Penjelasan Dan Pemgertian Akulturasi Berdasarkan John W. Berry

A. Penjelasan Singkat perihal Siapakah John W. Berry?[1]
Nama lengkap dari tokoh ini yakni John Widdup Berry, tetapi lebih sering disebut dengan John Berry. Dia yakni seorang professor emeritus pada Fakultas Psikologi, Universitas Queen, Kingstone, ON, Kanada. Pada tahun 1963, ia menuntaskan gelar BA-nya pada Sir George Williams Universitiy, dan pada tahun 1966, ia meraih gelar PhD di University of Edinburgh. Minat utamanya yakni perihal Cross Cultural Psychology dan Intercultural Relations. 

B. Penjelajahan John W. Berry perihal Masalah Akulturasi
Sebelum memulai proses pemahaman perihal problem akulturasi, John W. Berry menelusuri terlebih dahulu semua referensi yang pernah ada yang terkait dengan problem akulturasi. Dari penelusurannya tersebut, J. W. Berry mengambil kesimpulan bahwa pandangan yang sudah pernah ada perihal problem akulturasi membantu siapapun dalam memberi pijakan untuk memulai penelusuran.

John W. Berry, dalam penelusurannya, mencatat dua pemahaman penting terkait dengan konsep akulturasi. Pertama yakni konsep akulturasi yang mencoba memahami banyak sekali fenomena yang dihasilkan oleh kelompok individu yang mempunyai budaya berbeda manakala kelompok individu tersebut memasuki budaya baru, sehingga mengakibatkan perubahan-perubahan pada pola budayanya yang asli. Dengan dasar konsep tersebut, akulturasi dibedakan dari perubahan budaya dan juga juga dibedakan dari asimilasi. Akulturasi dilihat sebagai penggalan dari konsep yang lebih luas mengenai problem perubahan budaya. 

Kedua yakni konsep akulturasi yang diawali dengan hubungan antara dua atau lebih sistem budaya. Dalam konteks ini, perubahan akulturatif dipahami sebagai konsekuensi dari perubahan budaya. Hal tersebut mungkin diakibatkan oleh sebab-sebab yang tidak kultural, menyerupai halnya perubahan ekologis atau demografis. Dengan dasar konsep tersebut, akulturasi meliputi perubahan yang mungkin tidak bekerjasama secara pribadi dengan problem budaya, menyerupai halnya problem ekologis. 

Meskipun konsep perihal akulturasi sanggup mempunyai banyak sekali macam arti sebagaimana yang diinginkan oleh seseorang, John W. Berry meyakini bahwa konsep tersebut merupakan dasar bagi pendekatan psikologis. Dengan konsep itu, seorang peneliti sanggup memahami darimana inspirasi perihal akulturasi tersebut berasal, dan bahkan lebih jauh lagi, seorang peneliti sanggup melangkah maju dengan berpangkal dari konsep tersebut.

C. Pengertian John W. Berry perihal Masalah Akulturasi
Dalam pemahaman John W. Berry, semua penelitian yang mencoba memahami problem akulturasi dengan pendekatan Psikologi harus berpangkal pada konteks budaya yang diteliti. Karena pemahamannya berpangkal pada konteks budaya yang diteliti, maka Berry menekankan perlunya mendekati konsep akulturasi dari dua sudut pandang, yakni: sudut pandang akulturasi budaya dan sudut pandang akulturasi psikologis. 

Akulturasi budaya menunjuk pada sikap individu atau kelompok individu yang berinteraksi dengan budaya tertentu, sementara akulturasi psikologis menunjuk pada dinamika intrapersonal dalam diri tiap individu yang menghasilkan banyak sekali reaksi berbeda antara yang satu dengan yang lain, meskipun mereka berada dalam wilayah akulturasi yang sama. Keduanya membutuhkan pembedaan dan juga pengukuran yang berbeda.

Secara skematis, John W. Berry menunjukan kedua wilayah akulturatif itu dalam sebuah bagan, menyerupai tampak dalam gambar 1.1. Pada level budaya (bagian yang sebelah kiri), para hebat perlu memahami citra pokok dari kedua budaya orisinil sebelumnya (sebelum terjadi kontak antara dua budaya itu), sifat hubungan antara dua budaya tersebut, dan perubahan-perubahan budaya yang terjadi selama akulturasi.

 ASIMILASI & AKULTURASI dalam Pembelajaran BUDAYA

Pengumpulan informasi perihal hal ini membutuhkan pendekatan etnografis. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses itu sanggup merupakan perubahan yang kecil, tetapi sanggup juga merupakan perubahan yang subtansial. Rentang perubahannya bergerak dari model perubahan yang sanggup dengan gampang diselesaikan hingga pada model perubahan yang menjadi sumber pokok dari adanya gangguan budaya.

Pada level individu (bagian yang sebelah kanan), seseorang harus mempertimbangkan perubahan psikologis dalam diri seorang individu dan imbas adaptasinya pada situasi yang baru. Dalam mengidentifikasi perubahan tersebut diperlukan rujukan dari suatu populasi dan juga perlu mempelajari individu-individu yang terlibat dalam proses akulturasi. Perubahan-perubahan tersebut sanggup menjadi suatu rangkaian perubahan yang dengan gampang sanggup diselesaiakan (seperti: cara berbicara, cara berpakaian, ataupun cara makan), tetapi sanggup juga menjadi suatu pola rangkaian yang problematic sifatnya yang menghasilkan stress-akulturatif sebagaimana tampak dalam bentuk ketidakpastian, kecemasan, dan depresi. Proses pembiasaan yang terjadi sanggup berbentuk pembiasaan internal atau psikologis, tetapi sanggup juga berbentuk pembiasaan sosiokultural.

Kedua pembedaan tersebut di atas akan terkait erat dengan taktik akulturasi (mengenai pokok bahasan perihal “Strategi Akulturasi Menurut John W. Berry”, silakan lihat pada Bagian D). Setiap individu atau kelompok terlibat dalam proses akulturasi. Startegi mana yang akan digunakan dalam proses akulturasi tersebut sangat tergantung pada variasi dari faktor-faktor yang ada sebelumnya (budaya dan kondisi psikologis) dan variabel-variabel yang merupakan konsekuensi dari taktik yang berbeda yang sudah dipilihnya.

D. Strategi Akulturasi Menurut John W. Berry
Dalam menjelaskan perihal stratgegi akulturasi-nya, John W. Berry menggunakan empat perspektif, yakni: dimensionalitas akulturasi, locus akulturasi, focus akulturasi, dan assessment akulturasi. Perspektif pertama yakni dimensionalitas akulturasi. Sebelum menjelaskan lebih jauh perihal dimensionalitas akulturasi, John W. Berry bertanya terlebih dahulu: ”Dimensi akulturasi itu bersifat unilinear (unidimensional) atau multilinear (multidimensional)?” Pertanyaan ini perlu dijawab terlebih dahulu lantaran nantinya akan menghipnotis proses pengukuran yang dijalankan.

Dalam pencariannya, John W. Berry lebih menyetujui konsep multilinearitas (multidimensionalitas) dari proses akulturasi, lantaran dalam berakulturasi, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang tidak hanya mengena pada satu dimensi saja, melainkan mengena pada lebih dari satu dimensi. Terkait dengan hal tersebut maka John W. Berry membedakan antara orientasi pada kelompok yang dimiliki oleh seseorang dengan orientasi pada kelompok lainnya. Pembedaan itu merupakan sesuatu yang esensial. Pembedaan itu diartikan sebagai preferensi relatif yang dimiliki oleh seseorang dalam memeliharan warisan dan identitas budayanya dan juga sebagai preferensi relatif yang dimiliki oleh seseorang dalam bekerjasama dengan dan dalam berpartisipasi pada komunitas yang lebih besar selama dengan kelompok etnokultural lainnya. Secara skematis, konsep tersebut dipaparkan dalam 

Strategi sebagaimana digambarkan dalam skema di atas mempunyai nama yang berbeda-beda tergantung pada kelompok etnokulturalnya: apakah kelompok etnokulturalnya mayoritas atau tidak dominan. Dari sudut pandang kelompok yang tidak mayoritas (kiri), taktik asimilasi terjadi manakala seseorang tidak berkeinginan memelihara identitas kultural mereka dan mencari interaksi harian dengan budaya lain. Kebalikannya yakni startegi separasi. Strategi separasi terjadi manakala seseorang menghidupi nilai-nilai yang ada pada budaya aslinya dan pada waktu yang bersamaan menghindari berinteraksi dengan yang lain.

