Evolusi Dan Pergeseran Makna Pembangunan
Saturday, July 20, 2019
Edit
B. Evolusi dan Pergeseran Makna Pembangunan
Secara tradisional pembangunan mempunyai arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatanProduk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu provinsi, kabupaten, atau kota (Kuncoro, 2004).
Namun, muncul lalu sebuah alternatif definisi pembangunan ekonomi menekankan pada peningkatan income per capita (pendapatan per kapita). Definisi ini menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang sanggup melebihi pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan sebuah taktik mengubah struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi. Kontribusi mulai digantikan dengan bantuan industri. Definisi yang cenderung melihat segi kuantitatif pembangunan ini dipandang perlu menengok indikator-indikator sosial yang ada (Kuncoro, 2004).
Paradigma pembangunan modern memandang suatu teladan yang berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Pertanyaan beranjak dari benarkah semua indikator ekonomi menyampaikan citra kemakmuran. Beberapa ekonom modern mulai mengedepankan dethronement of GNP (penurunan tahta pertumbuhan ekonomi), pengentasan garis kemiskinan, pengangguran, distribusi pendapatan yang semakin timpang, dan penurunan tingkat pengangguran yang ada. Teriakan para ekonom ini membawa perubahan dalam paradigma pembangunan menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang multidimensional (Kuncoro, 2003). Beberapa andal menganjurkan bahwa pembangunan suatu tempat haruslah meliputi tiga inti nilai (Kuncoro, 2000; Todaro, 2000):
- Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan, papan, kesehatan, dan proteksi) untuk mempertahankan hidup.
- Harga diri (Self Esteem): pembangunan haruslah memanusiakan orang. Dalam arti luas pembangunan suatu tempat haruslah meningkatkan pujian sebagai insan yang berada di tempat itu.
- Freedom from servitude: kebebasan bagi setiap individu suatu negara untuk berpikir, berkembang, berperilaku, dan berusaha untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Selanjutnya, dari evolusi makna pembangunan tersebut mengakibatkan terjadinya pergeseran makna pembangunan. Menurut Kuncoro (2004), pada selesai dasawarsa 1960-an, banyak negara berkembang mulai menyadari bahwa “pertumbuhan ekonomi” (economic growth) tidak identik dengan “pembangunan ekonomi” (economic development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang sanggup dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah ibarat pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural (Sjahrir, 1986). Ini pula agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diharapkan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara, 1986, Meier, 1989 dalam Kuncoro, 2004). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedang pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang perihal arti pembangunan. Myrdal (1968 dalam Kuncoro, 2004), contohnya mengartikan pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with change), terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi tidak lagi memuja GNP sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusatkan perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.
Dalam praktik pembangunan di banyak negara, setidaknya pada tahap awal pembangunan umumnya berfokus pada peningkatan produksi. Meskipun banyak varian pemikiran, pada dasarnya kata kunci dalam pembangunan ialah pembentukan modal. Oleh alasannya ialah itu, taktik pembangunan yang dianggap paling sesuai ialah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal abnormal dan melaksanakan industrialisasi. Peranan sumber daya insan (SDM) dalam taktik semacam ini hanyalah sebagai “instrumen” atau salah satu “faktor produksi” saja.Manusia ditempatkan sebagai posisi instrumen dan bukan merupakan subyek dari pembangunan. Titik berat pada nilai produksi dan produktivitas telah mereduksi insan sebagai penghambat maksimisasi kepuasan maupun maksimisasi keuntungan.
Konsekuensinya, peningkatan kualitas SDM diarahkan dalam rangka peningkatan produksi. Inilah yang disebut sebagai pengembangan SDM dalam kerangka production centered development (Tjokrowinoto, 1996). Bisa dipahami apabila topik pembicaraan dalam perspektif paradigma pembangunan yang semacam itu terbatas pada problem pendidikan, peningkatan ketrampilan, kesehatan, link and match, dan sebagainya. Kualitas insan yang meningkat merupakan prasyarat utama dalam proses produksi dan memenuhi tuntutan masyarakat industrial.Alternatif lain dalam taktik pembangunan insan ialah apa yang disebut sebagaipeople-centered development atau panting people first (Korten, 1981 dalam Kuncoro, 2004). Artinya, insan (rakyat) merupakan tujuan utama dari pembangunan, dan kehendak serta kapasitas insan merupakan sumber daya yang paling penting Dimensi pembangunan yang semacam ini terperinci lebih luas daripada sekedar membentuk insan profesional dan trampil sehingga bermanfaat dalam proses produksi. Penempatan insan sebagai subyek pembangunan menekankan pada pentingnya pemberdayaan (empowerment) manusia, yaitu kemampuan insan untuk mengaktualisasikan segala potensinya.
Sejarah mencatat munculnya paradigma gres dalam pembangunan ibarat pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs) pembangunan berdikari (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelomment) (Kuncoro, 2003). paradigma ini secara ringkas sanggup dirangkum sebagai berikut:
- Para proponen taktik “pertumbuhan dengan distribusi”, atau “redistribusi dari pertumbuhan”, pada hakekatnya menganjurkan semoga tidak hanya memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi (memperbesar “kue” pembangunan) namun juga mempertimbangkan bagaimana distribusi “kue” pembangunan tersebut. lni bisa diwujudkan dengan kombinasi taktik ibarat peningkatan kesempatan kerja, investasi modal manusia, perhatian pada petani kecil, sektor informal dan pengusaha ekonomi lemah.
- Strategi pemenuhan kebutuhan pokok dengan demikian telah mencoba memasukkan semacam “jaminan” semoga setiap kelompok sosial yang paling lemah menerima manfaat dari setiap jadwal pembangunan.
- Pembangunan “mandiri” telah muncul sebagai kunsep strategis dalam lembaga internasional sebelum kunsep “Tata Ekonomi Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menyampaikan ajuan kolaborasi yang menarik dibanding menarik diri dari percaturan global.
- Pentingnya taktik ecodevelopment, yang pada dasarnya menyampaikan bahwa masyarakat dan ekosistem di suatu tempat harus berkembang bantu-membantu menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi; namun yang paling utama adalah, taktik pembangunan ini harus berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial.
- Sejauh ini gres Malaysia yang secara terbuka memasukkan konsepecodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP dirancang dan dipakai untuk menjamin semoga buah pembangunan sanggup dirasakan kepada semua warga negara secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, Parkinson, & Saniman, 1990 dalam Kuncoro, 2004).
SUMBER;