Pengertian Spiritual Quotient (Sq)

SPIRITUAL QUOTIENT (SQ) DAN MULTIPLE INTELEGENCIES SERTA PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
1. Pengertian SQ
Sebelum membahas lebih jauh wacana Spiritual Quotient (yang kemudian disingkat menjadi SQ), maka sebagai langkah awal, akan dipaparkan pandangan beberapa tokoh dalam bidang ini.

Penemu SQ yakni spesialis yang berjulukan Danah Zohar dan Ian Marshall, yang mendefinisikan SQ sebagai berikut: 
  • Suatu keperluan penting yang dimiliki oleh para hambat Tuhan untuk sanggup berafiliasi dengan Tuhannya 
  • Kemampuan untuk menghidupkan kebenaran yang paling dalam yaitu mewujudkan hal yang terbaik, utuh dan paling manusiawi dari dalam batin 
  • Merupakan gagasan, energi, nilai, visi, dorongan dan arah panggilan hidup bersama cinta 
  • SQ yakni bukti ilmiah, ini nyata ketika kami mencicipi keamanan (Secure), kedamaian (peace), penuh cinta (love) dan senang (happy), ketika dibedakan dalam suatu kondisi yang dirasakan tidak aman, tidak senang dan tidak cinta (Paul Edwards) 
  • SQ yakni pencarian insan akan makna hidup dan merupakan motivasi utama dalam hidupnya. Kearifan spiritual yakni sikap hidup arif dan bijak secara spiritual yang cenderung mengisi lembaran hidup kita menjadi lebih bermakna dan bijak, bisa menyikapi segala sesuatu secara lebih jernih dan benar sesuai hati nuraninya, itulah kecerdasan spiritual (Viktor Frank-Psikolog) 
  • SQ akan membimbing insan dalam merencanakan sesuatu yang menjadi tujuan hidupnya, yaitu hidup yang penuh kedamaian secara spiritual. Mendidik hati menjadi benar.[1]
Sementara berdasarkan beberapa pakar lain, SQ berdasarkan Munandir (2001: 122) yakni sebuah istilah yang tersusun dalam dua kata yaitu “kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan yakni kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang menuntut kemampuan fikiran. Berbagai batasan-batasan yang dikemukakan oleh para hebat didasarkan pada teorinya masing-masing. Selanjutnya Munandir menyebutkan bahwa Intelegence sanggup pula diartikan sebagai kemampuan yang berafiliasi dengan abstraksi-abstraksi, kemampuan mempelajari sesuatu, kemampuan menangani situasi-situasi baru.

Mimi Doe & Marsha Walch mengungkapkan bahwa spiritual yakni dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi kehidupan kita wacana kepercayaan mengenai adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri kita; Suatu kesadaran yang menghubungkan kita eksklusif dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita. Spiritual juga berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, moral.[2]

Makara berdasarkan arti dari dua kata tersebut kecerdasan spiritual sanggup diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang berafiliasi dengan nilai, batin, dan kejiwaan. Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal di luar kekuatan insan yaitu kekuatan penggagas kehidupan dan semesta.

Menurut Tony Buzan kecerdasan spiritual yakni yang berkaitan dengan menjadi potongan dari rancangan segala sesuatu yang lebih besar, mencakup “melihat suatu citra secara menyeluruh”. Sementara itu, kecerdasan spiritual berdasarkan Stephen R. Covey yakni pusat paling fundamental di antara kecerdasan yang lain, lantaran beliau menjadi sumber bimbingan bagi kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual mewakili kerinduan akan makna dan kekerabatan dengan yang tak terbatas.

2. Prinsip Kecerdasan Spiritual
Agustina (2001) dalam bukunya menuliskan adanya 6 prinsip dalam kecerdasan spiritual berdasarkan rukun iman, yaitu :
  1. Prinsip bintang (star principle), berdasarkan iman kepada Allah SWT.Yaitu kepercayaan atau keimanan kepada Allah SWT. Semua tindakan hanya untuk Allah, tidak mengharap pamrih dari orang lain dan melakukannya sendiri.
  2. Prinsip malaikat (angel principle), berdasarkan iman kepada Malaikat.Semua kiprah dilakukan dengan disiplin dan sebaik-baiknya sesuai dengan sifat malaikat yang dipercaya oleh Allah untuk menjalankan segala perintah-Nya.
  3. Prinsip kepemimpinan (leadership principle), berdasarkan iman kepada rasul.Seorang pemimpin harus mempunyai prinsip yang teguh, biar bisa menjadi pemimpin yang sejati. Seperti halnya Rasullullah SAW, seorang pemimpin sejati yang dihormati oleh semua orang.
  4. Prinsip pembelajaran (learning principle), berdasarkan iman kepada kitab.Suka membaca dan berguru untuk menambah pengetahuan dan mencari kebenaran yang hakiki. Berpikir kritis terhadap segala hal dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam bertindak.
  5. Prinsip masa depan (vision principle), berdasarkan iman kepada hari akhir.Berorientasi terhadap tujuan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Semua itu lantaran keyakinan akan adanya hari kemudian dimana setiap individu akan mendapat jawaban terhadap setiap tindakan yang dilakukan.
  6. Prinsip keteraturan (well organized principle) berdasarkan iman kepada Qodlo dan Qodar.[3]
Setiap keberhasilan dan kegagalan, semua merupakan takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah swt.

