Penyelesaian Sengketa Melalui Mahkamah Arbitrase
Friday, May 13, 2022
Edit
Penyelesaian Sengketa melalui Mahkamah Arbitrase
Dalam aturan publik internasional, forum arbitrase sebagai sarana dan cara menyelesaian sengketa antaranegara sudah dikenal semenjak kala pertengahan hingga sekarang. Para pihak yang bersepakat, bahwa sengketanya akan diselesaikan melalui forum arbitrase sanggup dituangkan dalam perjanjian (Konvensi Den Haag: Pacifict Settlement of International Disfutest). Perjanjian yang dibentuk oleh para pihak sanggup dilakukan sebelum dan setelah terjadinya sengketa. Apabila perjanjian dibentuk setelah terjadi sengketa, maka perrjajian itu hanya berlaku untuk menuntaskan sengketa yang bersangkutan. Perjajian penyelesaian sengketa yang dibentuk sebelum terjadi sengketa disebut arbitrase wajib. Perjanjian Arbitrase biasanya memuat persoalan yang disengketakan, syarat-syarat pengangkatan arbiter, mekanisme persidangan, kewenangan arbiter, dan kondisi khusus yang disetujui para pihak (Pasal 52-53 Konvensi).
Penunjukan Arbiter didasarkan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Seorang arbitrator pada tahap awal harus memastikan bahwa penunjukkan untuk melaksanakan kiprah sudah sesuai dengan mekanisme yang disepakati para pihak, dan hanya akan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya sesuai dengan kewenangannya.Apabila seorang arbitrator memutus kasus di luar kewenangannya, maka keputusannya akan dikesampingkan (Priyatna, 2002).
Demikian juga mekanisme arbitrase ditentukan menurut kesepakatan para pihak yang bersengketa. Perumusan persoalan yang disetujui para pihak untuk diserahkan ke Arbitrase sangat penting, sebab akan menentukan yurisdiksi arbitrase dan menghindari terjadinya sengketa dikemudian hari. Keputusan Arbitrase dibentuk setelah sidang tertutup antara Arbitrator, kemudian sidang menunjukkan suaranya, secara umum dikuasai dari bunyi menentukan keputusan Mahkamah Arbitrase.
Keputusan Mahkamah Arbitase mengikat para pihak, artinya harus dipatuhi dan dilaksanakan. Keputusan Mahkamah Arbitase bersifat final dan tanpa banding (pasal 81 Konvensi). Tetapi apabila ada penafsiran yang berbeda dari para pihak wacana isi keputusan, maka kepada para pihak dibuka kemungkinan mengajukan pada mahkamah yang tetapkan sengketa tersebut (Pasal 82 Konvensi). Untuk mengubah keputusan dimungkinkan jika ada fakta baru, alasan menolak suatu keputusan sanggup terjadi sebab adanya cacat aturan dalam keputusan. Karena itu ada kemungkinan para pihak untuk menolah keputusan tersebut yang didasarkan pada doktrinpembatalan.
Menurut Sri Setianingsih (2006), alasan-alasan yang sanggup diajukan sebagai dasar abolisi putusan adalah:
- Mahkamah Arbitrase tidak memiliki kewenangan atau belum memiliki kekuatan berlaku atau berakhir;
- Arbitator yang dipilih telah melebihi wewenang yang diberikan para pihak kepadanya dalam kaitan dengan aturan yang harus diterapkan atau diminta untuk menentukan alternatif yang harus diputuskan sendiri; mahkamah melampaui aturan dasar mekanisme hkum dalam tetapkan perkara.
- Misalnya satu aturan dasar dalam aturan bahwa seseorang dilarang menjadi hakim dalam perkaranya sendiri. Oleh sebab itu, anggota mahkamah arbitrase tidak diperkenankan mendapatkan arahan dari salah satu pihak yang mungkin merugikan pihak lain;
- Prinsip bahwa kepada kedua belah pihak harus diberikan kesempatan yang sama untuk mempresentasikan kasusnya mengenai persoalan yang mendasar;
- Gagal untuk menunjukkan alasan atau keputusan sanggup dijadikan dasar untuk menolak keputusan arbitrase. Alasan suatu keputusan sangat penting bagi para pihak sebab para pihak ingin mengetahui jawaban dari mahkamah atas argumen yang diajukan lebih fundamental sehingga suatu alasan putusan menjamin bahwa mahkamah menentang godaan untuk menyederhanakan perbedaan dan dasar keputusan pada merits of the case;
- Suatu putusan merupakan putusan yang curang. Termasuk ketidak jujuran dalam mempresentasikan suatu masalah di depan mahkamah atau korupsi oleh salah satu anggota mahkamah dan kesalahan fundamental (essential error).