Strategi integrasi terwujud saat seseorang memeliki ketertarikan untuk memelihara budaya aslinya selama membangun interaksi harian dengan kelompok lain. Menurut John W. Berry, integritas kultural yang telah terwujud mempunyai beberapa kualitas (kualitasnya tidak sama). Orang yang berada pada taktik ini mencoba untuk mencari (sebagai anggota dari suatu kelompok etnokultural tertentu) dan juga mencoba untuk berpartisipasi (sebagai penggalan integral dari jaringan kelompok sosial yang lebih besar. Dan kesannya yakni taktik marginalisasi. Strategi tersebut terjadi saat kemungkinan untuk memelihara budaya aslinya dan kemungkinan untuk berinteraksi dengan kelompok lain sangat kecil. Menurut John W. Berry, taktik marginalisasi sanggup terjadi lantaran hal itu merupakan pilihan yang secara sadar dibentuk oleh seseorang, dan hal itu juga sanggup terjadi sebagai akhir dari kegagalannya mencoba taktik asimilasi.

Semua taktik yang dijabarkan oleh John W. Berry tersebut mempunyai beberapa asumsi. Asumsi pertama yakni kelompok yang tidak mayoritas dan anggota-anggotanya mempunyai kebebasan untuk menentukan cara berakulturasi. Integrasi terjadi jika ada pilihan bebas atau sanggup juga terjadi jika kelompok yang mayoritas mempunyai keterbukaan dan orientasi inklusif pada keragaman budaya sedemikian rupa sehingga kelompok yang tidak mayoritas sanggup berperan. Asumsi yang kedua yakni kelompok yang tidak mayoritas melaksanakan adopsi nilai-nilai dasar yang ada pada kelompok sosial yang lebih besar, dan pada waktu yang bersamaan kelompok yang mayoritas melaksanakan pembiasaan atas institusi internalnya sehingga sanggup memenuhi kebutuhan semua anggota kelompoknyayang kini hidup dalam situasi masyarakat yang plural. Dengan kata lain, semua taktik tersebut terjadi jika suatu masyarakat bersifat multikultur dan mempunyai prakondisi psikologis yang dipersyaratkan, menyerupai halnya: tingkat penerimaan yang besar, taraf prasangka yang rendah, berpikiran positif terhadap kelompok etnokultural lain, dan mempunyai kedekatan pada kelompok sosial yang lebih besar. 

Masih dalam kerangka taktik tersebut, John W. Berry menyatakan bahwa taktik integrasi (dan juga taktik separasi) sanggup diwujudkan manakala anggota lain dari kelompok etnokultural yang dimiliki oleh seseorang berkeinginan untuk memelihara warisan budaya kelompoknya. Dalam konteks ini taktik integrasi dan separasi hanya terjadi jika ada kolektivitas, sementara untuk taktik asimilasi lebih bersifat individual. 

Dalam perkembangannya, pada tahun 1974, muncul dimensi ketiga (Dimensi pertama yakni ”pemeliharaan warisan dan identitas budaya” dan dimensi kedua yakni ”hubungan antar kelompok”) yang ditambahkan, yakni pengharapan akulturasi dan tugas penguasa yang diperankan oleh kelompok mayoritas dalam menghipnotis cara bagaimana proses saling berakulturasi sanggup diwujudkan. Penambahan dimensi ketiga ini menghasilkan satu sudut pandang yang bekerjasama dengan kelompok yang lebih besar (Lihat Gambar 1.2., penggalan sebelah kanan).

Dari sudut pandang tersebut, saat proses asimilasi dilihat dari kelompok non mayoritas yang berakulturasi, maka proses itu disebut melting- pot. Akan tetapi, jika proses akulturasi itu diminta oleh kelompok yang dominan, maka proses itu disebut pressure-cooker. Ketika separasi dipaksakan oleh kelompok dominan, proses itu dinamakan segresi, dan saat marginalisasi dipaksakan oleh kelompok dominan, proses itu disebut ethnocide. Akhirnya, manakala keragaman diterima sebagai citra dari masyarakat yang lebih besar sebagai sebuah keseluruhan, proses integrasi itu dinamakan multikulturalisme. 

Perspektif kedua yakni locus (wilayah/tempat). Konsep John W. Berry perihal locus dijabarkan dalam bentuk tabel menyerupai tertulis di bawah ini:

Tabel tersebut mengatakan enam daerah di mana di dalamnya orientasi pada problem akulturasi sanggup ditempatkan (dengan tetap menggunakan dua dimensi). Pada kolom yang sebelah kanan, perspektif yang digunakan yakni kelompok mayoritas atau kelompok masyarakat yang lebih besar, sementara pada penggalan yang sebelah kiri, perspektifnya yakni kelompok non mayoritas atau kelompok etnokultural. Level yang dimasukkan dalam tabel tersebut yakni level nasional atau kelompok etnokultural (dapat berbentuk kebijakan pemerintahan atau tujuan dari kelompok etnokultural tertentu dalam sebuah masyarakat yang majemuk), level individual atau kelompok yang paling kecil, dan kelompok institusi (dapat berbentuk forum pemerintahan, sistem pendidikan, atau daerah kerja).