3. Ciri-ciri kecerdasan spiritual
Berdasarkan teori Zohar dan Marshall (2001) dan Sinetar (2001), ciri-ciri kecerdasan spiritual yakni sebagai berikut:
  • Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan mendalam sehingga bisa menyadari antuasi yang tiba dan menanggapinya.
  • Mempunyai visi. Ada pemahaman wacana tujuan hidupnya, mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
  • Fleksibel. Mampu bersikap fleksibel, mengikuti keadaan secara impulsif dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, mempunyai pandangan yang pragmatis (sesuai kegunaan) dan efisien wacana realitas.
  • Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara banyak sekali hal. Dapat memandang kehidupan yang lebih besar sehingga bisa menghadapi dan memanfaatkan serta melampaui, kesengsaraan dan rasa sehat serta memandangnya sebagai suatu visi dan mencari makna dibaliknya.
  • Melakukan perubahan. Terbuka terhadap perbedaan, mempunyai akomodasi untuk bekerja melawan konvensi dan status quo, menjadi orang yang bebas merdeka.
  • Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain, mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan aneh.
  • Refleksi diri, mempunyai kecenderungan apakah yang fundamental dan pokok.
4. Faktor-Faktor Yang Mendukung Kecerdasan Spiritual
Menurut Sinetar (2001) otoritas intuitif, yaitu kejujuran, keadilan, kesamaan perlakuan terhadap semua orang, mampunyai faktor yang mendorong kecerdasan spiritual. Suatu dorongan yang disertai oleh pandangan luas wacana tuntutan hidup dan komitmen untuk memenuhinya.

Faktor-faktor yang menghipnotis kecerdasan spiritual berdasarkan Agustian (2003) yakni inner value (nilai-nilai spiritual dari dalam) yang berasal dari dalam diri (suara hati), mirip transparency (keterbukaan), responsibilities (tanggung jawab), accountabilities (kepercayaan), fairness (keadilan) dan social wareness (kepedulian sosial). Faktor kedua yakni drive yaitu dorongan dan perjuangan untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan.

Zohar dan Marshall (2001) mengungkapkan ada beberapa faktor yang menghipnotis kecerdasan spiritual yaitu :

a. Sel Saraf Otak
Otak menjadi jembatan antara kehidupan bathin dan lahiriah kita. Ia bisa menjalankan semua ini lantaran bersifat kompleks, luwes, adaptif dan bisa mengorganisasikan diri. Menurut penelitian yang dilakukan pada masa 1990-an dengan memakai WEG (Magneto – Encephalo – Graphy) pertanda bahwa osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz merupakan basis bagi kecerdasan spiritual.

b. Titik Tuhan (God Spot)
Dalam peneltian Rama Chandra menemukan adanya potongan dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman religius atau spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik Tuhan atau God Spot. Titik Tuhan memainkan kiprah biologis yang menentukan dalam pengalaman spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan merupakan syarat mutlak dalam kecerdasan spiritual. Perlu adanya integrasi antara seluruh potongan otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi kehidupan.

5. Aspek-Aspek Dalam Kecerdasan Spiritual
Sinetar (2001) menuliskan beberapa aspek dalam kecerdasan spiritual, yaitu :
  • Kemampuan seni untuk memilih, kemampuan untuk menentukan dan menata hingga ke bagian-bagian terkecil mulut hidupnya berdasarkan suatu visi batin yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup mengorganisasikan bakat.
  • Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan dirinya, baik talenta maupun keterbatasannya untuk membuat dan menata pilihan terbaiknya.
  • Kedewasaaan yang diperlihatkan. Kedewasaan berarti kita tidak menyembunyikan kekuatan-kekuatan kita dan ketakutan dan sebagai konsekuensinya menentukan untuk menghindari kemampuan terbaik kita.
  • Kemampuan mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang lain di mata kita penting atau kita cintai.
  • Disiplin-disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain, pemaaf tidak prasangka gampang untuk memberi kepada orang lain dan selalu ingin membuat orang lain bahagia.[4]
Menurut Buzan (2003) ada sepuluh aspek-aspek dalam kecerdasan spiritual yaitu mendapatkan citra menyeluruh wacana jagad raya, menggali nilai-nilai, visi dan panggilan hidup, belas kasih, memberi dan menerima, kekuatan tawa, menjadi kanak-kanak kembali, kekuatan ritual, ketentraman, dan cinta.

Selain dari hal di atas, berdasarkan Robbins & Judge dalam bukunya yang berjudul Organizational Behavior menyebutkan budaya spiritualitas yang perlu dibuat adalah:
  • Strong Sense of Purpose.Meskipun pencapaian laba itu penting, tetapi hal itu tidak menjadi nilai utama dari suatu organisasi dengan budaya spiritual. Karyawan membutuhkan adanya tujuan perusahaan yang lebih bernilai, yang biasanya dinyatakan dalam bentuk visi dan misi organisasi.
  • Trust and Respect.Organisasi dengan budaya spiritual senantiasa memastikan terciptanya kondisi saling percaya, adanya keterbukaan dan kejujuran. Salah satunya dalam bentuk manajer dan karyawan tidak takut untuk melaksanakan dan mengakui kesalahan.
  • Humanistic Work Practices. Jam kerja yang fleksibel, penghargaan berdasarkan kerja tim, mempersempit perbedaan status dan imbal jasa, adanya jaminan terhadap hak-hak individu pekerja, kemampuan karyawan, dan keamanan kerja merupakan bentuk-bentuk praktik administrasi sumber daya insan yang bersifat spiritual.
  • Toleration of Employee Expression. Organisasi dengan budaya spiritual mempunyai toleransi yang tinggi terhadap bentuk-bentuk mulut emosi karyawan. Humor, spontanitas, keceriaan di daerah kerja tidak dibatasi. Saat ini sudah cukup banyak perusahaan yang menerapkan budaya spiritualitas di daerah kerja.[5]
6. Hubungan antara SQ, EQ dan IQ[6]
Menurut Stephen R. Covey, IQ yakni kecerdasan insan yang berafiliasi dengan mentalitas, yaitu kecerdasan untuk menganalisis, berfikir, menentukan kausalitas, berfikir abstak, bahasa, visualisasi, dan memahami sesuatu. IQ yakni alat kita untuk melaksanakan sesuatu letaklnya di otak potongan korteks manusia. Kemampuan ini pada awalnya dipandang sebagai penentu keberhasilan sesorang. Namun pada perkembangan terakhir IQ tidak lagi dipakai sebagai contoh paling fundamental dalam menentukan keberhasilan manusia. Karena membuat sempit paradigma wacana keberhasilan, dan juga pemusatan pada konsep ini sebagai satu satunya penentu keberhasilan individu dirasa kurang memuaskan lantaran banyak kegagalan yang dialami oleh individu yang ber IQ tinggi (dalam Sukidi).

Pengertian Spiritual dan Religiusitas

Ketidakpuasan terhadap konsepsi IQ sebagai konsep pusat dari kecerdasan seseorang telah melahirkan konsepsi yang memerlukan riset yang panjang serta mendalam. Daniel Golman mengeluarkan konsepsi EQ sebagai jawaban atas ketidak puasan insan jika dirinya hanya dipandang dalam struktur mentalitas saja. Konsep EQ menawarkan ruang terhadap dimensi lain dalam diri insan yang unik yaitu emosional. Disamping itu Golman mempopulerkan pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri insan yang berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan yang konvensional tersebut (dalam Danah Zohar dan Ian Marshal)

Komponen utama dari kecerdasan sosial ini yakni kesadaran diri, motivasi pribadi, pengaturan diri, tenggang rasa dan keahlian sosial. letak dari kecerdasan emosional ini yakni pada sistem limbik. EQ lebih pada rasa, Jika kita tidak bisa mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan bisa untuk memakai aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara efektif, lantaran IQ menentukan sukses hanya 20% dan EQ 80%.

Kecerdasan spiritual bisa mengoptimalkan kerja kecerdasan yang lain. Individu yang mempunyai kebermaknaan (SQ) yang tinggi, bisa menyandarkan jiwa sepenuhnya berdasarkan makna yang ia peroleh, dari sana ketenangan hati akan muncul. Jika hati telah tenang (EQ) akan memberi sinyal untuk menurunkan kerja simpatis menjadi para simpatis. Bila ia telah tenang lantaran aliran darah telah teratur maka individu akan sanggup berfikir secara optimal (IQ), sehingga ia lebih sempurna dalam mengambil keputusan. Manajemen diri untuk mengolah hati dan potensi kamanusiaan tidak cukup hanya denga IQ dan EQ, kecerdasan spiritual yakni kecerdasan yang sangat berperan dalam diri insan sebagai pembimbing kecerdasan lain. Kini tidak cukup orang sanggup sukses berkarya hanya dengan kecerdasan rasional (yang bekerja dengan rumus dan logika kerja), melainkan orang perlu kecerdasan emosional biar merasa gembira, sanggup bekerjasama dengan orang lain, punya motivasi kerja, bertanggung jawab dan life skill lainnya. Perlunya membuatkan kecerdasan spiritual biar ia merasa bermakna, berbakti dan mengabdi secara tulus, luhur dan tanpa pamrih yang menjajahnya. Karena itu sesuai dengan pendapat Covey diatas bahwa “SQ merupakan kunci utama kesadaran dan sanggup membimbing kecerdasan lainnya”.

7. Konsep Aplikasi IQ, EQ, dan SQ dalam Pembelajaran[7]
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali dijumpai orang yang bergotong-royong mempunyai kemampuan intelektual luar biasa namun gagal lantaran rendahnya kecerdasan emosi yang dimiliki. Sebaliknya, sering juga dijumpai orang yang mempunyai kemampuan intelektual biasa saja namun ternyata sukses dalam pekerjaan ataupun dalam kekerabatan masyarakat. Dua keadaan tersebut sepertinya perlu dijadikan materi renungan wacana cara kita “membaca” kecerdasan. Hal ini menjadi penting lantaran selama ini sistem pendidikan yang ada terlalu menekankan pentingnya nilai akademik, kecerdasan otak (IQ) saja. Indikatornya yakni dalam prosedur pelaksanaan ujian, baik nasional maupun institusional, tolok ukurnya yakni penguasaan akseptor didik terhadap materi pelajaran yang bersifat remembering dan recalling.

Jelas ini sangat ironis lantaran intinya salah satu kelemahan pendidikan terletak pada aspek afektif. Banyaknya masalah negatif dalam bidang afektif yang mewarnai dunia pendidikan mirip pemerkosaan yang dilakukan oknum guru terhadap murid, murid pria terhadap murid perempuan, tawuran pelajar, penyontekan, menurunnya rasa hormat murid terhadap guru, narkoba, dan lain sebagainya merupakan gugusan panjang pelanggaran dalam bidang afekif.
Kondisi yang demikian ini mengindikasikan bahwa pendidikan telah terserang penyakit klinis yang kronis. Oleh lantaran itu perlu ada upaya simpel dari seluruh stakeholders dengan merubah paradigma pendidikan yang intelektual sentris (kognitif) menuju paradigma pendidikan yang bisa menyeimbangkan dan menyelaraskan dimensi intelektual (kognitif), dimensi emosional (afektif) dan juga dimensi spiritual. Keseimbangan ketiga dimensi tersebut dibutuhkan mengingat dalam mengarungi kehidupan, seseorang tidak hanya cukup dengan bekal cerdas secara intelektual, namun lemah dalam pengendalian emosi serta hampa dalam urusan spiritual. Hal ini dikarenakan dalam berafiliasi dengan manusia, tidak hanya dibutuhkan orang yang cerdas secara IQ, tetapi juga dibutuhkan orang yang cerdas secara emosi. Selain itu, kesuksesan seseorang dalam kehidupan juga tidak hanya ditentukan oleh seberapa tinggi IQ yang dimiliki, tetapi EQ juga sangat berperan dalam segala sendi kehidupan. IQ hanya menyumbang kira-kira 20% bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, sedangkan 80% sisanya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain, termasuk kecerdasan emosi.

Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) ini cenderung berkaitan dengan status insan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial (dimensi horisontal) serta kurang menyentuh duduk kasus inti kehidupan yang menyangkut fitrah insan sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal). Oleh lantaran itu, sebagai makhluk yang mempunyai sifat kemanusiaan (nasut) dan juga sifat ketuhanan (lahut), insan juga memerlukan jenis kecerdasan lain yang berdimensi vertikal, yang kemudian dikenal dengan sebutan kecerdasan spiritual (SQ).

Kecerdasan intelektual (IQ) memang penting kehadirannya dalam kehidupan manusia, yaitu biar insan bisa memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara efisien dan efektif. Peran kecerdasan emosional (EQ) juga penting dalam membangun kekerabatan antar insan yang efektif sekaligus kiprahnya dalam meningkatkan kinerja, namun tanpa kecerdasan spiritual (SQ) yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran, maka keberhasilan yang dicapai hanyalah keberhasilan yang bernuansa duniawi atau kebendaan saja tetapi hampa dan tanpa makna.

SQ ini yakni landasan yang dibutuhkan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. SQ dibutuhkan untuk menawarkan makna spiritual terhadap pemikiran, sikap dan kegiatan secara komprehensif. Hal ini selaras dengan pandangan bahwa jika rasio dan emosi menawarkan kepada insan keunggulan-keunggulan yang bersifat teknis dan dibutuhkan untuk mengarungi kehidupan dunia, maka spiritualitas menawarkan makna bagi tindakan-tindakan manusia.
Uraian di atas membawa kepada sebuah pemahaman bahwa untuk mencapai kesuksesan baik dalam urusan horisontal (manusia) dan vertikal (Tuhan) dibutuhkan integrasi antara IQ, EQ, dan SQ, yang disebut sebagai meta kecerdasan. Lebih lanjut, integrasi dari ketiga macam kecerdasan tersebut harus berorientasi pada spiritualisme tauhid.

Pengintegrasian IQ, EQ, dan SQ menjadi meta kecerdasan bukan sesuatu hal yang tidak mungkin lantaran intinya di dalam otak insan telah tersedia komponen anatomis untuk aspek rasional (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Hal ini berarti bahwa secara kodrati insan telah disiapkan sedemikian rupa untuk merespons segala macam hal dengan potensi-potensi yang sudah ada dalam diri manusia.

Bagi seorang pendidik, penemuan para hebat neurosains wacana tersedianya potensi-potensi tersebut dalam otak insan tentu menjadi kabar gembira sekaligus tantangan untuk membantu akseptor didik dalam membuatkan segala potensi yang sudah dianugerahkan oleh Allah SWT. secara optimal. Dengan demikian, maka salah satu kiprah besar sebagai pendidik yakni berusaha membelajarkan para akseptor didik untuk sanggup membuatkan segenap potensi yang dimilikinya.

Upaya untuk mengintegrasikan ketiga potensi kecerdasan tersebut melalui proses pembelajaran tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan setiap akseptor didik mempunyai kekhasan masing-masing. Latar belakang ekonomi, lingkungan sosial, bakat, minat, pengetahuan serta motivasi antara satu murid dengan murid yang lain tidaklah selalu sama, bahkan cenderung berbeda. Oleh lantaran itu, dibutuhkan sebuah pendekatan yang bisa memahami karakteristik akseptor didik sehingga lingkungan sekolah benar-benar sanggup memberi kesempatan bagi pengembangan potensi akseptor didik biar mencapai titik maksimal. Selain itu, dibutuhkan juga kreatifitas dan penemuan dari pendidik biar proses pembelajaran tidak menjemukan yang tentu saja akan besar lengan berkuasa pada prestasi akseptor didik tetapi menyenangkan (enjoyful learning) (EQ), bermakna (meaningful learning) (SQ), dan menantang atau problematis (problematical learning) (IQ). Dengan pembelajaran mirip ini diharapkan tercipta manusia-manusia pembelajar yang selalu tertantang untuk berguru (learning to do, learning to know) (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta selalu memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada alhasil sanggup diperoleh aktualisasi diri yang sesungguhnya (real achievement).

8. Multiple Intelligences[8]
Howard Gardner lahir 11 Juni 1943, ia masuk Harvard pada tahun 1961, dengan keinginan awal, masuk Jurusan Sejarah, tetapi di bawah dampak Erik Erikson, ia berubah mempelajari Hubungan-sosial (gabungan psikologi, sosiologi, dan antropologi), dengan kosentrasi di psikologi klinis. Lalu ia terpengaruh oleh psikolog Jerome Bruner dan Jean Piaget. Setelah Ph.D di Harvard pada tahun 1971 dengan disertasi masalah “Sensitivitas pada anak-anak”, Gardner terus bekerja di Harvard, di Proyek Zero. Didirikan pada tahun 1967, Proyek Zero dikhususkan kepada kajian sistematis pemikiran artistik dan kreativitas dalam seni, serta humanistik dan disiplin ilmu, baik di tingkat individu dan kelembagaan. Kecerdasan kata Gardner, merupakan kemampuan untuk menangkap situasi gres serta kemampuan untuk berguru dari pengalaman masa kemudian seseorang. Kecerdasan bergantung pada konteks, kiprah serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita, dan bukan tergantung pada nila IQ, gelar perguruan tinggi atau reputasi bergengsi. 

Kita bisa mencontohkan apakah Einstein akan sukses mirip itu bila beliau masuk di Jurusan Biologi atau berguru main bola dan Musik? Jelas masalah fisika-teoritis Einstein, Max Planc, Stephen Howking, Newton yakni jenius-jenius, tetapi potongan olah-raga maka Zidane, Jordane, Maradona yakni jenius-jenius dilapangan, juga Mozart, Bach yakni jenius-jenius dimusik, juga Thoman A. Edison yakni jenius lain, demikian juga dengan para sutradara film, bagaimana mereka bisa membayangkan harus disyuting potongan ini, kemudian sehabis itu, adegan ini, ini yang mesti keluar dengan pakaian jenis ini, latar bunyi ini, dan bahkan obrolan mirip itu, ini yakni jenius-jenius bentuk lain. Disinilah Howard Gardner mengeluarkan teori gres dalam buku Frame of Mind, wacana Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk), dimana beliau menyampaikan bahwa masa gres sudah merubah dari Test IQ yang melulu hanya test tulis (dimana didominasi oleh kemampuan Matematika dan Bahasa), menjadi Multiple Intelligences. 

Intellegence (Kecerdasan) katanya yakni kemampuan untuk memecahkan duduk kasus dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang majemuk dan dalam situasi nyata (Gardner; 1983;1993). 
Multiple Intelegencies = Kecerdasan Ganda meliputi; 
  1. Intelegensi Linguistik
  2. Intelegensi matematis-Logis
  3. Intelegensi Ruang-Spasial
  4. Intelegensi Kinestetik-badani
  5. Intelegensi Musik
  6. Intelegensi Interpersonal
  7. Intelegensi Intrapersonal
  8. Intelegensi lingkungan/Naturalis (Perkembangan selanjutnya dari 7)
  9. Intelegensi eksistensial (Perkembangan lebih lanjut dari 8)
Awal dalam bukunya, hanya 7 kecerdasan, tetapi dikemudian hari dan hingga kini bermetamorfosis 8, 9 bahkan terakhir katanya 10 kecerdasan. Kekurangan atau problem, tapi juga mungkin kelebihan, dari teori kecerdasan ganda adalah, kecerdasan ini bisa berkembang terus, alasannya tergantung syarat yang bisa dipenuhinya. Gardner (dalam Frame of Mind: The Theory of multiple Intelligences; 1985) menyatakan; “kecerdasan kandidat” dalam modelnya “lebih mirip pertimbangan artistic ketimbang penaksiran ilmiah” (hal 63). Dengan demikian, kecerdasan pemanis sebanyak apapun bisa dimasukkan kedalam model Gardner, lantaran menurutnya: “Tidak ada, dan tidak akan pernah ada, daftar kecerdasan insan yang tidak terbantahkan dan diterima secara universal….kita bisa lebih mendekati tujuan itu jika kita berpegang hanya pada satu tingkat analisis (misalnya neurofisiologis)….” (hal 60). (Barbara K. Given, “Brain-Based Teaching”, hal 75).

Gardner memutuskan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh setiap kecerdasan biar sanggup dimasukkan dalam teorinya; Empat diantaranya adalah;
  1. Setiap kecerdasan sanggup dilambangkan à misal matematika terang ada lambang, Musik ada lambang (not, dan lain-lain), kinestetik ada lambing atau irama gerak, lambaian tangan, untuk selamat tinggal atau mau tidur dan lain-lain.
  2. Setiap Kecerdasan mempunyai riwayat perkembangan à artinya tidak mirip IQ yang meyakini bahwa kecerdasan itu mutlak tetap dan sudah ditetapkan ketika kelahiran atau tidak berubah, MI (Multiple Intelligences) percaya bahwa kecerdasan itu muncul pada titik tertentu dimasa kanak-kanan, mempunyai periode yang berpotensi untuk berkembang selama rentang hidup, dan berisikan pola unik yang secara berlahan atau cepat semakin merosot seiring dengan menuanya seseorang. Kecerdasan paling awal muncul yakni Musik kemudian Logis-Matematis.
  3. Setiap Kecerdasan rawan terhadap cacat akhir kerusakan atau cedera pada wilayah otak tertentu. Misal orang dengan kerusakan pada Lobus Frontal pada belahan otak kiri, tidak bisa berbicara atau menulis dengan mudah, namun tanpa kesulitan sanggup menyanyi, melukis dan menari. Orang yang lobus Temporalnya kanan yang rusak, mungkin mengalami kesulitan dibidang music tetapi dengan gampang bisa bicara, membaca dan menulis. Pasien dengan kerusakan pada Lobus oksipital belahan otak kanan mengkin mengalami kesulitan dalam mengenali wajah, membayangkan atau mengamati detail visual. (Thomas Amstrong, 1999, hal 8). Kecerdasan linguistic ada pada belahan otak kiri, sementara music, spatial dan antarpribadi cenderung di belahan otak kanan. Kinestetik-jasmani menyangkut kortek motor, ganglia basal, dan serebellum (otak kecil). Lobus frontal mengambil kiprah penting pada kecerdasan intrapribadi (intrapersonal).
  4. Setiap kecerdasan mempunyai keadaan final berdasar nilai budaya. à Artinya tidak harus matematis-logis yang penting atau Spatial atau Musik atau…atau tergantung budaya masing-masing missal ada kemampun naik kuda, melacak jejak dll dalam budaya tertentu itu sangat-sangat penting dst.
Inilah empat syarat yang diberikan oleh Howard Gardner, makanya teorinya berkembang dari 7 Kecerdasan (Linguistik, Logis-Matematis, Musik, Spatial-Visual, Kenestetik, Intrerpersonal dan intrapersonal) Menjadi 9 (tambahan 2 yaitu; Naturalis dan terbaru Eksistensialis). 

Adalah menarik sebagai contoh; bagaimana anda menghafal nomor telpon? Apakah anda mengulang-ngulang nomor tadi sebelum menelpon (ini berarti anda memakai teknik Liguistik) atau anda menbayangkan pola tombol yang harus anda tekan dalam pola peletakan tombol angka-angka (menggunakan metode Spatial-Visual) atau malah anda mengingat-ingat nada khas tiap-tiap angka (strategi Musikal).

9. Kesimpulan
Berdasarkan uraian kami di atas, maka bisa disimpulkan bahwa kiprah dan posisi Spiritual Quotient (SQ) sangat penting dan strategis dalam menentukan keberhasilan seseorang. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada makalah ini, SQ-lah yang memandu dua kecerdasan yang ada, yaitu Intelectual Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ), sehingga kedua kecerdasan tersebut bisa mencapai titik maksimalnya, dan berdampak pada kesuksesan dan keberhasilan seseorang.

Berikut yakni kiprah guru dalam menyinergikan IQ, EQ dan SQ dalam pengajaran di sekolah yang diwujudkan melalui penemuan pembelajaran, antara lain :
  1. Guru bekerja sama dengan pihak sekolah untuk menambah jam pelajaran agama dan lebih mengefektivkannya.
  2. Guru harus berupaya untuk menghubungkan setiap mata pelajaran dengan agama dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Guru harus berupaya untuk menjelaskan pelajaran sebaik-baiknya, bila perlu memakai media tertentu, biar peseta didik benar-benar mengerti dengan materi yang diajarkan dan tidak mengandalkan hapalan saja. Jadi, bila siswa mendapatkan nilai tinggi, itu lantaran beliau benar-benar mengerti bukan katena menghapalkan jawabannya, sehingga akseptor didik sanggup menjelaskan kepada temannya yang belum mengerti.
  4. Guru sanggup memakai model cooperative learning melalui diskusi dalam kelompok kecil, debat dan berguru kelompok, sehingga kemampuan siswa dalam berbicara dan berinteraksi dengan orang lain sanggup berkembang denagn baik dan cepat.
  5. Guru berupaya untuk menyelipkan nilai-nilai moral atau adat ketika akseptor didik mengerjakan soal-soal latihan. Misalnya, ketika mengerjakan satu soal matematika yang memerlukan cara yang panjang dan penerapan rumus yang rumit, guru mengingatkan siswanya untuk bersabar dan tidak tergesa-gesa dalam mengerjakan, sehingga merka sanggup berpikir lebih teliti dan sanggup meminimalisasi kesalahan.
  6. Meskipun guru sangat mengharapkan siswanya mendapatkan nilai yang terbaik, tapi guru tetap harus menekankan nilai kejujuran ketika ulangan atau ujian. Sehingga nilai yang didapat siswa merupakan nilai yang murni dari kemampuan mereka.
  7. Dalam aspek penilaian, guru harus menghargai nilai kejujuran siwa dalam ujian dan keaktifannya dalam pengajaran di kelas yang diapresiasikan dengan menawarkan nilai tambahan.
Aplikasi keputusan dengan IQ, EQ, dan SQ ini hanyalah satu dari sekian tak terhitung cara hidup, dan mirip kata Bruce Lee, taktik yang paling baik yakni taktik yang kita temukan sendiri di dalam diri kita. “Kalau kau berkelahi hanya berpaku pada penggunaan taktik yang diajarkan buku di kelas, namanya bukan berkelahi (tetapi berguru berkelahi)”. 

Menurut Zohar, seseorang yang ber-SQ tinggi berpeluang menjadi pemimpin yang melayani (servant leader) yang sangat responsif dalam mengarahkan dan membawa orang lain kepada visi dan nilai yang lebih tinggi, dan menawarkan teladan bagaimana menerapkan visi dan nilai tersebut. Dengan kata lain sebagai insipirator bagi masyarakatnya.

Indikator-indikator yang dipakai untuk pengukuran SQ tersebutlah yang sanggup ditanamkan pada siswa, sehingga siswa mempunyai ciri atau karakter sebagai insan yang ber SQ tinggi. Dengan demikian,maka hal-hal yang ditanamkan dalam penanaman SQ siswa Adalah sebagai berikut:
a. Pembelajaran Fleksibilitas Dalam Adaptasi Spontan Dan Aktivitas
Fleksibilitas dalam pembiasaan impulsif dan kegiatan mengandung pengertian wacana kemampuan seseorang dalam tempo cepat mengikuti keadaan dengan kondisi lingkungan disekitarnya, dan kemampuan untuk berstrategi sehingga tidak mlakukan tindakan yang sanggup merusak tatanan yang ada. Tidak mampunya seseorang dalam melaksanakan tindakan ini akan menghasilkan tindakan yang anti thsesis atau berlawanan dan frontal terhadap lingkungan disekitarnya. Sebaliknya bagi seseorang yang fleksibel, meskipun mempunyai perbedaan dengan lingkungan sekitarnya, dirinya akan bisa membawa diri dan bertindak secara halus bahkan sanggup menghipnotis lingkungan disekitarnya dengan tanpa mengakibatkan kerusakan atau kontradiksi yang berdampak buruk. Hal ini sanggup ditanamkan pada siswa melalui banyak sekali rangkaian kegiatan kelompok yang menuntut untuk sanggup menghormati perbedaan dengan orang lain, melaksanakan pembelajaran pengetahuan dengan ceritera yang sanggup merangsang siswa biar berfikir wacana keluwesan dalam berkomunitas, kontribusi konsep secara eksklusif wacana artipentingnya berlaku luwes dan bagaimana seharusnya siswa untuk bertindak secara fleksibel, serta pembelajaran studi masalah dengan metode diskusiataupun tanya jawab wacana venomena fleksibilitas. Pembelajaran wacana bantu-membantu juga sangat penting untuk meningkatkan fleksibilitas, dimana tolong menolong dilakukan kepada sisapa saja tanpa memandang segala perbedaan wacana suku, ras, maupun agama. Pembelajaran lain yang juga sanggup membantu yakni pengenalan wacana banyak sekali perbedaan suku, ras, maupun agama dan bagaimana menghormati perbedaan yang ada, serta pembelajaran ceritera nasihat wacana egoisme dan keinginan untuk menang sendiri.

b.Pembelajaran kesadaran diri (Self-Awareness)
Kesadaran diri dimaksudkan sebagai kemampuan untuk berfikir secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri yang tidak hanya tergantung pada kebanyakan orang atau lingkungannya. Kesadaran diri berarti sebagai kemampuan menemukan jawaban secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri atas suatu permasalahan, bahkan berani untuk berfikir dan bersikap berbeda dengan orang lain, akan tetapi masih dalam kerangka yang saling menghormati kebebasan masing-masing untuk berfikir dan bertindak. Pembelajaran ini sanggup diupayakan dengan pembelajaran wacana bagaimana bersikap secara mandiri, berani mengeluarkan pendapat sendiri dengan alasan-alasan yang logis, bahkan berani beradu argumen dengan lingkungannya, akan tetapi tidak diperkenankan untuk memaksakan kehendak. Pembelajaran diskusi dan training menganalisis secara sederhana terhadap suatu tindakan seseorang atau suatu venomena sanggup menjembatani pembelajaranmeningkatkan kesadaran diri. Pembelajaran studi masalah juga merupakan teknik yang cukup penting untuk melatih kesadaran diri. Hal lain yang sekiranya sanggup membantu pembelajaran wacana kesadaran diri yakni pembelajaran wacana kebebasan berkreativitas sehingga siswa sanggup memahami dan sadar akan potensi masing-masing siswa yang berbeda-beda. Pembelajaran wacana membuat perencanaan sederhana juga dibutuhkan untuk melatih kemandirian siswa untuk melaksanakan tindakan yang terjadwal secara cerdas.

c. Pembelajaran wacana kemampuan menghadapi dan mengatasi penderitaan serta kemampuan menghadapi dan menuntaskan kenyerian. 
Kemampuan menghadapi dan mengatasi penderitaan dan menuntaskan kenyerian berarti bahwa seseorang bukan hanya tahan dalam mencicipi penderitaan, akan tetapi juga berfikir kreatif sehingga menemukan langkah dalam menuntaskan masalah secara strategis. Kemampuan ini akan membentengi seseorang untuk bertindak anarkis, oleh lantaran anarkisme merupakan salah satu produk dari munculnya rasa kalut atau gusar dalam hati seseorang, dan rasa gusar merupakan produk dari ketidakmampuan seseorang dalam menemukan metode guna menuntaskan masalah.

Pembelajaran ini sanggup diupayakan melalui pembelajaran wacana problem solving yang akan membiasakan siswa untuk segera berfikir kreatif ketika menghadapai suatu masalah yang muncul. Pembelajaran secara konseptual wacana arti hidup dimana didalam hidup akan selalu ada kesulitan dan diiringi dengan akomodasi selagi adanya usaha, sangatlah dibutuhkan bagi siswa. Pembelajaran ini diiringi dengan pembelajaran wacana kesabaran sebagaimana diperintahkan dalam pendidikan agama. Pembelajaran ini juga sanggup dilaksanakan dengan gambar, ceritera atau film yang melukiskan wacana lebih banyaknya orang lain yang lebih menderita daripada yang dialami siswa, sehingga siswa akan terhindar dari rasa frustasi ketika menghadapi penderitaan. Disamping itu, perlu ditumbuhkan optimisme dalam diri siswa ketika menghadapi penderitaan, baik dilaksanakan melalui kontribusi konsep maupun melalui ceritera-ceritera wacana keberhasilan orang-orang besar yang telah bisa menuntaskan penderitaannya dan berakhir dengan kemenangan yang membanggakan.

d. Pembelajaran Visi dan nilai
Pembelajaran ini ditjukan biar anak sanggup menemukan visi dalam hidupnya yang dirumuskan melalui penetapan misi, serta bagaimana memasukkan nilai-nilai relegius dan nilai-nilai sosial dalam visi yang ada. Pembelajaran ini sanggup dilakukan dengan training merumuskan tujuan hidup secara sederhana dan kemudian dikembangkan dalam bentuk rumusan visi dan misi. Siswa dilatih untuk tidak mengabaikan nilai-nilai kultural yang cukup penting bagi terciptanya misi yang realistis dan valuable.

e. Pembelajaran untuk tidak berbuat yang mengakibatkan kerugian.
Salah satu ciri SQ yang tinggi yakni keengganan anak untuk melaksanakan perbuatan yang merugikan. Dalam hal ini, siswa perlu dilatih untuk melaksanakan analisis secara cepat wacana hal-hal yang sanggup merugikan orang lain, sehingga dalam bertindak impulsif sekalipun akan terhindar dari tindakan merugikan ini. Siswa diberi pengetahuan wacana bagaimana rasanya dirugikan orang lain dan apa akhir dalam jangka pendek dan panjang apabila melaksanakan perbuatan yang merugikan orang lain. Siswa dilatih untuk mengekspresikan segala perbuiatannya pada diri sendiri, yaitu dengan melatih berfikir bagaimana jika tindakan yang dilakukannya dikenakan pada dirinya sendiri, atau bagaimana jika dirinya menjadi orang yang dirugukan. Pembelajaran ini juga sanggup dilakukan dengan menawarkan cerita-cerita keteladanan yang mana seseorang berhasil menemukan laba akhir bisa menahan diri dari tindakan yang merugikan orang lain.

f. kecenderungan untuk melihat segala sesuatu secara holistik
Melihat segala seuatu secara holistik berarti melihat secara keseluruhan, utuh, dan tidak terpecah-pecah. Dengan kata lain, kemampuan ini merupakan kemampuan untuk merangkaikan suatu hal dengan hal lain dan menganalisisnya secara utuh dari awal hingga akhir. Pembelajaran ini sanggup dilakukan dengan pelatihan-pelatihan analisis gambar atau mensinopsis suatu ceritera yang pendek, sehingga anak tidak terbiasa berfikir secara terpecah-pecah.

g. Pembelajaran Pertanyaan “Apa, mengapa, dan bagaimana”
Pembelajaran ini intinya ditujukan biar seseorang tidak hanya berfikir wacana adanya suatu kejadian, akan tetapi juga berfikir wacana alasannya dan proses suatu kejadian. Dengan demikian, maka akan sanggup ditemukan adanya nasihat atau sesuatu pelajaran yang sanggup diambil dari suatu venomena yang muncul. Pembelajaran ini sanggup dilakukan dengan permainan kreatif dimana ketika menemukan suatu benda maka siswa diminta untuk berkreatif wacana manfaat-manfaat lain selain yang sudah umum terjadi di lingkungan sehari-hari, serta menjelaskna bagaimana suatu proses yang mendasari dari kreativitas tersebut. 

10. Penutup
Akhirnya, sampailah kita pada potongan final dari makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih banyak atas waktu dan kesempatan yang telah diberikan, dan kami mohon maaf yang sedalam-dalamnya jika terdapat potongan dari makalah ini yang tidak berkenan dan mungkin kurang baik.

SUMBER RUJUKAN;
  • Howard Gardner. 2003, “Multiple intelligences, Kecerdasan Majemuk, Teori dan Praktek (Berisi wawancara-wawancara dengan Howard Gardner)”, Interaksara, Jakarta. Dikutip dari makalah Muhammad Alwi, “Multiple Intelligences; Kecerdasan Menurut Howard Gardner & Implementasinya (Strategi Pengajaran Dikelas)”.
[1] http://nesaci.com/apa-itu-spiritual-quetient-sq/
[2] https://sewakarya.blogspot.com//search?q=18/pengertian-kecerdasan-spritual/
[3] http://www.masbow.com/2009/08/kecerdasan-spiritual
[4] https://sewakarya.blogspot.com//search?q=18/pengertian-kecerdasan-spritual/
[3] http://www.masbow.com/2009/08/kecerdasan-spiritual
[5] http://badruddin69.wordpress.com/2009/06/07/kecerdasan-spiritual-dan-pengaruhnya-terhadap-kinerja-karyawan/
[6] http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/02/18/hubungan-antar-sq-eq-dan-iq/
[7] http://yuliantihome.wordpress.com/2011/03/09/psikologi-belajar-pai/
[8] Howard Gardner. 2003, “Multiple intelligences, Kecerdasan Majemuk, Teori dan Praktek (Berisi wawancara-wawancara dengan Howard Gardner)”, Interaksara, Jakarta. Dikutip dari makalah Muhammad Alwi, “Multiple Intelligences; Kecerdasan Menurut Howard Gardner & Implementasinya (Strategi Pengajaran Dikelas)”. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel