Makalah Diksi Dan Gaya Bahasa
Friday, March 11, 2022
Edit
DIKSI DAN GAYA BAHASA
A. KATA DAN PILIHAN KATA
1. Kata Dan Gagasan
Kata merupakan suatu unit dalam bahasa yang mempunyai stabilitas intern dan mobilitas poposional, yang berarti ia mempunyai komposisi tertentu baik monologis maupun morfologis dan secara relatif mempunyai distribusi yang bebas. (Gorys Keraf, Hal. 21)
Pengertian yang tersirat dalam sebuah kata itu mengandung makna bahwa tiap kata mengungkapkan sebuah gagasan atau sebuah ide. Atau dengan kata lain, kata-kata ialah penyalur gagasan yang akan disampaikan kepada orang lain. Bila kita menyadari bahwa kata ialah alat penyalur gagasan, maka hal itu berarti semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula wangsit atau gagasan yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya. (Gorys Keraf, Hal. 21)
Tidak sanggup disangkal bahwa penguasaan kosa kata ialah kepingan yang terpenting dalam dunia perguruan tinggi tinggi. Prosesnya mungkin lamban dan sukar, namun seorang akan merasa lega dan puas, lantaran tidak akan sia-sia semua jerih payah yang telah diberikan. Manfaat dari kemampuan yang diperolehnya itu akan lahir dalam bentuk penguasaan terhadap pengertian-pengertian yang sempurna bukan sekedar mempergunakan kata yang hebat tanpa isi. Dengan pengertian-pengertian yang sempurna itu, kita sanggup pula menyampakan pikiran kita secara sederhana dan langsung.
2. Pilihan Kata
Pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah ini bukan hanya dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang digunakan untuk mengungkapkan suatu wangsit atau gagasan. Tetapi juga meliputi duduk kasus fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Fraseologi meliputi duduk kasus kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai kepingan dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang indifidual atau yang mempunyai nilai artistik yang tinggi.
Pilihan kata tidak hanya mempersoalkan ketepatan pemakaian kata, tetapi juga mempersoalkan apakah kata yang dipilih itu sanggup juga diterima atau tidak merusak suasana yang ada. Sebuah kata yang sempurna untuk menyatakan suatu maksud tertentu, belum tentu sanggup diterima oleh para hadirin atau orang yang diajak bicara. Masyarakat yang diikat oleh beberapa norma, menghendaki pula semoga setiap kata yang dipergunakan harus cocok atau harmonis dengan norma norma masyarakat, harus sesuai dengan situasi yang dihadapi. (Gorys Keraf, Hal. 24)
Dengan uraian yang singkat ini, sanggup diberikan tiga kesimpulan utama mengenai diksi. Pertama, pilihan kata atau diksi meliputi pengertian kata-kata mana yang digunakan untuk memberikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata kata yang sempurna atau menggunakan ungkapan ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi ialah kemampuan membedakan secara nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.Ketiga, pilihan kata yang sempurna dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasa sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa ialah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa. (Gorys Keraf, Hal. 24)
- Diksi ialah pilihan kata. Maksudnya, kita menentukan kata yang sempurna untuk menyatakan sesuatu. ( Arifin, 2009 Hal. 28)
- Diksi ialah Pemilihan sebuah kata yang sempurna untuk memberikan sebuah gagasan atau sebuah ide. (Saya)
Kata yang sempurna akan membantu seseorang mengungkapkan dengan sempurna apa yang ingin disampaikannya., baik ekspresi maupun tulisan. Disamping itu, pemakaian pilihan kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan sempurna penggunaan.
3. Makna Kata
Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi makna. Bentuk atau ekspresi ialah segi yang sanggup diserap dengan pancaindra, yaitu dengan mendengar atau degan melihat. Sedangkan sisi atau makna ialah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca lantaran rangsangan aspek bentuk tadi. (Gorys Keraf, Hal. 25)
Contoh :
“Maling!” (Gorys Keraf, Hal. 25)
Keterangan :
Pada waktu orang berteriak “Maling!” timbul reaksi dalam pikiran kita bahwa ada seorang telah berusaha untuk mencuri barang atau milik orang lain. Sedangkan makna atau isi ialah reaksi yang timbul pada orang yang mendengar.
“Banjir !” (Saya)
Keterangan :
Pada ketika orang berkata “Banjir !” timbul reaksi dalam fikiran kita bahwa adanya air yang menggenagi suatu tempat atau daerah. Sedangkan makna atau isi ialah reaksi yang timbul pada orang yang mendengar.
Reaksi yang timbul itu sanggup terwujud pengertian atau tindakan atau kedua-duanya. Karena dalam berkomunikasi kita tidak hanya berhadapan dengan “kata” yang menggenangi sebuah tempat atau tempat. Sedangkan reaksi yang timbul pada orang yang mendengar itu ialah makna atau isitetapi dengan suatu kata yang mendukung suatu amanat. Maka ada beberapa unsur yang terkandung dalam ujaran kata yaitu: pengertian, perasaan, nada dan tujuan. (Gorys Keraf, Hal. 25)
Pengertian merupakan landasan dasar untuk memberikan hal-hal tertentu kepada pendengar atau pembaca dengan mengharapkan reaksi tertentu. Perasaan lebih mengarah kepada perilaku pembicara terhadap apa yang dikatakannya, bertalian dengan nilai rasa terhadap apa yang dikatakan pembicara atau penulis. Nada meliputi perilaku pembicara atau penulis kepada pendengar atau pembaca. Sedangkan tujuan yaitu imbas yang ingin dicapai oleh pembicara atau penulis. Memahami semua hal itu dalam seluruh konteks ialah kepingan dari seluruh perjuangan untuk memahami makna dalam komunikasi.
4. Macam-macam Makna
Pada umumnya makna kata pertama-tama dibedakan atas makna yang bersifat denotatif dan makna kata yang bersifat konotatif.
a. Makna Denotatif
Makna denotatif ialah makna dalam alam masuk akal secara eksplisit. Makna masuk akal ini ialah makna yang sesuai apa adanya. (Arifin, 2009, Hal. 28)
- Makna denotatif ialah kata yang tidak mengandung makna atau perasaan tambahan. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 27)
- Makna denotatif ialah sebuah kata yang didalamnya tidak terdapat makna tambahan. (Saya)
- Makna denotatif sanggup dibedakan atas dua macam relasi, yaitu pertama kekerabatan antara sebuah kata dengan barang individual yang diwakilinya. Kedua kekerabatan antara sebuah kata dengan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya.
Dalam bentuk murni, makna denotatif dihubungkan dengan bahasa ilmiah. Seorang penulis hanya ingin memberikan informasi kepada kita, dalam hal ini khususnya bidang ilmiah, akan berkecenderungan untuk menggunakan kata-kata yang denotatif. Sebab pengarahan yang terang terhadap fakta yang khusus ialah tujuan utamanya. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 28)
Contoh :
- Rumah itu luasnya 250 meter persegi. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 27)
- Makan. (Arifin, 2009 Hal. 28)
- Ada seratus orang yang mengikuti lomba itu. (Saya)
Keterangan :
Pada pola diatas semuanya mengandung makna denotatif, lantaran semua kata diatas tidak mengandung makna atau perasaan tambahan.
b. Makna konotatif
Konotasi atau makna konotatif disebut juga dengan makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Maka konotatif ialah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi Krena pembicara ingin menimbulkan perasaan oke – tidak setuju, senang – tidak senang, (Gorys Keraf, 2009 Hal. 29)
Memilih konotasi, ibarat yang sudah disinggung diatas, ialah kasus yang jauh lebih berat bila dibandingkan dengan menentukan denotasi. Oleh lantaran itu, pilihan kata atau diksi lebih banyak bertalian dengan pilihan kata yang bersifat konotatif. Bila sebuah kata mengandung konotasi yang salah, contohnya kurus-kering untuk menggantikan kata ramping dalam sebuah konteks yang saling melengkapi, maka kesalahan semacam itu gampang diketahui dan diperbaiki. Sangat sulit ialah perbedaan makna antara kata-kata yang bersinonim, tetapi mungkin mempunyai perbedaan arti yang besar dalam konteks tertentu.
Sering sinonim dianggap berbeda hanya dalam konotasinya. Kenyataannya tidak selalu demikian. Ada sinonim-sinonim yang memang hanya mempunyai makna denotatif, tetapi ada juga sinonim yang mempunyai makna konotatif. Misalnya, kata mati, meninggal, wafat, gugur, mangkat, berpulang mempunyai denotasi yang sama yaitu “ insiden dimana jiwa seseorang telah meninggalkan badannya”. Nanun kata wafat, meninggal, berpulang mempunyai konotasi tertentu, yaitu mengandung nilai kesopanan atau dianggap lebih sopan, sedangkan mangkat mempunyai konotasi lain yaitu mengandung nilai “kebesaran” dan gugur mengandung nilai keagungan dan keluhuran. Sebaliknya kata persekot, uang muka, atau panjar hanya mengandung makna denotatif. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 30)
- Makna konotatif ialah makna kias, bukan makna sebenarnya. (Widjono, 2008 Hal. 105)
- Makna konotatif ialah makna asosiatif, makna yang timbul sebagai akhir dari perilaku sosial, perilaku pribadi, dan kriteria komplemen yang dikenakan pada sebuah makna konseptual. (Arifin, 2008 Hal. 29)
- Makna konotatif ialah makna kata yang mengandung perasaan arti tambahan, perasaan tertentu. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 28)
- Makna konotatif ialah makna yang didalamnya terdapat arti komplemen yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi tertentu. (Saya)
- Makna konotatif sifatnya lebih professional dan operasional daripada makna denotatif. Makna denotatif ialah makna yang umum. Dengan kata lain, makna konotatif ialah makna yang dikaitkan dengan kondisi dan situasi tertentu.
Contoh :
- Rumah = gedung, wisma, graha (Arifin, 2008 Hal. 29)
- Meluap hadirin yang mengikuti pertemuan itu. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 28)
- Megawati dan Susilo Bambang Yudoyono Berebut dingklik Presiden.(Widjono, 2008, Hal. 106)
- Tukang kayu itu membuat jendela. (Saya)
Keterangan :
Semua kata yang bercetak miring diatas merupakan makna konotatif, lantaran makna yang ada didalamnya terdapat arti komplemen jika dikaitkan dengan dengan situasi dan kondisi tertentu.
5. Konteks Linguistis Dan Nonlinguistis
a. Konteks Nonlinguistis
Relasi pertama bersahabat hubungannya konteks nonlinguistik. Konteks nonlinguistis meliputi dua hal, yaitu korelasi antara kata dan barang atau hal, dan korelasi antara bahasa dan masyarakat atau disebut juga konteks sosial. Konteks sosial ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam penggunaan kata atau bahasa. Penggunaan kata-kata ibarat istri mitra saya dan bini mitra saya; buaya darat itu telah melahap semua harta bendanya dan orang itu telah melahap semua harta bendanya; kami mohon maaf dan kami mohon ampun, semuanya dilakukan berdasarkan konteks sosial atau situasi yang dihadapi. (Gorys Keraf, 2009 Hal.32)
Walaupun ada mahir yang menolak konteks nonlinguistik sebagai hal yang telah berkaitan dengan bahasa, namun ibarat tampak dari contoh-contoh di atas, konteks sosial ini merupakan kepingan dari pegawapemerintah linguistik. Menurut Fifth, konteks sosial itu meliputi :
1) Ciri-ciri yang relefan dari partisipan; orang-orang atau pribadi-pribadi yang terlibat dalam kegiatan berbicara. ciri-ciri ini sanggup terwujud :
- aksi ferbal dari partisipan, yaitu setiap orang yang terlibat akan mempergunakan bahasa yang sesuai dengan situasi atau kedudukan sosialnya masing-masing.
- aksi non-ferbal dari partisipan, yaitu tingkah laris non-bahasa (gerak-gerik, mimik dan sebagainya) yang mengiringi bahasa yang digunakan, juga dipengaruhi oleh status sosial para partisipan.
2) Obyek-obyek yang relevan; yang berarti bahwa pokok pembicaraan juga akan mempengaruhi bahasa para partisipan. Jika obyek yang menyangkut pembicaraan ialah mengenai Tuhan, moral, keluhuran, akan digunakan kata-kata yang berkonotasi mulia. Bidang ilmu akan mempergunakan kata-kata ilmiah, dan bidang sastra akan mempergunakan kata-kata yang khusus untuk kesusastraan.
3)Efek dariaksi verbal; imbas yang oleh diharapkan partisipan juga akan mempengaruhi pilihan kata. Bila seseorang menginginkan suatu perlakuan yang baik dan manis, maka kata-kata yang digunakan juga akan sesuai dengan imbas yang diinginkan itu.
Dengan demikian, bahasa tyang digunakan bukan hanya semata-mata lantaran masalah-masalah kebahasaan, tetapi juga kasus kemasyarakatan, yang bersifat nonlinguistis.
b. Konteks Linguistis
Konteks linguistis ialah korelasi antara unsur bahasa yang satu dengan unsur bahasa yang lain. Konteks linguistis meliputi konteks korelasi antara kata dengan kata dalam frasa atau kalimat, korelasi antar frasa dalam sebuah kalimat atau wacana, dan juga korelasi antar kalimat dalam wacana. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 33)
Dalam korelasi dengan konteks ini, perlu kiranya dikemukakan suatu pengertian yang disebut kolokasi. Yang dimaksud dengan kolokasi (collocation) ialah lingkungan leksikal di mana sebuah kata sanggup muncul. Misalnya, kata gelap berkolokasi dengan kata malam, dan tidak pernah berkolokasi dengan kata baik atau jahat; dengan demikian kita sanggup memperoleh konstruksi malam gelap. Dengan dasar ini sanggup di pelajari betapa jangka kolokasional dari kata-kata dalam suatu bahasa. Kata seorang hanya bisa digunakan bagi insan atau malaikat atau dewa. Tetapi tidak pernah untuk hewan atau makhluk tak bernyawa.