Pada level individu, seseorang sanggup mengukur ideologi multikultural yang umum dalam keseluruhan populasi atau sikap yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan keempat taktik sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Wilayah yang paling umum diteliti yakni perihal kelompok etnokultural yang mencari tujuan bersama perihal keberagaman dan kesejajaran. 

Dengan menggunakan kerangka sebagaimana dijelaskan di atas, wilayah perbandingan sanggup dibentuk antara individu dan kelompoknya serta masyarakat yang non mayoritas dengan kelompok sosial yang lebih besar di mana di dalamnya kelompok yang non mayoritas itu berakulturasi. 

Perspektif yang ketiga yakni focus. Dalam penelitian perihal proses akulturasi yang menggunakan dua dimensi sebagai titik tolak penelitian, fokus utamanya yakni pemeliharaan budaya yang dimiliki oleh seseorang dan hubungan serta partisipasi dengan kelompok kultural lainnya. Beberapa peneliti lain telah mengajukan dua atau lebih dimensi akulturasi, di mana beberapa di antaranya didasarkan pada teori dan beberapa lainnya diturunkan secara empiris. Penelitian serupa (artinya ada dua dimensi yang dilibatkan) juga telah ada, yakni perihal konsep budaya atau identitas budaya.

Perspektif yang keempat yakni assessment. Dalam kerangka pikir John W. Berry, analisa evaluasi perihal proses akulturasi terkait dengan dua hal, yakni: (a) menilai dua dimensi yang sudah ditekankan (dijelaskan sebelumnya) dengan menggunakan skala item tunggal ataupun jamak untuk kelompok yang dimiliki dan kelompok lain atau (b) menilai empat sektor yang ada dalam wilayah tersebut dengan menggunakan skala item tunggal ataupun jamak untuk setiap sikap: asimilasi, integrasi, separasi, dan marginalisasi).

Sebelum mendiskusikan setiap metode yang akan digunakan terkait dengan dua hal tersebut di atas, ada dua hal penting yang harus dibicarakan terlebih dahulu. Pertama yakni pertanyaan perihal dari mana kedua problem tersebut muncul. Kedua problem tersebut dihasilkan dari sudut pandang emik perihal situasi akulturasi di antara orang-orang Aborigin yang tinggal di Australia, Canada, dan India. Kedua problem tersebut juga muncull terkait dengan problem imigran dan juga populasi etnokultural yang terjadi di penggalan belahan dunia. Perspektif emik yang digunakan juga mengalami perkembangan, dari satu kelompok tunggal mengarah pada kelompok-kelompok lain dan bahkan menjadi prinsip etis yang diturunkan bagi banyak kelompok selama kontek interkultural terjadi.

Kedua yakni problem konseptualisasi yang terkait dengan taktik akulturasi yang sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk mengelompokkan individu, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengungkap perihal daerah mana yang akan dituju oleh individu-individu dalam berakulturasi. Meskipun banyak psikolog melaksanakan kategorisasi secara individu, John W. Berry yakin bahwa psikolog tersebuit niscaya akan kehilangan informasi yang berharga perihal kompleksitas dari situasi akulturasi yang dihayati oleh seseorang. Dalam proses pengukuran awal yang sudah dijalankan, spesialis menggunakan empat skala, dengan item-item jamak untuk setiap skalanya. Item tersebut disusun untuk merefleksikan perihal wilayah akulturai yang berbeda-beda.

Sebuah alternatif lain yang mecoba melewati kedua dimensi tersebut menghasilkan empat sikap yang sanggup diukur. Alternatif tersebut berpangkal pada dua dimensi yang ada, yakni: preferensi untuk memelihara budaya yang dimiliki, dan preferensi untuk berinteraksi dan berpartisipasi dengan kelompok lain dalam lingkup masayarakat yang lebih luas. Skala itemnya disusun dengan cara yang kurang lebih sama. Proses skoringnya bergerak mulai dari integrasi sebagai item yang favorabel hingga pada marginalisasi yang dipahami sebagai item yang tidak favorabel. Data model ini nanti dianalisa dengan menggunakan model tabulasi silang. Ketika skalanya disusun utnuk lebih menilai pada dua dimensi yang ada (dan bukan pada empat sikap taktik akulturasi, proses analisanya sanggup menggunakan analisis korelasional. 

E. Konsekuensi Strategi Akulturasi Menurut John W. Berry
Berdasarkan pada penelusuran sebelumnya, John W. Berry menyimpulkan bahwa pada masa yang telah lewat sesungguhnya sudah ada kepedulian perihal dua hasil (yang dimaknai sebagai dampak) akulturasi psikologis, yakni perihal perubahan sikap dan stress akulturasi yang disertai dengan dua istilah spesifik, yakni pembiasaan psikologis dan pembiasaan sosiokultural. Manakala pengalaman akulturasi dihakimi sebagai sesuatu yang tidak mengakibatkan problem bagi individu, perubahan sepertinya menjadi lebih mudah, dan perubahan sikap mejadi lebih lancar. Proses yang menyerupai itu meliputi tiga sub proses, yakni culture-shedding, culture-learning, dan culture-conflict. 

Dua proses pertama secara selektif, aksidental, dan deliberatif melibatkan proses kehilangan sikap dan inovasi kembali sikap gres yang dinilai lebih cocok dengan masyarakat yang sudah mapan. Semua proses itu disebut dengan istilah adjustment. Kebanyakan proses adjustment dilakukan dengan tanpa kesulitan yang berarti. Hasilnya yakni pengalaman akulturasi tidak dipahami sebagai suatu masalah. Tetapi tidak semuanya begitu, Karena ada beberapa pengalaman akulturasi yang mengakibatkan permasalahan.

Manakala level konflik yang lebih besar berkembang dan pengalaman perihal hal yang terkait dengan problem akulturasi tersebut dipahamai sebagai suatu problem (tetapi masih sanggup dikontrol), maka paradigma stress akulturasi yakni sesuatu yang pantas diberikan. Pada tataran ini, individu menghadapi problem yang muncul sebagai hasil dari kontak akulturasi, di mana dalam kontak tersebut seseorang tidak dengan gampang atau tidak dengan cepat menyesuaikan.

Melalui hubungan antara dua konsep tersebut dengan taktik akulturasi maka dihasilkan beberapa inovasi empiris yang memungkinkan bagi seseorang untuk melaksanakan generalisasi. Terkait dengan perubahan perilaku, perubahan yang paling sedikit dihasilkan dari taktik separasi, sementara perubahan yang paling besar dihasilkan dari taktik asimilasi. Strategi integrasi meliputi proses adopsi sikap gres dari kelompok sosial yang lebih besar dan juga ingatan perihal citra nilai dari warisan budaya seseorang. Proses marginalisasi sering diasosiasikan dengan hilangnya warisan budaya utama dan munculnya banyak sikap disfungsi ataupun juga sikap menyimpang. Terkait dengan problem stress akulturasi, kiranya juga terperinci bahwa proses pencarian taktik integrasi merupakan model yang paling sedikit mendatangkan stress, sementara marginalisasi merupakan model yang paling banyak mendatangkan stress. Antara kedua ekstrim tersebut di atas yakni taktik akulturasi yang asimilatif dan separatif yang agak sedikit mendatangkan stress.

Setiap individu terikat pada evaluasi perihal pengalaman akan hal ini. Kalau pengalaman tersebut dinilai sebagai sesuatu yang menantang, maka prosedur coping sanggup diaktifkan.(baik yang problem focused maupun yang emotion focused, atau juga, menurut pada inovasi Endler dan Parker (1990), avoidance oriented coping). Diaz-Guerrero (1979) mengidentifikasi jenis coping lain, yakni active-coping (yang mempunyai kemiripan dengan problem focused coping) dan pasive-coping yang mencerminkan kesabaran dan modifikasi diri yang mencerminkan taktik akulturasi model asimilasi. Sebagai hasil dari mencoba menghadapi pola perubahan akulturasi maka dicapailah beberapa proses pembiasaan yang berlangsung untuk waktu yang lama.

F. Penutup
Sebagaimana sudah ditekankan pada penggalan sebelumnya, konsep perihal taktik akulturasi sanggup digunakan dalam banyak cara, secara khusus saat seseorang mencoba memahami orientasi nasional, institusional, dan individual pada budaya kelompok mayoritas dan non dominan. Semua generalisasi yang termuat pada penggalan ini didasarkan pada inovasi empiris yang memungkinkan bagi setiap peneliti untuk menyatakann bahwa kebijakan dan rencana publik yag mencoba meningkatkan hubungan interkultural niscaya akan menekankan pendekatan integrasi saat berhadapan dengan fenomena akultura

[1] Beberapa hal seputar siapa John W. Berry sanggup dilihat pada artikel yang menceritakan perihal Curriculum Vitae-nya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel