suatu yurisprudlensi tetap dan peraturan itu menjadi aturan objektif, bukan berdasarkan keputusan hakim tetapi sebagai kebiasaan. Berdasarkan garis tingkah laris hakim-hakim terciptalah keyakinan aturan umum. (Jur. A. Hamzah: 2003).
Menurut Jimly Asshiddiqie, bekerjsama Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman berpuncak pada Mahkamah Agung yang merdeka dari imbas kekuasaan pemerintah. Namun, dalam perjalanan, praktek kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu selalu dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah yang terpusat di tangan Presiden. Makin usang seorang Presiden berkuasa, makin berpengaruh pengaruhnya terhadap kinerja kekuasaan kehakiman kita, sehingga prinsip ‘fair and impartial judiciary’ selalu gagal diwujudkan dalam kenyataan. Pemisahan unsur training program peradilan di bawah Mahkamah Agung dan training manajemen peradilan di bawah Pemerintah (c.q. Departemen Kehakiman) terbukti telah menjadi salah satu penyebab utama meluasnya imbas pemerintah terhadap kinerja kekuasaan kehakiman kita. Karena itu, setelah reformasi arif balig cukup akal ini, kita menegaskan prinsip kemandirian dan kemerdekaan hakim itu dalam wujud pengorganisasian kekuasaan kehakiman dalam satu atap training di bawah Mahkamah Agung. Prinsip demikian dikukuhkan dalam ketetapan MPR tahun 1999 dan kemudian ditegaskan kembali dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Sejak itu, resmilah sistem kekuasaan kehakiman kita berdikari dan merdeka. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, pengawasan dan kontrol politik terhadap kekuasaan kehakiman juga ditingkatkan untuk mengatasi jangan hingga kemandirian kekuasaan kehakiman itu justru dimanfaatkan untuk melanggengkan praktek-praktek KKN (korupsi, kongkalikong dan nepotisme) di lingkungan peradilan pada umumnya.