Dalam konteks linguistik sanggup muncul pengertian tertentu akhir perpaduan antara dua buah kata, misalnya: rumah ayah mengandumg pengertian “Milik” rumah kerikil mengandumg pengertian dari atau bahannya dari. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 33)
B. PENDAYAGUNAAN KATA DAN KETEPATAN PILIHAN KATA
1. Ketetapan Pilihan Kata
Persoalan pendayagunaan kata intinya berkisar pada dua duduk kasus pokok, yaitu pertama, ketetapan pilihan kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 87)
Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang sempurna dalam imajinasi pembaca atau pendengar, ibarat apa yang dipikirkan atau dirasakan penulis atau pembicara. Ketepatan makna kata menuntut pula kesadaran penulis atau pembicara untuk mengetahui bagaimana korelasi antara bentuk bahasa (kata) dan referensinya. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 87)
Bila kita mendengar seorang berkata “Roti” maka tidak ada seorangpun berfikir wacana suatu barang yang terdiri dari tepung, air, ragi, mentega, yang telah dipanggang. Semua oaring berfikir kepada esensinya yaitu jenis makanan entah itu disebut roti, bread, cake, panis atau apa saja istilahnya. Bunyi yang kita dengar atau bentuk rangkaian karakter yang kita kita baca akan pribadi mengarahkan kepada jenis makanan tersebut.
Itulah sebabnya, dikatakan bahwa kata ialah sebuah rangkaian bunyi atau simbol tertulis yang menimbulkan orang berfikir wacana suatu hal. Dengan kata lain, arti kata ialah persetujuan atau konveksi umum wacana interrelasi antara sebuah kata dengan referensinya (barang atau hal yang diwakilinya). (Gorys Keraf, 2009. Hal. 88)
2. Persyaratan Ketetapan Diksi
Ketepatan ialah kemampuan sebuah kata unruk menimbulkan gagasan yang sama pada imajinasi pembaca atau pendengar, ibarat yang difikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. (Gorys Keraf, 2009. Hal. 88)
Beberapa butir perhatian dan duduk kasus berikut hendaknya diperhatikan setiap orang semoga bisa mencapai ketepatan pilihan katanya itu.
- Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. Dari dua kata yang mempunyai makna yang ibarat satu sama lain, ia harus menetapkan mana yang akan dipergunakannya untuk mencapai maksudnya. Jika hanya menginginkan pengertian dasar, maka ia harus menentukan kata yang denotatif. Jika ia menghendaki reaksi emosional, ia harus menggunakan kata konotatif.
- Membedakan kata-kata yang cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Kata yang bersinonim tidak selalu mempunyai distribusi yang saling melengkapi. Oleh lantaran itu, penulis atau pembicara harus berhati-hati dalam menentukan kata, sehingga tidak timbul interpretasi yang berlainan
- Membedakan kata-kata yang ibarat dalam ejaannya. Contoh: Bahwa-bawah-bawa, karton-kartun dan sebagainya.
- Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri
- Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing. Contoh : faforable-faforit, progress-progresif, dan sebagainya.
- Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara ideomatis. Contoh : angat akan bukan ingat terhadap, mengharapkan bukan mengharap akan dan sebagainya.
- Untuk menjamin ketetapan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan kata umum dan kata khusus.
- Mempergunakan kata kata indria yang memperlihatkan persepsi yang khusus.
- Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang terkenal.
- Memperhatikan kelangsungan pilihan kata.
3. Kata Umum Dan Kata Khusus
1. Kata khusus
a. Nama Diri
Pada umumnya, kita sepakat bahwa nama diri ialah istilah yang paling khusus, sehingga menggunakan kata-kata tersebut tidak akan menimbulkan salah paham. Bahwa nama diri ini merupakan kata khusus, dihentikan disamakan dengan kata yang denotatif. Contoh; seorang yang berjulukan Mat Bonang yang dilahirkan pada tanggal 17, bulan 7, dan tahun 1997, intinya hanya mempunyai denotasi, dan tidak akan mempunyai konotasi lain selain dari penyebut orang itu.
Tetapi dalam perkembangan waktu, nama diri sanggup juga menimbulan konotasi tertentu. Konotasi ini timbul dari perkembangan yang dialami orang yang menggunakan nama itu. Contoh; Bagi Ibunya, Ahmad yang berumur 1 tahun ialah anak yang dimanjakan, sedangkaan pada umur 18 tahun ia merupakan anak yang banyak menimbulkan sedih dan cucuran air mata lantaran sering berkenalan dengan petugas keamanan. Disini tampak bawa kata yang paling khusus itu tetap tidak menimbulkan salah paham dalam pengarahannya, tetapi kata itu sudah menimbulkan konotasi yang berlainan dalam perkembangan waktu. Jadi, sifat khusus sanggup bersifat denotatif maupun bersifat konotatif. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 91)
b. Daya Sugesti Kata Khusus
Di samping memberi informasi yang jauh lebih banyak, kata khusus juga memberi sugesti yang jauh leebih mendalam. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 91)
Perhatikan pola dibawah ini :
Gelandangan itu bertatih-tatih sepanjang trotoir itu
Kalimat ini menimbulkan imbas yang mendalam. Walaupun sudah terlalu lazim bagi kota-kota besar, namun kata gelandangan masih mempunyai sugesti yang khusus. Ia bukan saja menyatakan seorang manusia, tetapi juga menyatakan wacana watak, tampang, dan karakter orang itu.
2. Kata Umum
a. Gradasi Kata Umum
Bila kita beralih dari nama diri kepada kata benda misalnya, maka kesulitan itu akan meningkat. Semakin umum sebuah kata, semakin sulit pula tercapai titik pertemuan antara penulis dan pembaca. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 91)
Kata benda sepeti anjing contohnya akan menimbulkan daya khayal yang berbeda antara penulis dan pembaca. Kita tidak tahu bagaimana tepatnya pengertian dan cirri-ciri anjing itu. Mungkin penulis membayangkan anjing dari keturunan herder, sebaliknya pembaca yang membaca kata anjing itu membayangkan seekor anjing kampong.
Sesungguhnya perbedaan antara yang khusus dan umum, bagaimanapun juga akan selalu bersifat relatif. Sebuah istilah atau kata mungkin dianggap khusus bila dipertentangkan dengan istilah yang lain, tetapi akan dianggap umum bila harus dibandingkan dengan kata yang lain. Semakin umum sebuah kata, semakin sulit bagi pembaca untuk mengetahui apa yang dikatakan oleh penulis. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 92)
b. Kata-kata Abstrak
Kesulitan yang sama kita hadapi lagi pada waktu mendengar atau membaca kata-kata yang abnormal dan kata yang menyatakan generalisasi. Banyak kosakata terbentuk sebagai akhir dari konsep yang tumbuh dalam pikiran kita, bukan mengacu kepada hal yang kongkret. Seperti pada kata-kata seperti; kepahlawanan, kebajikan, kebahagiaan, keadilan, dan sebagainya, akan menimbulkan gagasan yang berlainan pada setiap orang, sesuai dengan pengalaman dan pengertiannya mengenai kata-kata itu. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 93)
4. Penggunaan Kata Umum Dan Kata Khusus
Dalam hal ini, kebijaksanaan setiap penulis memegang peranan yang penting. Ia tidakboleh mempergunakan kata abnormal atau kata umum lebih banyak dari pada yang diperlukan. Apabila ia harus mempergunakannya juga, maka ada baiknya ia menyertakan juga contoh-contoh yang kongkret dan khusus supaya pembaca sanggup membuat pengalaman-pengalaman mental, sehingga sanggup tercapai titik pertemuan itu. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 93)
Pendeknya, pengertian-pengertian yang umum perlu sanggup menjelaskan lebih lanjut, memerlukan lagi pengembangan yang kongkret dan khusus pula. Semakin besar suatu hal yang dinyatakan melalui suatu istilah yang umum, makin besar pula keharusan untuk menawarkan perincian-perinciannya. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 93)
5. Kata Indria
Suatu jenis pengkhususan dalam menentukan kata-kata yang sempurna ialah penggunaan istilah yang menyatakan pengalaman-pengalaman yang dicerap oleh pancaindria, yaitu cerapan indria penglihatan, peraba, perasa, dan penciuman. Karena kata-kata ini menggambarkan pengalaman insan melalui pancaindra secara khusus, maka terjamin pula daya gunanya. Terutama dalam membuat deskripsi. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 94)
Sering kali bahwa korelasi antara suatu indria dengan indria yang laindirasakan begitu rapat, sehingga kata yang gotong royong hanya dikenakan kepada suatu indria dikenakan pula pada indria lainnya. Gejala semacam ini disebut sinestesia. Contoh: kata merdu seharusnya bertalian dengan pendengaran, sedangkan kata sedap bertalian dengan perasa. Tetapi sering pula terjadi bahwa bunyi yang seharusnya bertalian dengan indera pendengaran disebut juga sedap. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 94)
Kata yang sediakala bertalian dengan perasa kemudian dihubungkan juga dengan penglihatan dan pendengaran. Misalnya :
Wajah cantik sekali.
Suaranya cantik kedengaran.
6. Perubahan Makna
a. Tejadinya Perubahan Makna
Dari waktu ke waktu, makna kata-kata sanggup mengalami perubahan, sehingga akan menimbulkan kesulitan-kesulitan gres bagi pemakai yang terlalu bersifat konservatif. Oleh lantaran itu, untuk menjaga semoga pilihan kata selalu tepat, maka setiap penutur bahasa harus selalu memperhatikan perubahan-perubahan makna yang terjadi. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 95)
Dalam duduk kasus gaya bahasa atau lebih khusus dalam duduk kasus pilihan kata, dasar yang digunakan sebagai patokan untuk menentukan apakah suatu makna sudah berubah atau tidak ialah pemakaian makna dengan makna tertentu harus bersifat nasional (masalah tempat) terkenal, dan sementara berlangsung (masalah waktu). (Gorys Keraf, 2009 Hal. 95)
Komunikasi kreatif berdampak pada perkembangan diksi, berupa penambahan atau pengurangan kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu bahasa berkembang sesuai dengan kualitas pemikiran pemakainya. Perkembangan sanggup menimbulkan perubahan yang meliputi perluasan, penyempitan, pembatasan, pengaburan, dan pergeseran makna. (Widjono, 2008 Hal.102)
Contoh :
Sebelum perang Dunia II kita mengenal kata “Daulat” dengan arti; 1. bahagia, berkat kebahagiaan, contohnya : Daulat Tuanku; biasanya digunakan untuk raja-raja atau sultan-sultan. 2. mempunyai kekuasaan yang tinggi, contohnya penyerahan kedaulatan republik Indonesia. Tetapi selama revolusi fisik menentang penjajahan belanda, kata daulat digunakan dengan arti yang agak lain yaitu merebut hak dengan tidak sah, misalnya; Tanah-tanah perkebunan belanda banyak yang didaulat oleh rakyat. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 96)
b. Macam-macam Perubahan Makna
1. Perluasan Arti
Yang dimaksud dengan ekspansi arti ialah suatu proses perubahan makna yang dialami sebuah kata yang tadinya mengandung suatu makna yang khusus, tetapi kemudian meluas sehingga melingkupi sebuah kelas makna yang lebih umum. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 97)
Contoh :
Dahulu, kata “Bapak” dan “ Saudara” hanya digunakan dalam korelasi biologis, kini semua orang yang lebih bau tanah atau lebih tinggi kedudukannya desebut bapak, dan lain-lainnya dengan sudara.
2. Penyempitan Arti
Penyempitan arti sebuah kata ialah sebuah proses yang dialami sebuah kata damana makna yang usang lebih luas cakupannya dari makna yang baru. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 97)
Contoh :
Kata “sarjana” dulu digunakan untuk menyebutkan semua orang cendikiawan. Sekarang digunakan untuk gelar universiter
C. GAYA BAHASA
1. Pengertian Gaya Bahasa
Gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah Style. Kata style diturunkan dari kata latin Stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi terang tidaknya goresan pena pada lempengan tadi. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 112)
Walaupun kata style berasal dari bahasa latin, orang yunani sudah membuatkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu :
- Aliran Platonik: memgungkap style sebagai kualitas suatu ungkapan; berdasarkan mereka ada ungkapan yang mempunyai style, dan ada juga yang tidak mempunyai style.
- Aliran Aristoteles: menganggap bahwa gaya ialah suatu kualitas yang inheren, ada yang ada dalam tiap ungkapan.
Secara umum, Gaya ialah cara mengungkapkan diri sendiri, baik melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya. Gaya bahasa memungkinkan kita sanggup menilai pribadi, tabiat dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula evaluasi orang terhadapnya. Begitu pula sebaliknya. Style atau gaya bahasa sanggup di batasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). (Gorys Keraf, 2009 Hal. 113)
2. Sendi Gaya Bahasa
a. Kejujuran
Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam bahasa. Pemakaian kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit ialah jalan untuk mrngandung ketidakjujuran. Pemakaian bahasa yang berbelit-belit mengambarkan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yng akan dikatakannya. Bahasa ialah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Oleh lantaran itu, ia harus digunakan pula secara sempurna dengan memperhatikan sendi kejujuran. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 114)
b. Sopan-santun
Sopan-santun ialah memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkata. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 114)
Adapun kejelasan akan diukur dalam beberapa butir kaidah berikut, yaitu :
- Kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat.
- Kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan melalui kata-kata atau kalimat.
- Kejelasan dalam pengaturan wangsit secara logis.
- Kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandingan.
Kesingkatan jauh lebih efektif dari pada jalinan yang berliku-liku. Kesingkatan sanggup dicapai melalui perjuangan untuk mempergunakan kata-kata secara efesien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih, yang bersinonim secara longgar, menghindari tautologi atau mengadakan reperisi yang tidak perlu. Diantara kejelasan dan kesingkatan sebagai ukuran sopan-santun, syarat kejelasan masih jauh lebih penting dari pada syarat kesingkatan. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 114)
c. Menarik
Kejujuran, kejelasan, serta kesingkatan harus merupakan langkah dasar dan langkah awal. Bila gaya bahasa hanya mengandalkan kedua atau ketiga, kaidah diatas, maka bahasa yang digunakan masih terasa tawar, tidak menarik. Oleh lantaran itu, gaya bahasa harus pula menarik. Gaya bahasa menarik sanggup diukur melalui beberapa komponen sebagai berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal (imajinasi). (Gorys Keraf, 2009 Hal. 114)
Penggunaan variasi akan menghindari monotoni, dalam nada struktur, dan pilihan kata. Humor yang sehat berarti gaya bahasa itu mengandung tenaga untuk membuat rasa bangga dan nikmat. Vitalitas dan daya khayal ialah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan dan pengalaman.
3. Jenis-jenis Gaya Bahasa
Gaya bahasa sanggup ditinjau dari majemuk sudut pandangan. Oleh lantaran itu, sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian yang bersifat menyeluruh dan sanggup diterima oleh semua pihak. Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat wacana gaya bahasa sejauh ini sekurang-kurangnya sanggup dibedakan, pertama, dilihat dari segi nonbahasa dan kedua dilihat dari segi bahasa. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 115)
a. Segi Nonbahasa
Pengikut Aristoteles mendapatkan style sebagai hasil dari majemuk unsur. Pada dasarnya style sanggup dapat dibagi atas tujuh pokok sebagai berikut:
- Berdasarkan pengarang: Gaya bahasa yang disebut sesuai dengan nama pengarang dikenal berdasarkan ciri-ciri pengenal yang digunakan pengarang atau penulis dalam karangannya. Pengarang yang berpengaruh sanggup mempengaruhi orang-orang sejamannya. Contoh: gaya Chairil, gaya Takdir dan sebagainya.
- Berdasarkan Masa: Gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal lantaran ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu. Contoh: gaya lama, gaya klasik, gaya sastra modern dan sebagainya.
- Berdasarkan Medium: Yang dimaksud dengan medium ialah bahasa dalam arti alat komunikasi. Tiap bahasa lantaran struktur dan situasi sosial pemakainya, sanggup mempunyai corak tersendiri. Contoh: karangan yang ditulis dalam bahasa Jerman, gaya bahasanya berbeda dengan yang ditulis dengan bahasa Jepang, indonesia, Arab dan sebagainya.
- Berdasarkan Subjek: Subjek yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan sanggup mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan. Contoh yang kita kenal, gaya filsafat,ilmiah (hukum, teknik, sastra) dan sebagainya.
- Berdasarkan Tempat: Gaya ini menerima namanya dari lokasi geografis, lantaran ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau ekspresi bahasanya. Contoh: gaya jakarta, gaya jogja, gaya medan dan sebagainya.
- Berdasarkan Hadirin: Hadirin atau jenis pembaca juga mempengaruhi gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang. Contoh: adanya gaya terkenal yang cocok untuk masyarakat banyak, anak-anak, remaja dan sebagainya.
- Bedasarkan Tujuan : Gaya berdasarkan tujuan memperoleh namanya dari maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang. Misal, gaya humoris, gaya teknis dan sebagainya.
b. Segi Bahasa
Dilihat dari sudut bahasa atau unsure-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa sanggup dibedakan berdasarkan titik tolak unsure bahasa yang dipergunakan, yaitu :
- Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata.
- Gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana.
- Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat.
- Gaya bahasa berdasarkan pribadi tidaknya makna.
4. Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata
Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling sempurna yang sesuai untuk posisi tertentu dalam kalimat, serta sempurna tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian dalam masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 117)
a. Gaya Bahasa Resmi
Gaya bahasa resmi ialah gaya dalam bentuknya lengkap, gaya yang dipergunakan dalam kesepakatan-kesepakatan resmi, gaya yang dipergumakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Contoh: Amanat kepresidenan, pidato-pidato yang penting, dan sebagainya.(Gorys Keraf, 2009 Hal. 117)
b. Gaya Bahasa Tidak Resmi
Gaya bahasa tidak resmi juga merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempatan tidak formal atau kurang formal. Gaya ini biasanya dipergunakan dalam artikel-artikel mingguan, buku-buku pegangan, majalah, tabloid dan sebagainya. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 118)
Gaya bahasa resmi dan tidak resmi sanggup dibandingkan sebagai berikut : gaya bahasa resmi sanggup diumpamakan sebagai pakian resmi, pakaian upacara, sedangkan gaya bahasa tidak resmi ialah bahasa dalam pakaian kemeja, yaitu berpakaian secara baik, konfesional, cermat, tetapi untuk keperluan sehari-hari, bukan untuk pesta insiden resmi. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 120)
c. Gaya Bahasa Percakapan
Sejalan dengan kata-kata percakapan, terdapat juga gaya bahasa percakapan itu sendiri. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya ialah kata-kata yang terkenal atau kata-kata yang dikenal dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa ini digunakan ketika bercakap-cakap dengan orang lain, kebiasaan-kebiasaan dan sebagainya. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 120)
5. Gaya Bahasa Berdasarkan Nada
Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti(ajakan) yang pancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali sugesti ini akan lebih kasatmata jika diikuti dengan bunyi dari pembicara, bila yang dihadapi ialah bahasa lisan. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 120)
Gaya bahasa dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah wacana, dibagi atas: gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga dan gaya menengah.
a. Gaya sederhana
Gaya ini biasanya cocok untuk memberi instruksi, perintah pelajaran, perkuliahan, dan sebagainya. Gaya ini cocok pula digunakan untuk memberikan fakta atau pembuktian-pembuktian. Untuk mempergunakan gaya ini secara efektif, penulis harus mempunyai kepandaian dan pengetahuan yang cukup. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 121)
b. Gaya Mulia dan Bertenaga
Sesuai dengan namanya gaya ini penuh dengan vitalitas dan enersi, dan biasanya digunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakkan sesuatu itu tidak hanya dengan tenaga ungkapan pembicara tetapi juga mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Contoh khutbah wacana kemanusiaan dan keagamaan. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 122)
c. Gaya Menegah
Gaya menengah ialah gaya yang diarahkan kepada perjuangan untuk menimbulkan suasana senang dan damai, lantaran tujuannya untuk membuat suatu keadaan yang senang dan damai, maka nada yang digunakan lemah lembut, penuh kasih sayang dan mengandung humor semoga sanggup menghibur pendengar. Contoh Pada kesempatan khusus ibarat pesta, pertemuan, rekreasi dan sebagainya. (Gorys Keraf, 2009 Hal. 120)
KESIMPULAN
Diksi atau pilihan kata meliputi pengertian kata-kata mana yang digunakan untuk memberikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata kata yang sempurna atau menggunakan ungkapan ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
Dilihat dari segi umumnya, makna sanggup dibagi menjadi dua yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Pilihan kata atau diksi lebih banyak bertalian dengan pilihan kata yang bersifat konotatif. Makna konotatif sifatnya lebih professional dan operasional daripada makna denotatif. Makna denotatif ialah makna yang umum. Dengan kata lain, makna konotatif ialah makna yang dikaitkan dengan kondisi dan situasi tertentu.
Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang sempurna dalam imajinasi pembaca atau pendengar, ibarat apa yang dipikirkan atau dirasakan penulis atau pembicara, Persoalan pendayagunaan kata intinya berkisar pada dua duduk kasus pokok, yaitu pertama, ketetapan pilihan kata, Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata.
Secara umum, Gaya ialah cara mengungkapkan diri sendiri, baik melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya. Gaya bahasa memungkinkan kita sanggup menilai pribadi, tabiat dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula evaluasi orang terhadapnya, Begitu pula sebaliknya. Gaya bahasa sanggup dibedakan menjadi dua macam yaitu : segi bahasa dan segi non bahasa.
Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata sanggup dibedakan menjadi tiga yaitu, gaya bahasa resmi, gaya bahasa tidak resmi, dan gaya bahasa percakapan. Sedangkan gaya bahasa berdasarkan nada sanggup dibedakan menjadi tiga yaitu gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah.
DAFTAR PUSTAKA;
- Keraf, Gorys. 2009. Diksi Dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
- Arifin, Zaenal. 2009. Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Presindo
- Widjono. 2008. Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.