Penerapan Otonomi Daerah

OTONOMI DAERAH
Penerapan desentralisasi dan otonomi tempat di Indonesia diyakini akan mampmendekatkan pelayanan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memupuk demokrasi lokal. Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, terdiri dari ribuan pulau, ratusan kultur dan subkultur yang menyebar di seluruh nusantara.

Berdasarkan pada variasi lokalitas yang sangat bermacam-macam itu maka sangat sempurna untuk menerapkan otonomi daerah. Hal ini akan memberi peluang seluas luasnya bagi tiap tempat untuk berkembang sesuai potensi alam dan sumber daya insan yang ada di masing masing tempat dan kemudian akan membuat suasana kompetisi antar tempat dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Huasana kompetisi dan persaingan antar tempat di masa kemudian hampir tidak dikenal sebab semua kebijakan fiskal, adminsitratif dan politis diatur dari pusat, Jakarta.

Hampir tidak ada ruang bagi administrator di tempat untuk memilih kebijakan sendiri. Bupati atau walikota yang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di tempat akan sanggup ditolak oleh otoritas pusat jika tidak sesuai dengan kepentingan politik elite penguasa di Jakarta. Jadi, administrator danlegislatif tempat pada masa itu hanya jari jari kekuasaan pusat yang berada di daerah. Harapan normatif yang dilekaktkan kepada DPRD sebagai wakil rakyat kandas dilumat sistim yang memang dirancang untuk melestarikan status quo autoritarian di bawah rejim Orde Baru, anggota dan dewan legislatif dikooptasi.

Perjuangan reformasi yang kemudian berhasil menumbangkan rejim Orde Baru tahun 1997 sangat membuka perluang untuk merombak tata pemerintahan yang sentralisitik. Satu diantara pilarnya reformasi ialah penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Meski pemerintah pusat telah menjalankan desentralisasi sebagai konsekuensi reformasi politik, namun desentralisasi dan otonomi tempat lebih dilihat sebagai hadiah (kemurahan hati) pusat membagi kekuasaan kepada daerah. Bukan sebaliknya, sebagai satu keharusan dan menjadi pilihan kebijakan paling sempurna bagi Indonesia yang paling heterogen dari segi variasi wilayah dan keanekaragaman kultur lokal. Kecurigaan terhadap adanya perjuangan usaha sengaja untuk kembali ke sentralisasi telah mulai mencuat ketika pemerintah melakukanrevisi UU Otda No. 22/1999 dengan UU Otda No.32/2004, yang sering dikaitkan dengan bentuk ketidakrelaan pusat membiarkan tempat mengatur dirinya sendiri. Formula UU Pemerintah Daerah ini juga banyak mengandung kontroversi, terutama dalam hal prosedur pemilihan kepala tempat yang tertuang dalam PP 06/2005.

Tiga tema sentral yang berkaitan eksklusif dengan otonomi: pemahaman dasar wacana otonomi, partisipasi rakyat dalam otonomi, dan koflik konflik di masa desentralisasi. Kami nilai pemilihan ketiga tema ini akan banyak membantu dalam upaya kita memetakan dan mendalami dilema persoalan otonomi yang semakin hari justru semakin komplek.

Apapun kelemahan yang terdapat dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomidaerah, maka perlu digarisbawahi bahwa demokrasiti rakyat di tempat dan peningkatan kesejahteraan bukanlah sebuah proses instant menyerupai kita memesan makan cepat saji. Demokrasi ialah proses yang panjang dan berkelanjutan. Dan kita ketika ini sedang melakukannya.

Latar Belakang Otonomi Daerah 
Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia semenjak tahun 1997 telah memporakporandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik negeri ini yang telah dibangun cukup lama. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi dan politik, yang berlanjut menjadi multikrisis, telah mengakibatkan semakin rendahnya tingkat kemampuan dan kapasitas negara dalam menjamin kesinambungan pembangunan. Krisis tersebut salah satunya diakibatkan oleh sistem administrasi negara dan pemerintahan yang sentralistik, di mana kewenangan dan pengelolaan segaal sektor pembangunan berada dalam kewenangan pemerintah pusat, sementara tempat tidak mempunyai kewenangan 

untuk mengoleola dan mengatur daerahnya. 

Sebagai respons dari krisis tersebut, pada masa reformasi dicanangkan suatu kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting yaitu melaksanakan otonomi tempat dan pengaturan perimbangan keuangan antarpusat dan daerah. Paradigma usang dalam administrasi pemerintahan yang berporos pada sentralisme kekuasaan diganti menjadi kebijakan otonomi daerah, yang tidak sanggup dilepaskan dari upaya politik pemerintah pusat untuk merespon tuntutan kemerdekaan atau negara federal dari beberapa wilayah, yang mempunyai aset sumber daya alam melimpah, namun tidak mendapatkan haknya secara proporsional pada masa pemerintahan Orde Baru. Otonomi tempat dianggap sanggup menjawab tuntutan pemerataan pembangunan sosial 
ekonomi, penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan kehidupan berpolitik yang efektif. Sebab sanggup menjamin penanganan tuntutan masyarkat secara variatif Dan cepat. Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap otonomi tempat di Indonesia ketika itu dirasakan mendesak. 

  • Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta centris). Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Hal ini bisa terlihat bahwa hampir 60% lebih perputaran berada di Jakarta, sedangkan 40% dipakai untuk di luar Jakarta. Dengna penduduk sekitar 12 juta di Jakarta, maka ketimpangan sangat terlihat, sebab tempat di luar jakarta dengan penduduk hampir 190 juta hanya memakai 40% dari perputaran uang secara nasional.  Selain itu, hampir seluruh proses perizinan investasi juga berada di tangan pemerintah pusat di Jakarta. 
  • Pembagian kekayaan dirasakan tidak adil dan tidak merata. Daerah-daerah yang 
  • memiliki sumber kekayaan alam melimpah berupa minyak, hasil tambang, dan hasil hutan, menyerupai Aceh, Riau, Papua, Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak mendapatkan perolehan dana yang layak dari Pemerintah Pusat, dibandingkan dengan 1) tempat yang relatif tidak mempunyai banyak sumber daya alam. 
  • Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu tempat dengan tempat lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu tempat terutama Jawa, berkembang pesat sekali. Sedangkan pembangunan di banyak tempat masih lamban, dan bahkan terbengkalai. Kesenjangan sosial ini juga mencakup tingkat pendidikan dan kesehatan keluarga. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel