Budaya Politik

BUDAYA POLITIK 
Istilah budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari "buddhi" yang berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan diartikan sebagai "hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal". Dalam bahasa absurd kita sering menjumpai istilah culture yang artinya sama dengan budaya atau kebudayaan. Culture berasal dari bahasa Latin colere, yang artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Berasal dari arti tersebut, colore kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan acara insan untuk mengolah dan mengubah alam. Menurut E.B. Taylor (1971) kebudayaan ialah kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, watak istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh insan sebagai anggota masyarakat. 

Dengan kata lain, kebudayaan meliputi segala sesuatu yang didapatkan atua dipelajari oleh insan sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan batasan ini, berarti kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola sikap yang normative atau meliputi segala cara-cara atau pola-pola berpikir, mencicipi (bersikap) dan bertindak. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi memberi batasan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. 

Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diharapkan oleh insan untuk mengolah alam, biar alhasil sanggup dimanfaatkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur dan menjadi peodman kehidupan masyarakat dalam arti lugs. Sedangkan cipta ialah kemampuan mental, kemampuan berpikir insan sebagai anggota masyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud balk yang berwujud teori murni maupun yang bersfiat terapan. Rasa dan cipta menghasilkan kebudayaan rohaniyah (immaterial culture). Semua karya, rasa dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang memilih kegunaannya biar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat.

Menganalisa lebih lanjut fatwa di atas, Soerjono Soekamto menyatakan bahwa bahwasanya insan sebagai individu mempunyai segi material dan spiritual dalam kehdupannya. Segi material mengandung karya, yaitu kemampuan insan untuk menghasilkan benda-benda atua lainnya yang berwujud benda. Segi spiritual insan mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan, karsa yang menghasilkan kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum, serta rasa yang menghasilkan keindahan dan kesenian. 

Manusia berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika, menyerasikan sikap dengan kaidah-kaidah melalui etika, dan mendapatkan keindahan melalui estetika. Semua ini merupakan kebudayaan. Kebudayaan dimiliki oleh setiap masyarakat insan di dunia. Perbedaannya terletak pada tingkatan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu masing-masing. Ada yang mempunyai tingkat kebudayaan yang masih rendah dan ada masyarakat yang sudah mempunyai kebudayaan yang lebih maju. 

Dilihat dari sudut struktur dan tingkatan, di dalam masyarakat yang besar atau bangsa dikenal adanya superculture yang berlaku bagi masyarakat. Suatu superculture biasanya sanggup dijabarkan ke dalam cultures yang didasarkan pada kekhasan daerah, golongan etnik, profesi dan lain sebagainya. Dalam suatu culture mungkin berkembang lagi kebudayaan-kebudayaan khusus yang tidak bertentangan dengan kebudayaan "induk", yang lazim disebut subculture. Namun jikalau kebudayaan khusus itu bertentangan dengan kebudayanaan induk, maka kebudayaan khusus tersebut disebut counter-culture.

Counter-culture tidak harus selalu diberi arti negatif. Karena, paling tidak adanya tanda-tanda tersebut memperlihatkan petunjuk, bahwa kebudayaan induk kurang dapAt menyerasikan diri dengan perkembangan kebutuhan. Untuk itu maka perlu 11 ada upaya dari pihak penguasa untuk menyesuaikan atau menyerasikan kebudayaan induk dengan kebutuhan-kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Dari sinilah reformasi kebudayaan berlangsung. Demikianlah uraian di atas telah memperlihatkan pengertian kepada kita mengenai budaya atau kebudayaan, yang pokok pengertiannya diambil dari antropologi. 

Uraian tersebut memperlihatkan kesimpulan bahwa secara garis besar kebudayaan meliputi referensi pikir, referensi sikap dan referensi tindak insan sebagai anggota masyarakat, atau meliputi karya, karsa, cipta dan rasa insan beserta hasil-hasilnya, baik yang bersfiat material maupun immaterial. Setelah anda memahami pengertian pokok mengenai budaya atau kebudayaan, selanjutnya Anda perlu memahami konsep budaya politik. Apa bahwasanya budaya politik itu? Menurut Yahya Muhaimin (1991), konsep budaya politik pada hakikatnya berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) insan yang merupakan dasar semua tindakan. Budaya politik antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda-beda. Karena itu arch perjalanan masyarakat menuju modernitas atau kesempurnaan hidupnya berbeda-beda pula tergantung derajat budaya politik masing-masing. 

Dalam suatu derajat yang tinggi, budaya politik membentuk aspirasi, harapan, preferensi, dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial politik. Secara konseptual, Almond dan Verba (1990) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu. Batasan ini memperlihatkan kepada kita akan adanya unsur individu, yakni warga negara dan sistem politik serta keterkaitannya. 

Dalam hal ini budaya politik terlihat dari bagaimana sikap individu terhadap sistem politik dan bagaimana pula sikapnya pula terhadap individu di dalam sistem politik. Batasan ini juga menekankan serangkaian orientasi sikap individu terhadap seperangkat objek dan proses sosial yang bersifat khusus, dalam hal ini ialah sistem dan proses politik. Karena itu berdasarkan Almond dan Verba pembicaraan mengenai budaya atau kebudaya politik persis sama dengan kebudayaan ekonomi dan kebudayaan religius (keagamaan). Perbedaannya terletak pada objeknya, objek kebudayaan politik ialah sistem dan proses politik, objek kebudayaan ekonomi ialah sistem dan proses ekonomi, sedangkan objek kebudayaan religius ialah sistem dan proses religi.

Menyimak klarifikasi di atas, sepertinya konsepsi budaya politik lebih sempit dan lebih terfokus pada pengertian budaya secara antropologis, balk domain subjek yang hanya menekankan pada segi pikiran, perasaan dan sikap insan atau yang oleh Almond dan Verba disebut orientasi, maupun objeknya yang berfokus pada sistem politik dan bagian-bagiannya serta proses politik. Dikatakan oleh Almond dan Verba di dalam objek yang berfokus pada sistem politik terdapat tiga komponen yang salinng menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif dan evaluatif. 
  • Komponen kognitif: pengetahuan dan kepercayaan pada politik, tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang diambil atau simbol-simbol yang dimiliki dalam sistem politiknya, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya. 
  • Komponen afektif: perasaan yang khusus terhadap aspek-aspek sistem politik tertentu yang sanggup membuatnya mendapatkan atau menolak sistem politik itu, peranannya, para. pemain film dan penampilannya. Dalam kaftan ini telah menjadi janji para andal bahwa sikap-sikap yang tumbuh dalam lingkungan keluarga atau lingkungan hidup seseorang mempunyai efek terhadap pembentukan perasaan individu. 
  • Komponen evaluatif: keputusan dan pendapat ihwal objek-objek politik yang secara tipikal (khan) melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan yang memang telah dipunyai seseorang. 
Di dalam realitas kehidupan ketiga komponen ini tidak terpisahpisah secara tegas. Adanya perbedaan tingkat pemahaman ihwal perkembangan masyarakat pada setiap individu menjadikan ketiga komponen tersebut saling berkaitan atau seku rang-ku rang nya saling mempengaruhi. Untuk sanggup membentuk suatu penilaian ihwal seorang pemimpin, seorang warga negara harus mempunyai pengetahuan yang memadai ihwal si pemimpin. Dan pengetahuannya itu sudah dipengaruhi oleh perasaannya sendiri. Sehingga sanggup dikatakan bahwa pengetahuan kuat terhadap sistem politik secara keseluruhan. 

Dan objek orientasi politik sanggup digolongkan dalam beberapa objek. Pertama ialah sistem politik secara umum. Perhatian utama objek ini ialah sistem sebagai suatu keseluruhan, termasuk banyak sekali perasaan tertentu menyerupai patriotisme dan alieansi, kognisi dan penilaian terhadap bangsa apakah besar atau kecil, kuat atau lemah, serta penilaian terhadap pemerintahan apakah demokratis, konstitusional, atau sosialistis. Kedua ialah pribadi sebagai pemain film politik yang meliputi isi dan kualitas, norms-norms kewajiban politik seseorang, serta isi dan kualitas kemampuan diri setiap orang dalam berhadapan dengan sistem politik. Sikap ini berkaitan dengan rasa percaya dan permusuhan yang biasanya memang terdapat antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya dalam masyarakat. 

Dalam kehidupan sehari-hari rasa percaya dan permusuhan ini Bering diwujudkan dalam bentuk kualitas politik yang kita temui yaitu kolaborasi dan konflik. Rasa percaya mendorong seseorang atau kelompok bekerja sama dengan orang atau kelompok orang. Sebaliknya rasa permusuhan mengarahkan seseorang atau suaut kelompok pada konflik politik. Kaprikornus kolaborasi dan konflik tidak saja mewarnai kehidupan suatu masyarakat melainkan jugs menjadi ciri budaya politik suatu masyarakat. Ketiga bagian-bagian dari sistem politik yang dibedakan atas tiga golongan objek: 
  1. Peranan atau struktur khusus, menyerupai tubuh legislatif, eksekutif atau birokrasi dan yudikatif. 
  2. Pemegang jabatan menyerupai pimpinan monarki, legislator dan administrator. 
  3. Kebijaksanaan, keputusan atau penguatan keputusan, struktur, pemegang jabatan dan struktur secara timbal batik yang sanggup diklasifikasikan dalam proses atau input politik dan proses administratif atau output politik. 
Yang dimaksud proses atau input politik ialah arus tuntutan dari masyarakat terhadap pemerintah dan proses konversi (mengubah) tuntutan-tuntutan ini menjadi kebijakan otoritatif. Beberapa struktur (lembaga) yang terlibat secara intens dalam proses input ialah partai politik, kelompok kepentingan dan media komunikasi. Sedangkan yang dimaksud dengan proses administratif atau output ialah proses di mana kebijakan otoritatif itu diterapkan atau diperkuat. Struktur-struktur yang berperan aktif dalam proses ini ialah birokrasi dan forum peradilan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel