Penyelesaian Sengketa Melalui Mahkamah
Thursday, May 12, 2022
Edit
Penyelesaian Sengketa melalui Mahkamah
Internasional Mahkamah Internasional (International Court of Justice) merupakan salah satu organ hukum utama PBB. Dengan demikian, Mahkamah Internasional ini merupakan bab dari PBB dan sebagaimana kita melihat bahwa Statuta Mahkamah Internasional merupakan bab integral dari Piagam PBB. Ketentuan prosedural dalam acara Mahkamah Internasional sama sekali berada di luar kekuasaan negara-negara yang bersengketa, alasannya yaitu kertentuan-ketentuan yang dimaksud sudah ada sebelum timbulnya sengketa.
Wewenang Mahkamah Internasional
Wewenang Mahkamah Internasional berdasarkan statuta ICJ adalah:
- membuat peraturan tata tertib yang mengikat negara-negara yang bersengketa (pasal 30 statuta ICJ);
- memberikan keputusan atas sengketa yang diajukan oleh para pihak kepadanya (Pasal 36 Statuta ICJ);
- memberikan nasihat aturan (advisory opinion) untuk duduk kasus aturan atas usul badan-badan sesuai dengan Pasal 96 piagam PBB dan Pasal 65 statuta ICJ
Menurut Pasal 34 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, hanya Negara negara yang boleh menjadi pihak dalam perkara-perkara di hadapan Mahkamah Internasional (Ratione Personae). Dengan demikian, subjek-subjek aturan internasional, yang bukan negara, tidak sanggup menjadi pihak dalam perkara-perkara yang diajukan tersebut. Sementara mengenaikewenangannya, berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, wewenang Mahkamah Internasional mencakup semua kasus yang diajukan pihak-pihak yang bersengketa kepadanya dan semua hal, terutama yang terdapat dalam Piagam PBB atau dalam perjanjianperjanjian dan konvensi-konvensi yang berlaku (Ratione Materiae). Pada prinsipnya, wewenang
Mahkamah Internasional bersifat fakultatif, yang berarti bila terjadi suatu sengketa antara dua negara, intervensi Mahkamah Internasional gres sanggup terjadi bila negara-negara yang bersengketa tersebut dengan persetujuan bersama membawa perkaranya ke Mahkamah Internasional. Tanpa adanya persetujuan antar pihak yang bersengketa, wewenang Mahkamah Internasional tidak berlaku terhadap sengketa tersebut. Namun demikian, berdasarkan Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah Internasional, negara-negara pihak, sanggup setiap ketika menyatakan untuk mendapatkan wewenang wajib Mahkamah Internasional tanpa persetujuan khusus dalam hubungannya dengan negara lain yang mendapatkan kewajiban yang sama, dalam sengketa aturan mengenai:
- penafsiran suatu perjanjian,
- setiap duduk kasus aturan internasional,
- adanya suatu fakta yang bila terbukti akan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional, dan
- jenis atau besarnya ganti rugi yang harus dilaksanakan alasannya yaitu pelanggaran dari suatu kewajiban internasional. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah Internasional tersebut merupakan klausula opsional.
Pernyataan negara ihwal penerimaan klausula ini sanggup dibentuk tanpsyarat atau dengan syarat resiprositas (timbal balik) oleh negara-negara lain atau untuk kurun waktu tertentu. Pernyataan ibarat itu didepositkan kepada Sekretaris Jenderal PBB yang copynya disampaikan kepada negaranegara pihak dan kepada Panitera Mahkamah
Internasional. Klausula dimaksud hanya akan berlaku bagi negara-negara yang telah mendapatkan hal yang sama.yang sanggup berperkara Berdasarkan Pasal 34 (1) statuta ICJ, hanya negara yang sanggup menjadi pihak di Mahkamah Internasional. Artinya, bahwa organisasi internasional, individu, dan organisasi nonpemerintahan tidak sanggup berperkara di Mahkamah Internasional. Hal ini sesuai dengan tujuan semula pembentukan ICJ, yaitu untuk menuntaskan sengketa antarnegara. Pertanyaan yang muncul yaitu bagaimanakah, bila individu ingin membela kepentingannya di depan
Mahkamah Internasional? Dalam masalah ini, maka negara di mana individu menjadi warganegaranya sanggup bertindak mengajukan klaim berdasarkan aturan internasional, dimana suatu negara memiliki hak melindungi warganegaranya. Dengan cara demikian, maka kasus tersebut menjadi kasus antar negara, dan individu tidak menjadi pihak dalam kasus di Mahkamah Internasional.
Pasal 34 (2) statuta ICJ, Mahkamah Internasional dimungkinkan untuk meminta keterangan dari organisasi internasional, atau atas inisiatif sendiri organisasi internasional sanggup memberi keterangan kepada Mahkamah Internasional. Masalah sengketa antarnegara dan negara-negara dengan organisasi internasional atau antara organisasi telah diselesaiakan dengan melalui Konvensi PBB ihwal perjanjian internasional antara Negara dan Organisasi Internasional atau Antarorganisasi Internasional pada tanggal 21 Maret 1986.
Pasal 35 (1) negara yang sanggup berperkara di depan ICJ yaitu negara-negara pihak dalam statuta. Pasal 35(2) terbuka bagi negara lain sesuai dengan ketentuan khusus yang tertera dalam perjanjian yang berlaku, ditetapkan oleh Dewan Keamanan. Pasal 35(3) bila negara yang bukan anggota PBB menjadi pihak dalam perkara, maka ICJ akan memutuskan jumlah yang akan dibayar
Prosedur Berperkara
Sementara mekanisme pengajuan perkara, berdasarkan Pasal 43 Statuta ICJ, dilakukan secara tertulis dan atau lisan. Prosedur secara tertulis dilakukan dengan jalan memberikan memorials dan counter-memorials, sedangkan mekanisme secara verbal dilakukan dengan jalan mendengarkan saksi-saksi, para ahli, agen-advokat yang mewakili pihak (negara) yang bersangkutan. Dalam hal kasus diajukan secara tertulis, dan jika ada yurisdiksi memaksa ICJ dalam arti Pasal 36 (2) statuta ICJ, maka pihak pemohon akan hanya mendasarkan tuntutannya berdasarkan deklarasi yang dibentuk oleh para pihak berdasarkan Pasal 36 (2) statuta ICJ. Bila suatu kasus diajukan berdasarkan Pasal 40 (1) statuta ICJ, maka berdasarkan Pasal 38 (1) rules procedure ICJ, maka pemohon harus menyebutkan kepada siapa tuntutan dan subjek dari tuntutan tersebut diajukan. Pihak pemohon juga harus menyebutkan secara sempurna apa yang menjadi dasar aturan dan pangkal tuntutannya, serta fakta yang menjadi dasar tuntutannya.
Permohonan yang diajukan harus ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari negara yang mengajukan permohonan atau oleh perwakilan diplomatik negara yang bersangkutan di daerah kedudukan ICJ. Jika pihak Panitera ICJ sudah mendapatkan permohonan, maka akan meneruskan salinan permohonan kepada pihak yang bersangkutan (Pasal 38 ayat 4) ICJ. Permohonan tertulis belum sanggup dipublikasikan ke publik hingga dengar pendapat secara oral (oral proceedings), jika para pihak menghendaki atau bahkan hingga simpulan proses. Keadaan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya polemik yang tidak aman untuk manajemen pengadilan dari ICJ.
Tata cara yang dipakai oleh Mahkamah Internasional, sebagaimana dalam Pasal 39 Statuta ICJ, khususnya dalam penggunaan bahasa, bahasa resmi yang dipakai yaitu bahasa Perancis dan bahasa Inggris. Jika para pihak menyetujui bahwa kasusnya akan memakai bahasa Perancis, maka keputusannya akan memakai bahasa Perancis. Demikian halnya jika para pihak menyetujui bahwa kasusnya akan memakai bahasa Inggris, maka keputusannya akan memakai bahasa Inggris.
Dalam ketentuan itu pula disebutkan, jika kedua pihak ternyata tidak menyetujui bahwa kasusnya akan memakai kedua bahasa itu (bahasa Perancis dan bahasa Inggris), maka keputusannya akan memakai bahasa Perancis dan bahasa Inggris. Keputusan yang memakai kedua bahasa tersebut memiliki kekuatan hukum. Ketidakhadiran salah satu pihak dalam persidangan, Pasal 53 statuta ICJ menentukan: bila salah satu pihak tidak hadir dalam persidangan atau tidak sanggup mempertahankan perkaranya, pihak lain sanggup meminta Proses persidangan pada Mahkamah Internasional sepertinya memiliki kesamaankesamaan dengan yurisdiksi intern suatu negara.
Prosedur tertulis dan perdebatan verbal diatur sedemikian rupa untuk menjamin sepenuhnya masing-masing pihak dalam mengemukakan pendapatnya. Selain itu, sidang-sidang Mahkamah Internasional dilaksanakan terbuka untuk umum dan tentunya rapat hakim-hakim Mahkamah Internasional diadakan dalam sidang tertutup.
Secara singkat dan konkret, kita sanggup mencontohkan mekanisme penyelesaian sengketa internasional masalah pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, sebagai berikut:
- Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangani Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice on the Dispute between Indonesia and Malaysia concerning the souvereignity over pulau Ligitan and pulau Sipadan. Agreement ini dilakukan di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997 dan disampaikan kepada Mahkamah Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui Joint Letter atau notifikasi bersama;
- Masalah pokok yang diajukan ke Mahkamah Internasional, yaitu “Apakah kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan perjanjian yang ada, bukti, serta dokumen yang tersedia merupakan milik Indonesia atau Malaysia”;
- pembuktian klaim dari kedua belah pihak dengan cara Written Pleadings and Oral Hearing. Pada Written Hearing Process, hal-hal yang disampaikan terdiri dari memorial, counter memorial dan reply ke Mahkamah Internasional. Proses ini ditarget simpulan Maret 2002, sedangkan penyampaian Oral Hearing oleh Malaysia pada tanggal 6-7 Juni 2002 dan Indonesia pada tanggal 12 Juni 2002;
- Mahkamah Internasional menampung dan mempelajari pembuktian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dan selambat-lambatnya 6 bulan sehabis Oral Hearing harus sudah menjadi keputusan;
- Tahap terakhir yaitu tahap keputusan yang dilakukan oleh Mahkamah Internasional (kasus pulau Sipadan dan Ligitan diputuskan pada pertengahan Desember 2002).
Pelaksanaan Putusan
Dalam hal pelaksanaan keputusan, berdasarkan Pasal 90 (2) Piagam PBB menetukan keputusan ICJ dalam kasus apapun di mana anggota tersebut menjadi salah satu pihak; (1) Apabila suatu pihak dalam kasus tidak memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh suatu keputusan ICJ, pihak yang lain sanggup meminta perhatian Dewan Keamanan, jika perlu sanggup menawarkan rekomendasi atau memilih tindakan yang akan diambil untuk terlaksananya keputusan itu.